Tag Archives: Keberagaman

Belajar Bersyukur menjadi Indonesia

Bagaimana mengajarkan anak mengenai Indonesia dan kebinekaan serta keberagamannya? Bukan perkara mudah sebetulnya.

Apalagi kalau kita terbiasa menyekolahkan anak di sekolah berbasis Kristen atau Katolik sejak Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah.

Anak terbiasa bergaul dengan kelompok homogen sejak muda. Bagaimana saat mereka harus bergaul dengan sekeliling yang heterogen, kemudian dihina atau diejek oleh anak-anak muda lain karena keminoritasannya?

Apalagi situasi akhir-akhir ini, sejak masa pemilihan presiden 2014 dan kemudian makin mengental saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Isu SARA menjadi mainan politik. Akibatnya, kebinekaan Indonesia berada di ujung tanduk. Bibit-bibit intoleransi bahkan sudah tumbuh pada anak-anak, seperti video yang viral di media sosial.

Tapi sebagai orang Kristen, membalas sikap intoleransi dengan sikap intoleransi, jelas jauh dari ajaran Kristus mengenai kasih. (Baca: Omong Kosong Soal Pribumi – Non Pribumi)

Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian komunitas persekutuan alumni Kristen SMA Negeri 13 Jakarta dan mendasari diadakannya Bible Camp bertajuk “Bersyukur menjadi Indonesia”, yang diadakan di Tanakita, Sukabumi, 25-27 Juni 2017 kemarin.

Sekitar 30 anak, dari usia Taman Kanak-Kanak hingga SMA, disatukan di bumi perkemahan itu untuk dididik menjadi anak-anak yang cinta Tuhan Yesus, berdisiplin, sekaligus menghargai perbedaan dan mengerti bagaimana bertoleransi di tengah kebinekaan negeri ini.

Betapa kita tidak bersyukur
bertanah air kaya dan subur;
lautnya luas, gunungnya megah,
menghijau padang, bukit dan lembah.

Refrein:
Itu semua berkat karunia Allah
yang Agung, Mahakuasa;
itu semua berkat karunia Allah
yang Agung, Mahakuasa.

Lagu di atas adalah semacam lagu tema Bible Camp itu. Anak-anak diajak bersyukur pada indahnya Indonesia, dengan segala isinya. Tak hanya keindahan alam, tapi juga keindahan perbedaan agama, warna kulit, suku, di dalamnya.

Bagaimana caranya? Dengan mempraktekkan hukum kasih yang menjadi landasan ajaran Kekristenan. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap akal budimu. Kasihilah sesamamu sebagaimana engkau mengasihi dirimu sendiri.”

Bagaimana mengasihi orang lain yang berbeda dengan kita? Saya kira, implementasinya tepat seperti yang dikatakan Rasul Paulus kepada jemaat Korintus di 1 Korintus 13: 4-8:
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.

Sedang orangtua yang ikut juga dalam kegiatan itu, banyak berdiskusi dalam forum yang diadakan panitia setiap hari. Dimulai dari bahasan mengenai bagaimana mendidik anak dalam ajaran kasih dan bagaimana ajaran kasih itu bisa menjadi landasan anak dalam bertoleransi dengan orang lain yang berbeda dengannya.

Kemudian, berdiskusi melalui pengalaman masing-masing orangtua, tentang bagaimana menjadi orang Kristen yang bisa berdampak bagi sekelilingnya. Ada orangtua yang mengatakan, salah satu cara paling simpel adalah dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan rumahnya.

Orang Kristen jangan menjadi kaum pasif, atau malah cenderung menjauhkan diri dari pergaulan dengan tetangga, RT, atau lingkungan sekitarnya. Ketika orang Kristen terlibat di lingkungannya, ini bisa menjadi cara mengubah pandangan orang-orang terhadap Kekristenan. Jadikanlah hidup penuh kasih di tengah keluarga kemudian jadi kesaksian bagi orang lain. (Baca: Wonder Woman dan Pelajaran Cinta)

Pada bagian akhir, Pendeta Fidel Ramond, salah satu alumnus SMA 13, menyampaikan bahwa rahasia menjadi berkat bagi sekeliling adalah dengan hidup jadi orang Kristen yang sungguh-sungguh dengan menjadikan Yesus sebagai teladan.

