Tag Archives: jemaat

Awal Mula Christmas Carol, dari Nyanyian Malaikat hingga Tradisi Pagan di Eropa

Tahukah kamu Christmas Carol paling pertama dilakukan itu kapan?

“Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” Lukas 2:13-14

Itulah dia Christmas Carol paling pertama. Kelahiran Yesus ditandai dan dirayakan pertama kali dengan puji-pijian sorgawi, di mana malaikat dan bala tentara sorga bernyanyi. Jemaat Kristen mula-mula pada abad pertama melanjutkan tradisi para malaikat, yaitu membawakan puji-pujian sukacita dari rumah penduduk satu ke rumah penduduk lain.

Sampai saat ini, kekristenan di seluruh dunia masih menjalani tradisi ini, pergi dari pintu ke pintu untuk menyanyikan lagu-lagu sukacita Natal.

Sejarah mencatat, pada tahun 129 Masehi, puji-pujian yang dinyanyikan dari pintu ke pintu ini ditulis dalam bahasa Latin dan berbentuk himne, belum berupa Carol yang artinya adalah lagu-lagu kegembiraan.

Jadi Christmas Carol sendiri artinya? Secara ringkas arti sesungguhnya lagu-lagu kegembiraan tentang kelahiran Yesus Kristus dan dinyanyikan pada masa perayaan Natal atau dalam tradisi barat disebut Noel. Noel adalah masa perayaan Natal yang mengambil kurun waktu 24 Desember-6 Januari.

Bentuk paduan suara dalam Christmas Carol sebenarnya adaptasi dari kebiasaan menyanyi di Eropa ribuan tahun lalu. Saat kekristenan belum tumbuh di Eropa, tradisi pagan telah melahirkan gaya menyanyi model paduan suara, namun orang-orang menyanyikannya dengan mengelilingi sebuah batu di lapangan luas pada musim dingin.

Berdasarkan tradisi lahirnya Christmas Carol mula-mula, lagu-lagu kegembiraan Natal atau Carol ini memang tidak untuk dinyanyikan di gereja, namun di rumah-rumah. Para penyanyi yang berkeliling dari pintu ke pintu membawakan Carol dan lama-kelamaan lagu-lagu himne Latin pun tergeser sehingga wujudnya seperti Christmas Carol sekarang dan kebiasaan ini tersebar ke seluruh dunia.

Uniknya lagi, sebelum lagu-lagu kegembiraan Natal atau Carol menjadi populer, para penyanyi yang bernyanyi pintu ke pintu ini disebut kelompok penyanyi “Waits”. Mereka disebut demikian karena mereka hanya bernyanyi pada malam Natal, sambil “menunggu” Hari Natal tiba.

Para penyanyi Carol mula-mula ini mengaggap diri mereka seperti para gembala di malam hari yang menyaksikan malaikat menampakkan diri dan memuji-muji tentang kelahiran Bayi Yesus.

Inilah sekelumit sejarah mula-mula Christmas Carol. Saat ini, Christmas Carol masih terus dijalankan umat kristiani, dan berkembang menjadi pembawa sukacita saat ada jemaat gereja yang membutuhkan penghiburan di rumah-rumah, contohnya karena ada jemaat yang sakit atau jemaat yang sedang berduka.

Sumber: boldsky.com

Foto: Pixabay

#stillstanding

Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu. (1 Korintus 3:16-17 ITB)

Pagi-pagi buta saya dikejutkan oleh teriakan seorang jemaat gereja yang menggedor-gedor pintu rumah kami. Rupanya dia terpaksa melompati pagar karena telah beberapa lama memanggil-manggil dari luar tanpa mendapat jawaban dari kami yang sedang tertidur lelap. Dia datang untuk mengabari bahwa gedung gereja kami sedang terbakar.

Kami pun bergegas menuju ke gereja yang berjarak kurang dari 1 km dari rumah. Sampai di sana kami hanya bisa menyaksikan api yang telah memakan habis ruang ibadah utama kami beserta semua yang ada di dalamnya. Alat musik, sound sistem, lampu, kursi-kursi yang sudah ditata rapi untuk ibadah pagi ini, semuanya dilalap api. Tidak ada yang bisa kami lakukan.

