Tag Archives: minoritas

Rumah ‘Persinggahan’ Toleransi di Tepi Danau Toba

Tiap ada peristiwa atau kejadian macam kasus intoleransi ulah segerombolan orang di Gedung Sabuga, Bandung itu, aku tak hanya bertarung mengelola emosi yang sontak mendidih di dalam diri. Juga, harus menahan kejengkelan karena di antara yang merasa minoritas dan tertindas itu tak saja menyemburkan kegeraman –yang bisa dimaklumkan– namun sebenarnya hanya luapan kesia-siaan, sebab yang namanya kemarahan dan disampaikan dalam bentuk apapun, sebenarnya takkan pernah menginspirasi pikiran dan perbuatan baik yang bermanfaat bagi insan beradab.

Lebih sial lagi, akan ada yang menyindir-nyindir sikapku yang selama ini mencoba bertahan: mengedepankan akal sehat, mendukung harmoni sosial, penekanan agar tetap menghargai kehidupan dan humanisme di tengah ketertekanan–dan gelinjang emosi. Ia atau mereka, agaknya lebih menginginkan aku agar turut seperti mereka: meluapkan kemarahan, menyampaikan sindiran, yang sebenarnya sama-sama ekspresi kebencian.

Provokasi akhirnya melahirkan agitasi; kebencian dihadapi dengan kata-kata kemarahan. Itu bukan (lagi) “kelasku,” dan kau atau kalian boleh mencibir. Tak di tahap itu lagi aku. Tetapi, kepedulianmu (bila merasa begitu), belum tentu lebih tinggi kadarnya dibanding aku, namun caraku berbeda. Dalam pelbagai hal, perlu siasat. Siasat yang lebih cerdas, dan kupilih yang menurutku (menurutku lho) lebih beradab, intelek, hingga tak harus memancing keonaran baru.

Saya, lewat catatan-catatan ringan di medsos ini, ingin merangkul sebanyaknya agar lebih banyak orang menyukai humanisme dan harmoni sosial, mementingkan kedamaian, betapapun semua itu dianggap kemustahilan. Aku percaya, gerakan-gerakan serupa riak-riak di danau itu bermakna, dan aku memang pemburu makna. Itulah bedanya kita. Tanpa bermaksud merasa seorang yang istimewa.

Saya lahir dan besar di lingkungan (terutama didikan orangtua) yang amat toleran dan sedia membagi perhatian pada orang lain. Seperti yang pernah kutuliskan di beberapa catatan, rumah kami yang sederhana (di Pangururan), merupakan persinggahan dan penginapan bagi kerabat, kawan sekampung bapak, yang beragam keyakinan-agama. Rumah kami adalah tempat singgah dan menginap para “Parbaringin,” “Parmalim,” penganut Adventis, Saksi Yehova, Muslim, bahkan yang dituduh terlibat PKI.

Tak sedikit klan Situmorang yang merantau ke Sumatera Timur jadi Muslim, dan manakala pulang ke kampung halaman (Bonapasogit), mampir atau menginap di rumah kami sebelum ke kampung asal mereka karena harus menunggu bus (motor) P.O Pulo Samosir yang jarang itu, “motor” Sidikalang-Pangururan-Mogang-Nainggolan.

Sejak dini, aku sudah terbiasa dengan keberagaman, keperbedaan, dan… tak menjadi gangguan bagi kenyamanan bathin. Kawan-kawan bermainku, para anak tentara dan polisi yang berumah di Tajur, selalu ada Muslim (biasanya orang Jawa/Jadel, Melayu, Pakpak, atau Karo). Di dekat rumah, persisnya di samping Pesanggrahan Pemda, ada masjid kecil yang diurus marga Sihombing dari Harianboho, halamannya pun tempatku bermain bersama kawan-kawan bocah. Dulu ada pohon asam jawa dan mangga, aku dan kawan-kawan senang memanjat lalu mengunyahi buah yg asem dan manis itu sambil duduk di sisi mesjid sambil berceloteh khas bocah. Indah sekali bila itu kuingat, apalagi Danau Toba yang memesona, terhampar di depan.

Masa kecilku hingga menuju remaja memang indah, terbiasa dengan panorama nan elok dan besar di satu keluarga yang meskipun bersahaja, normal dan patuh norma-norma adat, ditopang hubungan perkerabatan serta pertetanggan yang hangat dan tulus. Aku tak biasa dengan lingkungan yang disebut “keras” atau “kasar.” Kecongkakan, kesinisan, merupakan pantangan bagi kami dan kawan-kawan, juga tetangga. Kami, khususnya denganĀ orang-orang Pangururan, terbiasa dengan toleransi sejak dahulu kala –entahlah kini.

