Tag Archives: Intoleransi

Mahasiswa Lintas Iman: Intoleran Berarti Tak Paham Pancasila

Sebuah diskusi publik digelar di Jakarta beberapa hari lalu. Diskusi ini mempertemukan kelompok mahasiswa lintas iman, yang dihelat oleh Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Diskusi bertema “Orang Muda Bicara Pancasila” itu menghadirkan sembilan pembicara yang merupakan pimpinan organisasi mahasiswa Kelompok Cipayung Plus lintas generasi.

Noer Fajriansyah, Ketum PB HMI 2010-2012 mengatakan, Pancasila itu sejalan dengan agama. Kalau masih ada orang yang mempersoalkan toleransi di Indonesia saat ini, berarti mereka belum memahami arti dari Pancasila. Perlu adanya evaluasi di bidang pendidikan terkait Pancasila sebagaimana dahulunya ada penataran P4.

Addin Jauharudin, Ketua Umum PB PMII 2011-2014 mengatakan, bangsa ini bisa berdiri sampai saat ini karena adanya pemahaman dan pengakuan terhadap Pancasila. Bahkan hal itu dilakukan oleh organisasi mahasiswa seperti dalam kelompok Cipayung. Seberapa kuat organisasi ini, maka bangsa ini juga akan kuat.

“Saya melihat, terdapat tiga poin yang bakalan menguat ke depan. Pertama, adanya kelompok yang memanfaatkan situasi saat ini dalam soal-soal intoleran untuk kepentingan politik. Kedua, ada kelompok yang tidak tahu soal ini, sehingga mereka hanya mengikuti apa kata pemimpin mereka dalam wadah apapun sebagai sebuah kebenaran. Ketiga, kelompok pelajar hari ini yang mudah goyah karena bisa berubah akibat sedang berada pada fase mencari identitas. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Kelompok Cipayung harus menjadi yang terdepan dalam memproduksi gagasan kebangsaan,” sambung Addin.

Jihadul Mubarok, Ketum DPP IMM 2012-2014 mengatakan, NKRI itu harga mati bagi Muhammadiyah. Perlu ditanamkan rasa optimis dalam bernegara. Hasil penelitian membuktikan bahwa kelompok yang ingin merdeka dalam negara ini populasinya kecil, sementara penelitian lain mengungkapkan bahwa 65% masyarakat Indonesia tidak mau mengubah Pancasila sebagai ideologi negara.

Tweedy Noviadi, Ketum PP GMNI 2011-2013, 2013-2015 mengatakan, Pancasila adalah wadah pemersatu dan Pancasila harus dioperasionalkan dan merupakan sumber semua aturan yang berlaku di Indonesia. Tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan Pancasila. Nilai – nilai Pancasila juga harus menjadi etos kerja pemerintah dan masyarakat.

I Made Bawa Yasa, Presidium Pusat KMHDI 2012-2014 mengatakan, Bhineka Tunggal Ika yang ada dalam cengkraman burung Garuda adalah sesuatu yang sudah final. Tetapi akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang berusaha menggoyahkannya. Ini konstruksi pikir yang sangat keliru.

“Pertemuan seperti ini penting dan harus kita galakkan dalam masyarakat sebagai sebuah pendidikan. Mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dalam memandang bangsa sebagai negara Pancasila,” ungkap Made.

Lidya Natalia Sartono, Ketum PP PMKRI 2013-2015 mengatakan, ideologi Pancasila harus kita tanamkan dalam masyarakat khususnya melalui ruang pendidikan. Tidak boleh menghilangkan mata pelajaran PMP, PPKN, PKN, Pendidikan Pancasila dan sebagainya.

“Dalam ruang pendidikan khususnya S1, banyak mahasiswa masih bingung tentang lahirnya Pancasila. Dari sini kita lihat perlu adanya tambahan konten dan pelajaran Pancasila dalam ruang-ruang sekolah dan kuliah,” tutur Lidya.

