Tag Archives: orangtua

Mengapa Anda Harus Bahagia?

Dalam sebuah seri dalam film Little House on the Prairie, ada sebuah dialog, percakapan kecil yang menarik buat saya.

Little House on the Prairie adalah sebuah tayangan serial drama televisi Amerika, tentang keluarga Ingalls yang tinggal di sebuah pertanian di Minnesota, pada tahun 1870an.

Salah satu pemeran dalam film itu, Tuan Oleson, adalah orang terpandang secara sosial di daerah itu. mereka memiliki toko serba ada. Anaknya ada dua orang, Nellie dan Willie. Istri Tuan Oleson adalah seorang yang cerewet dan pelit. Dia sering tidak sependapat dengan suaminya.

Suatu kali, pasangan itu bertengkar. Kala itu mereka sedang melayani pelanggan, Nyonya Ingalls, ibunya Laura. Pertengkaran yang sudah berakar lama, terpicu kembali karena hal kecil.

Pertengkaran itu ternyata berkepanjangan, hingga semua orang tahu. Sebab itu hanya kota kecil. Ibarat hoax jaman sekarang, gossip pun cepat menyebar.

Ibu Laura, Caroline Ingalls, yang bijaksana, memiliki ide untuk menolong mereka, dan menyampaikannya pada suaminya. ‘Bagaimana jika Nellie dan Willie sementara tinggal di rumah mereka, supaya Tuan dan Nyonya Oleson memiliki waktu berdua untuk berbaikan.’

Ayah Laura, Charles Ingalls, setuju. Tapi rupanya Tuan dan Nyonya Oleson terlalu gengsi, tidak mau menerima saran itu.

Keadaan orangtua yang bermasalah ternyata juga berpengaruh pada anak-anak. Anak-anak Oleson, Nellie dan Willie, ikut menjadi pribadi yang kurang menyenangkan dalam pergaulan.

Seperti keluhan Laura suatu kali, pada kakaknya, Mary Ingalls, tentang sikap Willie, yang satu sekolah dengannya.

Keluhan Laura dijawab oleh Mary demikian, “Kita harus baik pada mereka, karena keluarga mereka sedang ada masalah.”

Jawab Laura, “Saya sudah mencoba bersikap baik, tapi Willie selalu jahat pada saya.”

Mary pun berkata pada Laura:

“Jika orang bersikap buruk pada orang lain, itu karena dia tidak bahagia.”

Saya agak tertegun dengan kata-kata Mary itu. Sikap buruk itu, rupanya dilandasi oleh ketidakbahagiaan.

Hal ini mengingatkan saya, dalam sebuah kotbah, pendeta kami pernah berkata, bahwa

salah satu penyebab ketidakbahagiaan adalah hubungan yang tidak beres

. Hubungan yang tidak beres bisa menjadi konflik. Ketika hubungan tidak beres, hilanglah sukacita. Hubungan yang tak harmonis membuat tidak bahagia. Konflik adalah pembunuh sukacita. Ibarat lampu yang korslet, bisa menyebabkan kebakaran atau padam, demikianlah hubungan dengan konflik bisa membuat suasana tidak nyaman atau berakibat fatal.

Orang yang suka menciptakan konflik, mencari keributan, menyebar kebencian, mungkin adalah orang yang paling tidak bahagia di dunia ini.

Dia ingin ketidakbahagiaannya menyebar, supaya kepahitan yang dia rasakan juga dirasakan orang lain, sebab dia tak ingin tidak bahagia sendirian. Ibarat virus, dia ingin semua tertular virus jahat yang dia idap.

Saya pun berpikir. Adakah kita pernah menjadi Willie kecil itu dalam hidup keseharian kita? Kita bersikap buruk pada orang lain karena kita sedang ada masalah pribadi. Ketika kita tidak bahagia, sedang ada masalah, kita jadi jutek, jahat, ketus atau bahkan melampiaskan kemarahan pada orang lain?

Adakah anda pernah bersikap buruk pada orang lain, ketika suasana hati anda sedang buruk? Jika pernah, mungkin ini bisa menjadi bahan refleksi, bisa saja orang lain pun sedang mengalami hal buruk sehingga tidak bisa memperlakukan kita dengan baik, bukan?

Apakah kita sedang mengalami hari yang buruk?
Jika demikian, ada baiknya segera tenangkan diri, supaya orang lain tidak menjadi korban, dan sikap kita tak menjadi bumerang untuk diri sendiri.

Dan hikmah sekaligus sentilan dari film ini, bagi saya, sebagai orangtua adalah, apakah saya sudah memberi teladan yang baik, demi menjaga pertumbuhan kepribadian anak-anak, dengan cara menjaga hubungan harmonis dengan pasangan atau dengan orang lain? Sebab jika orangtua harmonis/bahagia, semoga anak pun tertular bahagia (sebab terkadang, dengan orangtua yang harmonis pun, belum tentu anaknya bahagia, bukan?).

Akan tetapi, jika kita orangtua saja tidak bisa harmonis, bagaimana mungkin kita bisa membentuk anak-anak yang bahagia, dan berharap anak-anak kita akan menjadi anak-anak yang penuh sukacita dan pembawa damai bagi dunia yang penuh dengan berita hoax, penyebar ketakutan, isu perpecahan dan kebencian ini?

-*-

Menjadi Orangtua Yang Sempurna

Awalnya saya kira hanya saya yang mengalaminya. Rupanya teman-teman juga pernah. Mungkin Anda juga?

