Tag Archives: nasi

Kincir, Resto Internasional dengan Godaan Menu Tradisional

Suasana unik terasa saat memasuki restoran Kincir Souvenir-Kitchen-Beer di Lobby Cina, Mal Artha Gading, Jakarta Utara. Keunikan itu terlihat dari interior dan perpaduan menu di restoran.

Di bagian depan restoran terlihat tumpukan krat-krat bir bermerek internasional, namun daftar menu justru menghadirkan menu-menu masakan tradisional dalam wujud berbagai jenis sop, nasi, olahan ikan, dan berbagai jus dengan nama-nama yang unik.

Kincir Souvenir-Kitchen-Beer memang menggabungkan kedua unsur tradisional-internasional ini. Jika pengunjung ingin menikmati berbagai jenis bir, di sini tersedia dengan berbagai jenis bir yang cukup lengkap.

Bar untuk minum bir

“Kami memang menyediakan berbagai jenis bir, sesuai dengan nama resto kami. Namun, keunggulan terbesar dari resto kami ini justru ada pada berbagai jenis jus yang pengunjung bisa coba,” kata Ferry Dafira yang menjadi pengelola resto ini di bawah bendera Kaaramel Juice Group saat pembukaan resto ini yang terletak di lantai dasar Lobby Cina, Mall Artha Gading, Jakarta Utara.

Sukses dengan mengelola Batavia Market di kawasan Kota Tua Jakarta sejak akhir 2015 lalu, Ferry Dafira bersama lima rekannya membuka resto baru Kincir ini di Mall Artha Gading, Jakarta Utara. Resto ini hadir dengan konsep 24 jam.

Kincir Souvenir-Kitchen-Beer menggabungkan ruangan yang memajang souvenir hasil kreasi UKM, suasana resto yang cerah, sekaligus meja bar yang menyediakan minuman bir.

“Pemilihan nama Kincir itu karena kincir selalu berputar dan menghasilkan energi angin,” kata Ferry Dafira. “Kami berharap, resto ini mampu menghasilkan energi yang positif bagi konsumen. Mereka senang sajian kami, kami juga akan senang dan bersemangat memberi yang terbaik,” kata Ferry.

Desain interior resto ini dikembangkan dengan konsep industrial. Elemen besi dan kayu mendominasi perabotnya. Batu bata merah di bagian dinding dibiar terbuka, sengaja tidak diplester.

Di salah satu dindingnya terbentang lukisan mural, ada juga kincir merah yang terus berputar di dinding restoran. Lukisan mural ini sebenarnya ingin memberi impresi halaman belakang rumah, dengan ada mural nyiur melambai dan deretan bangunan.

Daya tampung pengunjung, totalnya mencapai 130 tempat duduk. Sekitar 80 tempat duduk tertampung di area bagian dalam, dan sisanya bisa berada di bar atau di bagian luar.

 

Menu Menggoda

Resto ini menyajikan berbagai menu Nusantara. Sekitar 50 menu dari berbagai daerah seperti Betawi, Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Cianjur, bahkan dari Maluku. “Menu-menu ini selalu kami evaluasi tiga bulan, jika memang ada menu yang tidak diminati pasar kami akan mencoba lagi memberi menu terbaik,” kata Ferry lagi.

“Kami akan lihat minat pelanggan untuk rotasi menu. Menu reguler tetap ada. Setiap bulan juga akan ada menu of the month yang mengambil menu khas dari daerah tertentu,” kata Ferry.

Buntut Bakar Pedas

 

Salah satu menu yang menggoda adalah Buntut Bakar Pedas dan Ikan Bawal Colo-colo. Cita rasa buntut yang dibakar ini benar-benar membuat lidah berdecak karena bumbunya, namun kekenyalan daging yang menempel di buntut bakar tetap terjaga.

Ikan Bawal Colo-colo, wah bagi Anda penggemar masakan Manado pasti sudah tidak asing dengan cita rasa ini. Ikan bawal yang dimasak empuk, lalu disiram dengan kuah kecap dan ditaburi cacahan bawang dan cabai, secara tampilan benar-benar menggugah selera.

Satu lagi menu unik, yaitu Nasi Sapi Lada Hitam Vegetarian. Ini dikhususkan buat para vegetarian yang memang tetap ingin merasakan sensasi makan daging saspi dengan bumbu lada hitam.

Beberapa menu andalan lain seperti Sop Buntut, Nasi Timbel, dan Sate Maranggi.

Untuk minumannya, beragam fusion juice olahan Kaaramel Juice benar-benar membangkitkan rasa ingin tahu pengunjung. Salah satu menu jus populer di sini adalah jus Pink Like Candy. Dari namanya bisa tertebak bahwa jus ini ingin “menipu” lidah dengan memberi pesan seperti menyecap permen. Menu utamanya padahal stroberi, sirsak, dan buah naga merah, tak ada tambahan bahan permen sama sekali.

Pink Like Candy

Ada lagi menu jus populer lainnya, Verry Berry Blacbberry. Bahan jus terdiri dari buah blackberry, kiwi, dan lemon, dan menghasilkan cita rasa kecut namun tetap manis yang menyegarkan.

Harga jus sendiri berkisar Rp 25.000 hingga Rp 35.000 per gelas. Sementara untuk makanan antara Rp 35.000 hingga Rp 100.000 per porsi.
Souvenir

Di resto ini juga tersedira souvenir mulai dari aneka tas, dompet, card holder, hiasan dinding, aneka produk batik, hingga kerajinan dari bahan besi. Semua souvenir itu diambil langsung dari para perajin di DKI Jakarta dan Yogyakarta.

