Tag Archives: Israel

Keputusan Trump Soal Yerusalem Bisa Picu Perang Dunia III

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel benar-benar membuat kegaduhan di tingkat internasional. Pengakuan ini gawatnya dibarengi dengan dimulainya proses pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Seperti dilaporkan dari liputan6 , keputusan kontroversial Donald Trump itu memantik protes keras dari sejumlah pemimpin dunia.

Mereka khawatir perang di negara-negara Timur Tengah pecah, karena Yerusalem sudah sejak lama jadi pusaran konflik. Tak hanya itu, konflik bahkan dikhawatirkan memicu Perang Dunia III.

Setelah pernyataan Donald Trump soal Yerusalem dilontarkan, sontak seluruh dunia menyesalinya. Salah satu orang yang ikut mengecam keras keputusannya adalah Perwakilan Diplomatik Palestina untuk Inggris Manuel Hassassian. Ia menuduh Donald Trump telah “menabuh genderang perang”.

“Jika ia (Donald Trump) mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, ini menandakan solusi dua negara telah mati,” kata Hassassian kepada program Radio 4’s Today, seperti dikutip dari Express.co.uk, Kamis (7/12).

“Ia mendeklarasikan perang di Timur Tengah, ia menyatakan perang melawan 1,5 miliar Muslim, melawan ratusan juta Kristiani, dan mereka yang tidak terima bahwa tempat suci itu diduduki Israel,” lanjutnya.

Namun, Hassassian menambahkan, perang yang dimaksudnya adalah perang diplomasi. Dirinya tak mengacu pada perang ala militer.

“Perang yang saya maksudkan di sini bukanlah perang yang konvensional, perang yang saya maksud adalah perang dalam hal diplomasi.”

Kerusuhan Telah Pecah

Namun, kerusuhan dan unjuk rasa telah pecah di mana-mana. Aksi protes menentang keputusan Presiden Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel digelar di setidaknya 30 kota di Jalur Gaza dan Tepi Barat, hari Jumat (08/12), kata militer Israel, seperti dilaporkan di detik.com.

Demonstrasi juga digelar di sejumlah kota di dunia, termasuk di Istanbul (Turki), Tunis (Tunisia), Amman (Yordania), Jakarta dan Solo, Jawa Tengah.

Aparat keamanan Israel menggunakan gas air mata dan peluru tajam untuk membubarkan massa di Ramallah, Bethlehem, Hebron, dan di sepanjang perbatasan dengan Gaza.

Lebih dari 200 warga Palestina mengalami luka-luka ringan; satu orang dilaporkan tewas ditembak.

Di satu sisi, diplomat Amerika Richard Haass menyebut tindakan Donald Trump itu bisa meningkatkan ketegangan di Timur Tengah.

“Mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel bukan hanya akan menggagalkan proses perdamaian, tapi juga meningkatkan ketegangan dan memicu perpecahan,” cuitnya melalui akun Twitter pribadinya.

Perdana Menteri Turki Binary Yildirim menegaskan, Donald Trump berisiko membuat masalah di Timur Tengah.

Paus Fransiskus menghimbau Donald Trump untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Menurutnya, Donald Trump harus menghormati status quo Yerusalem.

Perdana Meteri Inggris Theresa May berencana untuk berbincang dengan Donald Trump dalam waktu dekat. Dia mencoba untuk meredakan situasi yang semakin tegang. Dia juga menyatakan bahwa Inggris tetap tak ingin mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Saat ini, status Yerusalem tetap menjadi isu pokok dalam konflik Israel dan Palestina. Selama Perang Arab-Israel 1948, Yerusalem Barat termasuk salah satu daerah yang direbut, kemudian dianeksasi oleh Israel. Sedangkan Yerusalem Timur, termasuk Kota Lama, direbut dan dianeksasi oleh Yordania.

Israel merebut Yerusalem Timur dari Yordania pada Perang Enam Hari tahun 1967. Setelah itu menganeksasinya ke dalam Yerusalem, bersama dengan tambahan wilayah di sekitarnya.

Sikap Indonesia

Sementara itu, Presiden Jokowi menyerukan agar OKI dan PBB segera membahas keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang disebutnya melanggar berbagai resolusi PBB.

Dalam pernyataan pers di Istana Bogor, Kamis (07/12), Presiden Joko Widodo menyebut “pengakuan sepihak itu melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB yang di sana AS merupakan salah satu anggota tetap, juga Majelis Umum PBB”.

Pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kata Jokowi “bisa mengguncang stabilitas keamanan dunia.” Ia juga menyerukan PBB dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk segera membahas dan menentukan sikap.

“Saya akan datang sendiri ke sidang OKI itu,” katanya seperti dilaporkan BBC.

