Tag Archives: kasih

Buka Dulu Topengmu

“No one cared who I was until I put on the mask”

Kalimat diatas tak sengaja kubaca di salah satu Instastory temanku kemarin. Segera aku reply instastory-nya,

“Kenapaa?”

Tak lama, dia membalas.

“Ya begitulah hidup,” katanya. Dia adalah seorang teman pria yang dulu tak lama ku kenal. Aku tau dia adalah seorang teman yang cukup aktif di media sosial dan nggak jarang upload foto-foto kegiatannya seperti orang-orang yang punya media sosial lainnya.

Aku tahu dia kurang mau terbuka saat itu. Wajar, karna aku teman wanita yang hampir 6 tahun tidak bertemu, hanya kadang sapa-menyapa di media sosial.

Saat itu, aku membenarkan apa yang dia katakan. Aku setuju dengan pendapatnya dan bilang memang banyak sekali orang fake.

Ku bawa diriku dalam kata-kata itu supaya dia pun tidak sungkan jujur tentang apa yang dia rasakan.

Contohnya aku,kataku. “Kalau aku sedih, kadang aku tersenyum saja di depan orang. Kalau aku marah aku diam. Karna kalaupun aku cerita nggak ada yang bisa ngerti. Yang peduli aja mungkin sedikit, apalagi yang mengerti.”

Setelah berkata begitu, lambat laun dia mulai bercerita tentang kekesalannya. Tentang apa yang dia rasakan. Tentang bagaimana pergumulannya saat itu tanpa aku memintanya untuk bercerita.

“Tentang keluarga?” kataku di sela-sela dia mulai menceritakan bahwa dia kesal.

Aku mencoba untuk tetap membuat keberadaan ku disana bukan sekadar mau menginterogasi dia tentang masalahnya. dan di akhir berkata,”Ah aku juga pernah begitu. Jangan terlalu lebay, nanti juga akan ada solusinya.. masalahku juga lebih pelik dari itu, tapi aku bisa kok melewatinya.”

Ini adalah salah satu kesalahan yang paling sering kita lakukan ketika kita mendengarkan orang lain yang sedang dalam masalah. Mungkin kita merasa sedang memberi energi positif yang akan membantu dia tetap semangat.

HEY. THIS IS NOT HOW YOU DO IT!!!

Kubiarkan dia berkata apa saja, mengeluarkan apa saja yang dia ingin keluarkan. Dan kubalas dengan, “Aku tahu aku nggak bisa ngerti sepenuhnya dengan apa yang sedang kau rasakan, tapi aku merasa kau sangat diberkati untuk kuat menghadapi itu semua”.

Itu membuatnya semakin terbuka dan terbuka lagi. Dan aku mengikuti alur pembicaraannya, kutanya sesekali tentang apa yang sedang dia ceritakan, yang menandakan bahwa aku sedang mencoba untuk mengerti akan apa yang sedang terjadi sekarang.

Sejak saya kuliah di UI, sudah berapa kasus yang aku temui orang bunuh diri karena frustasi, orang meninggal sakit nggak ada yang tahu di kamar kosnya sendiri, orang yang lari dari rumah.

Semuanya itu nyata dan ketika mengetahui hal itu, yang kita lakukan apa? Ngomongin? Sebar medsos dengan tulisan REST IN PEACE dan emoticon yang sedih dan bilang “nggak nyangka”?

Jujur, pertama kali aku dengar ada anak FE UI beberapa tahun silam meninggal gantung diri di kamar kos yang diduga karena skripsi nggak kelar-kelar, aku benar-benar berduka dan sangat sedih.

Aku nggak kenal dia. Tapi hal yang kusesalkan adalah, kenapa Tuhan nggak izinkan aku kenal sama dia dan dengerin dia di saat dia nggak ada teman yang bisa diajak mengobrol, sampai dia frustrasi dan putuskan untuk bunuh diri?