Pengelola melibatkan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DKI Jakarta untuk pemilihan jenis kerajinan. Seleksi kerajinan dibutuhkan agar produk yang dipajang memang benar-benar layak untuk dibeli konsumen baik dari segi kualitas maupun ide kreatif yang dihasilkan.

Beberapa jenis souvenir yang dipajang tersebut juga sudah diekspor ke beberapa negara Asia, Eropa, dan Amerika. Harga beragam souvenir itu pun bervariasi, antara Rp 20.000 hingga Rp 5 juta per item.

 

Foto: Dok Pribadi

Tidak Semua Orang Makan Nasi

Tahun 2002, saya pertama kali tinggal di Jepang seorang diri, dalam jangka waktu cukup lama, yaitu satu tahun. Saya tinggal di Jepang, tepatnya di kota Kanazawa, prefektur Ishikawa, karena saya mengikuti program Japanese studies. Usia saya saat itu masih paruh pertama 20-an.

Saya tinggal di asrama internasional bersama-sama para mahasiswa asing lainnya dari berbagai negara, mulai dari negara-negara di Asia, Amerika, Eropa, Australia. Yang dari benua Afrika kebetulan enggak ada.

Masing-masing penghuni asrama diberi satu kamar yang meskipun sangat kecil, tapi ajaibnya bisa muat dapur, kulkas kecil, WC plus shower plus wastafel, tempat tidur, meja belajar, lemari, dan beranda untuk jemur baju. Pokoknya bisalah untuk melangsungkan aktivitas hidup sehari-hari di kamar sempit itu.

Terus terang saja, satu hal yang bikin galau ketika awal-awal datang ke Kanazawa adalah perihal saya tidak punya rice cooker. Maklumin deh, dasar orang Indonesia, sekalipun roti, pasta, mie itu secara teori bisa menggantikan nasi, tapi kalau belum makan nasi, rasanya saya belum makan beneran.

Persoalannya, mau beli rice cooker baru itu lumayan mahal juga, dan mikir “hanya” dipakai setahun, sayang uangnya. Selama dua minggu pertama, saya numpang masak nasi di tempat teman Indonesia yang punya rice cooker atau saya makan nasi di kantin kampus.

Saat makan bersama beberapa teman Indonesia, salah seorang di antara teman-teman ini, punya “hobby” suka menelusuri tempat pembuangan sampah di sekitar kampus untuk cari barang-barang elektronik layak pakai.

Akhirnya saya “nitip” rice cooker ke teman saya ini (eh buseeet, di Jepang kok nyari rice cooker bukan di toko tapi di tempat sampah?).

Beberapa hari kemudian, saya ingat banget, pukul 7 pagi, bel kamar saya berbunyi. Masih setengah tidur (sebelum punya anak, saya itu afternoon person, jam 7 masih nyenyak, baru bangun itu paling cepat jam 8 pagi, tapi setelah punya anak, hidup saya sekarang dimulai dari jam 4 pagi) saya berjalan menuju pintu dan membukanya.

Di depan pintu berdiri teman Indonesia, tersenyum lebar dan membawa rice cooker. “Ini!” Ujarnya sambil menyodorkan benda yang saya nanti-nantikan itu.

Saya sangat senang menerima rice cooker dari tempat sampah itu, karena tidak menduga akan mendapatkannya secepat itu. Berulang kali saya mengucapkan terima kasih dan sepanjang hari itu saya sangat senang.

Hari itu saya ingin berbagi kebahagiaan, jadi saya menceritakan kegembiraan saya pada salah seorang teman saya yang berasal dari Polandia. Di akhir cerita, ia menanggapi,

“Kayaknya untuk Rouli, rice cooker itu penting banget ya. Rouli makan nasi tiap hari ya.”

Saya jawab,”Iya, emang Gosha (nama teman saya) enggak?”

Ia menanggapi,”Enggak.”

Saya tanya lagi, “Jadi Gosha makan apa tiap hari?” (Dalam bayangan saya saat itu, semua orang itu pasti butuh makan nasi).

Teman saya menjawab, “Terutama sih roti. Kadang jagung. Tapi kita (maksudnya orang Polandia) jarang makan nasi. Nasi kita jadikan sebagai salah satu bahan salad.” (beneran, ada ini salad nasi. Untuk kita “aneh”, tapi itulah salah satu budaya kuliner Polandia).

Hari itu, pertama kalinya saya sadar, bahwa tidak setiap orang di dunia ini makan nasi sebagai makanan pokok. Dan ngga ada yang salah dengan itu. Teman saya sehat-sehat aja tuh tanpa nasi. Dan saya juga baik-baik aja tanpa salad nasi.

Saya rasa kita semua harus terbuka menerima keberagaman.

Keberagaman SARA, keberagaman budaya, keberagaman pola pikir. Jauh-jauh deh dari fanatisme berlebihan, dari merasa diri paling benar sendiri.

Bukannya apa-apa, kita ini tidak hidup hanya dengan orang-orang yang sama dengan kita aja. Justru kalau dilihat dari perspektif global, yang tidak sama SARA, budaya, pemikiran dengan kita itu malah lebih banyak. Jadi ya sudah tugas setiap makhluklahhhhh untuk mengusahakan perdamaian dengan setiap orang di muka bumi ini.

Tidak semua orang makan nasi. Tidak semua orang makan roti. Dan sungguh, berbeda-beda itu tidak apa-apa, asal selalu ada sikap saling menghormati perbedaan itu.

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay