Tag Archives: nyanyian

Pesta Bom pada Suasana Natal di Kakas, Minahasa 1941

Desa Talikuran, Kecamatan Kakas, 26 Desember 1941. Halaman muka gereja desa Talikuran, yang terletak di Kecamatan Kakas, Minahasa, sejak pagi-pagi sekali sudah penuh dengan anak-anak yang asyik bermain-main.

Mereka semua tengah menunggu dibukanya acara kebaktian Hari Kedua Natal yang tepat jatuh pada hari Jumat itu. Sementara di ruang dalam gereja, Pendeta Wim Wagay bersama koster (penjaga gereja) sibuk baku atur persiapan-persiapan kebaktian kudus yang dimulai pukul 08.00 pagi.

Menurut rencana, pada pagi hari itu, Pendeta Wagay akan membaptis lima puluh anak-anak muda, termasuk di antaranya seorang lekaki dewasa. Yang terakhir ini adalah Kepala Pengawas Listrik Kecamatan, Ir.Soedarjono. Pemuda Jawa ini akan di baptis, berhubung tak lama lagi bakal menikah dengan seorang gadis asal desa Talikuran, Tine Sumaiku.

Sebagai desa yang terletak di jantung wilayah Minahasa yang penduduknya mayoritas penganut Kristus, sudah barang tentu suasana Natal sangatlah semarak dan penuh pesta pora.

Lagu-lagu Natal bergema semalaman tanpa istirahat di tiap lorong dan relung kampung desa. Dan sampai pagi itupun, lagu-lagu pujian masih terbawa juga oleh kanak-kanak yang riuh di depan gereja.

Suara-suara mereka berbaur di dalam nada-nada yang berbeda, mereka nyanyikan lagu-lagu: Malam Kudus, Damai di Bumi, Yesus telah Lahir, dan lain-lainnya, dan tidak beraturan.

Tetapi apa yang terjadi kemudian? Gema suara yang menggembirakan itu tiba-tiba tersirap oleh suara-suara lain yang sebelumnya belum pernah mereka kenal. Semua mata terdongak ke angkasa raya dari mana sumber suara asing itu meraung-raung.

Maka terlihatlah di udara pada ketinggian tertentu semacam “burung-burung besi” yang membentuk formasi yang mencengangkan. Tampak sangat jelas di atas desa, para “burung besi” memecah dan menukik ke bawah seraya menyemburkan suara-suara ledakan merentet berkesinambungan.

Benda-benda itu sambil memain-mainkan keluasan udara dalam jarak rendah memuntahkan mesiu laksana siraman api yang meledak-ledak memekakan telinga. Baru sadar sekarang, bahwa benda-benda itu tak lain tak bukan adalah pesawat-pesawat tempur jenis “Zero” milik bala Tentara Dai Nippon.

Sasaran-sasaran mereka mengarah tepat di landasan militer Kalawiran, dan juga Pangkalan Udara Tasuka, yang terletak di tepi Danau Tondano.

Sebuah pesawat air jenis “Sikorski” milik KNILM (Koninklijk Nederlandsche Indisch Luchtvaart Maatschappij) yang tengah mengisi bahan bakar menjadi sasaran pertama, seketika itu juga meledak berkeping.

Tak terkecuali juga pesawat air yang lain milik Angkatan Laut Hindia-Belanda jenis “Dornier” yang sedang menanti giliran memperoleh bahan bakar, walaupun sudah berusaha menghalau “tamu-tamu” yang terdiri dari enam pesawat tempur dengan mitraliur ukuran 20 mm, namun agaknya sia-sia belaka.

Sersan No’e dan beberapa rekannya dari Angkatan Laut Hindia-Belanda memang sudah bekerja keras berusaha menyingkirkan pesawat pesawat Jepang itu. Tetapi nasib buruk tetap tak bisa dibendung, karena berondongan peluru dari udara lebih tangkas berperang.

Akibatnya, selain sang “Sikorski”, empat “Dornier” pun menjadi berantakan dalam tempo pendek dan lumat pelan-pelan ditelan air Danau Tondano.

Bom-bom bakar musuh yang menghujani sekitar lapangan terbang Tasuka mengakibatkan mandi darah yang dahsyat bagi anak-anak muda yang pada Malam Natal masih menyanyi lagu-lagu kelahiran kelahiran Kristus.

Seorang Kapten pilot KNILM yang berhasil melompat saat pesawatnya jatuh merenangi Danau Tondano melihat anggota-anggota KNIL di semak-semak yang tidak bergerak sedikit pun dan kembali dengan perahu ke pesawat untuk mengamankan sebanyak mungkin korban yang luka berat. Seorang diri dia berhasil membawa beberapa beberapa orang ke daratan.

Ketika dengan sangat letih sampai di dermaga dengan angkutannya terakhir, dia melihat seorang opsir berpakaian rapih, lengkap dengan tanda-tanda jasa, muncul dari rerumputan yang tinggi.

