Tag Archives: Oita

Ketelanjangan, Onsen, dan Turisme

Beberapa waktu yang lalu seorang teman menulis kegiatannya di Jepang. Salah satunya waktu dia mandi di onsen (sumber air panas) yang ada di Taman Nasional Daisetsuzan, Hokkaido. (Baca ceritanya di sini).

Salah satu topik yang dibahas di perjalanan si kawan itu adalah soal mandi bugil bersama di sana.

Wow. Pornokah? Tidak!

Saya juga pernah mengalami sensasi berendam di Onsen di Kota Oita di Pulau Kyushu. Kota ini menarik. Di salah satu hotelnya, tamu harus memakai yukata saat wara-wiri di hotel itu. Kami juga ke habitat monyet liar di Gunung Takasaki.

Nah, Oita itu sangat terkenal dengan onsen-nya. Di salah satu onsen di sana, kami serombongan wartawan dari ASEAN, diajak menikmati sensasi pemandian air panas ala Jepang.

Diawali dengan mandi pasir panas. Dengan mengenakan pakaian khusus, para tamu bisa berbaring-baring atau membaluri tubuh dengan pasir yang panas itu. Cewek boleh berada di area cowok. Tapi cowok sangat terlarang masuk ke area cewek.

Kegiatan ini sangat menyegarkan fisik setelah perjalanan panjang dari Tokyo.

Kemudian dilanjutkan dengan membersihkan tubuh di kamar mandi. Lalu tamu diarahkan ke tempat pemandian air panas bersama, yang menjadi inti kegiatan di onsen.

Nah, sebelum memasuki kolam pemandian air panas, dilarang membawa penutup tubuh kecuali handuk kecil yang sudah disediakan. Kecuali saya, wartawan dari Indonesia enggan masuk ke sini. Mereka memilih bebersih lalu kembali ke bus.

Malu, kata mereka. Saya nyengir saja. Hehehe

Di kolam pemandian sedalam sekitar 1 meteran itu, para lelaki berendam bersama. Semua telanjang. Tak ada yang malu, tak ada yang risih. Saya juga. Jelas dong. Kenapa? Baca dong lebih lanjut biar kalian tahu alasannya.

Selesai acara itu, di bus para wartawan ramai membicarakan soal acara mandi bugil bareng itu. Riuh sekali.

***

Onsen dan mandi bugil, itu juga biasa di Indonesia. Di Sumatera Utara, ada yang namanya okup. Tapi saya belum pernah merasakan seperti apa suasana di dalam okup.

Yang pernah saya alami adalah mandi di pemandian air panas umum yang ada di Lau Debuk-Debuk di Kabupaten Karo, ketika saya kecil. Bentuknya seperti kolam renang dengan air panas yang keruh keputihan plus bau belerang yang menyengat.

Apakah okup yang banyak kalian temukan di sepanjang jalan Jamin Ginting, dari Medan menuju Brastagi, sama seperti Lau Debuk-Debuk? Entahlah.

Lalu di Kuningan, Jawa Barat, juga banyak pemandian air panas, bukan? Mulai dari yang pribadi sampai berupa kolam renang yang besar. Di Ciseeng, Depok, juga ada.

Lalu, soal mandi bugil. Itu juga biasa di Indonesia, setidaknya di tempat saya besar, di salah satu sudut Kota Pematang Siantar, SUMUT.

Saya ini besar di Siantar dan rumah tempat saya tinggal dulu tak ada kamar mandi. Kami semua mandi di pemandian umum di mata air. Yes! Mata air. Jadi, tak jauh dari rumah, tepatnya di tepi sungai Bah Bolon, ada beberapa titik mata air yang jernih dan segar.

Pemandian alami ini terbuka. Ada yang khusus untuk lelaki, lalu sekitar beberapa ratus meter jauhnya ke arah hilir ada pemandian khusus untuk perempuan. Tak ada tutup, semua terbuka begitu saja. Kegiatan Mandi Cuci Kakus (MCK) pun dilakukan di sana.

Kalau di pemandian perempuan semua ala kampung dengan mengenakan sarung atau handuk, di tempat lelaki bebas terbuka alias bugil!

Tapi rasanya biasa saja. Tak ada yang merasa malu. Kalaupun ada, ya tinggal pakai penutup. Sesederhana itu. Selama 12 tahun saya melakukan itu. Makanya, di Jepang saya tak malu. Hehe.

Saya percaya, kebiasaan dan tempat-tempat pemandian umum macam ini ada juga di tempat-tempat lain di nusantara ini.

Nah, setelah bercerita begitu jauh, ada sebuah pertanyaan penting yang dulu, sewaktu di Jepang, juga sempat timbul dalam hati saya.

Apakah okup atau kebiasaan mandi bersama di permandian umum itu juga bisa menjadi daya tarik wisata yang mendunia, seperti halnya yang ada di Hokkaido dan Oita?

Sumberdaya alamnya kita punya. Kebiasaannya juga ada. Tapi gaungnya lokal-lokal saja. Pernahkah ada kesadaran di hati kita untuk membuatnya mendunia?

Sebetulnya ini bisa berlaku pada semua macam bentuk wisata dan destinasinya di Indonesia. Kesadaran untuk membuat semua destinasi wisata kita mendunia, supaya orang di luar sana tak hanya mengenal Bali semata.

Kesadaran yang harus diikuti dengan upaya nyata, oleh semua stakeholder pariwisata di negeri ini. Upaya untuk memperbaiki segala sarana dan prasarana. Serta upaya untuk memperbaiki mentalitas dari seluruh masyarakat supaya memandang turis sebagai tamu, bukan sumur duit yang harus dikuras habis-habisan.

Apa pendapat kalian?

Foto: abdulmominyottabd/Pixabay