Tag Archives: korupsi

Andai Ditawari Duit Sekoper dari Korupsi e-KTP

Saat ini media dan media sosial sedang ramai menggunjingkan skandal dugaan korupsi proyek e-KTP yang kasusnya sudah memasuki sidang pertama. Baru dua orang yang jadi terdakwa.

Tapi dari dakwaan, kita tahu ada banyak nama yang bermunculan ke permukaan dengan dugaan ikut menerima aliran dana anggaran e-KTP. Dan mereka adalah orang-orang terkemuka: ada yang jadi wakil rakyat, pejabat pemerintahan, bos perusahaan, dan sebagainya.

Semua memang masih membutuhkan pembuktian, terutama di pengadilan. Juga menunggu langkah dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menindaklanjuti keterangan yang muncul dalam berkas dakwaan itu. Meski sudah bisa ditebak, nama-nama yang disebut ramai-ramai membantah.

Kita tahu dari berkas dakwaan, anggaran e-KTP yang Rp6 triliun itu, nyaris setengahnya jadi bancakan ramai-ramai. Sementara faktanya, pembuatan, pendistribusian, dan penggunaan e-KTP sampai saat ini masih bermasalah di sana-sini. Ini bukti bahwa korupsi dan suap, jelas hanya akan mendatangkan keburukan.

Korupsi berasal dari bahasa latin “Corruptio” dari kata kerja “Corrumpere” yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan korupsi itu sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian, menghambat pembangunan. Korupsi tidak akan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Dari sudut pandang kekristenan, Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa suap hanya akan “membuat buta mata orang-orang bijaksana” dan “memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar”. (Keluaran 23:8).

Lihat, dari segala sisi suap itu sangat merusak! Ia merusak orang-orang bijaksana dan benar. Apa yang menjadi penyebab orang jatuh dalam dosa semacam itu? Hasrat untuk “memburu uang” dan “keinginan menjadi kaya”.

Mari cek perkataan Rasul Paulus berikut: Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. (1 Timotius 6:9-10)

Kasus e-KTP adalah kasus mega korupsi, kata sebagian orang. Tapi praktek korupsi dan suap, sebetulnya bisa terjadi dalam berbagai skala dan menimpa siapa saja. Termasuk saya, kalian, dan siapa saja.

Karena akarnya sudah ketahuan dengan gamblang, sebetulnya kita sudah tahu bagaimana menghindarkan diri dari jerat berbahaya semacam korupsi dan suap.

Kita harus tahu bahwa sumber berkat adalah Tuhan sendiri. Pada Ulangan 8:18 sudah disebutkan: “Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan,…”

Juga jagalah selalu hati yang takut akan Tuhan. Sebab pemilik sikap semacam itu akan selamat dan itu juga menjadi dasar baginya untuk mendapatkan hujan berkat dari Tuhan (Mazmur 34:9; 115:13; 128:4).

Kalau kita tak mendedikasikan diri untuk mengejar uang dan kekayaan, kemudian kita selalu hidup takut akan Tuhan, saya yakin, tak ada lagi alasan dan godaan untuk melakukan korupsi. Ditawari duit sekoper di depan mata, saya percaya, kita akan bergeming saja.

Hakim Konstitusi, Orang Farisi, dan Daging Sapi

Salah satu perumpamaan yang paling terkenal yang pernah diucapkan Yesus adalah perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Perumpamaan ini bisa dilihat di Lukas 18:9-14.

Yesus berkisah tentang orang Farisi yang masuk ke Bait Allah dan berdoa,”Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain.”

Dan selanjutnya, doa yang diucapkan si Farisi ini memperlihatkan kesombongan rohani karena dia berkata bahwa dia bukan orang jahat, tidak berzinah, sering puasa, dan Tuhan pasti senang dengan dia karena telah menjalankan semua perintah Tuhan.

“Aku tidak sama dengan semua orang lain”. Keren sekali doanya. Percaya diri tinggi, seolah sekaveling sorga telah menanti untuk dihuni.

