Tag Archives: Injil

Wartawan, Jurnalisme, dan Gospel Worldview

Perhatikan kalimat ini: Saya terlatih menjadi jurnalis dan saya juga terlatih menjadi pengikut Kristen sejati. Apakah ini dua hal yang bertolak belakang? Atau dapatkah seorang jurnalis menjadi Kristen yang baik. Sebaliknya, dapatkah seorang Kristen sejati menjadi jurnalis yang baik?

Di Indonesia ada banyak jurnalis Kristen, itu faktanya. Tapi seberapa banyak kekristenan dan terutama Injil mempengaruhi mereka bekerja di dunia jurnalistik umum? Di sisi lain, ada juga kelompok jurnalis dari media-media Kristen. Sudahkah Injil betul-betul mempengaruhi mereka bekerja?

Di Indonesia, jurnalis Kristen dan Katolik biasanya berkumpul dalam forum, seperti Forum Wartawan Kristen atau Forum Wartawan Katolik. Tapi dalam aktivitasnya, forum-forum itu lebih banyak berfungsi sebagai ajang silaturahmi dan pembinaan rohani. Bukan sebagai forum intelektual, bagaimana para jurnalis ini membedah doktrin-doktrin kekristenan secara ilmiah, berdasarkan sudut pandang jurnalisme dan sebagainya.

Maka tulisan ini menjadi upaya saya untuk mencari benang merah antara jurnalis dan Injil. Menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana seorang jurnalis dan dunia jurnalisme memandang Kitab Injil dan apa pengaruh Injil dalam hidup mereka.

Memahami Cara Kerja Jurnalistik

Untuk menjawab pertanyaan pada bagian pendahuluan, saya kira kita harus terlebih dahulu memahami bagaimana seorang jurnalis bekerja. Jurnalis sebagai seorang profesional memiliki aturan dan etika profesional dalam pekerjaannya.

Pada dasarnya, jurnalis sejati atau wartawan sejati bertujuan untuk menyampaikan soal-soal yang rumit dan mengkomunikasikannya dengan cepat menggunakan relatif sedikit kata, supaya lebih sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca/publik.

Apa yang dikomunikasikan kepada pembaca sesungguhnya? Servis seorang jurnalis adalah kebenaran. Kebenaran itu berkaitan dengan fakta-fakta. Berdasarkan fakta inilah para jurnalis bekerja.

Kalau dijabarkan lebih mendetail, ada baiknya melihat pedoman kerja wartawan Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pada pasal 6 yang terdapat dalam bab mengenai Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, disebutkan bahwa wartawan itu berkewajiban:

– memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
– menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;

– mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum;

– memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Jadi, wartawan harus bekerja berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Fakta, dalam hal ini adalah: informasi yang tepat, akurat, dan benar. Semua informasi hanya tinggal menjadi informasi sebelum dilakukan check and recheck serta verifikasi. Setelah melewati proses check and recheck dan verifikasi, sebuah informasi berubah menjadi FAKTA.

Fakta, sesuai dengan makna sebenarnya, haruslah dapat dipercaya. Sebab kalau tidak, maka sudah menyalahi hakikatnya. Fakta yang bukan fakta adalah hoax atau informasi palsu.

Tapi sebelum menjadi berita, fakta-fakta harus dipilah-pilah. Sebab, acuan dalam penulisan berita harus memperhatikan variabel penting yaitu angle tulisan dan newsvalue atau nilai berita.

Angle adalah sudut pandang berita, tentang tema utama atau topik utama yang hendak disampaikan melalui berita tersebut. Sedangkan newsvalue adalah nilai berita yang mempengaruhi keterbacaan berita tersebut. Kalau berita tak mengandung salah satu atau beberapa newsvalue, dipastikan berita itu akan rendah tingkat keterbacaannya.

Beberapa newsvalue adalah: proximity (kedekatan), aktualitas (kebaruan berita), magnitude, dan ketokohan dalam berita. Nanti kita akan melihat bagaimana unsur newsvalue ini bisa ditemukan dalam Injil. Tapi sebelumnya, mari kita mengenali keempat Kitab Injil terlebih dahulu.

Memahami Kitab Injil

Ke-66 kitab yang terdapat di dalam Alkitab telah melewati apa yang disebut dengan proses kanonisasi, yaitu proses yang melibatkan pengenalan dan pengakuan akan originalitas dan otoritas ke-66 kitab itu sebagai Firman yang diilhamkan Tuhan.

Perjanjian Lama khususnya pada Alkitab kaum Protestan, mengacu pada Taurat Ibrani yang terdiri 39 kitab. Tak banyak persoalan dalam kanonisasi Perjanjian Lama. Walau denominasi lain, macam Katolik memasukkan beberapa kitab yang disebut deuterocanonical.