Tapi akhirnya, aku menyalahkan diriku lagi. Aku menangis dan bilang sama Tuhan,“Tuhan ampuni aku karena aku nggak kenal dia. Tolong aku biar lebih peka sama sekelilingku kalau mereka lagi dalam keterpurukan, keputusasaan. Tolong aku siap Tuhan buat dengar mereka, serumit dan sepribadi apapun itu. Aku mau hancur hati bersama dengan dia. Aku mau beri telinga untuk dengar dia.”

Sejak saat itu aku benar-benar mencoba untuk peka dengan keadaan orang lain.

Dan sekarang Tuhan kasih karunia itu bagiku. Mereka memang sedang tertawa, tapi aku tau di dalam hati mereka sedang menggumulkan suatu masalah besar. Dan ada kepekaan dan jalan tersendiri yang buat orang-orang voluntarily cerita ke aku.

Nggak jarang teman-temanku mempercayaiku akan sebuah masalah besar dan paling memalukan dalam hidup mereka. Sebenarnya itu bukan lah poinnya, Poinnya adalah, kapan kita terakhir kali memberi waktu buat orang lain, bahkan orang-orang yang kita sayangi?

Yakinlah, ada yang sedang mereka tutupi.

Ada topeng yang kadang harus mereka pakai supaya diterima oleh orang lain. Pernahkah kita berusaha untuk siap melihat dan menerima apa dibalik topeng mereka?

Ya, emangnya aku siapa? Setelah mereka cerita, terus apa? Nggak ada juga gunanya toh aku nggak kasih solusi apa-apa ke mereka? Emang masalahnya jadi selesai?

Ya benar, masalahnya belum selesai. Tapi hey, ketika kita lakukan itu, kita sedang menyelamatkan satu jiwa. Hati mereka yang sedang sedih dan hancur akan perlahan tenang karena dia sudah mengungkapkan dan mengeluarkan semua itu tanpa di-judge oleh pendengarnya.

Dengar dia, diam lah. Coba memahami sudut pandang dia. Lihat kedalaman hatinya. hancur hatilah bersamanya. ITU LEBIH DARI CUKUP.

Keberadaan kita lebih berharga daripada saran-saran bijak yang kita dapat dari GOOGLE, atau renungan-renungan harian.

Singkat cerita, setelah temanku bercerita tentang kondisi keluarganya dan pergumulan hatinya itu. pembicaraan membawa kami ke hal apa yang menjadi keinginan hatinya yang kurasa dia pun mungkin tak pernah bilang ke orang lain.

Mungkin dia sudah mulai merasa diterima, sehingga tidak lagi sulit baginya untuk menceritakan keinginan hatinya. Dia bilang dia merasa menyesal dulu berkuliah dan ambil jurusan Kesehatan Masyarakat, karena dia merasa passion-nya di fotografi, perfilman, dan menulis novel.

Dengan bersemangat aku bilang,”HEY THAT’S NICE THO!  Ga ada yang perlu disesali, itu bisa jadi suatu nilai tambah bagimu. It’s ok kalau itu bukan jadi pekerjaanmu sekarang, tapi kan sedikit demi sedikit bisa ditekuni.”

“Namanya suka pasti kita pengen terus melakukannya. Kalau itu kau tekuni siapa yang tahu nanti itu bisa jadi sumber kepuasan hidupmu dan bahkan sumber uang juga. Kita nggak tahu apa ynag mungkin terjadi di depan.”

“JANGAN QUIT. Lanjutkan saja sebagai hobi. Hitung-hitung, menulis sebagai pengisi waktu kosong dan obat pelipur lara.”

Hey, you know that’s Brilliant, I said. Aku bisa merasakan energi positif nya juga keluar setelah dia balas,“Iya ya,siapa yang tahu apa yang terjadi di masa yang akan datang.”

Dan tanpa disadari, yang tadinya kata-kata yang dia lontarkan kebanyakan negatif, penyesalan dan kegundahan, diakhir cerita, aku meihat aura optimis dalam dirinya.

Aku mendengar mulutku berkata Puji Tuhan. hatiku senang sekali kalau dia bisa menjadi semangat seperti itu setelah 3 jam berbincang mengenai kerasnya hidup dan orang-orang yang ada di dalam hidup. Tuhan, terima kasih, kataku berulang kali dalam hati.