“Tuhan Yesus tidak meminta kita jadi orang baik saja, karena ada banyak orang di luar sana yang jauh lebih baik sikapnya ketimbang orang Kristen,” katanya. “Tapi yang Tuhan mau adalah kita menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh.”

Memang untuk hidup sungguh-sungguh itu tak mudah. Pendeta Fidel mencontohkan hidup Rasul Paulus, yang hidup bersungguh-sungguh dengan Tuhan, meninggalkan zona nyamannya sebagai pemuka agama dan orang penting, hanya untuk kemudian menjadi pengikut Kristus yang hidupnya sengsara sampai mati sebagai martir.

Tapi percayalah, kata sang pendeta, batas antara hidup di dunia dan kekekalan itu hanya setipis tirai. Pada kekekalan, hanya ada dua pilihan abadi: surga atau neraka. Mana yang kita pilih? Pilihan ditentukan ketika kita masih hidup, bukan saat kita sudah mati.

Foto: Dok Pribadi

Ancaman Keragaman dalam Kasus Baliho UKDW

Belum juga usai riuh-rendah di dunia nyata dan maya terkait kasus tuduhan penistaan agama terhadap Ahok dan aksi massa 411 & 212, masyarakat sudah tersuguhi peristiwa pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Ibadah Natal yang digelar pada 6 Desember 2016 di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, oleh kelompok yang menamakan dirinya Pembela Ahlus Sunnah (PAS).

Hanya selang sehari kemudian, giliran warga Yogyakarta yang mendapati peristiwa yang mirip: Forum Umat Islam (FUI) memaksa turun baliho di depan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta yang memuat foto perempuan muslimah berjilbab. Pemaksaan itu juga disertai ancaman: jika baliho tidak diturunkan, mereka sendiri yang akan menurunkannya.

Menurut FUI, universitas yang mayoritas mahasiswanya beragama Kristen tersebut tidak pantas memasang spanduk perempuan berjilbab. Rektor UKDW Dr. Henry Feriadi dalam konferensi persnya mengatakan bahwa foto-foto dalam baliho tersebut adalah mahasiswa-mahasiswi UKDW yang berprestasi.

Salah satu di antara mereka adalah seorang mahasiswi muslim, yang terpilih melalui proses seleksi untuk ikut dalam foto materi promosi penerimaan mahasiswa baru. Feriadi menambahkan, mahasiswa senang jika foto mereka bisa masuk dalam materi promosi universitas dan mereka melakukannya tanpa paksaan. Namun karena desakan FUI, pihak UKDW akhirnya menurunkan baliho pada beberapa titik di depan UKDW.

Pemaksaan oleh FUI tersebut, meskipun tampak sebagai peristiwa kecil, sekadar menyangkut baliho, mengandung beberapa problem serius, dan nilai penghargaan atas keragaman Yogyakarta yang menjadi taruhannya.

Pertama, peristiwa tersebut mencoreng citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang multikultural. Salah satu ciri masyarakat multikultur ialah keterbukaan untuk mengelola dan merayakan situasi keragaman secara beradab.

Kota Yogyakarta memiliki sejarah panjang dalam merawat benih kebinekaan Indonesia, antara lain dalam kontribusinya sebagai “rumah belajar” bagi puluhan ribu pelajar dan mahasiswa dari berbagai latar belakang agama, etnis, bahasa dan warna kulit, dari berbagai penjuru tanah air.

Interaksi multikultural di Yogyakarta telah terjalin erat tidak hanya dalam pergaulan bermasyarakat pada umumnya tetapi juga di dunia akademik, baik di universitas negeri maupun swasta, termasuk yang berafiliasi pada institusi keagamaan.

Oleh karena itu adalah suatu yang wajar jika pihak pengelola universitas mempromosikan kondisi kemajemukan dalam materi promosi penerimaan mahasiswa baru sebagai refleksi dari kondisi riil masyarakat Indonesia dan Yogyakarta secara spesifik. Representasi keragaman dapat diamati dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan universitas-universitas tersebut.

Kedua, peristiwa tersebut menafikan kondisi UKDW yang beragam. Sejak 1985 saat UKDW didirikan, atau bahkan sejak 1962 ketika masih bernama Sekolah Tinggi Teologia, perjumpaan komunitas muslim dan kristen di UKDW bukanlah hal baru, baik di luar maupun di dalam kampus.