Sedangkan untuk Perjanjian Baru, di mana keempat kitab Injil berada, penentuannya telah melewati berbagai pengujian, seperti:

– apostolicity

Apakah ia ditulis oleh seorang rasul atau diotentifikasi oleh seorang rasul?

– universality

Apakah ia dibaca dan diterima secara luas?

– karakter

Memadai secara spiritual, diarahkan pada kesalehan, konten doktrinal mempunyai kesesuaian dengan pengajaran rasul-rasul.

Prosesnya panjang dan memakan waktu cukup lama sebelum akhirnya gereja bersepakat pada kitab-kitab yang ada di dalam Perjanjian Baru saat ini.

Tetapi penyelidikan terhadap kitab-kitab Perjanjian Baru terus berlangsung sampai kini dan telah melahirkan banyak sekali hasil penelitian yang menarik. Salah satu yang relevan untuk saya angkat pada tulisan ini adalah hasil penelitian yang mendapati bahwa keempat Injil memiliki ciri kesusasteraan yang sama, yaitu sebagai buku biografi kuno.

Salah seorang pakar yang meneliti hal itu adalah Michael R. Licona Ph.D, seorang associate professor teologi di Houston Baptist University. Saya mendengar banyak paparannya pada sebuah acara di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pakar Perjanjian Baru ini memiliki empat alasan saat menyimpulkan bahwa keempat Injil adalah biografi kuno:

Pertama, Biografi biasanya berfokus pada seorang karakter utama, bukan pada era, peristiwa, atau pemerintahan. Dalam hal ini, fokus pada keempat injil adalah sosok Yesus Kristus. Kedua, menggambarkan mengenai silsilah karakter utama, kemudian bergerak cepat untuk menceritakan mengenai kisah si tokoh di tengah publik, dalam hal ini adalah pelayanan Yesus. Ketiga, biografi kuno memiliki panjang 10.000-20.000 kata, supaya cerita cukup ditampung pada satu gulungan. Semua kitab injil begitu panjangnya. Keempat, karakter utama digambarkan melalui kata-kata dan perbuatannya.

Kaitan antara Injil dan Berita

Satu hal yang menarik, kata Injil atau gospel sendiri berasal dari kata evangelion, dari Bahasa Yunani, yang artinya ‘good news’ atau ‘berita baik’.
Injil adalah sebuah berita.

Jelas tak sama dengan berita-berita pada umumnya yang kita baca di media online atau media cetak, atau kita tonton di stasiun TV. Tapi sebagaimana Injil dan kitab-kitab lain menjalani proses kanonisasi, berita pun berproses sebelum menjadi apa yang kita baca atau pirsa.

Kalau melihat prosesnya, pembuatan dan penerbitan berita di media massa juga melewati proses panjang. Segala informasi harus dibedah, diperiksa, dicek dan ricek, untuk diketahui mana yang memang fakta dan mana yang bukan fakta.

Fakta-fakta itu kemudian disaring lagi melalui apa yang disebut ukuran newsvalue, alias nilai berita. Nilai berita akan mempengaruhi apakah fakta-fakta itu menarik untuk dibaca atau tidak. Kalau tidak ada nilai berita, ya tidak akan diterbitkan sebab tidak akan dibaca oleh orang.

Dalam konteks ini, menurut saya Injil adalah berita yang sudah melewati berbagai proses tadi. Injil adalah fakta, bukan fiksi. Meski di dalamnya terkandung muatan fiksi macam perumpamaan-perumpamaan yang diceritakan Yesus Kristus. Tapi itu jelas tak mempengaruhi keabsahan Injil sebagai fakta sejarah, yang merupakan biografi kuno tentang Yesus Kristus.

Kitab Injil dan kitab-kitab lain di Alkitab sudah merupakan hasil verifikasi ketat, untuk memisahkannya dari kitab-kitab yang tak punya unsur yang kuat untuk disebut sebagai Firman yang diilhamkan oleh Allah melalui Roh Kudus.

Dalam dunia jurnalistik, biografi termasuk salah satu produk jurnalisme. Cukup sering media menuliskan biografi tentang tokoh-tokoh yang populer, penting, dan berpengaruh.

Sebab berita semacam itu juga menarik dan inspiratif serta edukatif, sebagaimana arahan pasal 3 UU no 40/1999, bahwa salah satu fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Dalam penyusunan biografi, selain memperhatikan akurasi, yang terutama adalah bagaimana menampilkan hal-hal penting yang menarik dalam riwayat hidup tokoh yang ditulis. Sebab tak semua riwayat itu menarik dan relevan untuk diceritakan kepada pembaca. Dalam penulisan biografi dengan ruang yang terbatas, jelas harus ada upaya pemilihan editorial, mana fakta atau kisah yang harus diceritakan dan mana yang tidak perlu.