“Terima kasih ya atas waktumu. Ini sangat berarti buatku. Karena tidak banyak orang yang peduli denganku. Ya wajar karna mereka pun sudah sibuk dengan masalah mereka masing-masing,” katanya.

“Aku nggak merasa itu cukup besar. Aku cuma punya telinga dan punya waktu untuk mendengar orang lain. Aku nggak bisa selalu bantu. Nggak bisa kasih kerjaan kalau orang butuh kerjaan. Nggak bisa pecahkan masalah kalo mereka lagi ada masalah,” kataku.

“Tapi, selagi aku dibutuhkan buat dengar apapun, serumit apapun, aku yang akan pertama kali datang. jadi jangan sungkan. Aku nggak akan pernah nolak buat dengarkan orang”, kataku menutup.

 

Welen Friade Sinaga

Tulisan ini dimuat sudah seizin penulis.

Penulis adalah Pengurus Persekutuan Oikumene Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (PO FIB UI) tahun 2016-2017

 

Foto: Pixabay.com

Wonder Woman dan Pelajaran Cinta

Pertikaian di Timur Tengah. ISIS merajalela sampai ke Asia Tenggara. Bom bunuh diri di Kampung Melayu. Sebut saja lagi, ada deretan panjang kekacauan, perang, pertikaian, yang sedang melanda dunia ini. Benarkah Dewa Perang Ares sedang bergerilya dan apakah kita butuh kehadiran Diana Prince, sang Wonder Woman?

Berbagai peristiwa kekacauan di berbagai belahan dunia, termasuk yang baru terjadi di ‘halaman depan’ rumah kita di Kampung Melayu, sontak berkelebatan di benak saya, saat dialog demi dialog mengenai kekacauan dunia dan peran Dewa Ares mendominasi pembicaraan antara Diana (diperankan aktris cantik Gal Gadot), ibunya (dimainkan oleh Connie Nielsen), dan para ksatria Amazon di Themyscira.

Singkatnya, Diana yang mencintai kemanusiaan itu, rela meninggalkan Themyscira bersama Steve Trevor (diperankan Chris Pine), mengejar hasratnya menghentikan Ares yang dianggapnya sebagai penyebab kekacauan dunia. Untuk hanya kemudian sejenak menyadari bahwa kekacauan di dunia adalah perbuatan manusia sendiri.

Jenderal Erich Ludendorff adalah penyamaran Ares, menurut Diana. Sehingga dia mati-matian mengejarnya sampai ke garis depan pertempuran. Tapi saat Ludendorff bisa dibunuh, kekacauan tak berakhir dan dia menyadari Ludendorff bukanlah Ares.  Fakta ini sempat mengguncang hati Wonder Woman, merusak kepercayaannya pada Trevor yang disayanginya, dan membenarkan perkataan ibunya, bahwa dunia ini tak layak memilikinya.

Terombang-ambing dalam kemarahan, Wonder Woman kemudian bertemu dengan Sir Patrick Morgan, anggota Dewan Perang pada Perang Dunia I, sosok yang antiperang dan yang justru membiayai rombongan Diana-Trevor ke garis depan untuk menghentikan aksi Ludendorff dan Dr. Maru.

Sir Patric ternyata sang Ares sendiri. Lalu, sudah bisa ditebak, pertarungan besar pun terjadi, di antara upaya Trevor dan teman-temannya mencegah aksi pemusnahan massal yang hendak digelar Ludendorff. Trevor kemudian mengorbankan dirinya sendiri dengan meledakkan pesawat penuh gas beracun di udara.

Kematian Trevor membangkitkan kemarahan Wonder Woman dan Ares mendukungnya dengan menegaskan bahwa manusia memang pantas dihancurkan karena merekalah biang kerok kekacauan itu. “Manusia itu pada dasarnya korup dan tak perlu mendapat belas kasihan,” kata Ares.