Di Fakultas Teologi UKDW terdapat sejumlah muslim yang telah puluhan tahun mengabdi. Program pendidikan bersama antara UKDW dan UIN Sunan Kalijaga juga telah berlangsung lama. Fakta bahwa dosen-dosen dari Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga juga mengajar di Fakultas Teologi UKDW, atau sebaliknya, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Proses interaksi ini juga berlangsung intens di kalangan mahasiswanya.

Program pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga menjadi salah satu pilihan bagi lulusan UKDW untuk melanjutkan studinya. Sebagai contoh, pendeta mahasiswa UKDW saat ini adalah seorang perempuan alumnus Fakultas Teologi UKDW yang mengenyam pendidikan S2 di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Contoh sebaliknya adalah Siti Rofiah, seorang pengajar di PP Al-Falah Salatiga yang alumnus program S2 Kajian Konflik dan Perdamaian (MAPS) UKDW. Pada laman Facebooknya, Siti Rofiah menuliskan bagaimana ia menerima perlakukan yang sangat baik tanpa diskriminasi selama ia menjadi mahasiswa di UKDW. Ia bahkan menulis bahwa untuk urusan wudu ada petugas cleaning service yang selalu membantu mencarikan sandal jepit baginya.

Di samping itu, bersama UIN Sunan Kalijaga dan UGM, UKDW telah mendirikan suatu konsorsium untuk pendidikan doktoral dalam studi antaragama, yaitu ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), yang bertempat di Sekolah Pascasarjana UGM.

Di fakultas-fakultas lain pun ada mahasiswa non-kristiani. Pada tahun 2016 terdapat 7 persen dari total 3.500 mahasiswa UKDW yang berasal dari latar belakang non-kristiani, baik muslim, hindu, buddha, maupun konghucu. Kondisi tersebut memungkinkan mahasiswa maupun penyelenggara pendidikan mengalami proses interaksi dengan sesamanya dari berbagai latar belakang yang berbeda.

Para orang tua mahasiswa dari latar belakang non-kristiani juga mulai memercayakan anak-anaknya untuk belajar di Fakultas Kedokteran UKDW, yang didirikan pada tahun 2009. Hingga 2016, Fakultas Kedokteran UKDW telah menamatkan dan melantik 40 orang dokter yang berasal dari pelbagai latar belakang etnis dan agama, termasuk muslim.

Dalam upacara pelantikan juga wajib hadir perwakilan tokoh-tokoh agama, termasuk perwakilan dari pemimpin agama Islam untuk mendampingi pengambilan sumpah pelantikan dokter.

Proses interaksi antarmahasiswa dari berbagai latarbelakang tersebut merupakan suatu pengalaman yang penting dan perlu diadakan, karena di masyarakat mereka akan berjumpa dengan kondisi yang plural, baik dari segi etnis, latar belakang sosial ekonomi maupun agama.

Dengan demikian, menolak representasi keragaman mahasiswa dalam baliho di UKDW tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi di universitas, tetapi juga menyangkal adanya fakta bahwa latar belakang peserta didik di universitas tersebut cukup beragaam.

Ketiga, peristiwa tersebut merupakan ancaman terhadap “ruang perjumpaan” masyarakat. Universitas adalah tempat di mana peserta didik mengembangkan kebebasan berpikir dan berekspresi dan kepekaan sosial yang dicapai bukan hanya melalui proses belajar-mengajar di kelas, melainkan juga dari pengalaman dan interaksi baik sesama peserta didik maupun dengan masyarakat sekitar. Dengan pengalaman itu, mereka diharapkan siap untuk berbaur dengan dengan kondisi riil masyarakat yang beragam ketika mereka menyelesaikan pendidikannya.

Ruang perjumpaan bagi muslim dan kristiani itu perlu dijaga. Tidak banyak sekolah yang berafiliasi dengan lembaga keagamaan yang menyediakan ruang perjumpaan bagi orang-orang yang berbeda agama. Alih-alih merayakan keragaman, banyak lembaga pendidikan yang justru membudayakan keseragaman dan menyelenggarakan pendidikan yang monolitik untuk satu agama saja.