Sama halnya dengan Injil, tak menceritakan keseluruhan riwayat hidup Yesus Kristus, sebab tak dianggap relevan dengan maksud penulisan kitab Injil tersebut. Melainkan para penulis Kitab Injil, dengan bimbingan Roh Kudus, menuliskan hal-hal dalam pelayanan Yesus, baik perkataan dan perbuatan-Nya, yang memiliki relevansi dengan tujuan penulisan kitab tersebut.
Apakah tujuan penulisan Injil dan keseluruhan Alkitab? Bukankah dengan maksud membawa ‘pulang’ anak-anak Adam-Hawa kembali ke Firdaus?

Penulis Kitab Markus misalnya, menceritakan pelayanan Yesus Kristus dengan maksud untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah melalui perbuatan dan perkataan-Nya. Begitu juga penulis Kitab Yohanes. Sedang penulis Kitab Matius memberi penekanan pada kemesiasan Yesus. Jadi mereka menyampaikan berbagai fakta mengenai perbuatan dan perkataan Yesus yang akan menopang tujuan mereka masing-masing, dan tentu saja, sesuai dengan maksud Tuhan sendiri dalam penulisan Injil.

Sedangkan aspek newsvalue yang dipenuhi Injil yang paling jelas adalah ketokohan, sesuai dengan kesusasteraannya selaku biografi kuno. Tentang Yesus Kristus ditulis sebagai biografi sebab tokoh ini memang sangat menarik perhatian dan sangat kontroversial pada zaman tersebut dan sampai sekarang. Apa yang diucapkan-Nya dan dilakukannya menarik perhatian luar biasa. Anak tukang kayu dari Nazareth itu disebut Nabi, Guru, Juru Selamat/Mesias, dan Tuhan.

Lebih lanjut, pertanyaannya, bagaimanakah seorang jurnalis memandang kitab Injil?

Bagaimana Jurnalis Memandang Kitab Injil

Sebagai berita, Injil, menurut saya, sudah memenuhi segala syarat sebagai berita yang menarik untuk dibaca dan sangat berpengaruh. Secara umum bagi setiap manusia, yang sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan. Dan secara khusus bagi para jurnalis-jurnalis Kristen di luar sana.

Injil dituliskan dan diinspirasikan oleh Tuhan sebagai ‘jalan pulang’ manusia ke Firdaus, tempat seharusnya manusia berada saat diciptakan. Kejatuhan manusia ke dalam dosa telah menyebabkan keterpisahannya dengan Tuhan dan akibatnya adalah kematian.

Tapi Tuhan sudah menyediakan jalan keluar. Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia ini, sehingga dikaruniakan-Nya Anak-Nya yang tunggal itu, supaya barangsiapa yang percaya akan Dia jangan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Tuhan Yesus Kristus sendiri sudah memberitakan: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yohanes 14:6). Bagi seorang jurnalis Kristen, ia haruslah memandang Kitab Injil sebagai panduan menuju keselamatannya.

Tapi bukan hanya itu. Sebagai profesi yang bisa memberikan pengaruh kepada khalayak, menjadi penting bahwa Injil tak hanya memandu tapi juga sekaligus mempengaruhi bagaimana seorang jurnalis bekerja. Dalam hal ini, bagaimana Injil mempengaruhi bagaimana jurnalis meliput dan menuliskan berita. Sebab apa yang mereka tuliskan akan berdampak pada orang banyak.

Dalam konteks ini, sederhananya adalah bagaimana Injil menjadi worldview seorang jurnalis dan pada akhirnya membentuk perilakunya, mempengaruhi bagaimana dia meliput dan menuliskan beritanya. Dalam pandangan saya, setidaknya ada empat hal yang harusnya terjadi pada diri seorang jurnalis ketika memiliki Gospel worldview:

Hidup yang berpadanan dengan Injil

Filipi 1:27 menuliskan: “Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil.”

Hidup yang berpadanan dengan Injil amat penting. Sebab, sebagai seorang jurnalis Kristen, maka ia harus memiliki kesaksian hidup sesuai dengan apa yang dia percayai, sesuai dengan imannya dan tidak hanya menjadi jurnalis Kristen KTP. Sebab sekelilingnya akan melihat dan menghakimi bagaimana dia hidup. Kesaksian hidup yang benar akan sangat berdampak, tak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain.