Pemuda-pemuda yang sudah ada di sana kemudian sedikit bercerita bagaimana mereka susah payah memanggil bantuan pemadam kebakaran. Lokasi kami berjarak hanya sepelemparan batu dari Akademi Angkatan Udara dan Bandara Adisucipto, namun pihak AAU tidak dapat membantu pemadaman karena terkendala prosedur “chain of command” mereka, yang katanya sungkan untuk membangunkan komandan di pagi-pagi buta seperti itu. Lokasi kami juga berjarak lebih dekat dengan wilayah kotamadya Yogyakarta daripada pusat pemerintahan kabupaten Sleman, walaupun secara administrasi kami berada di kabupaten Sleman. Ketika menghubungi pemadam kebakaran Kodya, jawabannya juga sama, kami merupakan tanggung jawab kabupaten Sleman. Akhirnya memang kami harus pasrah menunggu kedatangan pemadam kebakaran kabupaten Sleman yang markasnya berjarak dua kali lebih jauh daripada pemadam kebakaran Kodya. Beberapa jemaat yang tiba dengan segera ke lokasi pun menunggu cukup lama sambil menangis memandangi api yang merembet dan membesar membakari tempat ibadah kami. Puji Tuhan ada bapak-bapak polisi yang menemani mereka dalam ratapan mereka.

Ah sudahlah. Kami tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Kami menerima kejadian ini sebagai musibah yang diizinkan Tuhan terjadi. Penyebab kebakaran yang katanya masih mau diselidiki, apakah benar karena arus pendek (korslet) atau penyebab lain, tidak lagi terlalu kami hiraukan. Kami mau belajar menerima dan memaknai bahwa Tuhan sanggup mendatangkan kebaikan yang lebih besar bagi kami melalui peristiwa ini.

Tempat ibadah kami ini belum lama kami tempati . Kira-kira satu setengah tahun yang lalu kami pindah ke tempat ini. Sedikit demi sedikit kami mendandani tempat itu, yang aslinya adalah rumah tua yang sudah lama kosong, sampai menjadi salah satu gereja kecil dengan interior paling cantik di Jogja. Mungkin itu yang akan kami rindukan. Ada banyak spot untuk berfoto selfie di dalam gereja kami yang terbakar itu.

Ah sudahlah. Saat ini kami mau mulai berdoa dan beriman bahwa Tuhan akan mencukupkan kami untuk merenovasi kembali tempat ibadah dan menyewa tempat ibadah sementara selama renovasi berlangsung. Anggota jemaat kami, yang datang dari berbagai kalangan seperti wirausahawan, mahasiswa, mantan narapidana, ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), mantan anak jalanan, keluarga-keluarga prasejahtera, semua percaya Tuhan kami adalah Bapa kami yang sempurna, yang mengasihi kami dan sanggup menolong kami. Tulisan ini saya buat bukan untuk meraih simpati atau menunjukkan bahwa kami patut dikasihani. Yang terbakar hanya tempat ibadah, sesungguhnya gereja tidak terbakar, karena gereja adalah kami, setiap orang yang percaya kepada kasih karunia dalam Kristus Yesus.

Don’t cry with me, because I don’t.
Smile with me, stand by me.
For I know whom I have believed
He who is good, and He is able

 

Foto : Shine Jogja

My First Funeral

Kematian adalah sesuatu yang tidak dirayakan. Kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan oleh orang yang dikasihi, ketidakpastian yang menyeruak, akan hari esok yang harus dijalani tanpa orang yang dikasihi, dan berbagai macam emosi yang lain, bercampur aduk di dalam dada ketika kematian itu datang menjemput orang yang kita kasihi.

