Tag Archives: kristiani

Mengapa Kristiani tak Lagi Berdebat

Perdebatan mengenai teologi Kristen/Katolik telah lama selesai, meskipun masih bermunculan aliran atau sekte yang membawa semangat “pemurnian,” antara lain melalui kehadiran gereja-gereja yang disebut injili, kharismatik, yang di wilayah-wilayah persebaran seperti Indonesia, kadang menimbulkan friksi dengan jemaat dari denominasi gereja-gereja yang sudah lama mapan dan berorganisasi di bawah PGI (Protestan) atau KWI (Katolik).

Namun, tak sampai menimbulkan ketegangan atau segragasi yang tajam di antara sesama jemaat, sebab selain (mungkin) faktor minoritas hingga spektrum atau magnitudenya tak terasa, teologia Kristen/Katolik agaknya telah final dan tak lagi membutuhkan tafsir dan pembuatan kanonik baru; telah mapan, selesai, tinggal bagaimana menginternalisasi dan mengimplementasikan.

Tantangan gereja di abad kini, lebih menyangkut kegamangan menghadapi perubahan zaman dan sosial, juga menjawab isu-isu global yang harus diakui, kadang membuat gereja gagap menjawab, misalnya, kloning manusia, pengakuan LGBT, menguatnya kecenderungan sekularisasi dan free thinker yang memuja akal, logika, nalar, menuntut empirisme dan menganggap irasionalisme sebagai suatu sikap kebodohan.

Pula menghadapi gelombang ideologi yang membenarkan penumpukan modal dan kecenderungan warga dunia menganggap kapitalisme sebagai “tuhan” baru yang lebih menyenangkan dan powerful. Menghadapi manusia kini yang lebih suka memburu kekuasaan di bidang finansial dan industri dan dengan memiliki kemampuan finansial yang kuat merasa yakin akan bisa memenuhi kubutuhan maupun kesenangan–yang biasa disindir sebagai hedonisme.

Menyikapi pertumbuhan ideologi kemakmuran berikut implikasinya dan menjadi idaman manusia-manusia post modernisme yang menginginkan kemakmuran di dunia sekaligus keselamatan surgawi dan ditampung beberapa gereja dengan cerdik, merupakan tantangan sekaligus kegelisahan gereja-gereja konservatif yang di Indonesia berhimpun dalam PGI atau KWI. Juga masih ragu atau gamang menghadapi desakan konvensi-konvensi global yang semakin memberi kebebasan bagi individu dan sulit membantah pencapaian sains-teknologi, serta pertumbuhan free thinker dan pendukung hak-hak LGBT.

Artinya, mengenai aliran teologis, agaknya bukan lagi persoalan signifikan bagi gereja-gereja dan pengikut atau jemaat. Pengakuan atas kebebasan individu mengikuti atau meyakini yang dirasa paling cocok telah tertanam dan menjadi sikap masing-masing jemaat, bukan lagi isu penting.

Hasilnya, perbedaan atau ketidaksamaan aliran, tak lagi menimbulkan friksi atau ketegangan dengan yang tidak sama aliran akibat saling klaim kebenaran masing-masing, yang dampaknya menciptakan segragasi atau pemisahan sosial–walau ada pengikut gereja non PGI atau KWI, misalnya, begitu tegas menolak yang mereka yakini sinkretisme.

Itu pula yang mengakibatkan gereja tak mudah bila berkeinginan membentuk atau menggerakkan sikap politik dengan mempengaruhi jemaat. Peran rohaniawan (pastor, pendeta, uskup, ephorus, bishop) lebih diposisikan atau diperlakukan oleh jemaat sebagai pemimpin organisasi gereja, bukan tokoh sentral atau jadi acuan utama dalam menjalankan keyakinan. Diakui sebagai rohaniawan namun tidak sebagai penentu utama dalam membangun konstruksi iman dan rambu-rambu menyangkut keyakinan.

Dengan kondisi seperti itu, gereja (khususnya di bawah PGI dan KWI) sulit membentuk sikap politik jemaat, dan memang sebaiknya tidak perlu. Gereja lebih berfungsi sebagai rumah doa yang memfasilitasi peribadatan dan penampung kegelisahan jemaat; rohaniawan-rohaniawan yang bergiat di dalamnya berperan sebagai guru atau pembimbing urusan spiritual-kerohanian, pemimpin ritual keagamaan, bukan pekerja lembaga/organisasi gereja yang mencampuri urusan administrasi, materi-aset-uang, hingga sikap politik jemaat.

Itu menurut pandangan saya, barangkali saja tidak betul seluruhnya. ***

* Untuk mereka yg sering menanyakan dan meminta pandangan saya.

* Bila tertarik memberi tanggapan/komen, hendaknya kontekstual dan tidak mengarah ke sindirian pada siapapun.

Anda Ingin Menjadi Siapa

Jika bisa berubah wujud, anda ingin jadi seperti apa atau seperti siapa?

Sebagai hiburan yang kreatif, film X-Men menjadi salah satu genre film yang menjadi favorit saya. Dalam episode X-Men, First Class, ada beberapa percakapan yang menarik bagi saya pribadi.

Salah satunya adalah ucapan Magneto pada Mystique: “Kau ingin masyarakat menerimamu. Tapi kau bahkan tak bisa menerima dirimu sendiri!”

Magneto berkata demikian pada Mystique yang punya kemampuan berubah wujud. Aslinya Mystique berkulit kasar dan berwarna biru, dan bermata kuning, tapi dia memilih wujud seorang wanita cantik sempurna. Dia tak percaya diri dengan wujud aslinya yang aneh dan agak menakutkan.

Saya suka Mystique. Karakter mutan yang diperankan dengan akting yang cantik oleh Jennifer Lawrence ini bagi saya terlihat sungguh mengasyikkan. Bisa mengubah wujud dan suara dengan alami, menurut saya itu keren.