Suparjo, Ketum PP HIKMAHBUDHI 2014-2016 mengatakan,  menurut Russel, falsafah itu antara ideologi dan sains. Hal ini sangatlah cocok dengan Pancasila yang juga menjadi dasar hidup bersama dalam bangsa. Pancasila menjawab semua keinginan di negara ini dan tidak ada perbedaan. Tetap banyak oknum yang ingin mempermainkan Pancasila dan ingin merebut kekuasaan.

Ayub Pongrekun, Ketum PP GMKI 2014-2016 mengatakan, sangat menarik bila kita melihat proses dialetikal Soekarno sampai lahirnya Pancasila. Dari berbagai tempat di mana beliau berada seperti Bandung, Jakarta, Sumatera sampai Ende. Beragam pengalaman dan korespondensi ini memberi kontribusi berarti bagi gagasan Pancasila.

“Kekayaan kebudayaan dari dialetikal pengalaman dan korespondensi tadi memberi warna pada Pancasila sehingga Soekarno dengan lantang menolak sistem monarki, dan mengusulkan musyawarah yang tidak bertentangan dengan budaya. Pengambilan keputusan layaknya masyarakat Minangkabau, Bugis, Makassar dan atau pela gandong di Ambon dan lain-lain. Oleh karena itu harus dihayati bahwa Pancasila adalah jiwa raga Indonesia,” sambung Ayub .

Adriyana, Ketum PP KAMMI 2013-2015 mengatakan, Pancasila merupakan titik ekuilibrium dari perbedaan. Mengapa goncangan bisa terjadi saat ini atas Pancasila? Itu disebabkan karena krisis identitas. Bila kita tidak bisa bersatu dalam banyak hal karena perbedaan lahiria, maka kita tetap dapat bersatu dalam Indonesia. Perbedaan jangan kita jadikan untuk saling menjatuhkan karena kita semua bersaudara.

Sebagai penanggap, Ketua Umum PP GMKI Sahat Sinurat mengatakan, Pengurus Pusat GMKI mengadakan diskusi publik dengan tema orang muda bicara Pancasila untuk mengingatkan kita bahwa kaum muda memiliki tanggung jawab dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu para pemuda harus bersatu dan tidak boleh tersekat-sekat dengan tembok perbedaan.

“Pancasila tidak hanya menjadi jawaban atas persoalan intoleransi, namun juga berbagai persoalan lain yang masih terjadi di tengah bangsa kita seperti ketimpangan pembangunan, diskriminasi, korupsi, disintegrasi bangsa, dan lain sebagainya. Maka nilai-nilai Pancasila harus dapat diarustamakan dalam setiap sendi kehidupan bangsa,” sambung Sahat.

Penanggap selanjutnya, Taufan P Korompot, Ketua Umum DPP IMM 2016-2018 mengatakan, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI harus terinternalisasi dalam diri setiap warga Indonesia. Pancasila harus dijadikan sebagai landasan nilai dari semua aspek kehidupan.

Dalam Diskusi Publik ini, semua pembicara sepakat bahwa Kelompok Cipayung Plus tetap bersinergi dan berkomitmen terhadap Pancasila dan NKRI. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung Plus harus juga terlibat dalam penanaman ideologi Pancasila di tengah masyarakat, salah satunya di dalam Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang baru saja dibentuk pemerintah.

Rumah ‘Persinggahan’ Toleransi di Tepi Danau Toba

Tiap ada peristiwa atau kejadian macam kasus intoleransi ulah segerombolan orang di Gedung Sabuga, Bandung itu, aku tak hanya bertarung mengelola emosi yang sontak mendidih di dalam diri. Juga, harus menahan kejengkelan karena di antara yang merasa minoritas dan tertindas itu tak saja menyemburkan kegeraman –yang bisa dimaklumkan– namun sebenarnya hanya luapan kesia-siaan, sebab yang namanya kemarahan dan disampaikan dalam bentuk apapun, sebenarnya takkan pernah menginspirasi pikiran dan perbuatan baik yang bermanfaat bagi insan beradab.

Lebih sial lagi, akan ada yang menyindir-nyindir sikapku yang selama ini mencoba bertahan: mengedepankan akal sehat, mendukung harmoni sosial, penekanan agar tetap menghargai kehidupan dan humanisme di tengah ketertekanan–dan gelinjang emosi. Ia atau mereka, agaknya lebih menginginkan aku agar turut seperti mereka: meluapkan kemarahan, menyampaikan sindiran, yang sebenarnya sama-sama ekspresi kebencian.