Dengan demikian, pemaksaan penurunan baliho tersebut bukan sekadar menyangkut representasi fakta keragaman mahasiswa UKDW, melainkan juga merupakan ancaman terhadap keterbukaan ruang yang plural yang merupakan fondasi toleransi.

Lebih jauh, jika kelompok yang memaksa penurunan baliho itu menyebut dirinya Forum Umat Islam, kita bisa bertanya: muslim mana yang mereka wakili? Tentu bukan muslim yang menjadi mahasiswa ataupun orang tua mereka yang mempercayakan pendidikan anaknya di UKDW; bukan pula dosen-dosen muslim yang telah bertahun-tahun bekerjasama dengan UKDW dari UIN Sunan Kalijaga ataupun UGM untuk mengembangkan studi agama yang inklusif.

Lebih dari masalah baliho, rekam jejak FUI harus mendapat catatan khusus. Tidak seperti Pembela Ahlus Sunnah (PAS), FUI sudah lama bergerak bebas di Yogyakarta.

Kita bisa mendaftar aksi-aksi vigilantismenya, antara lain: pemaksaan pembatalan diskusi di UIN Yogyakarta yang menghadirkan pembicara dari tokoh Syiah; pembubaran pesantren waria, Al-Fatah; penyebaran spanduk-spanduk berisi ujaran kebencan terhadap Syiah, komunis, dan LGBT di banyak jalan besar di Yogyakarta; dan pembubaran acara peringatan Hari Pers Dunia yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen.

Fakta bahwa aksi-aksi ini dibiarkan—dan semua aksi ini dilakukan hanya dalam setahun terakhir—merupakan persoalan yang sangat serius.

Tidak seperti Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang sigap merespons dan sudah berencana menindak ormas PAS, hingga artikel ini selesai ditulis bahkan belum ada sepatah katapun muncul dari Wali Kota Yogyakarta maupun Gubernur DIY. Tidak berlebihan jika muncul dugaan bahwa di balik aksi-aksi vigilantisme FUI ini ada problem yang lebih sistemik dari yang tampak di permukaan.

Seharusnya pihak keamanan dan pemerintah kota maupun provinsi tidak tinggal diam ketika kelompok-kelompok yang mengklaim mewakili suatu komunitas agama menyebarkan ketakutan. Membiarkan kejadian-kejadian “kecil” seperti ini berarti memberikan lahan subur bagi tumbuhnya sikap keagamaan yang eksklusif.

 

Marthen Tahun

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

http://crcs.ugm.ac.id/news/9785/ancaman-keragaman-dalam-kasus-baliho-ukdw.html

Penulis adalah Staf Peneliti di Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM.

Foto: Merdeka.com/Purnomo Edi

Tidak Semua Orang Makan Nasi

Tahun 2002, saya pertama kali tinggal di Jepang seorang diri, dalam jangka waktu cukup lama, yaitu satu tahun. Saya tinggal di Jepang, tepatnya di kota Kanazawa, prefektur Ishikawa, karena saya mengikuti program Japanese studies. Usia saya saat itu masih paruh pertama 20-an.

Saya tinggal di asrama internasional bersama-sama para mahasiswa asing lainnya dari berbagai negara, mulai dari negara-negara di Asia, Amerika, Eropa, Australia. Yang dari benua Afrika kebetulan enggak ada.

Masing-masing penghuni asrama diberi satu kamar yang meskipun sangat kecil, tapi ajaibnya bisa muat dapur, kulkas kecil, WC plus shower plus wastafel, tempat tidur, meja belajar, lemari, dan beranda untuk jemur baju. Pokoknya bisalah untuk melangsungkan aktivitas hidup sehari-hari di kamar sempit itu.

Terus terang saja, satu hal yang bikin galau ketika awal-awal datang ke Kanazawa adalah perihal saya tidak punya rice cooker. Maklumin deh, dasar orang Indonesia, sekalipun roti, pasta, mie itu secara teori bisa menggantikan nasi, tapi kalau belum makan nasi, rasanya saya belum makan beneran.

Persoalannya, mau beli rice cooker baru itu lumayan mahal juga, dan mikir “hanya” dipakai setahun, sayang uangnya. Selama dua minggu pertama, saya numpang masak nasi di tempat teman Indonesia yang punya rice cooker atau saya makan nasi di kantin kampus.