Jika berandai-andai bisa seperti Mystique, saya mungkin ingin mengubah wujud menjadi seperti Mariana Renata atau Rachel Weisz. (Keep on dreaming! kata hati saya, hahaha…)

Seperti Mystique, siapa yang tidak ingin penampilan menarik dan wajah yang cantik? Pun Mystique, ingin terlihat “normal” agar bisa diterima di lingkungan manusia. Sebab jangankan manusia, bagi lingkungan mutan pun dia lebih menarik dengan wujud manusia daripada wujud aslinya.

Siapa yang tak ingin terlihat enak dipandang hingga orang memuja dan memuji kita, atau menerima kita? Bahkan ada orang yang akan melakukan apa saja untuk diterima orang lain.

Apakah anda pernah mendengar bahwa belakangan ini kaum muda Korea cenderung berprinsip lebih baik bokek daripada jelek, sehingga mereka bela-belain melakukan operasi plastik? (Bukan hanya perempuan, juga laki-laki lho…)

Siapa yang tak ingin diterima. Itu adalah kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan untuk dianggap menjadi bagian dari sebuah komunitas.

Sesungguhnya hal itu bisa menjadi salah satu sumber masalah dalam hidup kita. Kerap terjadi, keinginan batiniah untuk diterima orang lain, membuat hidup kita semakin tidak bahagia dan melakukan hal yang membuat kita susah.

Segala cara mungkin akan ditempuh orang hanya untuk bisa diterima atau dianggap atau dihargai oleh orang lain. Tempo hari ada kenalan baru yang saya kira anak pejabat karena penampilan selalu wow, bahkan kadang memakai mutiara yang mewah.

Baru saya tahu kalau ternyata itu hanya tampilan artifisial. Sesungguhnya dia berasal dari keluarga yang bahkan belum bisa tinggal di rumah sendiri (bukan bermaksud menghakimi, saya hanya tak menyangka, dan saya justru jadi prihatin mendengarnya).

Dulu ada juga seorang rekan yang memang selalu rajin mentraktir semua orang dan rutin memberi bunga untuk semua wanita di kantor di hari Valentine. Mungkin itu hanya cara untuk menunjukkan bahwa dia ingin diterima dan dianggap istimewa.

So much for an acceptance.

Saya juga di waktu lalu pernah ada masa ketika saya mungkin merasa harus melakukan hal tersebut, tapi saya kemudian berhenti dan mengambil pelajaran. Bahwa itu sia-sia. Percuma. Itu adalah kesimpulan saya ketika saya berusaha untuk diterima dalam sebuah komunitas tapi kemudian saya harus melakukan yang bertentangan dengan prinsip.

Carilah orang yang bisa menerimamu apa adanya. Jika kau tak diterima, cari tempat lain, tapi jangan lupa introspeksi diri jangan sampai memang kita yang salah membawa diri hingga tidak diterima.

Seperti si Mystique, cara terbaik memang adalah menjadi diri sendiri dan menerima diri sendiri. Saya misalnya, menerima kenyataan bahwa saya bukan orang sanguin yang supel. Sampai sekarang, saya sadar, walau sudah terus berusaha belajar, saya masih seseorang yang belum lulus juga dari (contohnya) pelajaran “berbasa-basi”. Saya masih gagu jika mendadak bertemu dengan orang baru dan hanya bisa bertahan berbasa-basi di bawah lima menit kecuali orang itu bisa terus membawa percakapan. Itu sebabnya saya lebih memilih diam, daripada jadi canggung berhadapan dengan orang lain, atau malah jadi bikin masalah seperti salah komunikasi.

Ada ucapan orang bijak, kira-kira begini:

Jika anda harus membuktikan sesuatu pada orang lain agar diterima, mungkin justru itu saatnya anda harus pergi dari orang semacam itu.

Mengapa? Itu pertanda bahwa anda tak diterima apa adanya. Lebih baik mencari komunitas yang layak untuk anda dan anda layak untuk mereka.

Sebab menurut saya pribadi–bukan bermaksud skeptis–tak ada orang (hanya Tuhan) yang bisa menerima kita apa adanya. Kita harus lebih baik, mengubah diri kita lebih baik, itu salah satu cara untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan berbuat baik pun belum tentu kita diterima, apalagi sebaliknya?

Tuhan mencintai kita apa adanya. Tapi saya yakin Tuhan juga ingin kita berubah makin hari makin baik hingga makin menjadi serupa seperti imejNya.

Jadi seperti si Mystique, mari terimalah diri kita apa adanya, tapi jangan berhenti di situ. Tapi, berusahalah berubah lebih baik lagi, lagi dan lagi. Sebab proses perubahan itu memang tak ada habisnya.

Jadi jika ada yang bilang: I love you just the way you are, ah yang bener!

🙂

*-*

Foto: Pixabay

Minoritas dan Toleransi

Aku Kristen. Minoritas di negeri ini. Dulu, ini tidak jadi masalah. Sekarang, kok sangat bermasalah ya?

Entah karena dulu aku bersekolah di sekolah Katolik sejak SD hingga SMA, atau karena belum ada media sosial. Entahlah.

Yang aku rasakan adalah rasa senang memiliki banyak teman dari berbagai agama. Teman sekolahku hanya sedikit yang non Kristen dan Katolik. Hanya segelintir yang beragama Budha, Hindu dan Muslim.

Sementara itu, tetangga rumahku kebanyakan muslim. Setiap lebaran, ibuku tidak perlu memasak. Kami selalu mendapat kiriman makanan dari tetangga kiri, kanan, depan, belakang bahkan yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.

Lumayan. Bisa bertahan 3 hari. Sebenarnya bisa bertahan seminggu sih, kalau saja adikku yang nomor 5 tidak rakus.