Sebagai pendeta yang menggembalakan jemaat, kematian juga bukan peristiwa yang saya rayakan. Melayani kebaktian tutup peti, kebaktian pemakaman, ataupun kebaktian penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan, adalah pelayanan yang paling sulit saya lakukan. Saya selalu merasa, siapakah saya, sehingga bisa mengucapkan kata-kata penghiburan kepada mereka yang sedang dirundung kesedihan yang begitu hebat? Yang saya bisa sampaikan hanyalah kata-kata Tuhan yang tercatat di dalam kitab suci, karena saya yakin, Tuhan-lah yang paling bisa memberikan penghiburan, karena Tuhan jualah yang paling tahu apa yang dibutuhkan mereka yang sedang dirundung kesedihan.

Saya memang belum banyak melayani kebaktian-kebaktian seperti di atas, karena jemaat yang saya gembalakan baru seumur jagung, dan usia kebanyakan anggota jemaat relatif muda sampai paruh baya. Akan tetapi, saya tidak dapat melupakan kebaktian pemakaman yang pertama saya pimpin, beberapa tahun silam.

Kebaktian itu adalah kebaktian pemakaman seorang pria yang wafat di akhir usia 50-an tahun. Kami biasa memanggil dia dengan sebutan Pak Toni. Beliau datang ke gereja kami pada bulan Januari dan beliau wafat di bulan Juni. Ketika beliau pertama kali datang ke gereja, tidak ada yang istimewa dengan dirinya. Beliau duduk di belakang dan mengikuti ibadah. Ketika menyampaikan kotbah, saya langsung bisa mengenali bila ada orang yang baru di dalam ibadah, karena jumlah anggota jemaat ketika itu tidak lebih dari 30 orang. Ketika saya melihat beliau, di dalam hati saya terdengar suara lembut berbisik, yang saya yakini adalah suara Roh Kudus, “Itu anak-Ku. Aku mengasihi dia. Berikan pelukan hangat kepadanya karena dia sudah datang ke gereja hari ini.” Ketika ibadah selesai, seperti biasa saya menyalami semua jemaat yang hadir, dan kepada Pak Toni saya menaati bisikan yang saya dengar, saya meminta izin untuk dapat memberikan pelukan hangat selamat datang. Dia mengizinkan, dan kami berpelukan.

Pak Toni kemudian selalu datang ke ibadah dengan setia setiap Minggu. Dia juga mengikuti persekutuan kelompok sel (komsel) yang diadakan di tengah minggu. Saya kemudian mendapatkan informasi bahwa Pak Toni ternyata sudah 30 tahun meninggalkan imannya kepada Yesus, dan hari Minggu di mana saya memeluknya, adalah hari pertama dia kembali ke gereja. Bukan hanya itu, saya juga menemukan bahwa beliau ternyata mempunyai masalah kesehatan. Ternyata beliau adalah seorang pengidap HIV positif, dan sebagai komplikasi dari itu, beliau mengidap pneumonia. Meskipun demikian beliau tetap setia datang setiap Minggu, dan mengikuti komsel. Padahal beliau tinggal cukup jauh, sekitar 20 km dari gereja kami. Terkadang ketika mengikuti komsel beliau harus meminta izin untuk berbaring di sofa, karena kondisi kesehatan beliau.

Suatu hari kondisi kesehatan Pak Toni memburuk. Hari Senin kami membawa beliau ke rumah sakit. Hari Selasa saya mengunjunginya untuk mendoakannya. Hari Rabu pagi beliau pergi. Beliau telah mengakhiri perjuangannya di dunia. Saya menangis ketika memimpin pemakaman beliau. Saya menangis karena saya kembali mendengar suara lembut berbisik di hati saya, “terima kasih karena telah memeluknya enam bulan yang lalu. Dia ada dalam pelukan-Ku sekarang.” Saya menangis karena diizinkan bertemu dengan seorang anak yang hilang yang kembali kepada Tuhan, menemaninya selama sisa hidupnya di dunia, dan mengantarkannya pulang ke pelukan Bapa yang kekal.

Kematian memang tidak dirayakan, tetapi kematian bagi kita yang percaya, juga tetap membawa damai.

Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yohanes 11:25-26)

 

Foto: Koleksi Pribadi