Saat makan bersama beberapa teman Indonesia, salah seorang di antara teman-teman ini, punya “hobby” suka menelusuri tempat pembuangan sampah di sekitar kampus untuk cari barang-barang elektronik layak pakai.

Akhirnya saya “nitip” rice cooker ke teman saya ini (eh buseeet, di Jepang kok nyari rice cooker bukan di toko tapi di tempat sampah?).

Beberapa hari kemudian, saya ingat banget, pukul 7 pagi, bel kamar saya berbunyi. Masih setengah tidur (sebelum punya anak, saya itu afternoon person, jam 7 masih nyenyak, baru bangun itu paling cepat jam 8 pagi, tapi setelah punya anak, hidup saya sekarang dimulai dari jam 4 pagi) saya berjalan menuju pintu dan membukanya.

Di depan pintu berdiri teman Indonesia, tersenyum lebar dan membawa rice cooker. “Ini!” Ujarnya sambil menyodorkan benda yang saya nanti-nantikan itu.

Saya sangat senang menerima rice cooker dari tempat sampah itu, karena tidak menduga akan mendapatkannya secepat itu. Berulang kali saya mengucapkan terima kasih dan sepanjang hari itu saya sangat senang.

Hari itu saya ingin berbagi kebahagiaan, jadi saya menceritakan kegembiraan saya pada salah seorang teman saya yang berasal dari Polandia. Di akhir cerita, ia menanggapi,

“Kayaknya untuk Rouli, rice cooker itu penting banget ya. Rouli makan nasi tiap hari ya.”

Saya jawab,”Iya, emang Gosha (nama teman saya) enggak?”

Ia menanggapi,”Enggak.”

Saya tanya lagi, “Jadi Gosha makan apa tiap hari?” (Dalam bayangan saya saat itu, semua orang itu pasti butuh makan nasi).

Teman saya menjawab, “Terutama sih roti. Kadang jagung. Tapi kita (maksudnya orang Polandia) jarang makan nasi. Nasi kita jadikan sebagai salah satu bahan salad.” (beneran, ada ini salad nasi. Untuk kita “aneh”, tapi itulah salah satu budaya kuliner Polandia).

Hari itu, pertama kalinya saya sadar, bahwa tidak setiap orang di dunia ini makan nasi sebagai makanan pokok. Dan ngga ada yang salah dengan itu. Teman saya sehat-sehat aja tuh tanpa nasi. Dan saya juga baik-baik aja tanpa salad nasi.

Saya rasa kita semua harus terbuka menerima keberagaman.

Keberagaman SARA, keberagaman budaya, keberagaman pola pikir. Jauh-jauh deh dari fanatisme berlebihan, dari merasa diri paling benar sendiri.

Bukannya apa-apa, kita ini tidak hidup hanya dengan orang-orang yang sama dengan kita aja. Justru kalau dilihat dari perspektif global, yang tidak sama SARA, budaya, pemikiran dengan kita itu malah lebih banyak. Jadi ya sudah tugas setiap makhluklahhhhh untuk mengusahakan perdamaian dengan setiap orang di muka bumi ini.

Tidak semua orang makan nasi. Tidak semua orang makan roti. Dan sungguh, berbeda-beda itu tidak apa-apa, asal selalu ada sikap saling menghormati perbedaan itu.

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay

Rumah ‘Persinggahan’ Toleransi di Tepi Danau Toba

Tiap ada peristiwa atau kejadian macam kasus intoleransi ulah segerombolan orang di Gedung Sabuga, Bandung itu, aku tak hanya bertarung mengelola emosi yang sontak mendidih di dalam diri. Juga, harus menahan kejengkelan karena di antara yang merasa minoritas dan tertindas itu tak saja menyemburkan kegeraman –yang bisa dimaklumkan– namun sebenarnya hanya luapan kesia-siaan, sebab yang namanya kemarahan dan disampaikan dalam bentuk apapun, sebenarnya takkan pernah menginspirasi pikiran dan perbuatan baik yang bermanfaat bagi insan beradab.