Setiap Tahun Baru–aku tinggal di Medan, biasanya kami menerima tamu setiap Tahun Baru, bukan pada saat Natal–ibuku bingung. Kami harus mengirimkan makanan ke banyak tetangga yang telah mengirimkan kami makanan pada saat Lebaran.

Lumayan banyak. Tapi kata ibu, itu tidak menjadi soal, karena kita harus saling memberi. Sensasi mengirimkan itu yang sungguh aku rasakan. Tanpa pamrih. Tanpa curiga.

Sering juga terjadi, aku, kakak, dan adikku mengajak tetanggaku yang muslim untuk ikut ke gereja kalau ada perayaan Natal sekolah minggu. Nanti dapat bingkisan, kataku saat itu membujuknya. Jadilah kami beramai-ramai ke perayaan Natal. Senang sekali.

Menjadi minoritas semakin terasa ketika aku kuliah dan memasuki dunia kerja. Aku ikut dalam Persekutuan Mahasiswa di fakultasku. Biasanya kami mendapatkan sebuah aula berukuran sedang untuk beribadah.

Namun, pernah suatu kali, ada perintah dari Dekan bahwa banyak mahasiswa yang keberatan kalau kami melakukan ibadah di aula tersebut. Alasannya, kami tidak membersihkan aula setelah memakainya.

Tentu saja ini mengejutkan. Kami sangat tahu diri. Kami sudah dipinjamkan ruangan untuk beribadah, maka pasti setelah selesai beribadah, kami membersihkannya, bahkan lebih bersih dari sebelum kami memakainya.

Tapi kami menurut saja. Tidak perlu berbantah-bantahan. Kami beribadah di halaman kampus.

Hal ini berlangsung tidak lama. Hingga akhirnya kami boleh memakai sebuah bangunan terpisah tidak terlalu jauh dari fakultas. Tempat itu terbuka. Kurang terawat. Sebelum beribadah, kami harus membersihkannya.

Sementara teman-temanku yang muslim mendapatkan sebuah mushola bagus di halaman fakultas. Dilarang iri. Sudah sangat sering aku mengajari diriku untuk tidak boleh iri. Aku terbentuk menjadi orang yang sangat bertoleransi, tidak perlu berdebat kalau tidak diperlukan.

Memasuki dunia kerja semakin terang benderang. Aku bahkan pernah menjadi satu-satunya perempuan nonmuslim di antara 7 pria nonmuslim lainnya. Jumlah karyawan sekitar 170-an.

Untungnya aku sudah terlatih ketika di kampus. Bertoleransi, menghargai perbedaan, mengalahkan ego, menjadi makananku sehari-hari.

Akhirnya memang, mereka sangat menghargai keberadaanku. Sendirian menjadi nonmuslim dalam satu divisi yang berjumlah 30 orang tidak membuatku menangis. Aku bahagia. Inilah kesempatanku menunjukkan warna seorang pengikut Kristus.

 

Luciana Siahaan

Penulis adalah Ketua Dewan Teruna Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Foto: Pixabay.com

Jangan Gampang Baper, Mungkin Kamu Kurang Baca Aja

Wahyu 1:3 Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat.

“Apa yang kamu pegang saat pertama kali bangun pagi? Alkitab atau handphone?” kata Pdt. Margie Ivonne Ririhena – de Wanna, D.Th. di atas mimbar saat saya dan keluarga mengikuti ibadah Minggu sore di GPIB Galilea, Bekasi.

Ya jujur saja, memang bukan Alkitab yang pertama kali saya pegang saat bangun pagi, pasti handphone atau smartphone, karena–dan ini alasan ngeles yang keren menurut saya–benda itu sudah saya pasang program alarm untuk membangunkan saya, jadi saya harus sentuh dan mematikan alarmnya agar stop berbunyi.

Ada lagi alasan keren lainnya, “Di smartphone saya sudah terpasang aplikasi Alkitab”. Dan alasan satu ini diajukan si ibu pendeta sendiri dari mimbarnya, tentu untuk menenangkan kegalauan jemaat saat mendapat pertanyaan di atas tadi. Tanda jemaat galau? Kami senyum-senyum simpul salah tingkah.

Pertanyaan dan pernyataan Pendeta Margie memang cukup menyentak, dan menjadi pengantar yang bagus untuk menjabarkan perikop yang dibaca dalam khotbah Minggu, yaitu Wahyu 1:1-8. Dari semua ayat, Wahyu 1:3 menjadi ayat yang dibahas khusus. Menarik memang ayat yang satu ini.

Lewat ayat ini, saya jadi paham sekaligus disadarkan bahwa kitab Wahyu itu bukan menitikberatkan pada nubuatan seram-seram tentang akhir zaman, atau tentang iblis yang dilepaskan di Bumi. Ayat ini malah menjadi yang pertama dari tujuh “ucapan bahagia” atau ucapan berkat yang ditemukan dalam kitab Wahyu. Enam ucapan bahagia lainnya dapat ditemukan dalam Wahyu 14:13; 16:15; 19:9; 20:6; 22:7; 22:14.

Namanya yang pertama, ayat ini menurut saya mempersiapkan kita secara mental dan metodologis dalam mengarungi nubuatan Yohanes selanjutnya. Tapi yang terpenting adalah Berbahagialah… usirlah rasa muram saat membaca Kitab Wahyu khususnya, dan tentu saja saat membaca Alkitab secara umum.

Berbahagialah saat membaca Alkitab. Baca yang benar, dengarkan apa yang sudah dibaca, lalu taati.

Membaca Alkitab yang benar tentu artinya kita memperhatikan dengan saksama apa yang kita baca. Kalau sudah membaca, dengarkan dan resapi dengan baik kata-kata di Alkitab, dan yang terpenting taat menjalani firman Tuhan.