Si penerbang itu, perwira R, gemetar gemas karena amarah hingga ia berteriak: “Lakukan sesuatu! Tolong orang-orang ini.” Tetapi ia memperoleh jawaban dari opsir ini: “Maaf, tetapi saya tak boleh memberitahu posisi saya sebelum menyerang…”

Keadaan menakutkan yang hadir begitu tiba-tiba itu, menerbitkan kepanikan yang amat sangat bagi penduduk di desa-desa yang mengelilingi kedua lapangan terbang di wilayah Minahasa itu.

Acara suci gereja yang sedianya diusahakan dengan penuh kedamaian, menjelma dengan hiruk pikuk kekacauan. Wanita-wanita berteriak histeris mencari anak-anak mereka, demikian juga tangisan anak anak terdengar melengking-lengking memanggil ibu-ibunya. Masih disebut untung, karena pesawat-pesawat tempur sama sekali tidak mengarahkan sasaran bom-bomnya di pekarangan gereja di desa itu.

Arkian, setelah melakukan penyerangan sekitar tiga puluh menit, pesawat-pesawat tempur itu menghilang di balik pegunungan Lembean. Acara kebaktian batal.

Penduduk sibuk berkemas mengungsi ke kebun-kebun di luar desa, yang dianggap aman oleh mereka. Gerobak-gerobak kayu yang ditarik sapi atau kuda, dan sarat oleh perabotan rumah tangga tampak memenuhi jalan-jalan desa.

Pendeta Wagay pun telah berada di rumahnya. Ia berusaha membujuk puteranya, Johny yang belum berhenti menangis karena saking ketakutannya pada suara-suara ledakan memekakan telinga beberapa selang.

Begitu Johny Wagay berhenti menangis dan sudah terbujuk, Wim Wagay keluar rumah, ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Di luar rumahnya terlihat sebuah sepeda yang ditinggalkan pemiliknya. Tanpa pikir panjang, dikayuhnya sepeda itu dan langsung ke arah Tasuka yang letaknya sekitar 3 kilometer dari desa Talikuran.

Ketika itu, pintu masuk Tasuka dijaga oleh Sersan Daniel Timbongol, seorang prajurit pensiunan KNIL yang tergabung dalam korps cadangan. Ia bertugas jaga ketika serangan mendadak itu terjadi.

Begitu dari kejauhan ia melihat Pendeta Wagay datang dengan sepeda, seolah mendapat semangat, Timbongol memanggil rekan-rekan yang dalam suasana siaga bercampur panik.

Merekapun berkumpul mengelilingi Wagay saling memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara mereka saling berembuk, tiba-tiba terdengar lagi raungan suara mesin pesawat tempur.

Pesawat Jepang ternyata kembali lagi. Semuanya berlari berpencar mencari tempat lindung. Ledakan suara keras, seraya terlihat drum-drum minyak beterbangan di udara. Yang menjadi sasaran pesawat penyerang kali ini adalah gudang-gudang logistik bahan bakar.

Mereka hancurkan dengan hujan tembakan mitraliur dan bom. Sungguhpun pesawat itu dihalau juga dengan mitraliur, tetapi kiranya penerbang Nippon cukup lincah menghindar dari peluru-peluru dan langsung menghilang dibalik bukit-bukit.

Penyerangan hari itu berlangsung cukup singkat, tetapi berhasil menghancurkan sebagian dari kekuatan udara pemerintah Hindia-Belanda di wilayah Utara Sulawesi yang menjadi pintu gerbang belahan utara gugusan kepulauan Zamrut Khatulistiwa.

Dengan gebrakan singkat itu berarti invasi pihak Dai Nippon ke Selatan menjadi kenyataan. Pusat militer Hindia-Belanda yang berpusat di Bandung dalam waktu cepat menerima laporan mengenai bobolnya pertahanan di wilayah itu.

Sejak penyerbuan Jepang di Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941, usaha invasi berjalan begitu singkat untuk mengadakan perembesan ke wilayah selatan Asia-Timur.

Kekuatan-kekuatan koloni Amerika di Filipina, Prancis di Indo Cina, Inggris di Semenanjung Malaya dan Belanda di Indonesia tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari masing-masing pemerintah pusatnya.

Selain karena hancurnya sebagian besar kekuatan armada laut di kawasan Samudera Pasifik, ketika itu Amerika belum lagi memiliki suatu sikap yang jelas menghadapi Jepang dengan tindakan militernya.

Hal ini disebabkan masih kuatnya pengaruh politik isolasi (baca: Doktrin Monroe), hingga belum terlihat adanya ambisi untuk mengambil peranan di dalam percaturan politik global di bidang kekuatan militer, sedangkan di Eropa tengah dilanda peperangan.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Sumber Foto dan Bahan Tulisan dari buku Mengindonesiakan Indonesia oleh Harry Kawilarang