Tapi belas kasihan mengalir di hati Sang Wonder Woman. Seharusnya dia bisa membunuh Dr Maru dan menimbulkan kehancuran lebih hebat. Tapi perkataan Trevor yang tak bisa didengarnya sebelumnya, terngiang. “Aku bisa menyelamatkan hari ini, tapi kamu bisa menyelamatkan dunia.”

Kematian Trevor dan pertarungannya dengan Ares membangkitkan kesadaran Diana akan hakikatnya sebagai putri Dewa Zeus dan saudari Ares sendiri. Dengan kekuatan itu, Ares bisa dikalahkan dan dihancurkan. Manusia memang menimbulkan kekacauan bagi dirinya sendiri, tapi memang begitulah hakikatnya. “Dan cintalah yang bisa menyelamatkan mereka,” kata Diana.

***
Terlepas dari berbagai kritik terhadap film yang dibesut Patty Jenkins ini, baik dalam hal teknis maupun kontennya, menurut saya, kita tetap bisa belajar banyak darinya. Terutama dalam menyikapi berbagai perseteruan, peperangan, kebencian, bahkan pembunuhan atas nama golongan, yang faktual dan kontekstual di sekitar kita.

Sudah lama saya mengamini bahwa cinta adalah jalan keluar untuk perdamaian dunia. Kenakanlah cinta pada sesamamu manusia, maka kau takkan bisa membenci sesamamu. Ketika kau tak membenci sesamamu, kau takkan berniat sedikitpun untuk mencederai atau melukai perasaaan bahkan tubuh sesamamu.

Cinta atau kasih itu apa sih? Secara sains penjelasannya ada. Tapi saya lebih suka mengutip perkataan Rasul Paulus di 1 Korintus 13: 4-8. Terlalu gamblang dan jelas sebetulnya. Tinggal diaplikasikan saja.

Jadi, kasih atau cinta itu: sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain,  tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung  segala sesuatu, dan sifat kasih itu tidak berkesudahan.

Coba deh cek, perasaanmu pada orang lain berdasarkan catatan di kitab Korintus tadi. Kalau sejalan, berarti kamu sudah mengasihi mereka.

Nah, masalahnya, siapakah sesamamu manusia? Ini nih yang kerap bikin resah. Padahal Yesus Kristus sudah menjabarkan dengan gamblang, siapa sesungguhnya yang harus kita kasihi. Lihat di Lukas 6: 27-36. Ini saya lampirkan saja lengkapnya ya. Beberapa saya highlight biar jelas.

“Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu. Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu. Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka. Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu?  Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu?  Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.  Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. Hendaklah kamu murah hati,  sama seperti Bapamu adalah murah hati.”

Jadi, jelas kan? Kalau hanya mencinta orang yang mencintaimu, itu mah mudah kawan. Cobalah mencintai orang yang membenci atau bahkan musuhmu sendiri. Saya sih yakin, kalau itu bisa terjadi di mana-mana, dunia akan damai.

Foto: dok. http://dcextendeduniverse.wikia.com

Diambil dari tulisan sendiri di blog pribadi saya di laman: http://bangdeds.com/2017/06/09/perlukah-wonder-woman-membantumu-mencinta/

Memberi Uang pada Anak Jalanan, Anda Merampas Hak Mereka

“Saya enggak mau kembali ke jalan lagi. Sudah enak begini.” Febri, 12 tahun, mengatakan ini dengan nada yang terdengar mantab.

Wajah sumringah Febri menjelaskan semuanya. “Saya sekarang belajar dan bermain saja, nggak mau cari duit lagi. Kan, ibu sudah kerja,” katanya lagi.

Febri jadi salah satu kisah sukses anak jalanan yang berhasil “dikembalikan” menjadi anak yang memang tugasnya bermain dan belajar sesuai usianya. Di bawah binaan Yayasan Rumah Impian, Febri seperti menemukan kembali keceriaan.

Saat ditemui di sela-sela kegiatan Charity Expo yang diadakan Yayasan Rumah Impian, di Main Atrium Jogja City Mall, Yogyakarta, Sabtu (18/2), Febri sempat mengisahkan tentang bagaimana dia berjibaku mencari uang di jalanan.