Ini juga yang akan mencegah kita menjadi kaum “sumbu pendek”, alias gampang marah karena iman kita jadi bahan olok-olokan. Baca lebih dalam firman Tuhan, pastikan pengetahuan kita lebih mumpuni sebagai landasan iman.

Kita juga tidak akan jadi gampang baper (bawa perasaan), terutama saat membaca postingan di media sosial. Syukur-syukur kita bisa menyetop ujaran kebencian yang sering kali terasa mengasyikkan buat di-share ke teman-teman kita di media sosial.

Ya, jika karena imanmu membuat kau membenci orang lain atau pihak lain, mungkin kamu kurang membaca Alkitab dengan lebih teliti, lebih baik. Karena dalam kekristenan cuma ada dua hukum utama, kesemuanya menempatkan KASIH sebagai yang utama, bukan kebencian atau pembalasan.

Matius 22:37-39;

Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Kapal Tanpa Kemudi

Pernahkah Anda memperhatikan bahwa ketika Tuhan memerintah nabi Nuh supaya membangun bahtera, Tuhan tidak memberikan perintah untuk membuat kemudi? Setiap kapal, terutama yang berukuran besar, biasanya memiliki kemudi. Namun untuk bahtera ini, tidak.

Bayangkan Nuh bertanya demikian, “Mmmm, Tuhan…saya mau tanya sedikit, nih. Mengapa tidak ada kemudinya?” Tapi Nuh tidak menanyakan itu. Tanggapan Nuh kira-kira seperti ini, “Baiklah Tuhan. Saya akan keluar dari wilayah kenyamanan saya untuk melakukan kehendak-Mu.”

Nuh tidak memusingkan persoalan kemudi karena dia memiliki keyakinan bahwa kemana pun dia dan keluarganya berada, mereka berada di bawah naungan Allah yang Mahakuasa. Yang dilakukan Nuh adalah melakukan perintah Tuhan dan menunggu perintah berikutnya dengan tekun.

Apakah Tuhan memanggil Anda untuk keluar dari sarang kenyamanan Anda, untuk melakukan pekerjaan yang besar? Saya percaya hal ini menimbulkan pergumulan yang berat. Saya pernah mengalaminya. Rasanya lebih berada pada situasi yang mapan dengan penghasilan yang pasti.

Nuh pun mungkin saja enggan masuk ke dalam bahtera bersama sekumpulan binatang selama sebulan lebih. Bayangkan betapa bau bahtera itu karena kotoran hewan! Akan tetapi Nuh bersedia meninggalkan daerah kenyamanan untuk menyambut rencana Tuhan atas hidupnya dan keluarganya.

“Karena iman, maka Nuh-dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan- dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya” – (Ibrani 11:7)

Dari keteladanan Nuh, kita bisa belajar untuk berani mengambil keputusan keluar dari daerah kenyamanan untuk mengikuti perintah Tuhan. Setelah itu menunggu perintah selanjutnya dengan taat.

Serahkanlah kemudi kehidupan Anda pada Tuhan. Dia yang berada di atas memiliki pandangan yang lebih luas dan mengetahui arah tujuan kehidupan kita.

PURNAWAN KRISTANTO

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=777

*Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |

Ketelanjangan, Onsen, dan Turisme

Beberapa waktu yang lalu seorang teman menulis kegiatannya di Jepang. Salah satunya waktu dia mandi di onsen (sumber air panas) yang ada di Taman Nasional Daisetsuzan, Hokkaido. (Baca ceritanya di sini).

Salah satu topik yang dibahas di perjalanan si kawan itu adalah soal mandi bugil bersama di sana.

Wow. Pornokah? Tidak!

Saya juga pernah mengalami sensasi berendam di Onsen di Kota Oita di Pulau Kyushu. Kota ini menarik. Di salah satu hotelnya, tamu harus memakai yukata saat wara-wiri di hotel itu. Kami juga ke habitat monyet liar di Gunung Takasaki.

Nah, Oita itu sangat terkenal dengan onsen-nya. Di salah satu onsen di sana, kami serombongan wartawan dari ASEAN, diajak menikmati sensasi pemandian air panas ala Jepang.

Diawali dengan mandi pasir panas. Dengan mengenakan pakaian khusus, para tamu bisa berbaring-baring atau membaluri tubuh dengan pasir yang panas itu. Cewek boleh berada di area cowok. Tapi cowok sangat terlarang masuk ke area cewek.

Kegiatan ini sangat menyegarkan fisik setelah perjalanan panjang dari Tokyo.

Kemudian dilanjutkan dengan membersihkan tubuh di kamar mandi. Lalu tamu diarahkan ke tempat pemandian air panas bersama, yang menjadi inti kegiatan di onsen.

Nah, sebelum memasuki kolam pemandian air panas, dilarang membawa penutup tubuh kecuali handuk kecil yang sudah disediakan. Kecuali saya, wartawan dari Indonesia enggan masuk ke sini. Mereka memilih bebersih lalu kembali ke bus.

Malu, kata mereka. Saya nyengir saja. Hehehe

Di kolam pemandian sedalam sekitar 1 meteran itu, para lelaki berendam bersama. Semua telanjang. Tak ada yang malu, tak ada yang risih. Saya juga. Jelas dong. Kenapa? Baca dong lebih lanjut biar kalian tahu alasannya.

Selesai acara itu, di bus para wartawan ramai membicarakan soal acara mandi bugil bareng itu. Riuh sekali.

***

Onsen dan mandi bugil, itu juga biasa di Indonesia. Di Sumatera Utara, ada yang namanya okup. Tapi saya belum pernah merasakan seperti apa suasana di dalam okup.

Yang pernah saya alami adalah mandi di pemandian air panas umum yang ada di Lau Debuk-Debuk di Kabupaten Karo, ketika saya kecil. Bentuknya seperti kolam renang dengan air panas yang keruh keputihan plus bau belerang yang menyengat.

