Tag Archives: kecelakaan

Apakah Korban Kecelakaan atau Bencana Alam Karena Tidak Disayang Tuhan?

Bila tiap bencana atau musibah lantas membawa-bawa Tuhan, baik karena kehendak atau amarah dan azabnya, penganut paham atheisme akan kembali tertawa dan menyebut betapa tolol orang beragama. Tuhan (yang dikonstruksikan dan dipersepsikan sesuai kepercayaan dan iman tiap orang) pun kembali digugat, dianggap tak adil, pula dimarahi orang-orang yang tertimpa musibah atau yang merasakan kemalangan.

Tetapi dukacita merupakan bagian dari kefanaan, tak kenal usia, agama, gender, kasta, status sosial. Bahkan seorang Vichai yang disebut salah satu orang terkaya Thailand dan pemilik klub sepakbola Leicester City, Sabtu kemarin tewas bersama crew dan penumpang lain helikopter pribadinya akibat jatuh di halaman stadion King Power seusai menyaksikan pertandingan Liga Primer Inggris antara Leicester vs West Ham United.

Helikopter pribadinya itu tentu berharga mahal dan dirawat telaten, dikemudikan pilot pilihan yang dibayar mahal. Vichai bisa mengeluarkan uangnya yang amat banyak itu untuk memproteksi dirinya, tetapi ternyata ada yang disebut ajal; sesuatu yang tak terpahami dan masih dikurung misteri.

Human error, ketidaktelitian, kesalahan teknologi, pelanggaran SOP, cuaca buruk, dan lain-lain, bisa menyebabkan kecelakaan. Bencana akibat fenomena atau peristiwa alam macam gempa dan tsunami atau serangan topan, bisa dijelaskan sains dan ilmu pengetahuan yang kian maju, namun bagaimana menghentikan belum bisa diupayakan manusia–kecuali memberi peringatan dini dan menyiapkan upaya penyelamatan.

Musibah dan bencana yang menghasilkan dukacita dan derita, seperti membayangi tiap insan di belahan mana pun di dunia ini. Tak memilih hanya di negara atau masyarakat yang bertuhan atau pada yang mengandalkan akal; tak memilah di negara agamis atau condong atheis. Tak memilih di negara kaya raya atau di wilayah miskin seperti Banglades.

Penemu sains-teknologi dan ilmuan terus berupaya menemukan teknologi terbaik dan memutakhirkan upaya penyelamatan. Pemerintah-pemerintah dan pihak yang berotoritas (terutama di negara maju) pun terus memperbarui standar keselamatan di berbagai bidang untuk menghindari celaka dan bencana. Nyatanya selalu terjadi dan dari kejadian atau peristiwalah dipikirkan perbaikan, begitu seterusnya.

Lalu, apakah setiap korban kecelakaan atau bencana alam karena tidak disayang Tuhan (seperti apapun Tuhan dikonstruksikan atau dipersepsikan tiap yang percaya) dan sebaliknya yang selamat karena Tuhan (masih) sayang?

Bagi yang membuka pikiran selebarnya, hal-hal di atas menjadi bagian dari eksplorasi atau pergumulan pikiran–yang tak berkesudahan. Namun, bagi yang mengurung pikiran dengan ayat-ayat suci maupun ujaran agamawan, jawaban hanya berakhir di frasa “Tuhan masih sayang” atau sebaliknya, “Tuhan telah memanggil”, atau “Tuhan murka.”

Galibnya, lantas terjadi atau muncullah aneka gugatan pada Tuhan, terutama karena dianggap tak adil, atau kejam. Gugatan-gugatan yang menambah tawa para penganut atheisme atau yang mengutamakan akal pikiran.

Sebagai insan berjiwa dan berpikir, saya mengajari diri memiliki empati saja. Mau merasakan sebagaimana yang dirasakan orang-orang yang dihajar bencana alam atau yang ikut dalam suatu peristiwa celaka. Mau memindahkan perasaan sebagaimana yang dirasakan atau dialami atau diderita orang-orang yang amat tersiksa akibat suatu penyakit.

Bila ingin mendoakan, cukup kulafalkan dari mulut–walau seperti bisik. Bukan melalui jari-jari atau ajakan namun tak melafalkan karena itu seperti pemanis saja. Sementara dukacita dan derita tak memerlukan kata-kata pemanis, bahkan lebih melegakan melalui raung tangis.

“Molo dung tingkina, dang tarambatan,” kata orang tua-orang tua dulu di kampung saya. Artinya: Bila saatnya tiba, tak ada yang bisa menghambat.

Terus terang, tak mudah dan masih kesulitan saya menerima. Bisa jadi karena kadar iman saya masih rendah, atau semata karena sulitnya memahami pergumulan manusia.