Tag Archives: Kalah

Kalah, Marah, dan Roh Jahat

Beberapa minggu yang lalu, saya menemani anak saya main game di mal. Biasanya dia menang. Dia sudah sangat mahir dengan permainan itu. Tetapi kali ini dia kalah. Dia kesal. Dia ingin main lagi sampai menang tapi saya hentikan karena harus pergi les. Saya bilang, cukup, karena sebelumnya dia selalu menang tak apa jika kalah sesekali.

Tapi dia masih gusar. Masih penasaran. Masih emosi. Dia mengoceh, menyumpah, terlihat geram, gemas, mengamuk, mendorong pintu, menyeret kaki, melawan saya dan malah nyaris ingin melemparkan sesuatu.

Sikapnya ini, entah mengapa, sedikit mengingatkan saya pada dua orang. Pertama, seorang calon presiden yang tempo hari kalah di pemilu. Kedua, Saul, (di kitab Samuel) ketika didatangi roh jahat, sehingga ia mengamuk seperti orang gila, sebelum ditenangkan oleh permainan kecapi Daud.

Lalu saya bilang, untuk menenenangkan anak saya: Mama juga kemarin waktu main racing game, kalah balapan, tak apa, karena mama juga kemarinnya sudah pernah menang. Saya ingin dia mengerti bahwa saya pun yang sudah lebih tua dan berpengalaman pun pernah kalah dan masih mungkin kalah di waktu sekarang dan mendatang. Kita tak harus selalu menang.

Saya mungkin pernah mengalami rasa seperti itu. Tidak hanya semasa kanak atau remaja, tapi saat dewasa ini pun. Mungkin itu juga yang saya rasakan ketika jagoan saya kalah dalam pilkada tempo hari.

Reaksi kita terhadap kekalahan bisa jadi amukan kemarahan seperti orang yang dihinggapi roh jahat.

Tapi kemudian, ada orang-orang bijak yang menyadarkan saya. Ada juga yang memberi teladan yang baik untuk bisa menerima. Sehingga saya bisa pulih, move on dan cepat bisa berpikir jernih dan bersikap normal kembali pada jalur. Seperti teman-teman yang mengirimkan bunga tanda kasih ke kantor gubernur tempo hari. Itu adalah salah satu cara menerima kekalahan dengan bijaksana.

Kembali ke anak saya. Saya peluk dan elus-elus kepalanya. Saya alihkan pikirannya dengan tawaran yang menarik seperti makanan atau mainan lain. Agak lama baru anak saya bisa reda. Memang perlu waktu untuk bisa menerima kekalahan.

Hal ini membuat saya berpikir. Sekalipun tak berani menghakimi dengan mengambil hipotesa.

Mungkin, jika kita tak bisa menerima kekalahan, saya jadi kuatir, jangan-jangan sikap kita masih sama dengan anak berumur delapan tahun, seperti anak saya itu.

Ngomong-omong, berapa usia anda sekarang?
🙂

-*-

Kalah? Memangnya Kenapa?

Beberapa waktu yang lalu, komunitas kami mengadakan sebuah lomba. Ini adalah jenis lomba yang baru pertama kalinya diselenggarakan di komunitas itu jadi memang pesertanya tidak terlalu banyak.

Ketika kami mengumumkan hasil lomba tersebut, seorang peserta langsung mengirim pesan pada saya yang berisikan ketidakpuasannya pada hasil lomba. Sekalipun dia mengatasnamakan komplain dari orang lain, bisa diduga bahwa sebenarnya itu komplain dari dia sendiri. Yang sangat jelas terlihat dari komplain itu adalah bahwa dia merasa harusnya menang, merasa kualifikasi dirinya lebih bagus daripada peserta lain, dan menganggap juri tidak kompeten.

Betapa lucu dan sekaligus menyakitkannya hal itu.

Sebab, jika kita telusuri, orang yang komplain ini justru tidak layak menang. Itulah kenapa dia tidak menang. Entah mengapa dia merasa dia harus menang. Dan betapa mudahnya bagi dia untuk menyalahkan dan menganggap rendah juri, sebab juri-juri tersebut kualifikasinya sudah terbukti.