Apakah okup yang banyak kalian temukan di sepanjang jalan Jamin Ginting, dari Medan menuju Brastagi, sama seperti Lau Debuk-Debuk? Entahlah.

Lalu di Kuningan, Jawa Barat, juga banyak pemandian air panas, bukan? Mulai dari yang pribadi sampai berupa kolam renang yang besar. Di Ciseeng, Depok, juga ada.

Lalu, soal mandi bugil. Itu juga biasa di Indonesia, setidaknya di tempat saya besar, di salah satu sudut Kota Pematang Siantar, SUMUT.

Saya ini besar di Siantar dan rumah tempat saya tinggal dulu tak ada kamar mandi. Kami semua mandi di pemandian umum di mata air. Yes! Mata air. Jadi, tak jauh dari rumah, tepatnya di tepi sungai Bah Bolon, ada beberapa titik mata air yang jernih dan segar.

Pemandian alami ini terbuka. Ada yang khusus untuk lelaki, lalu sekitar beberapa ratus meter jauhnya ke arah hilir ada pemandian khusus untuk perempuan. Tak ada tutup, semua terbuka begitu saja. Kegiatan Mandi Cuci Kakus (MCK) pun dilakukan di sana.

Kalau di pemandian perempuan semua ala kampung dengan mengenakan sarung atau handuk, di tempat lelaki bebas terbuka alias bugil!

Tapi rasanya biasa saja. Tak ada yang merasa malu. Kalaupun ada, ya tinggal pakai penutup. Sesederhana itu. Selama 12 tahun saya melakukan itu. Makanya, di Jepang saya tak malu. Hehe.

Saya percaya, kebiasaan dan tempat-tempat pemandian umum macam ini ada juga di tempat-tempat lain di nusantara ini.

Nah, setelah bercerita begitu jauh, ada sebuah pertanyaan penting yang dulu, sewaktu di Jepang, juga sempat timbul dalam hati saya.

Apakah okup atau kebiasaan mandi bersama di permandian umum itu juga bisa menjadi daya tarik wisata yang mendunia, seperti halnya yang ada di Hokkaido dan Oita?

Sumberdaya alamnya kita punya. Kebiasaannya juga ada. Tapi gaungnya lokal-lokal saja. Pernahkah ada kesadaran di hati kita untuk membuatnya mendunia?

Sebetulnya ini bisa berlaku pada semua macam bentuk wisata dan destinasinya di Indonesia. Kesadaran untuk membuat semua destinasi wisata kita mendunia, supaya orang di luar sana tak hanya mengenal Bali semata.

Kesadaran yang harus diikuti dengan upaya nyata, oleh semua stakeholder pariwisata di negeri ini. Upaya untuk memperbaiki segala sarana dan prasarana. Serta upaya untuk memperbaiki mentalitas dari seluruh masyarakat supaya memandang turis sebagai tamu, bukan sumur duit yang harus dikuras habis-habisan.

Apa pendapat kalian?

Foto: abdulmominyottabd/Pixabay

 

Kamu Egois, Aku Egois

Salah satu masa paling menyenangkan selama bergelut di dunia kerja ini adalah ketika suami saya pindah ke kantor di sebelah gedung kantor tempat saya bekerja. Kami bisa berangkat dan pulang kerja bersama dan sesekali janjian makan siang berdua, atau makan malam berdua sepulang kerja sebelum pulang ke rumah. Semacet apapun Jakarta rasanya tak terlalu mengganggu sebab saya tinggal duduk dan suami yang menyetir. Kami bisa mengobrol sambil ngemil dan mendengarkan radio/musik.

Tapi itu tak lama. Setelah beberapa tahun, dia ditugaskan lagi ke kantor cabang perusahaan yang lain yang berada di pinggiran Jakarta. Tak mungkin lagi dia antar atau jemput saya, sebab berbeda arah. Pernah terpikir untuk mengemudi sendiri atau mencari pengemudi pribadi, tapi pada akhirnya memutuskan lebih praktis kembali ke pangkuan angkutan umum, yang sebelum dan sesudahnya dan kapan saja seolah setia mendampingi saya (hahaha).

Apa yang terjadi dengan warga angkutan umum sekarang? Begitu saya bertanya dalam hati ketika baru kembali lagi ke ‘alam bebas’ itu. Rasanya seperti dulu ketika baru pulang dari Jepang yang serba rapi dan kagok ketika melihat semrawutnya Jakarta.

Satu kata yang lantas terbersit dari pikiran saya adalah: Egois.

Seperti kemarin pagi, di angkot, dengan cueknya seorang bapak berpakaian rapi merokok seenaknya padahal semua isi angkot yang mayoritas wanita sudah menutup hidung dan mengibas-ibas sebagai isyarat supaya beliau mematikan rokok. Egois sekali bapak ini! pikir saya. Teringat di Jepang ada inovasi untuk perokok, namanya Smoking Bells (bentuknya seperti bell/lonceng). Alat ini didesain untuk membuat perokok menikmati asap rokoknya sendiri di tempat umum, hingga tidak akan mengenai orang di sekitarnya.

Lalu soal tempat duduk di angkutan umum. Jika saya bandingkan, bila pagi hari saya naik patas AC, kemungkinan besar tidak akan dapat tempat duduk. Yang duduk sambil tidur adalah (selain wanita) para pria berpenampilan kantoran rapi yang seolah takkan peduli sekalipun ada nenek atau ibu hamil berdiri di dalam bus.

Jika saya naik kopaja, yang kebetulan isinya kebanyakan para buruh, kemungkinan besar mereka akan memberikan saya (atau wanita lainnya) tempat duduk mereka. Di situ saya kadang merasa sedih (ini bukan bercanda). Membandingkan kedua hal ini membuat saya miris. Kembali satu kata itu terbersit. Egois sekali para pria kantoran ini!