Aku lahir dan besar di tengah alam yang “penuh puisi,” disuguhi panorama yang tak ada bosannya ditatap, pula lingkungan yang mengindahkan sopan-santun dan norma-norma yang memantangkan pemisah-misahan manusia, siapapun dia, bahkan “bonggali” pun seperti saudara.

Barangkali, itulah yang berperan penting membekaliku dan berfaedah hingga kini: membuatku terpesona harmoni sosial dan perdamaian.

*-*

Foto: Pixabay

Minoritas dan Toleransi

Aku Kristen. Minoritas di negeri ini. Dulu, ini tidak jadi masalah. Sekarang, kok sangat bermasalah ya?

Entah karena dulu aku bersekolah di sekolah Katolik sejak SD hingga SMA, atau karena belum ada media sosial. Entahlah.

Yang aku rasakan adalah rasa senang memiliki banyak teman dari berbagai agama. Teman sekolahku hanya sedikit yang non Kristen dan Katolik. Hanya segelintir yang beragama Budha, Hindu dan Muslim.

Sementara itu, tetangga rumahku kebanyakan muslim. Setiap lebaran, ibuku tidak perlu memasak. Kami selalu mendapat kiriman makanan dari tetangga kiri, kanan, depan, belakang bahkan yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.

Lumayan. Bisa bertahan 3 hari. Sebenarnya bisa bertahan seminggu sih, kalau saja adikku yang nomor 5 tidak rakus.

Setiap Tahun Baru–aku tinggal di Medan, biasanya kami menerima tamu setiap Tahun Baru, bukan pada saat Natal–ibuku bingung. Kami harus mengirimkan makanan ke banyak tetangga yang telah mengirimkan kami makanan pada saat Lebaran.

Lumayan banyak. Tapi kata ibu, itu tidak menjadi soal, karena kita harus saling memberi. Sensasi mengirimkan itu yang sungguh aku rasakan. Tanpa pamrih. Tanpa curiga.

Sering juga terjadi, aku, kakak, dan adikku mengajak tetanggaku yang muslim untuk ikut ke gereja kalau ada perayaan Natal sekolah minggu. Nanti dapat bingkisan, kataku saat itu membujuknya. Jadilah kami beramai-ramai ke perayaan Natal. Senang sekali.

Menjadi minoritas semakin terasa ketika aku kuliah dan memasuki dunia kerja. Aku ikut dalam Persekutuan Mahasiswa di fakultasku. Biasanya kami mendapatkan sebuah aula berukuran sedang untuk beribadah.

Namun, pernah suatu kali, ada perintah dari Dekan bahwa banyak mahasiswa yang keberatan kalau kami melakukan ibadah di aula tersebut. Alasannya, kami tidak membersihkan aula setelah memakainya.

Tentu saja ini mengejutkan. Kami sangat tahu diri. Kami sudah dipinjamkan ruangan untuk beribadah, maka pasti setelah selesai beribadah, kami membersihkannya, bahkan lebih bersih dari sebelum kami memakainya.

Tapi kami menurut saja. Tidak perlu berbantah-bantahan. Kami beribadah di halaman kampus.

Hal ini berlangsung tidak lama. Hingga akhirnya kami boleh memakai sebuah bangunan terpisah tidak terlalu jauh dari fakultas. Tempat itu terbuka. Kurang terawat. Sebelum beribadah, kami harus membersihkannya.

Sementara teman-temanku yang muslim mendapatkan sebuah mushola bagus di halaman fakultas. Dilarang iri. Sudah sangat sering aku mengajari diriku untuk tidak boleh iri. Aku terbentuk menjadi orang yang sangat bertoleransi, tidak perlu berdebat kalau tidak diperlukan.

Memasuki dunia kerja semakin terang benderang. Aku bahkan pernah menjadi satu-satunya perempuan nonmuslim di antara 7 pria nonmuslim lainnya. Jumlah karyawan sekitar 170-an.

Untungnya aku sudah terlatih ketika di kampus. Bertoleransi, menghargai perbedaan, mengalahkan ego, menjadi makananku sehari-hari.

Akhirnya memang, mereka sangat menghargai keberadaanku. Sendirian menjadi nonmuslim dalam satu divisi yang berjumlah 30 orang tidak membuatku menangis. Aku bahagia. Inilah kesempatanku menunjukkan warna seorang pengikut Kristus.

 

Luciana Siahaan

Penulis adalah Ketua Dewan Teruna Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Foto: Pixabay.com