Presiden Jokowi mengatakan pihaknya juga mendesak pemerintah Amerika mempertimbangkan kembali langkah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Sebelumnya, dalam acara Bali Democracy Forum yang diadakan di Serpong, Kamis (7/12) ini Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi tampil mengenakan selendang Palestina.

“Saya berdiri di sini, mengenakan selendang Palestina untuk menunjukkan komitmen kuat pemerintah Indonesia, rakyat Indonesia, untuk selalu bersama rakyat Palestina, untuk hak-hak mereka,” kata Menlu Retno.

“Kami mengutuk pengakuan (AS terkait Yerusalem) itu,” Retno menegaskan.

“(Pengakuan) ini, tidak lebih dan tidak kurang, adalah sebuah pengakuan atas realitas. Hal ini juga merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Ini hal yang harus dilakukan,” kata Trump dalam pidatonya.

Trump mengatakan bahwa langkah itu merupakan “pengakuan atas kenyataan saat ini dan kenyataan sejarah” namun bukan merupakan pernyataan politik, dan tidak akan mengubah batas-batas fisik dan politik Yerusalem.

“Akhirnya hari ini kita mengakui hal yang sudah jelas: bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel,” kata Presiden Trump.

Sementara itu, Presiden Mahmoud Abbas mengatakan bahwa keputusan tersebut berarti Amerika Serikat ‘mencabut perannya sebagai mediator perdamaian’ setelah selama satu dasawarsa mensponsori proses perdamaian Israel-Palestina.

“Langkah-langkah yang menyedihkan dan tidak dapat diterima ini merupakan hal yang secara sengaja melemahkan semua upaya perdamaian,” katanya dalam pidato televisi yang telah direkam sebelumnya.

Dia menegaskan bahwa Yerusalem adalah ‘ibu kota abadi negara Palestina.’

Sebaliknya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang mengatakan bahwa pengumuman Presiden itu Trump adalah sebuah “monumen bersejarah”. Dia menyebut hal itu merupakan keputusan yang berani dan adil.

Disebutkannya, pidato tersebut merupakan “langkah penting menuju perdamaian, karena tidak akan ada perdamaian yang tidak mencakup Yerusalem sebagai ibu kota Negara Israel”.

Dia mengatakan bahwa kota tersebut telah “menjadi ibu kota Israel selama hampir 70 tahun”.

Raja Salman mengatakan kepada Trump melalui telepon sebelum sikap AS itu diumumkan, bahwa pemindahan kedutaan atau pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel “akan merupakan provokasi mencolok terhadap umat Islam di seluruh dunia”.

Liga Arab menyebutnya “tindakan berbahaya yang akan menimbulkan dampak” di seluruh wilayah. Mereka juga mempertanyakan peran AS di masa depan sebagai “mediator terpercaya” dalam perundingan damai.

Iran mengatakan keputusan tersebut menimbulkan risiko munculnya gelombang “intifadah baru.” Kementerian luar negerinya mengatakan bahwa AS melanggar resolusi internasional.

Raja Yordania, Abdullah, menyerukan dirumuskannya upaya bersama untuk “mengatasi konsekuensi keputusan ini,” dan seorang juru bicara pemerintah mengatakan bahwa Trump telah melanggar hukum internasional dan piagam PBB.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, mengatakan pernyataan Presiden Trump “akan membahayakan prospek perdamaian bagi Israel dan Palestina”.

Guterres mengatakan bahwa Yerusalem merupakan “subjek terakhir (Israel dan palestina) dan harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara kedua belah pihak”.

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel “sangat disesalkan”. Dia menyerukan digalangnya upaya untuk “menghindari kekerasan dengan segala cara.”

Cina dan Rusia juga menyatakan keprihatinan mereka bahwa langkah itu dapat menyebabkan peningkatan ketegangan di wilayah tersebut.

Catatan:

Artikel ini diambil dari: sinarharapan.id

Sikap PGI Terhadap AS yang Akui Yerusalem Ibukota Israel

Pemerintah Amerika Serikat, di bawah Presiden Donald J. Trump, baru saja mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem sebagai Ibukota Israel, pada 6 Desember 2017 lalu.

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menilai pengakuan Presiden Trump tersebut merupakan bentuk pengabaian terhadap perjalanan panjang gereja-gereja dan masyarakat dunia untuk penyelesaian konflik Palestina dengan solusi dua negara, Israel dan Palestina, yang berdiri secara damai.

Penyelesaian menyeluruh sedemikian sesungguhnya mengharuskan status Yerusalem diselesaikan dalam dialog konstruktif yang mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan kedua belah pihak, yakni Israel dan Palestina.

PGI mencermati perkembangan ini dalam konteks pergumulan panjang gereja-gereja dan masyarakat dunia untuk mendorong perdamaian di Timur Tengah, khususnya perdamaian Israel-Palestina.