Lalu bukan hanya itu. Ada saja penumpang yang tidak mau menggeser tempat duduk untuk orang di sampingnya. Jika karena ukuran badan jadi tidak muat, mungkin bisa dimaklumi. Tapi jika karena ogah rugi, misalnya harusnya bisa berlima tapi yang duduk masih empat orang, aduh! Penumpang egois! (Makan tuh tempat duduk! Begitu teman saya pernah memaki).

Lalu kemarin lusa, seorang berpenampilan mahasiswi duduk di sebelah saya di kopaja. Di Sudirman, dia turun lebih dulu. Anehnya, tak ada ucapan permisi atau ngomong apa kek supaya saya memberi jalan, nyelonong saja dengan kasar. Untung saya sudah antisipasi, segera bangkit berdiri agar dia bisa keluar dengan lega, padahal saya cuma geser kaki juga sebenarnya dia masih bisa lewat. Bahkan saya sampai berdiri mundur memberi jalan, hingga saya berdiri di selasar kopaja. Yang tak saya duga, masih sempat-sempatnya sepatu kets-nya mundur dan menginjak sepatu saya. Saya hanya berdecak dan mengusap sepatu. Sakitnya nggak seberapa, kesalnya itu lho. Lalu, ketika saya turun, saya baru sadar suatu hal.

Astaga, saudara-saudara, rupanya sudah copotlah aksesori blink-blink sepatu lama favorit saya yang modelnya sudah tidak diproduksi itu lagi! (Ini bagian lebaynya, hahaha).

Dengan sedih dan geram saya pungut si Blink-blink yang oleh rekan kantor yang jahil disebut swarovski. Lalu saya melangkah dengan gaya sok cool walau diam-diam berharap tak ada yang memerhatikan perbedaan di antara kedua sepatu saya! (Tengsin, tahu!). Tiap kali ada orang berpapasan dengan saya dan melirik ke bawah, saya langsung mempercepat langkah, bagai selebiriti menghindari paparazzi (cuiiii…).

Tiba di pintu masuk gedung, satpam juga melirik sepatu saya walau tak berkata apa-apa. Masuk kantor, rekan-rekan saya terpingkal-pingkal mendengar cerita saya. Kasihan, untung swarovski mahalnya nggak hilang pas copot tadi, goda mereka. Lalu seorang teman sepakat dan berkata, memang anak muda jaman sekarang egois banget dan kadang nggak punya manner. Tentu saja itu hiperbola dan tak bermaksud menggeneralisasi. (Lalu saya mengelem kembali sang swarovski palsu, dan sepatu favorit saya kembali ke penampilan semula).

Belum selesai sampai di situ. Ketika saya turun lift dan mau keluar di lobi, ada orang yang berada di lantai itu segera menerobos masuk. Padahal sudah jelas ada aturan, biarkan yang mau keluar terlebih dahulu. Kayak mau naik angkot aja takut nggak keangkut ya, Neng? Dan itu sering terjadi. Memangnya dia nggak bisa bedain apa, ini lift Neng, bukan kopaja yang orang berebutan naik! Kalau di perkantoran pusat bisnis sudirman saja masih begini gaya orang kerja, apa kata dunia?! Egois amat sih, Mbak? Harusnya dia lihat kebiasaan di Jepang, jika naik eskalator, orang-orang berjajar rapih di sebelah kiri, dan jika ada yang buru-buru silakan berjalan di sebelah kanan.

Tapi mungkin bukan hanya dia, dia, dan dia tadi yang egois. Mungkin saya juga pernah melakukan keegoisan yang kurang-lebih sama.

Pernah saya (dan semua penumpang) membiarkan seorang nenek berdiri di kopaja. Waktu itu saya memang kurang sehat. Ini bukan ngeles. Dalam hati saya berkata: Maaf ya, Nek. Bukannya saya egois, tapi tekanan darah saya sedang turun jadi saya nggak kuat berdiri lama-lama. Untungnya nenek itu tidak jauh tujuannya, beberapa menit segera turun.

Saya juga pernah duduk di kopaja dan tidak mau geser. Kenapa? Karena tempat duduk di sebelah saya basah bekas hujan. Si Nona manja yang baru naik tidak mau masuk untuk duduk dan saya juga tidak mau pindah ke sebelah. Si kenek mengomel dan saya balas: Saya sudah naik dari terminal dan duduk di sini duluan, kenapa harus saya yang pindah? Dan itu kursinya basah! (Kenek yang malang, ibu-ibu loe lawan berdebat, hahaha). Si kenek pun diam dan melap kursi tapi si Nona manja yang terlanjur mengambek tidak mau duduk lagi. Silakan berdiri sendiri di belakang, Non! Biar tinggi sendiri. Atau jadi model pendamping pengamen (ini ucapan teman saya ketika saya ceritakan kisah ini).

Lalu ketika malamnya saya bercerita pada suami, dan karena tahu anak-anak menguping, saya sengaja berkata: Dunia luar sana itu keras! (Anak sulung saya langsung menyahut: Ih, mama lebay!)

Pernah juga saya naik kopaja (lama-lama kopaja jadi favorit gue deh ini, hahaha) yang ternyata lagi dicharter oleh guru-guru madrasah yang akan training di Senayan. Mereka kaget pas saya naik. Lalu mereka bilang: Ini kopaja lagi nggak narik.

Pikir saya: Lha kok berhenti pas saya setop? Ternyata berhenti karena ada mobil berhenti di depannya. Hahaha. Dengan malu saya nyaris turun. Tapi tiba-tiba saja ide itu muncul. Mungkin karena saya kepepet takut terlambat (Ide memang sering muncul dalam keadaan kepepet). Saya tanya, mereka lewat mana, boleh ikut nggak? Ternyata searah kantor saya dan mereka langsung menerima saya ikut. Tempat duduk memang hanya sekitar separuh saja yang terisi. Berhati mulia sekali sekali, pikir saya. Saya jadi penumpang gratis. Ibu-ibu guru itu mengajak saya mengobrol, ada yang mengajak saya bercanda, ada juga bu guru yang ngegodain seorang pak guru yang mendadak pindah tempat duduk (katanya biar dekat saya, hahaha). Mereka bahkan mengajak saya ikut berfoto wefie.