Provokasi akhirnya melahirkan agitasi; kebencian dihadapi dengan kata-kata kemarahan. Itu bukan (lagi) “kelasku,” dan kau atau kalian boleh mencibir. Tak di tahap itu lagi aku. Tetapi, kepedulianmu (bila merasa begitu), belum tentu lebih tinggi kadarnya dibanding aku, namun caraku berbeda. Dalam pelbagai hal, perlu siasat. Siasat yang lebih cerdas, dan kupilih yang menurutku (menurutku lho) lebih beradab, intelek, hingga tak harus memancing keonaran baru.

Saya, lewat catatan-catatan ringan di medsos ini, ingin merangkul sebanyaknya agar lebih banyak orang menyukai humanisme dan harmoni sosial, mementingkan kedamaian, betapapun semua itu dianggap kemustahilan. Aku percaya, gerakan-gerakan serupa riak-riak di danau itu bermakna, dan aku memang pemburu makna. Itulah bedanya kita. Tanpa bermaksud merasa seorang yang istimewa.

Saya lahir dan besar di lingkungan (terutama didikan orangtua) yang amat toleran dan sedia membagi perhatian pada orang lain. Seperti yang pernah kutuliskan di beberapa catatan, rumah kami yang sederhana (di Pangururan), merupakan persinggahan dan penginapan bagi kerabat, kawan sekampung bapak, yang beragam keyakinan-agama. Rumah kami adalah tempat singgah dan menginap para “Parbaringin,” “Parmalim,” penganut Adventis, Saksi Yehova, Muslim, bahkan yang dituduh terlibat PKI.

Tak sedikit klan Situmorang yang merantau ke Sumatera Timur jadi Muslim, dan manakala pulang ke kampung halaman (Bonapasogit), mampir atau menginap di rumah kami sebelum ke kampung asal mereka karena harus menunggu bus (motor) P.O Pulo Samosir yang jarang itu, “motor” Sidikalang-Pangururan-Mogang-Nainggolan.

Sejak dini, aku sudah terbiasa dengan keberagaman, keperbedaan, dan… tak menjadi gangguan bagi kenyamanan bathin. Kawan-kawan bermainku, para anak tentara dan polisi yang berumah di Tajur, selalu ada Muslim (biasanya orang Jawa/Jadel, Melayu, Pakpak, atau Karo). Di dekat rumah, persisnya di samping Pesanggrahan Pemda, ada masjid kecil yang diurus marga Sihombing dari Harianboho, halamannya pun tempatku bermain bersama kawan-kawan bocah. Dulu ada pohon asam jawa dan mangga, aku dan kawan-kawan senang memanjat lalu mengunyahi buah yg asem dan manis itu sambil duduk di sisi mesjid sambil berceloteh khas bocah. Indah sekali bila itu kuingat, apalagi Danau Toba yang memesona, terhampar di depan.

Masa kecilku hingga menuju remaja memang indah, terbiasa dengan panorama nan elok dan besar di satu keluarga yang meskipun bersahaja, normal dan patuh norma-norma adat, ditopang hubungan perkerabatan serta pertetanggan yang hangat dan tulus. Aku tak biasa dengan lingkungan yang disebut “keras” atau “kasar.” Kecongkakan, kesinisan, merupakan pantangan bagi kami dan kawan-kawan, juga tetangga. Kami, khususnya dengan orang-orang Pangururan, terbiasa dengan toleransi sejak dahulu kala –entahlah kini.

Aku lahir dan besar di tengah alam yang “penuh puisi,” disuguhi panorama yang tak ada bosannya ditatap, pula lingkungan yang mengindahkan sopan-santun dan norma-norma yang memantangkan pemisah-misahan manusia, siapapun dia, bahkan “bonggali” pun seperti saudara.

Barangkali, itulah yang berperan penting membekaliku dan berfaedah hingga kini: membuatku terpesona harmoni sosial dan perdamaian.

*-*

Foto: Pixabay