Kemudian Yesus melanjutkan perumpamaannya, tentang seorang pemungut cukai yang saat berdoa malah berdiri jauh-jauh dari orang lain. “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”

Kaum Farisi adalah pemimpin spiritual Yahudi pada masa Bait Allah ke-2, sekitar abad ke 2 SM. Sementara itu, pemungut cukai semacam aparatur negara, dalam hal ini Romawi, yang bertugas mengumpulkan pajak dari masyarakat Yahudi untuk diserahkan kepada pemerintah Romawi di Palestina.

Dan Yesus berkata selanjutnya, dan ini salah satu ucapan yang paling sering kita dengar: “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

 

Ditinggikan, Direndahkan

Mendengar penangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, saya teringat pada perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai ini. Dan sepertinya pembandingan ini juga sudah menghiasi dunia media sosial.

Tak lama setelah Patrialis ditangkap, meme telah beredar bagaimana Patrialis pernah mengatakan,”Jangan pilih pemimpin kafir.” Jelas ini merujuk pada Pilkada DKI dimana pasangan nomor urut 2, Basuki Tjahaya Purnama, yang beragama Kristen maju bertarung.

Loh, kapasitasnya padahal Hakim Konstitusi yang bisa memutuskan perubahan UU, seharusnya dia bisa bersikap netral atau bahkan malah lebih mumpuni memahami permasalahan baik dari sisi keagamaan maupun politik kebangsaan.

Seram sekali. Pantas jika kita mencurigai judicial review yang diajukan Basuki atau Ahok sebelum masa kampanye terkatung-katung dan sekarang kita tidak tahu juntrungan-nya.

Ketika orang sekapasitas begini malah menunjuk orang lain sebagai kafir. Jika begitu, pastilah dia telah menempatkan dirinya di posisi lebih tinggi secara keimanan dan “kedekatannya pada Tuhan” dari pada orang yang ditunjuk kafir.

Uniknya, Ketua Dewan Etik Hakim Mahkamah Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar mengungkapkan bahwa Hakim Konstitusi Patrialis Akbar termasuk yang paling sering diperiksa bahkan ditegor. “Beliau hakim konstitusi yang sering diperiksa oleh Dewan Etik. Dia malah ingin ikutan aksi demo Ahok di Monas itu. Ya saya larang, saya bilang, jangan bikin kegaduhan,” kata Mukthie kepada sebuah stasiun televisi.

“Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Nah, dunia Patrialis sekarang berbalik 180 derajat. Operasi Tangkap Tangan alias OTT yang dilakukan KPK jadi penyebabnya. Patrialis ditangkap di sebuah mal saat berjalan dengan seorang wanita.

Suap diduga terkait pengurusan perkara judicial review (uji materi) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU ini mengatur impor daging sapi berbasis zona, bukan berbasis negara. Nah deja vu! Lagi-lagi urusan daging sapi.

Pemberi suap dalam perkara ini adalah pengusaha Basuki Hariman yang telah muncul ke publik saat menjadi saksi kasus suap impor daging sapi yang melibatkan PT Indoguna dengan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.

Namun, ini seperti yang dikatakan mantan Ketua MK Mahfud MD,”Lebih seram! Karena ini mengubah UU dan ini harganya bisa puluhan miliar.”

“Harga satu kasus pilkada saja Rp 2-5 miliar seperti yang terungkap dari kasus Akil Muchtar, tapi kalau kasus sekarang lebih gila lagi karena ini mengubah UU dan ini harganya bisa puluhan miliar, karena mempengaruhi banyak orang bukan kayak pilkada yang dirugikan cuma orang-orang yang berperkara,” kata Mahfud.