Betapa beruntung saya, kali ini bertemu orang-orang yang sama sekali tidak egois. Keneknya pun tidak mau terima ketika saya mau turun saya coba selipkan selembar uang. Semua guru itu langsung berteriak: Jangan diterima. Full service gratis ini, Mbak!

Ini salah satu contoh kisah toleransi khas orang Indonesia yang legendaris itu, yang sama sekali jauh dari keegoisan. Guru memang luar biasa, jasamu memang tiada tara!

Kembali ke masalah egois-egoisan tadi. Mungkin memang masih baru sampai di situ progres kita. Kita memang masih dalam proses perubahan. Semoga semakin cepat perubahan ini, dan semakin baik. Kebalikan dari lagu Kemesraan, keegoisan ini semoga cepat berlalu. 🙂

-*-

Foto: Pixabay

Kamu Garam atau Vetsin?

Seorang kenalan yang bekerja di bagian HRD, pernah membuat istilah sendiri untuk mengklasifikasi dua jenis karyawan di perusahaannya. Satu, garam. Satu lagi,vetsin. Apa maksudnya?

Kita akan bahas setelah yang ini.

Apakah panggilan hidup anda? Menjadi pebisnis, politikus, pengacara, atau pemusik? Atau lainnya. Sesungguhnya, panggilan hidup kita ditentukan oleh jati diri kita.

Sebagai orang Kristen, jati diri kita adalah gereja.  Kata Gereja mengacu pada istilah Yunani: ekklesia yang berarti orang-orang yang dikumpulkan/dipisahkan oleh panggilan Allah. Dalam keberadaannya di dunia, gereja memiliki dwi kewargaan (jati diri ganda) yaitu:

  1. Warga Kerajaan Allah: Gereja adalah suatu umat yang kudus yang dipanggil dari dunia untuk menjadi milik Allah.
  2. Warga dunia: Gereja adalah umat yang diutus ke dalam dunia untuk bersaksi dan melayani.

Bonhoeffer menyebut hal ini dengan istilah panggilan hidup ‘keduniawian yang saleh’. Orang Kristen harus bisa hidup di dunia ini dengan cara surgawi.

Sejarah gereja mencatat bahwa gereja kesulitan dalam mempertahankan jati diri gandanya tersebut. Kadang-kadang akibat keinginan yang sejati untuk menitikberatkan kekudusannya, gereja undur dari dunia di satu sisi ekstrim (ada yang menyebutnya fanatik atau terlalu rohani). Tetapi di sisi ekstrim yang lain, dalam menonjolkan keduniawiannya, gereja secara keliru menyesuaikan diri dalam tolak ukur dan nilai-nilai yang dianut dunia (ada yang memberinya istilah: terlalu duniawi).

Tanpa memelihara ke dua sisi dari jati diri gereja, gereja (baca: kita) tak kunjung dapat terlibat dalam misi. Misi muncul dari ajaran alkitabiah tentang keberadaan gereja dalam masyarakat.

Yesus sendiri yang mengajarkan kebenaran ini dalam metafora yang terkenal yaitu Garam Dunia dan Terang Dunia (Matius 5:13-16)

John Stott, seorang teolog Inggris menyimpulkan empat hal yang terkandung dalam metafora ini, yaitu :

  1. Orang Kristen berbeda secara asasi dari non Kristen.

Dunia ini gelap, demikianlah dinyatakan Yesus secara tidak langsung, tapi kamulah yang harus menjadi terangnya. Dunia sedang membusuk, tapi kamulah yang menjadi garamnya dan melindunginya dari kebusukan.

  1. Orang Kristen harus masuk ke dalam masyarakat non Kristen.

Kendati orang Kristen berbeda secara moral dan spiritual, tetapi secara sosial mereka sekali-kali tidak boleh memisahkan diri dari masyarakat sekitarnya. Sebaliknya terang harus menyinari kegelapan itu dan garam harus meresap kedalam daging yang sedang membusuk itu.

  1. Orang Kristen dapat memengaruhi masyarakat non Kristen.

Sebelum penemuan lemari pendingin, garam adalah bahan pengawet yang paling dikenal oleh masyarakat. Pembusukan daging dan ikan dapat diperlambat dengan merendamnya pada air garam. Terang lebih mencolok lagi, jika lampu dinyalakan maka kondisi gelap berubah menjadi terang. Demikian juga orang Kristen mempengaruhi masyarakat dengan mencegah pembusukan dan kegelapan, dan menjadi terang dalam masyarakat sekitarnya.

  1. Orang Kristen harus mempertahankan keunikan Kristiani mereka.

Jika garam tidak mempertahankan keasinannya (menjadi tawar), maka garam itu menjadi tidak ada gunanya. (Roma 12:2)

Kembalipada klasifikasi teman HRD tadi.

Yang dia sebut Garam itu adalah karyawan yang original, tulus hati, bekerja dengan integritas, dan sumbangsihnya nyata bagi perusahaan.

Yang disebutnya Vetsin adalah mereka yang terlihat ramah, manis dan pintar berbasa-basi, pintar mengambil hati orang, tapi kinerjanya minus. Biasanya mereka adalah penjilat. Manis di luar, busuk di dalam, dan potensial berbahaya bagi perusahaan.