Pernahkah Anda merasa tidak mampu menjadi orangtua yang baik? Ketika melihat anak-anak tiap hari bergelut, berebutan, berkelahi tanpa sebab yang jelas, kita jadinya menyalahkan diri sendiri merasa bahwa kita telah gagal mendidik anak. Apalagi jika mendengar laporan yang kurang baik dari sekolah tentang anak, atau dari sesama orangtua murid, atau tetangga, rasanya kita telah gagal menjadi orang tua.

Padahal rasanya kita sudah mengajarkan dan menasihati ratusan kali, tetap saja anak seolah tak berubah, tetap sulit bangun pagi, malas belajar sendiri, susah mandiri, senang berkelahi dengan adik/kakaknya dan kurang menurut pada orangtua.

Apa yang salah? Hati kita bertanya-tanya.

Kita merasa telah melakukan segala yang kita dengar, baca, dan pelajari, tentang tugas menjadi sesosok orang tua. Kita banyak membaca buku tentang parenting, menonton dan mendengar radio bahkan ikut berbagai seminar. Tapi kita tak pernah merasa sudah bisa melakukan tugas sebagai ibu atau sebagai orangtua yang baik.

Setiap hari bahkan mungkin kita berdoa agar diberi kekuatan dan perubahan diri untuk bisa mendidik anak-anak dengan lebih baik, tapi tiap kali juga kita selalu merasa gagal dan jatuh ke dalam kesalahan yang sama: ketidaksabaran. Kita tetap menjadi ibu bawel dan tak sabaran, pemarah, dan suka mengomel. Tiap hari. Hingga mungkin kita merasa muak dan letih dengan diri sendiri.

Pernahkah Anda menonton serial komedi televisi Amerika, Last Man Standing?

Saya suka menonton film serial komedi itu. Di film itu, Tim Allen berperan sebagai Mike Baxter, ayah dari tiga anak perempuan, yang mendukung nilai-nilai tradisional Amerika, dan seorang Kristen yang taat. Caranya menghadapi masalah dengan tenang dan humorislah yang membuat saya kagum. Saya ingin setenang Mike, tapi nyaris tak pernah bisa. Padahal anak saya cuma dua dan masih di bawah usia remaja, artinya masalahnya belum terlalu kompleks seperti ketiga anak perempuan Mike.

Bayangkanlah Mike harus mengurus cucunya yang adalah anak yang lahir karena “kecelakaan” putri sulungnya yang hamil waktu SMA, menghadapi putri sulungnya yang tak pernah cocok dengannya, menantunya yang pengangguran, dan masalah lainnya.

Entahlah, saya merasa tipe seperti Mike inilah orangtua yang “sempurna”. Yang ingin saya tekankan di sini adalah cara Mike menghadapi masalah. Rasa humornya. Tapi tetap dengan prinsip yang dia pegang teguh. Dalam satu episode, ada kutipan, seperti ini: “…your kid is a mess and it’s your fault … They need dads who teach them how to be men … You absentee fathers still have time to make things right.”

Sama dengan Mike, kita sebagai orangtualah yang terus bertanggungjawab akan kelakuan dan masalah anak-anak kita. Sebagai orangtua, selain ibu, perlu sosok ayah yang kuat untuk membangun karakter anak. Saya bisa mengomel seharian untuk memberi perintah kepada anak-anak, tapi hanya dengan satu kalimat, anak-anak akan segera melakukan perintah ayah mereka.

Saya yakin, kita tahu bahwa diri kitalah yang harus kita hadapi ketika menghadapi anak. Sifat kitalah yang harus diubah. Pola pikir dan cara bertindak kitalah yang perlu improvisasi.

Lantas apakah dengan melakukan itu semua kita bisa menjadi orangtua yang sempurna? Tentu tidak! (Seperti iklan deh…)

Jadi, jika Anda bertanya, apa tips menjadi orangtua yang sempurna, jawaban saya adalah TIDAK ADA.

Sebab tak ada orangtua yang sempurna. Takkan ada. Hidup adalah proses. Sampai tuapun kita sebagai orangtua terus belajar menjadi lebih baik. Takkan ada yang sempurna. Anak pun tak sempurna. Mengapa kita orangtua ingin menjadi sempurna? (Seperti kata teman saya, kesempurnaan hanya milik Yang di Atas, hehe…)

Mungkin seperti Mike, kita tak perlu tiap kali terlalu serius. Kita harus lebih banyak memakai sense of humor.

Tapi kadang itu ada juga resikonya. Suami saya kadang-kadang bercanda dengan anak dengan cara humor yang saya sebut garing.

Pernah waktu masih TK, anak saya bertanya: Binatang peliharaan itu apa. Sebelum saya jawab dengan anjing, kucing dll, suami saya sudah menjawab dengan iseng: Semua binatang yang ada di rumah. Nah, suatu kali anak saya pulang dengan heboh. Dia habis ulangan. Nilainya jelek. “Masa aku salah sih, Ma? kata bu guru jawabanku salah semua,” katanya.

Kulihat kertas ulangannya. Sebutkan nama -nama binatang peliharaan. Anak saya menulis: Cicak. Nyamuk. Tikus. Kecoa.

Seketika, saya bingung antara ingin tertawa dan marah pada suami. Lalu saya mengomel dengan sarkastis: Bagus, itu ajaran Papa tuh!

Anak saya lalu berkata lagi, “Tapi temanku lebih parah, Ma. Dia tulis jawabannya: Singa, harimau, beruang, macan dan buaya.”

Saya pun tak bisa menahan tawa. Rupanya masih ada yang lebih parah dari jawaban anak saya. Pikir saya, teman anak saya itu, rumahnya kebun binatang ‘kali, ya?

Hahaha…