Nah, kalau sudah tertangkap KPK begini, jadilah Patrialis “seseorang yang meninggikan diri kemudian direndahkan.” Jabatan di bidang politik dan hukum yang pernah dia jabat, seperti anggota DPR dua periode, Menteri Hukum dan HAM, dan terakhir Hakim di Mahkamah Konstitusi, membuat Patrialils mungkin merasa terbang tinggi di alam bebas seperti burung elang yang terbang tinggi, namun kemudian tertubruk gunung egonya sendiri.

Sementara orang yang ditunjuk-tunjuk sebagai kafir, yang didemo habis-habisan saat demo 411 dan 212–demo yang ingin diikuti si Hakim Konsititusi ini–karena dianggap menista agama, sekarang sedang menikmati arus balik dukungan. Setidaknya sampai saat ini, beberapa polling center memberi data bahwa pasangan Ahok-Djarot mulai kembali berada di posisi satu menuju kursi DKI 1.

Pesan moral dari kasus Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ini: Hati-hatilah dalam bersikap, rendah hatilah, karena dengan rendah hati dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, Anda akan dihormati dunia. Namun, jika Anda merasa lebih tinggi dan berhak memberi cap negatif ke orang lain, Anda juga yang akan terpeleset dan terjerembab ke posisi terendah.

Sisi Lain Kasus Ahok

Tentu saja saya bersimpati pada Ahok, terlepas dari dia berposisi minoritas seperti saya yang pelik dan tak mudah mengharap kesetaraan sebagaimana jaminan konstitusi negara mengenai kebebasan menganut suatu keyakinan agama.

Kuatnya desakan untuk membuat dirinya terpidana dan “masifikasi’ perlawanan pada dirinya–sebelum kasus atau tuduhan penodaan agama–dengan meletupkan pelbagai tuduhan dan isu, itu yang terutama membuat saya melihat unfairness dan lebih dilandasi energi kebencian pada dirinya.

Kebencian karena pelbagai alasan, motif, namun bila para pembenci itu jujur, lebih karena ia seorang petahana yang paling mudah meraup suara dukungan untuk jadi Gubernur DKI berikutnya.

Ia fenomenal, didukung tak hanya orang-orang berpendidikan, para white collars, namun juga kalangan jelata yang minim pendidikan. Tak pandang suku, agama, dsb. Dalam waktu singkat dan tanpa dia rekayasa, sejuta lebih KTP warga DKI yang heterogen, berhasil dikumpulkan “Teman Ahok” yang hanya beberapa orang muda penggagasnya.

Berduyun-duyun orang, tak pandang suku, agama, strata sosial, sukarela dan girang menyerahkan fotokopi KTP; tentu saja itu fenomena yang mencengangkan, mengundang decak kagum, walau di seberang–yakni para penentang dan yang semakin khawatir tak bisa lagi menjadikan uang Pemprov DKI Jakarta jadi bancakan–bertambah gelisah dan geram.

Semua tahu, segala cara diupayakan untuk mengadangnya, termasuk orang-orang parpol yang sebelumnya tak mau mendukungnya namun kemudian hanya bisa mingkem setelah bos-bos partai memutuskan dukungan. Popularitas, daya pikat Ahok, dan dinamika politik yang tak biasa itu, barangkali baru kali ini terjadi dalam sejarah perebutan kekuasaan di negara ini.

Ahok yang menjadi idola dalam waktu cepat tanpa biaya PR, hanya karena keberanian dan ketegasan, berbahasa ceplas-ceplos namun logis, bernalar, yang kemudian disebut “kasar,” “tidak sopan,” “sombong,” dsb, oleh para penentangnya.

Ahok yang kelewat pede dengan pikirannya membenahi Jakarta dengan logika-logika yang kukuh dipercayainya–termasuk mengembalikan bantaran kali dari pemukiman slums, ilegal, terlepas dari pemihakan pada kaum marjinal yang digusur dan dipindahkan ke rusun-rusun yang disiapkan Pemprov.

Ahok yang menutup secara ketat keran uang pada mereka yang dianggap lazim bila pejabat Pemprov berkolaborasi dengan politisi, pengusaha, kontraktor, membagi-bagi proyek–termasuk me-mark up anggaran, dsb.