Tahukah anda, manfaat garam sungguh banyak, baik dalam bidang kesehatan, kecantikan, industri, keamanan dan pertanian. Tanpa garam tentu kita tidak akan bisa bertahan hidup. Sebagai contoh, fungsi garam antara lain, memperkuat sistem kekebalan tubuh, membantu menurunkan kadar kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, serta dapat membantu mengatur detak jantung agar lebih teratur, mengontrol gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin yang membantu mempertahankan kadar gula yang tepat dalam tubuh, dan membantu menjaga kekuatan tulang.

Dalam bidang keamanan, di negara-negara yang memiliki empat musim, garam  digunakan untuk pemeliharaan jalan dengan tujuan untuk menjaga mobil, truk, dan bus sekolah sehingga aman di jalan ketika musim dingin bersalju.

Bagaimana dengan vetsin? Vetsin atau istilah lainnya Monosodium Glutamate (MSG) masih sering digunakan sebagai bahan penyedap masakan. Di balik rasa gurih yang ditimbulkan oleh vetsin, ada banyak penyakit mengintai. Contoh efek samping dalam jangka panjang, bisa menjadi penyebab jantung tidak sehat, kanker (MSG dibuat dalam proses pemanasan pada suhu tinggi dan waktu lama sehingga dapat membentuk pirolisis yang bersifat karsinogenik, senyawa berbahaya yang dapat memicu kanker), dan kerusakan sistem syaraf. Konsumsi penyedap rasa dalam jangka panjang terhadap sistem syaraf seperti depresi, migrain, insomnia, juga disorientasi.

Sekarang kembali pada kita, untuk direnungkan. Apakah jati diri anda? Apakah panggilan hidup anda?

Apakah anda adalah garam atau vetsin bagi lingkungan anda?

-*-

 

Martua H. Sianipar

Penulis adalah Alumni UI dan UPH/Karyawan swasta/Majelis HKBP Cinere

 

Daftar Pustaka :

  1. John Stott (GMA Nainggolan), Isu-isu global menantang kepemimpinan Kristen, YKBK,  2000
  2. John Stott (GMA Nainggolan), Khotbah di Bukit, YKBK, 2008
  3. Bruce Milne (Connie Item-Corputty), Mengenali kebenaran, BPK, 1993
  4. Donald Guthrie (Lisda T Gamadhi), Theologi Perjanjian Baru 3, BPK, 1993
  5. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, YKBK, 1998
  6. http://manfaat.co.id/39-manfaat-garam-dalam-berbagai-bidang
  7. http://tradisioanal-obat.blogspot.co.id/2015/05/efek-bahaya-msg-bagi-kesehatan.html

Foto: Pixabay

“Gemuk Ya Sekarang?”

Siapa yang pernah dikomentarin begitu? Saya sih sudah sering banget.

Pertama-tama, saya tidak menampik kenyataan saya gemuk. Mau bagaimana lagi…hidup di bumi Indonesia dengan nasi padangnya yang maknyooooos, untuk saya sih mustahil menahan hasrat makan ini.

Kedua, saya juga enggak akan mau membalas pernyataan orang yang ada tendensi “meledek” atau “menghina” fisik dengan ungkapan serupa. Saya tidak akan mau mengatakan seseorang itu gemuk atau kurus dalam arti yang negatif. Mengapa? Maaf, saya enggak level untuk meledek fisik orang. Saya sekali-sekali tidak akan mau.

Begini. Sebelum ngomong gemuk atau kurus, coba pikir dulu, kira-kira kita nyaman nggak kalau dibilang seperti itu. Sama halnya dengan menanyakan kepada perempuan yang sudah menikah, apakah dia sudah hamil atau belum atau perempuan yang belum menikah, kapan nikahnya, atau kepada laki-laki usia produktif, sudah dapat kerja atau belum.

Saya enggak akan menanyakan hal-hal seperti itu. Orang bilang, itu kan bentuk perhatian, tapi menurut saya bukan. Jika sebuah pernyataan atau pertanyaan sudah tidak menyamankan pihak yang ditanya, itu bukan perhatian namanya. Itu namanya menyusahkan orang lain.

Kalau kita bilang pada orang lain: gemuk ya sekarang? Itu maksudnya apa? Perhatian? Basa basi? Atau hanya sebuah pernyataan untuk mengkonfirmasi bahwa diri sendiri ini langsing dibanding orang yang kita bilang gemuk?

Kalaupun iya itu perhatian atau basa-basi, lebih baik cari kalimat lain yang menunjukkan perhatian atau membuka percakapan, deh. Soalnya, sekalipun yang bersangkutan emang beneran gemuk, pasti dia enggak suka dibilang gemuk.

Mengapa? Karena gemuk itu punya citra negatif dibanding langsing. Dan sekalipun yang punya badan gemuk itu merasa baik-baik saja dengan tubuhnya, tapi ucapan yang bertendensi negatif itu tetap aja tidak sejuk untuk telinga dan hati.

Orang bilang, perkataan orang enggak usah dimasukin ke hati. Iya, itu betul. Tetapi, alangkah baiknya jika kita menjaga perkataan kita agar sebisa mungkin tidak berdampak negatif pada orang lain. Iya kan?

Jadi mulai sekarang, sekalipun untuk kasih perhatian atau basa basi, enggak usah kita bilang: gemuk banget ya sekarang, atau, kok kurus banget sih kayak kurang gizi. Ingat, kita sungguh lebih berharga dibanding hanya menjadi golongan orang yang komen-komen soal gemuk kurus, sudah nikah belum, sudah punya anak belum, sudah kerja belum.

Ada segudang topik menarik untuk dibahas, seperti impian kita apa, produksi terbaru Teater Koma, musik klasik, buku-buku bermutu yang wajib dibaca, debat capres Amrik. Oke, oke, ini topik menarik menurut saya.

Tapi intinya, ada banyak hal yang bisa dibahas selain pertanyaan dangkal macam gemuk kurus, nikah atau enggak, punya anak atau nggak. Be smart and wise, oke?

 

Rouli Esther Pasaribu
Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay