Tag Archives: Kampung Halaman

Cerita Natalku di Kampung yang (Dulu) Selalu Diselimuti Kabut

Kalau kalian punya kampung halaman. Aku juga. Tapi kampung ini bukan tempat kelahiranku, melainkan tempat kedua orangtuaku tumbuh besar dan di sana juga mereka bertemu dan menjalin kasih. Sedari kecil kami sering diajak ke sana, bertemu Ompung dan keluarga besar kami dari kedua pihak. Perayaan Natal di kampung ini dulu sangat mengesankan.

O iya, kuperkenalkan dulu nama kampung itu. Hinalang namanya. Tapi ada juga yang menyebutnya Kinalang. Letaknya di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, bersisian dengan Kabupaten Karo.

Kalau senja turun, kampung ini akan diselimuti kabut. Sejuk sekali. Kampung ini memang berada di dataran tinggi Simalungun. Kalau kau berjalan jauh ke selatan tanpa henti, kau akan menemukan Danau Toba.

Kampung ini agak ke pedalaman letaknya. Sekitar 2 kilometer jauhnya dari Jalan Lintas Kabupaten. Perkampungan bak dibentengi pohon-pohon besar. Banyak cerita-cerita ‘ajaib’ mengenai pohon-pohon besar ini, seperti diceritakan orang-orang di sana.

Tapi bukan itu yang mau kuceritakan di sini. Melainkan bagaimana kampung ini merayakan Natal pada saat aku kecil. Kenapa saat kecil? Karena saat itulah yang sangat berkesan bagiku.

O iya, penduduk kampung ini waktu itu 100 persen Kristen. Kampung ini punya gereja sendiri, di mana jemaatnya 100 persen warga kampung itu sendiri. Dulu gereja ini dibangun dengan dinding kayu tebal yang sangat kuat. Tak ada jejak rayap ataupun keropos.

Rumah-rumah di kampung juga dulu hampir seluruhnya berarsitektur panggung, terbuat dari kayu dan atap ijuk tebal. Kalau malam yang sangat sejuk, di dalam rumah jadi tak terlalu dingin. Sedang kalau siang yang terik, di dalam rumah justru terasa lumayan sejuk. Kalau hujan, nyaris tak ada bunyi rintik hujan memukul atap karena atapnya dari ijuk itu.

Berbeda dengan sekarang, hampir semua rumah terbuat tembok semen dan atap dari seng. Sehingga rumah terasa dingin, lembab, dan kalau hujan berisik sekali. Kupikir, semakin maju zamannya, semakin tak arif orang-orangnya. Orang-orang zaman dulu sangat tahu bagaimana beradaptasi dengan iklim yang sejuk di kampung itu.

Kembali ke cerita Natal. Kalau Natal tiba, kampung ini sangat meriah. Sebab warganya yang merantau ke kota akan pulang. Ramai sekali di setiap rumah. Begitu pun di rumah Ompung kami. Kerabat papa dan mama dari berbagai kota akan mudik dan rumah Ompung akan semarak selama berhari-hari.

Pada malam Natal 24 Desember dan pagi 25 Desember, keramaian ini akan berpindah ke gereja kampung itu. Gereja akan sangat penuh. Nyanyian Natal akan diiringi organ unik, yang untuk membunyikannya, kamu harus menekan tuts sambil memompa udara dengan kakimu. Syahdu sekali.

Kenapa tak pakai organ listrik? Sebab dulu kampung itu belum terjangkau listrik. Pada malam Natal, warga akan berduyun-duyun ke gereja sambil membawa lampu petromaks dan obor. Lalu lampu-lampu petromaks itu akan digantungkan di gereja sebagai penerang.

Pohon terang tentu ada. Tapi pemuda gereja membuatnya dari pohon pinus yang ditebang dari hutan. Lampu-lampu yang biasanya ada di pohon terang, waktu itu dibuat dengan lilin yang ditaruh di dalam potongan-potongan bambu.

Kebaktian malam Natal berbahasa Batak Simalungun akan berlangsung dengan suasana yang sangat khidmat. Keesokan harinya akan lebih meriah lagi. Semua akan hadir dengan pakaian terbaiknya. Senyum dan ucapan Natal bertebaran di sana-sini.

Sebagai kanak-kanak, kami akan berkeliling ke rumah-rumah kerabat. Menikmati penganan kecil berupa kue atau gula-gula, atau tak jarang diajak makan besar. Rasanya akan selalu kenyang dan senang.

Yang tak kalah mengesankan adalah ketika kami berkesempatan duduk bergantian di pangkuan Ompung, mendapat banyak duit dari kerabat-kerabat yang datang ke rumah. Tak hanya kenyang, senang, kantung pun tak kurang-kurang isinya.

Apakah suasana Natal sekarang masih seperti itu? Entahlah. Sejak merantau ke Jakarta, aku belum pernah lagi pulang kampung pada saat Natal. Yang pasti, gereja kecil yang dibangun dari kayu itu sudah berganti gereja megah dari semen dan bata. Listrik tentu saja sudah masuk ke sana sejak belasan tahun lalu.

Kerabat-kerabat yang dulu pernah datang ke rumah Ompung, sudah banyak yang berpulang. Termasuk Ompung-Ompung kami. Pun ayahku sendiri. Mungkin kalau pun aku suatu saat kembali ke sana, rasanya akan sendu. Sebab di seberang gereja itulah komplek penguburan orang-orang terkasih itu.

Foto ilustrasi saja: Pixabay/Chrysda

Tulisan ini dikutip dari tulisan sendiri di blog pribadi penulis: http://bangdeds.com