Lebih sial lagi, akan ada yang menyindir-nyindir sikapku yang selama ini mencoba bertahan: mengedepankan akal sehat, mendukung harmoni sosial, penekanan agar tetap menghargai kehidupan dan humanisme di tengah ketertekanan–dan gelinjang emosi. Ia atau mereka, agaknya lebih menginginkan aku agar turut seperti mereka: meluapkan kemarahan, menyampaikan sindiran, yang sebenarnya sama-sama ekspresi kebencian.

Provokasi akhirnya melahirkan agitasi; kebencian dihadapi dengan kata-kata kemarahan. Itu bukan (lagi) “kelasku,” dan kau atau kalian boleh mencibir. Tak di tahap itu lagi aku. Tetapi, kepedulianmu (bila merasa begitu), belum tentu lebih tinggi kadarnya dibanding aku, namun caraku berbeda. Dalam pelbagai hal, perlu siasat. Siasat yang lebih cerdas, dan kupilih yang menurutku (menurutku lho) lebih beradab, intelek, hingga tak harus memancing keonaran baru.

Saya, lewat catatan-catatan ringan di medsos ini, ingin merangkul sebanyaknya agar lebih banyak orang menyukai humanisme dan harmoni sosial, mementingkan kedamaian, betapapun semua itu dianggap kemustahilan. Aku percaya, gerakan-gerakan serupa riak-riak di danau itu bermakna, dan aku memang pemburu makna. Itulah bedanya kita. Tanpa bermaksud merasa seorang yang istimewa.

Saya lahir dan besar di lingkungan (terutama didikan orangtua) yang amat toleran dan sedia membagi perhatian pada orang lain. Seperti yang pernah kutuliskan di beberapa catatan, rumah kami yang sederhana (di Pangururan), merupakan persinggahan dan penginapan bagi kerabat, kawan sekampung bapak, yang beragam keyakinan-agama. Rumah kami adalah tempat singgah dan menginap para “Parbaringin,” “Parmalim,” penganut Adventis, Saksi Yehova, Muslim, bahkan yang dituduh terlibat PKI.

Tak sedikit klan Situmorang yang merantau ke Sumatera Timur jadi Muslim, dan manakala pulang ke kampung halaman (Bonapasogit), mampir atau menginap di rumah kami sebelum ke kampung asal mereka karena harus menunggu bus (motor) P.O Pulo Samosir yang jarang itu, “motor” Sidikalang-Pangururan-Mogang-Nainggolan.

Sejak dini, aku sudah terbiasa dengan keberagaman, keperbedaan, dan… tak menjadi gangguan bagi kenyamanan bathin. Kawan-kawan bermainku, para anak tentara dan polisi yang berumah di Tajur, selalu ada Muslim (biasanya orang Jawa/Jadel, Melayu, Pakpak, atau Karo). Di dekat rumah, persisnya di samping Pesanggrahan Pemda, ada masjid kecil yang diurus marga Sihombing dari Harianboho, halamannya pun tempatku bermain bersama kawan-kawan bocah. Dulu ada pohon asam jawa dan mangga, aku dan kawan-kawan senang memanjat lalu mengunyahi buah yg asem dan manis itu sambil duduk di sisi mesjid sambil berceloteh khas bocah. Indah sekali bila itu kuingat, apalagi Danau Toba yang memesona, terhampar di depan.

Masa kecilku hingga menuju remaja memang indah, terbiasa dengan panorama nan elok dan besar di satu keluarga yang meskipun bersahaja, normal dan patuh norma-norma adat, ditopang hubungan perkerabatan serta pertetanggan yang hangat dan tulus. Aku tak biasa dengan lingkungan yang disebut “keras” atau “kasar.” Kecongkakan, kesinisan, merupakan pantangan bagi kami dan kawan-kawan, juga tetangga. Kami, khususnya dengan orang-orang Pangururan, terbiasa dengan toleransi sejak dahulu kala –entahlah kini.

Aku lahir dan besar di tengah alam yang “penuh puisi,” disuguhi panorama yang tak ada bosannya ditatap, pula lingkungan yang mengindahkan sopan-santun dan norma-norma yang memantangkan pemisah-misahan manusia, siapapun dia, bahkan “bonggali” pun seperti saudara.

Barangkali, itulah yang berperan penting membekaliku dan berfaedah hingga kini: membuatku terpesona harmoni sosial dan perdamaian.

*-*

Foto: Pixabay