“Saya cari uang di lampu merah di Bantul. Lupa saya Kak nama daerah lampu merahnya. Pagi, siang, malam ya di situ aja saya nggak kemana-mana, sama kakak dan ibu,” kata Febri.

Tap kini, anak terakhir dari lima bersaudara ini sudah tidak perlu lagi mencari uang receh dengan mengamen di lalu lintas Bantul. “Sekarang ibu sudah ada pekerjaan. Rumah Impian sudah kasih ibu kerjaan. Ibu dimodalin angkringan buat jualan di pinggir jalan,” katanya.

Yayasan Rumah Impian sendiri memang merupakan organisasi pendamping anak jalanan. “Kalau orang tua masih mengandalkan anak buat cari nafkah, kami dari Rumah Impian harus bisa mencoba buat memberi alternatif sumber mata pencaharian, supaya orang tua anak-anak jalanan ini punya penghasilan,” kata Founder Rumah Impian Samuel Lapudooh.

Dan ini yang paling penting: Jangan kasih uang ke anak jalanan! Dengan memberi uang, kita merampas masa depan anak jalanan.

Loh kok bisa begitu? “Memberi uang kepada mereka membuat mereka akan di jalan terus, orang tua mereka juga akan bergantung terus pada mereka. Seorang anak itu seharusnya belajar dan bermain, itulah dunia anak-anak. Dan, ini penting buat masa depan mereka,” kata Samuel.

Jadi jelas. Memberi uang pada anak jalanan tidak tepat, dan ini tidak pula membuat kita terlihat pelit.

Gunakan sumber daya kita untuk membantu anak jalanan lewat yayasan atau organisasi yang memang peduli akan nasib anak jalanan, seperti Yayasan Rumah Impian yang beroperasi di Yogyakarta ini misalnya.

 

Foto: Dok pribadi

Mengampuni yang Tak Terampuni

Entah sejak kapan selalu suka dan tertarik untuk membaca tentang Afrika terlebih dengan alam dan kehidupannya. Tiga tahun lalu saat menemukan buku ini di salah satu toko buku langganan, semakin membuka mata hati untuk terus belajar menghargai sekitar.

Belajar tentang kasih akan sesama dan kasih dari atas yang tak pernah habis serta mencoba memahami jalanNya. Membaca buku ini dari awal hingga akhir akan membawa jiwa kita menyelami makna hidup, keindahan kasih dan pengampunan.

Felicien terisak, aku merasakan rasa malunya. Dia melihatku sesaat, mata kami bertemu. Aku mendekatinya, menyentuh tangannya dengan lembut, dan dengan tenang kukatakan apa yang ingin kukatakan.

“Aku mengampunimu“

Kurang lebih 1 juta manusia tak berdosa dari suku Tutsi dan Hutu moderat tewas dalam pembantaian etnis di Rwanda selama 100 hari yg dikenal dengan Rwanda genocide 17 tahun silam. Berawal dari terbunuhnya Presiden Juvenal Habyarimana seorang Hutu yang tengah giat menggalang rekonsiliasi antara Hutu yang mayoritas dengan Tutsi yang minoritas.

Secara fisik dua etnis itu sebenarnya memiliki segunung kesamaan, hanya dibedakan oleh bentuk hidung dan postur tubuh; kaum Hutu memiliki hidung lebih pesek dan lebih pendek sedang Tutsi sebaliknya. Habyarimana bersama Presiden Burundi Cyprien Ntarymira menjadi korban ditembak dalam pesawat yang ditumpangi pada 6 April 1994.

Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai aksi protes kelompok militan terhadap misi presiden Habyarimana untuk mewujudkan persatuan etnis di Rwanda. Kelompok militan atau interahamwe (mereka yang bersama bergerak menyerang) memandang manusia sebagai kecoak dan ular yang ditakdirkan untuk dibasmi, karena tak layak hidup berdampingan dengan mereka yang sebelumnya adalah tetangga, sahabat bahkan keluarganya sendiri.

