Tag Archives: Mahasiswa

Kenangan di Kampus; Spirit Kenusantaraan yang Menghormati Plurarisme dan Multikulturalisme

Setelah gagal kuliah di Fakultas Filsafat UGM, di luar kemauan saya, abang saya mendaftarkan saya di satu kampus swasta, fakultas hukum, Universitas Kristen Indonesia kampus Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Saya pun akhirnya masuk ke lingkungan kampus yang saat itu dikuasai Menwa (mahasiswa semi serdadu), dua gang yang amat kuat di Jakarta (Siliwangi dengan bos Yapto S, gang Berland; dua gang ini diisi para anak kolong atawa turunan tentara), selain gang Ambon dengan bos Jongki Piters.

Angkatan saya ada 300 lebih sekian jumlah mahasiswa, hampir semua suku yang ada di Indonesia “terwakili.” Agama kepercayaan pun begitu. Walau berlabel kampus Kristen (Protestan), mata kuliah agama yang diajarkan dosen, sama sekali bukan berisi teologia Kristen, melainkan agama sebagai suatu “disiplin ilmu” atau epistemologi atau sejarah dan filsafat agama. Pokoknya, asal-usul dan makna agama (tak spesifik agama tertentu).

Uniknya, justru mata kuliah Hukum Islam yang wajib dan empat semester (dua tahun), tak hanya menyangkut hukum-hukum Syariah dan Fiqh, terutama mengenai hukum keluarga-perkawinan-perwalian-pewarisan, pun sejarah dan mazhab-mazhab dalam agama Islam. Kuliah tersebut wajib karena bagaimana pun, aplikasi atau praksis hukum pasti akan bersentuhan dengan masyarakat yang –sebagaimana diketahui– mayoritas Muslim. Hukum Islam (masa itu) termasuk mata kuliah yang angker bagi umumnya mahasiswa hukum di Jakarta (terutama FH UI, FH UKI, FH Universitas Pancasila karena dosen-dosen pengajar yang sama).

Susah betul lulus…
Mahasiswa bisa jadi abadi di kampus gara-gara mata kuliah yang satu ini. (Saya mau membanggakan diri tanpa malu-malu: Hukum Islam termasuk kuliah favorit dan saya sering di-booked hingga kewalahan memberikan tentier/tutorial pada mahasiswa-mahasiswa seangkatan, junior, bahkan pada senior yang tak lulus meski telah belasan kali ujian! Honor? Cukup “ucapan terima kasih,” walau selalu disuguhi kopi plus kudapan dan rokok oleh pengundang. 🙂

Di antara yang susah lulus itu (tak usah kaget) justru lebih banyak mahasiswa Muslim (dan jumlah mereka banyak memang di kampus), dan itu tak berkorelasi dengan aqidah, tentunya. Materi Hukum Islam memang padat dan rumit terutama mengenai sistem dan aturan waris, terlebih karena metode atau aturan yang berbeda pada masing-masing mazhab. Butuh kecerdasan ekstra selain minat agar bisa lulus, formulanya “pakai matematika” pula. Jauh lebih mudah menghitung pembagian waris menurut hukum Barat (KUH Perdata).

Tentir yang saya berikan selalu menyertakan mahasiswa multi etnis dan agama, lintas angkatan dan tak perlu lagi gengsi karena kadang saya gabung dengan junior–ketimbang tak lulus? Tetapi sayang, pengetahuan Hukum Islam yang dulu lumayan kuat saya kuasai perlahan tergerus; terakhir saya bawakan di acara hukum untuk wanita karir yang digagas Radio Cosmopolitan Jakarta, 2005-2006. Sejak itu, kian menguap karena tak ada lagi yang meminta (klien atau publik).

*-*

Di antara kenangan dan pengalaman yang paling mengesankan selama saya di FH UKI yang lekat dengan label “kampus keras” dan banyak diisi para jawara ibukota itu, relasi dan pergaulan dengan ratusan mahasiswa lintas angkatan, beragam suku dan keyakinan, dengan semangat atau ikatan: pertemanan yang intens, hangat, egaliter, tak bersekat-sekat. Rasanya hanya ke kalangan Menwa saya kurang akrab karena tak nyaman dengan seragam serta tampilan mereka yang umumnya militeristik; namun ada beberapa jadi teman akrab (junior).