Yerusalem adalah rumah bersama (oikoumene) dan kota yang memiliki tempat dan sejarah tersendiri bagi tiga agama besar, yakni Yahudi, Kristen dan Islam, yang mendasarkan imannya pada Tuhan Abraham.

Yerusalem juga telah lama menjadi bagian dari sejarah bersama Israel-Palestina, bahkan juga bagi bangsa-bangsa di Timur Tengah dan dunia. Oleh karena itu, PGI memandang bahwa status Yerusalem bukanlah soal konflik agama, melainkan soal mengelola hidup bersama melalui skema jalan damai yang berkeadilan bagi semua pihak, khususnya Israel dan Palestina.

Jalan damai sedemikian juga menjadi pergumulan yang terus diperjuangkan gereja-gereja di Indonesia dengan mendorong kerjasama dan perdamaian, sebagaimana ditegaskan dalam Dokumen Keesaan Gereja: “Berpangkal pada keyakinan bahwa ‘Tuhan itu Baik Kepada Semua Orang’ (Mzm 149:9a)….maka gereja-gereja mengajak berbagai kelompok agama dan kepercayaan lain, serta semua orang yang berkehendak baik, untuk bekerjasama agar Tuhan sendiri mengangkat kita dari samudera raya.”

Pernyataan sikap PGI yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang dan Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, pada akhirnya menegaskan:

Pertama, mengatakan tidak menyetujui keputusan Presiden Trump yang mengakui penetapan sepihak oleh Israel yang menetapkan Yerusalem sebagai ibukota Israel, dan mengabaikan jalan damai untuk menyelesaikan status kota itu dalam skema dua negara (Israel dan Palestina) yang sejajar.

Selain menabrak jalan damai tersebut, pengakuan ini dikuatirkan akan memicu eskalasi konflik baik di Timur Tengah maupun di negara-negara lain, apalagi bila pengakuan ini diikuti dengan pemindahan Kantor Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem.

Kedua, mendorong gereja-gereja untuk terus menempatkan status Yerusalem dalam skema jalan damai dua negara demi perdamaian dan keadilan bagi Israel dan Palestina. PGI berharap, Yerusalem tidak serta-merta diklaim sebagai ibukota oleh Negara mana pun.

Ketiga, menghimbau masyarakat Indonesia agar status Yerusalem tidak diletakkan dalam sentimen agama, apalagi dikapitalisasi untuk kontestasi politik yang akan bergulir tahun depan.

Keempat, menghimbau pemerintah Indonesia agar dalam merespons maupun mengambil langkah-langkah diplomatik terkait isu ini selalu memperhatikan skema jalan damai di mana Israel dan Palestina diletakan sebagai dua negara yang sejajar.

Menyingkap Praktik Pembuatan Bejana pada Zaman Yesus

Pada peristiwa Yesus mengubah air menjadi anggur pada pesta perkawinan di Kana di Galilea (bisa dibaca di Yohanes 2:1-11), tersebutlah mengenai tempayan-tempayan yang disediakan untuk pembasuhan kaki. Kalau dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris, tempayan disebut stone jars, yang artinya, bejana itu berbahan batu bukan tanah liat.

Tentang budaya pembuatan bejana batu di zaman Yesus Kristus itu makin tersingkap setelah arkeolog berhasil menggali sebuah gua berisi workshop pembuatan bejana dan perkakas batu di Galilea. Gua itu diperkirakan berusia 2.000 tahun lebih.

Gua berisi bahan batu kapur dan bejana belum jadi dari zaman kuno ini termasuk temuan langka, hanya ada dua lokasi yang pernah digali para arkeolog Israel. Penemuan ini menggarisbawahi pentingnya perkakas batu dalam ritual pembasuhan yang dipraktikkan kaum Yahudi.

Yonatan Adler, pengajar di Universitas Ariel dan direktur penggalian gua itu, mengatakan kebanyakan orang Israel pada masa lalu menggunakan pot dan bejana dari tanah liat. Tapi dalam praktek hukum pembasuhan dari yang najis atau kashrut, mereka juga menggunakan bejana batu.

Orang Yahudi biasanya mempraktikkan ritual itu kalau bersentuhan dengan sesuatu yang dinajiskan, macam bangkai binatang, penyakit kulit, dan sebagainya. Atau ketika memakai perkakas pada makanan yang tak boleh dicampur, macam daging dan susu.

Tambang batu kapur dan workshop bejana batu itu berada dalam sebuah gua buatan. Peneliti menemukan inti kapur yang digunakan untuk membuat bejana di mesin bubut, pahatan di dinding, dan limbah lain dalam proses pembuatan perkakas batu.

Kalau mengutip kata Adler, sampah-sampah produksi mengindikasikan bahwa workshop ini kebanyakan memproduksi cangkir bertangkai dan mangkuk berbagai ukuran. Perkakasnya diperdagangkan di Galilea dan sekitarnya.