Kisah pembantaian Rwanda dapat disaksikan lewat film Sometimes In April atau Hotel Rwanda, beberapa buku juga telah dituliskan oleh saksi hidup dari peristiwa tersebut. Ketika berada di pihak korban, apa yang akan anda lakukan saat mendapat kesempatan bertemu muka dengan seorang pimpinan pemberontak, pembunuh kejam yg telah menganiaya dan menghabisi nyawa keluarga anda, ibu dan saudaramu? Mencaci maki, menyiksa atau membunuhnya?

Left To Tell, Mengampuni Yang Tak Terampuni adalah sebuah catatan perjuangan hidup Immaculée Ilibagiza yg selamat dari kejaran Interahamwe dengan bersembunyi selama 91 hari di dalam kamar mandi kecil terhimpit bersama 7 wanita sebangsanya di rumah seorang Hutu, Pendeta Murinzi.

Suatu perjuangan bathin untuk melawan amarah terhadap para pembunuh yang tak lain adalah sahabat, keluarga dan tetangga. Orang-orang yang selama ini berhubungan baik dengan keluarganya tiba-tiba berbalik 180 derajat menjadi bejat dan brutal menghabisi nyawa orang-orang yang dikasihinya.

Perjuangan meredam dendam digantikan dengan uluran kasih kepada si pembunuh yang seharusnya digampar atas kejahatannya, perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan, perjuangan pemulihan hati, mempertahankan iman disaat semua yg dikasihi direnggut secara tidak berperikemanusiaan dan tetap berharap pada satu nama yang punya Kasih dan Kuasa dalam hidup.

“Apa artinya semua itu, Immaculee? Orang itulah yang membunuh keluargamu. Aku membawanya kepadamu untuk ditanyai, jika kamu mau. Tetapi kamu mengampuninya! Bagaimana kamu bisa melakukannya? Mengapa kamu mengampuninya?”

Aku menjawabnya dengan kebenaran “Pengampunan adalah semua yang harus kuserahkan.”

Demikianlah tinggal ketiga hal ini yaitu iman,pengharapan dan kasih, dan yg paling besar diantaranya ialah kasih (1 Kor 13:13)

Ketika kemanusiaan dilukai oleh perseteruan karena berselisih paham, pemikiran, prinsip, etnis dan apa pun itu; hanya satu yang bisa merekatkannya KASIH. Cinta dan Kasih yang tulus dari hati akan membuat cara pandang dan dunia berbeda.

Suatu hari nanti, ketika pundi-pundi terpenuhi dan restu dari atas mengalir,  maka aku kan bertualang ke sini, sendiri atau berdua atau beramai-ramai hayuk waelaaaaah.

Salam kasih, cinta dan damai buat semuanya? [oli3ve].

 

Olive Bendon

Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

https://obendon.com/2011/06/02/mengampuni-yang-tak-terampuni-2/

Penulis adalah Travel Blogger | Old Grave Lover |  Citizen Journalism | Volunteer for The War Graves Photographic Project

Foto: obendon.com

Benci Eric Clapton, Pengampunan dari Samarinda

Ya, benar. Saya benci Eric Clapton, bukan orangnya sih tapi lagunya. Dan bukan semua lagu juga, tapi–ini dia sumber masalahnya–lagu terbaik yang pernah dia ciptakan: “Tears in Heaven”.

Semenjak anakku si putri hadir pada 2007 lalu, semenjak itulah, sampai sekarang, 2016, saya tetap benci lagu ini. Masalahnya, lagu ini diputar di mana-mana. Dari pertama kali keluar tahun 1992, sampai saat ini, saya sering mendengar lagu ini diputar di mal-mal dan di kafe-kafe adem.

Jujur saja, ini lagu yang menakutkan buat saya. Lagu yang tidak ingin saya nyanyikan.

Eric Clapton membuat lagu ini–dibantu Will Jenning–untuk menyuarakan isi hatinya karena kesedihan mendalam. Lagu ini dipersembahkan untuk sang anak tercinta Conor Clapton yang meninggal.

Seperti tertulis di wikipedia, pada 20 Maret 1991 tepat jam 11 siang, Conor yang berusia 4 tahun meninggal karena terjatuh dari jendela lantai 53 di apartemen New York City.