Ditambah pengalaman bersekolah di SMA (14 Jakarta), spirit kenusantaraan yang menghormati plurarisme dan multikulturalisme, kian terbangun selama kuliah. Kawan-kawan saya yang lintas angkatan itu (pada yang junior malah lebih akrab karena urusan tentir-menentir), telah berperan mengeratkan tali-temali keindonesiaan yang harus jujur kukatakan: amat indah. Rumah atau kos-kosan mereka banyak sekali yang pernah kujambangi, kuinapi, makan enak atau mendengar musik sambil ngobrol apa saja yang asyik diomongkan. Rumah (kakak-kakak) dan kos-an saya pun begitu…

Seorang di antara kawan masa lampau yang sempat akrab dengan saya (sebelum dia keluar di tahun keempat kuliah karena memilih berbisnis), lelaki keturunan Arab bernama Ali. Dia anak orang kaya, berumah di Menteng, orangtuanya (eks) pemilik Hotel Sabang. Entah berapa kali saya nginap di rumahnya yang mengundang decak saking luas dan mewah, di wilayah Menteng. Ia kawan yang sungguh baik, makanan dan minuman yang melimpah di rumahnya tak bosan dia sodorkan pada siapa saja kawan yang mampir atau menginap (dengan embel-embel “belajar bersama”) di rumahnya. Orangtua dan sanak saudaranya begitu pula halnya.

Tak sebersit pun rasanya kami (di FH UKI) menyinggung keyakinan dan isu kepribumian-ketidakpribumian. Organisasi mahasiswa dari luar tak berhasil menerobos ke dalam maka tak kentara siapa anggota GMKI, HMI, PMKRI, dan yang lain. Itu kampus berlabel agama yang hampir sempurna menganut sekularisme. Kampus yang dikenal keras karena hegemoni resimen mahasiswa dan gang-gang anak muda Jakarta namun terjauh dari aliran sektarianisme maupun sukuisme.

Tiba-tiba tadi teringat mereka semua, dan Ali salah satu –yang entah di mana dia kini. Semoga dia tetap seperti Ali yang kukenal, lelaki berdarah Arab yang menyenangkan, tak menghendaki polarisasi manusia berdasarkan suku bangsa atau agama. Bahkan bila pun tak sama kewarganegaraan.

*-*

Parade Kebangsaan Mahasiswa Kristen di Jawa Timur

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) hari-hari ini sedang menggelar Parade Kebangsaan, yaitu kunjungan kasih dan silaturahmi ke beberapa pesantren, kampus, dan gereja di Jawa Timur. Selain itu, mereka juga melakukan studi wilayah tentang gerakan radikalisme.

Kunjungan pertama dilakukan di Pondok Pesantren Ngalah, Pasuruan, Jawa Timur, pada Senin, 2 Oktober 2017, GMKI diterima langsung oleh Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Ngalah, KH. M. Sholeh Bahruddin. Turut hadir Pengurus dari organisasi Kelompok Cipayung, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Pasuruan Komisariat Ngalah, dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

KH. M. Sholeh Bahruddin, salah satu tokoh penggerak perdamaian di Jawa Timur, menekankan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah jati diri dan harga diri bangsa Indonesia. Sehingga perjuangan untuk merawat dan menjunjung semboyan ini tidak akan mengenal kata henti.

“Relasi sesama manusia harus dialaskan pada ‘lemek’ cinta dan kasih sayang. Tidak ada gunanya hidup jikalau tidak mengabdi untuk perwujudan perdamaian,” kata ulama yang penuh dengan kesahajaan dan kesederhanaan ini.

Selain berdialog, para mahasiswa diajak berkeliling untuk mengamati kehidupan di dalam pondok pesantren yang mengangkat jargon pluralisme dan inklusivitas ini. Rombongan menikmati keramahan dalam interaksi yang ditunjukkan oleh seluruh warga pesantren.

Koordinator Wilayah Jawa Timur, Bali, dan NTB, GMKI, Arnold L. Panjaitan mengatakan Parade Kebangsaan adalah usaha untuk menerobos sekat di dalam keberagaman agama di Indonesia. Generasi muda saat ini harus selalu mengupayakan keterbukaan serta keharmonisan antar umat beragama. Ini akan mempermudah gerak langkah bersama dalam menghindari cengkraman radikalisme, fundamentalisme dan intoleransi.

“GMKI sangat terinspirasi dengan kehidupan Pesantren yang damai, egaliter dan harmonis. GMKI berterima kasih banyak kepada pihak Pesantren Ngalah, Pasuruan. Semoga semakin banyak santri-santri hebat yang siap untuk berkarya memajukan Indonesia lahir dari Pesantren ini,” ujarnya.

Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI, Sahat Martin Philip Sinurat menyampaikan belakangan ini ada indikasi meningkatnya fundamentalisme dan radikalisme di tengah pemuda Indonesia. Padahal generasi muda seharusnya menjadi pihak yang paling kritis dan tidak mudah terprovokasi dengan informasi hoaks ataupun isu SARA.

“Adanya keberagaman di antara masyarakat kita sebenarnya telah membentuk kita menjadi bangsa yang toleran, guyub, damai, dan saling membantu (gotong-royong). Melalui silaturahmi dan saling bertukar pikiran, kita berupaya merawat karakter khas bangsa Indonesia ini agar tidak terkikis oleh bahaya apatisme dan radikalisme,” ujar Sahat.