Ahok yang membuat resah para pejabat dan pegawai Pemprov DKI karena menerapkan disiplin yang ketat, memecat dan mengangkat pejabat dan aparat setiap saat dia mau lakukan bila menurutnya tak becus kerja, menyemprot bawahan di hadapan pewarta dan siapa saja.

Ahok yang kelewat bersemangat ingin mengubah mentalitas dan sistem di lingkungan administrasi pengurus ibukota dalam waktu singkat hingga mengabaikan unsur sensitivitas bahwa ia seorang yang dianggap minoritas namun kok kelewat berani, dan bekerja terang-terangan pula, termasuk mengungkapkan kebobrokan pejabat serta permainan anggaran ratusan milyar rupiah setiap tahun.

Ahok yang tak peduli resistensi dari yang tak “bahagia” (dan itu ada banyak) yang berniat menggulingkannya melalui cara apa saja, lalu membentuk aliansi-aliansi.

Maka, tanpa kasus (tuduhan) penodaan agama itu pun Ahok telah banyak mengumpulkan pembenci. Mulai dari yang mengandalkan isu sektarianisme-primordialisme, sentimen antietnis tertentu, ditambah “warisan” perseteruan pasca dan post pilpres, hingga para orang terdidik yang sebelumnya bersikap “objektif dan netral” namun berbeda paradigma serta pendekatan mengenai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pinggiran.

Ahok yang ironis karena di satu sisi ada berjuta penggemar namun di sisi lain tak kalah banyak pula yang membenci–walau berdalih ini itu namun kandungan kebencian tetap tak tertepis.

Tak ada lagi yang perlu disesali karena toh tak mungkin mengembalikan ke situasi sebelum penyebaran video editan oknum bernama BY itu menyebar dan mengundang amarah; sesuatu yang masih terus menjadi bahan perdebatan dan gunjing yang hanya berisi dua warna: bukan penodaan agama dan sebaliknya, itu masuk kategori penistaan.

Hiruk-pikuk dan pertengkaran yang membela dan membenci Ahok sungguh-sungguh melelahkan, bukan lagi sebatas persoalan lokal namun nasional, bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Ahok yang fenomenal dan kontroversial!

Ada banyak yang bersorak atas pengadilannya yang dimulai hari ini, ada banyak yang emosional dan terharu hingga mengaku sampai meneteskan airmata. Airmata–serta doa–untuk yang mereka percaya hendak membangun ibukota yang dampaknya melanda ke semua penjuru wilayah negara.

Dampak positif tentu saja karena telah kelamaan masyarakat yang kritis muak menyaksikan ulah para pemimpin–termasuk di daerah mereka. Mereka begitu emosional dan sampai menangis karena merasa dan percaya, Ahok adalah idola, harapan, bagi perbaikan Indonesia; berasal dari berbagai suku dan agama serta lapisan sosial.

Maka, pengadilan Ahok adalah pula pertarungan antara akal sehat dan emosi yang bisa menguras enerji di kalangan yang mendukung dan membenci. Ada setitik harapan bahwa hukum akan dijalankan aparat pelaksana dengan benar–setidaknya mengindahkan prinsip dan moral HAM yang dianut PBB.

Salah satu: menjamin peradilan yang bebas dari intervensi, menjaga fairness, bagi siapa saja manusia di muka bumi ini–namun lebih dominan bayangan kekecewaan, bahkan kecemasan: Ahok akan dihukum, dipenjara, sementara ia dipercaya pendukungnya atau yang masih mempertahankan akal sehat: tak berniat menghina suatu agama

Bukan tak mungkin Ahok akan terjerat pasal pidana mengenai penodaan agama–walau pada yang lebih keras dan jelas melakukan tak dijerat, entah karena apa–dan dihukum majelis hakim yang menyidangkan; entah percobaan atau kurungan. Barangkali, majelis hakim yang menangani perkara pun masih berbeda pikiran karena pelbagai pertimbangan, terutama unsur pidana, dan tekanan massa di sisi lain.