“Tears in Heaven” merupakan lagu kontemplasi kesedihan Clapton yang mengurung diri selama 9 bulan. Clapton menuangkan kesedihannya dan sekaligus mewujudkan penerimaan lewat lagu ini.

Grammy Awards 1993 menobatkan “Tears in Heaven” dengan tiga penghargaan untuk lagu terbaik, rekaman terbaik, dan penyanyi pria terbaik.. Album Unplugged yang berisi lagu ini menjadi album terlaris Clapton sepanjang sejarah bermusiknya.

Would you know my name
If I saw you in heaven
Will it be the same
If I saw you in heaven
I must be strong, and carry on
Cause I know I don’t belong
Here in heaven

Lagu yang indah, namun saya tak ingin menyanyikannya, dan akhirnya memilih membencinya. Saya punya dua anak sekarang, dan seram rasanya menyanyikan lagu ini. Ada ketakutan saya, ini kok seperti membayangkan anak-anak saya kenapa-kenapa. Oh, tidak!

Ketika saya mendapat kabar, akhir pekan lalu, bahwa kawan dekat saya kehilangan buah hatinya yang masih bayi baru lahir, lagu ini pun tiba-tiba mengiang-ngiang di pikiran. Beberapa kawan menulis di wall Facebook sebagai tanda simpati, “kau sudah tenang di surga sana adik kekasih”.

Tak terbayangkan rasanya saat kawan saya mendengar lagu “Tears In Heaven”. “Apakah kau kenal papa saat kita ketemu di surga, nak?” Ahhhh saya benci.

Tak berapa lama bom molotov dilempar dan melukai anak-anak yang baru saja Sekolah Minggu dan sedang bermain di areal parkir di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur. Empat balita menjadi korban luka bakar.

Dan kisah sedih dialami Intan Olivia Banjarnahor, 2,5 tahun, yang harus pergi meninggalkan dunia ini, mengembuskan nafas terakhir. Tak terperikan rasa duka mendalam yang harus dihadapi oleh orang tua terkasih. “Apakah akan sama, ketika kita ketemu di surga nanti, nak?” Terngiang lagi…

Namun, ini seperti linear, seperti ada kesejajaran peristiwa baik yang menghiasi lagu Eric Clapton ini, maupun bom Samarinda.

Pada tahun 2003, 12 tahun setelah kematian anaknya, Eric Clapton memutuskan untuk tidak menyanyikan lagi lagu “Tears in Heaven”. Ia merasa telah bisa merelakan kepergian anaknya.

Dan kejutan muncul pada 2013, di Crossroads Guitar Festival 2013, di Amerika Serikat, Eric Clapton menyanyikan kembali lagu ini. Setelah 10 tahun! Eric melantunkan lagu ini dengan nada yang berbeda, slow reggae, tidak dengan ciri khas ngelangut seperti awal.

Seperti Clapton yang telah ikhlas, kabar pengampunan pun datang dari keluarga Trinity Hutahaean (4), salah satu korban ledakan bom molotov Samarinda. Lewat Roina Simanjuntak, kakak dari ibu Trinity, keluarga mengatakan bahwa “Kami tidak mengutuk, tetapi mengampuni yang jahat.”

Keluarga Trinity, bocah yang masih berjibaku dengan luka bakarnya, mengampuni pelaku terorisme, Juhanda alias Jo.

Saya seperti tersadar bahwa segala sesuatu ada prosesnya. Proses itu akan selalu berlanjut terus menuju jalannya, bagaimana kita memilih, apakah proses itu menuju yang terburuk atau menuju titik terbaik–titik di mana yang buruk terputus–kemudian berlanjut menjadi lebih baik.

Saya berharap tidak terdengar lagi dari keluarga korban bom molotov, berita duka. Saya rasa seminggu ini cukup lagu itu mengiang-ngiang di pikiran saya.

Saya berdoa: Trinity kuatlah. Tuhan pulihkan adik kekasih ini.

 

Foto: wikimedia