Kegiatan Parade Kebangsaan ini digelar sampai 6 Oktober mendatang.

Mahasiswa Kristen Siap Mengawal Janji KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjanji akan mengedepankan integritas dan profesionalitas dalam menjalankan sistem Pemilu. Hal ini disampaikan Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi dan Viryan saat menerima Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Rabu (23/8) kemarin.

“Kami bertujuh sudah berkomitmen, netralitas, profesionalisme dan integritas mutlak dipegang teguh,” ujar Pramono kepada PP GMKI di ruang sekretariat Komisi 2 DPR RI di Jakarta.

Bahkan Pramono juga mengatakan siap dikawal dan diawasi oleh mahasiswa. Menurut mereka peran GMKI dalam mengajak mahasiswa dan pemuda untuk memberi pencerdasan politik sangat dibutuhkan.

Pramono dan Viryan juga memastikan tidak akan ada belas kasihan jika ada pemangku jabatan di jajaran KPU hingga ke kabupaten/kota yang terindikasi melakukan manipulasi suara dalam proses pemilihan yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.

Menurut mereka citra demokrasi di Indonesia harus menjadi panutan dunia. Untuk mengupayakan penyelenggara pemilu yang bersih, komisioner menjamin proses seleksi KPU di daerah hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan dengan berintegritas.

Sementara itu Viryan menyampaikan bahwa pemilih pemula adalah pemuda usia 17-21 tahun. Dalam usia tersebut kebanyakan di antaranya adalah mahasiswa. “Sehingga peranan GMKI menjadi vital terutama di tengah kondisi kebebasan media sosial yang kebablasan,” katanya.

Ketua Umum PP GMKI, Sahat Sinurat menyampaikan apa yang menjadi niat dari komisioner KPU saat ini adalah langkah yang bagus dan harus diapresiasi. Iklim demokrasi yang baik harus didukung oleh penyelenggara pemilu yang bersih dan berintegritas serta masyarakat yang cerdas.

“Kami pun akan siap mengawal KPU seperti yang telah disampaikan tadi selama masa kerjanya. Serta berusaha juga untuk meningkatkan budaya demokrasi yang baik di Indonesia,” ungkap Sahat.

Pertemuan ini berlangsung cukup singkat, pada saat yang bersamaan Komisioner KPU RI sedang melakukan rapat dengan Komisi 2 DPR RI.

Mahasiswa Lintas Iman: Intoleran Berarti Tak Paham Pancasila

Sebuah diskusi publik digelar di Jakarta beberapa hari lalu. Diskusi ini mempertemukan kelompok mahasiswa lintas iman, yang dihelat oleh Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Diskusi bertema “Orang Muda Bicara Pancasila” itu menghadirkan sembilan pembicara yang merupakan pimpinan organisasi mahasiswa Kelompok Cipayung Plus lintas generasi.

Noer Fajriansyah, Ketum PB HMI 2010-2012 mengatakan, Pancasila itu sejalan dengan agama. Kalau masih ada orang yang mempersoalkan toleransi di Indonesia saat ini, berarti mereka belum memahami arti dari Pancasila. Perlu adanya evaluasi di bidang pendidikan terkait Pancasila sebagaimana dahulunya ada penataran P4.

Addin Jauharudin, Ketua Umum PB PMII 2011-2014 mengatakan, bangsa ini bisa berdiri sampai saat ini karena adanya pemahaman dan pengakuan terhadap Pancasila. Bahkan hal itu dilakukan oleh organisasi mahasiswa seperti dalam kelompok Cipayung. Seberapa kuat organisasi ini, maka bangsa ini juga akan kuat.

“Saya melihat, terdapat tiga poin yang bakalan menguat ke depan. Pertama, adanya kelompok yang memanfaatkan situasi saat ini dalam soal-soal intoleran untuk kepentingan politik. Kedua, ada kelompok yang tidak tahu soal ini, sehingga mereka hanya mengikuti apa kata pemimpin mereka dalam wadah apapun sebagai sebuah kebenaran. Ketiga, kelompok pelajar hari ini yang mudah goyah karena bisa berubah akibat sedang berada pada fase mencari identitas. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Kelompok Cipayung harus menjadi yang terdepan dalam memproduksi gagasan kebangsaan,” sambung Addin.

Jihadul Mubarok, Ketum DPP IMM 2012-2014 mengatakan, NKRI itu harga mati bagi Muhammadiyah. Perlu ditanamkan rasa optimis dalam bernegara. Hasil penelitian membuktikan bahwa kelompok yang ingin merdeka dalam negara ini populasinya kecil, sementara penelitian lain mengungkapkan bahwa 65% masyarakat Indonesia tidak mau mengubah Pancasila sebagai ideologi negara.