Maka, peradilan Ahok akan menjadi peradilan yang amat menegangkan dan krusial–bahkan amat kritis–tak hanya bagi rakyat Indonesia, pula majelis hakim yang menyidangkan perkara. Bagi masyarakat luas, hanya ada dua keinginan: bagi pembenci, ia layak dihukum, dan bagi yang bersimpati, ia patut dibebaskan dari segala tuduhan.

Pengadilan Ahok pun bukan lagi arena peradilan atas pelanggaran suatu pasal pidana mengenai penodaan agama belaka, namun memiliki spektrum yang lebih luas dan mengguncangkan.

Tak mudah tentu bagi majelis hakim yang menyidangkan. Sangat tak mudah, dan biarlah itu menjadi pertaruhan integritas dan kredibilitas mereka menjalankan pekerjaan, terutama pada sumpah yang telah diaminkan saat dinobatkan jadi hakim; pengadil yang tak boleh berpihak selain pada keadilan itu sendiri, yang berasal dari ilmu hukum, doktrin, filosofi, dan norma-norma hukum yang disodorkan kitab-kitab hukum–meskipun tak mampu memenuhi kemauan semua pihak, yang menghendakinya dihukum atau dibebaskan.

Saya kira, Ahok telah memikirkan hal terburuk, di luar yang dibayangkan para simpatisannya, dan juga sudah menyiapkan dirinya. Bagi saya, yang kini terjadi atau akhirnya dialami Ahok, kembali mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang kelewat sensitif bila menyangkut isu agama.

Karenanya jangan coba-coba menyepelekan meskipun tak ada motif melecehkan. Hanya akal sehat dan keluasan wawasan yang mampu menetralisir. Sementara, itu suatu hal yang sulit diharapkan merata dimiliki 250 jutaan warga yang amat beragam latar belakang, pendidikan, keyakinan, pergaulan, dan cara pandang.

Dengan kata lain, kasus Ahok ini “hanya” pengingat betapa kita belum boleh berharap banyak mengenai kedewasaan berpikir seluruh unsur masyarakat yang merata. Karenanya berhati-hatilah selain turut serta menjadi penganjur keutamaan akal sehat, mendorong upaya-upaya pencerdasan di lingkungan terdekat–antara lain melalui media sosial–dan tak turut di barisan kaum pandir yang malas berpikir.

Pendidikan formal itu amat penting, berguna banyak, namun yang terutama ialah: untuk membangun kerangka pikir yang logis dan bernalar, membongkar kepicikan atau kegelapan pikiran, membangun kesadaran bahwa alam dan manusia tak sesimpel yang tersimpan di benak, baik karena ajaran, doktrin, dogma, maupun mitos-mitos yang terwariskan.

Mari redam emosi, sesekali penting pula merenungkan betapa absurd dan kejam bila menyangkut “urusan dan perjuangan menggapai keadilan,” sambil mengingat beratus ribu manusia Indonesia yang (pernah) menjadi korban. Antara lain, mereka yang dihukum tanpa proses peradilan yang sesuai dengan kaedah hukum pasca G 30 S. Orang-orang yang dihukum mati tanpa suatu kesalahan yang telah dibuktikan melalui persidangan.

Perjalanan Ahok akan menjadi catatan penting dalam perjuangan keadilan, namun yang dialaminya tak seberapa dibanding korban-korban kekejaman suatu rezim atau penguasa di negara ini, pun di negara lain. Semoga ia kuat dan pendukungnya tetap mengutamakan akal sehat.

Mungkin ada yang tak gembira dengan catatan singkat ini, tak mengapa, karena saya pun tengah mendidik diri saya agar terus membiasakan berpikir tenang, konstruktif, selalu memikirkan berbagai aspek, dimensional, suka atau tak suka, setuju atau menentang situasi yang tak menyenangkan ini.

 

Foto: Admin Petraonline.net