Jika dibuat sebuah perumpamaan, orang ini ibarat anak kecil yang baru belajar bernyanyi lalu ikut kontes menyanyi yang jurinya adalah juara Indonesian Idol, dan yang menang adalah penyanyi cilik juara lomba menyanyi kecamatan tahun lalu, dan dia merasa lebih hebat dari juara lomba kecamatan tersebut, dan ketika dia tidak menang, dia menganggap jurinya tidak kompeten.

Mungkin masalahnya ada dua. Dia terlanjur berharap akan menang. Dia tak bisa menerima kekalahan. Kedua, dia tak bisa mengenali kemampuan dirinya sendiri. Mungkin dia kurang wawasan, kurang bisa melihat bahwa di luar sana banyak yang lebih baik darinya. Apalagi ini adalah lomba pertama baginya, harusnya dia siap dengan segala resiko, dan jangan terlanjur bermimpi muluk akan keajaiban menang pada lomba pertama seperti dalam dongeng-dongeng.

Saya tak mau menyalahkan dia. Yang membuat saya agak gemas adalah ketika dia merendahkan juri dan menganggapnya tidak kompeten. Apa iya dia merasa lebih kompeten dari juri, ya? Apa dia tidak tahu ada alasannya mereka terpilih jadi juri, ada alasannya mengapa mereka yang di sana dan bukan dirinya.

Seperti itulah juga mungkin dalam bidang hidup kita yang lain. Sering kita menghakimi atau merendahkan orang tanpa kita sengaja atau sadari. Kita mengomel dan menyerapah: Petugas tak bagus. Pegawai tak benar. Pemerintah tak becus.

Seolah kita lebih becus. Seolah kita lebih bisa jika kita dalam posisi mereka. Padahal belum tentu. Coba deh, anda mungkin pernah mengatai polisi tidak becus dalam mengurai kemacetan, nah kita yang belum pernah menjadi polisi, disuruh mengatasi kemacetan itu, apa ya bisa? Itu hanya contoh.

Memang, kalah itu tidak enak. Kalah itu menyakitkan. Kalah itu bahkan bisa memalukan.

Banyak contoh nyata lain yang menunjukkan betapa beratnya menerima kekalahan.

Saya tak mau membahas politik, tapi jika kita lihat contoh, dari hasil PEMILU misalnya, kekalahan bisa membuat para pengikut yang pilihannya kalah menjadi liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar dan tak terkendali (eh, kok jadi kayak lagunya film Kera Sakti? Hehehe.).

Saya suka masakan padang, terutama rendang. Kalau makan di sebuah restoran, saya tak akan komentar kalau rendang itu tidak enak, sebab saya sadar tak bisa memasak lebih enak (sekalipuan saya yang bayar). Saya tahu diri. Jangan-jangan lidah saya yang salah, bukan rendangnya yang tidak enak, hahaha…

Setiap kita punya kelebihan di bidang masing-masing. Jangan merasa diri kita lebih baik daripada orang lain tanpa bukti nyata. Terimalah kekurangan kita dan kekalahan, sebab itu proses yang alami untuk membuat kita belajar lebih baik. Tidak semua orang selalu menang. Tidak semua orang selalu nomor satu. Bahkan yang terbaik dan tersukses pun pernah ada saatnya kalah dan berada di belakang atau di urutan bawah.

Oleh sebab itu, yang terbaik adalah menyadari siapa kita dan berhati-hati menilai orang lain, sebab ketika satu telunjuk kita menunjuk pada orang lain, tiga jari lain menunjuk pada diri kita sendiri.
Saya jadi ingat waktu kecil anak-anak saya saling berlomba mengejar sesuatu, dan ketika adiknya mengalahkan si kakak, si adik meledek: Yee, kakak kalah. Lalu si kakak menjawab: Memangnya kenapa kalau kalah?

Betul. Memangnya kenapa kalau kalah?

Menerima kekalahan adalah tanda kedewasaan.

Terimalah kekalahan itu dengan lapang dada. Itu bukan akhir dunia.

Dunia belum berakhir. Masih ada banyak kesempatan lain. Mungkin.

-*-