Tweedy Noviadi, Ketum PP GMNI 2011-2013, 2013-2015 mengatakan, Pancasila adalah wadah pemersatu dan Pancasila harus dioperasionalkan dan merupakan sumber semua aturan yang berlaku di Indonesia. Tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan Pancasila. Nilai – nilai Pancasila juga harus menjadi etos kerja pemerintah dan masyarakat.

I Made Bawa Yasa, Presidium Pusat KMHDI 2012-2014 mengatakan, Bhineka Tunggal Ika yang ada dalam cengkraman burung Garuda adalah sesuatu yang sudah final. Tetapi akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang berusaha menggoyahkannya. Ini konstruksi pikir yang sangat keliru.

“Pertemuan seperti ini penting dan harus kita galakkan dalam masyarakat sebagai sebuah pendidikan. Mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dalam memandang bangsa sebagai negara Pancasila,” ungkap Made.

Lidya Natalia Sartono, Ketum PP PMKRI 2013-2015 mengatakan, ideologi Pancasila harus kita tanamkan dalam masyarakat khususnya melalui ruang pendidikan. Tidak boleh menghilangkan mata pelajaran PMP, PPKN, PKN, Pendidikan Pancasila dan sebagainya.

“Dalam ruang pendidikan khususnya S1, banyak mahasiswa masih bingung tentang lahirnya Pancasila. Dari sini kita lihat perlu adanya tambahan konten dan pelajaran Pancasila dalam ruang-ruang sekolah dan kuliah,” tutur Lidya.

Suparjo, Ketum PP HIKMAHBUDHI 2014-2016 mengatakan,  menurut Russel, falsafah itu antara ideologi dan sains. Hal ini sangatlah cocok dengan Pancasila yang juga menjadi dasar hidup bersama dalam bangsa. Pancasila menjawab semua keinginan di negara ini dan tidak ada perbedaan. Tetap banyak oknum yang ingin mempermainkan Pancasila dan ingin merebut kekuasaan.

Ayub Pongrekun, Ketum PP GMKI 2014-2016 mengatakan, sangat menarik bila kita melihat proses dialetikal Soekarno sampai lahirnya Pancasila. Dari berbagai tempat di mana beliau berada seperti Bandung, Jakarta, Sumatera sampai Ende. Beragam pengalaman dan korespondensi ini memberi kontribusi berarti bagi gagasan Pancasila.

“Kekayaan kebudayaan dari dialetikal pengalaman dan korespondensi tadi memberi warna pada Pancasila sehingga Soekarno dengan lantang menolak sistem monarki, dan mengusulkan musyawarah yang tidak bertentangan dengan budaya. Pengambilan keputusan layaknya masyarakat Minangkabau, Bugis, Makassar dan atau pela gandong di Ambon dan lain-lain. Oleh karena itu harus dihayati bahwa Pancasila adalah jiwa raga Indonesia,” sambung Ayub .

Adriyana, Ketum PP KAMMI 2013-2015 mengatakan, Pancasila merupakan titik ekuilibrium dari perbedaan. Mengapa goncangan bisa terjadi saat ini atas Pancasila? Itu disebabkan karena krisis identitas. Bila kita tidak bisa bersatu dalam banyak hal karena perbedaan lahiria, maka kita tetap dapat bersatu dalam Indonesia. Perbedaan jangan kita jadikan untuk saling menjatuhkan karena kita semua bersaudara.

Sebagai penanggap, Ketua Umum PP GMKI Sahat Sinurat mengatakan, Pengurus Pusat GMKI mengadakan diskusi publik dengan tema orang muda bicara Pancasila untuk mengingatkan kita bahwa kaum muda memiliki tanggung jawab dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu para pemuda harus bersatu dan tidak boleh tersekat-sekat dengan tembok perbedaan.

“Pancasila tidak hanya menjadi jawaban atas persoalan intoleransi, namun juga berbagai persoalan lain yang masih terjadi di tengah bangsa kita seperti ketimpangan pembangunan, diskriminasi, korupsi, disintegrasi bangsa, dan lain sebagainya. Maka nilai-nilai Pancasila harus dapat diarustamakan dalam setiap sendi kehidupan bangsa,” sambung Sahat.

Penanggap selanjutnya, Taufan P Korompot, Ketua Umum DPP IMM 2016-2018 mengatakan, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI harus terinternalisasi dalam diri setiap warga Indonesia. Pancasila harus dijadikan sebagai landasan nilai dari semua aspek kehidupan.

Dalam Diskusi Publik ini, semua pembicara sepakat bahwa Kelompok Cipayung Plus tetap bersinergi dan berkomitmen terhadap Pancasila dan NKRI. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung Plus harus juga terlibat dalam penanaman ideologi Pancasila di tengah masyarakat, salah satunya di dalam Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang baru saja dibentuk pemerintah.