Tidak menjadi pembenci

Seringkali godaan untuk berpihak muncul saat wartawan menulis berita. Padahal, prinsip jurnalisme adalah keberimbangan dan cover both side. Wartawan harus memberikan ruang yang sama dan berimbang kepada narasumber-narasumbernya, seberapapun dia tak menyukai salah satunya.

Yesus Kristus di Kitab Injil juga mensyaratkan supaya kita tidak menjadi pembenci melainkan mengasihi orang lain seperti diri sendiri (Matius 22:39).

Wartawan juga tidak boleh buru-buru menghakimi dan memberikan penilaian prematur, melainkan harus selalu menimbang baik-baik setiap perkara. Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil (Yohanes 7:24).

Tuliskan kebenaran dan ciptakan perdamaian

Seperti yang disebut pada poin pertama, jurnalisme sejatinya tidak berpihak. Tapi amanat bagi pers adalah untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan, seperti termaktub dalam pasal 6 UU Pers. Begitulah juga panggilan sebagai orang Kristen untuk senantiasa berpihak kepada kebenaran dan berusaha menciptakan perdamaian, bukan menimbulkan sensasi dan kontroversi. Tuhan Yesus berkata berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9).

Mengedepankan kepentingan orang lain dan tidak mencari pujian sia-sia

Begitulah yang disebutkan dalam Filipi 2:3 “…dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”

Banyak wartawan yang berambisi mengejar pujian atau penghargaan, sehingga kadang kala jadi kebablasan dan tak jarang yang rela membuat berita bohong hanya untuk jadi seseorang yang menonjol dibandingkan orang lain. Atau mungkin membuat berita yang benar, hanya tidak memperhatikan etika dan kesopanan. Sekadar mencari sensasi dan kunjungan lebih banyak pembaca ke outlet berita mereka.

Sebagai wartawan Kristen yang hidupnya dipengaruhi Injil, harusnya bersikap rendah hati dan mengutamakan orang lain. Dengan sikap ini, biasanya seorang wartawan akan lebih jernih dalam melihat persoalan yang hendak diliput dan ditulisnya. Keran informasi juga akan terbuka dengan lebar dan ada banyak hal-hal menarik yang bisa digali, kalau seorang wartawan tidak sok tahu atau sombong.

Tujuh Puluh Kali Tujuh Kali

Tidak terasa tahun 2016 sebentar lagi akan berlalu. Banyak peristiwa yang sudah kita alami dan lewati di tahun ini, dan saya percaya banyak berkat yang sudah kita terima, dan tentu saja banyak hikmah, pelajaran, atau teguran, yang sudah kita terima juga. Satu hal yang menghiasi ruang berita kita belakangan ini adalah tentang keriuhan politik di DKI Jakarta. Selain itu kita juga masih disuguhi berita-berita tentang kekerasan atas nama agama, bukan hanya di negeri kita tetapi dari berbagai belahan dunia. Dua hal ini membuat saya teringat akan suatu topik yang selalu menarik untuk dibahas dalam kaitannya dengan kasih karunia. Itu adalah topik tentang Pengampunan.

Bicara Kasih Karunia tidak mungkin tidak membicarakan tentang Pengampunan, karena kasih karunia secara sederhana berarti pengampunan yang diberikan Allah kepada manusia melalui pengorbanan Anak-Nya, Yesus Kristus di kayu salib. Apalagi kalau kita melihat kata “mengampuni.” Kata ini di dalam bahasa Inggrisnya berbunyi “forgive” atau “pardon”. “Forgive” datang dari akar kata “give” yang artinya “memberi” dan “pardon” dari akar kata “donum” yang artinya “hadiah”. Melihat kekerasan-kekerasan yang belakangan ini menghiasi ruang berita kita, topik pengampunan ini tentunya menarik untuk dibicarakan, karena Alkitab mengajarkan kita bahwa satu solusi terhadap lingkaran setan kekerasan adalah pengampunan.

Ada banyak ayat di dalam Alkitab tentang pengampunan, namun hari ini kita akan membaca dari kata-kata Yesus sendiri, ketika Dia mengajarkan murid-murid untuk berdoa. 12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; 13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.) 14 Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. 15 Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Matius 6:12-15)

Mengampuni. Saya rasa kita semua setuju kalau mengampuni itu adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Ketika seseorang melakukan kesalahan kepada saya, dengan segera saya menemukan seribu satu alasan untuk tidak mengampuni dia. Saya akan bilang: Dia harus diberi pelajaran, atau Dia harus tahu setiap perbuatan ada konsekuensinya, atau Dia harus belajar bertanggung jawab atas perbuatannya, dia yang salah, kenapa juga saya yang harus mengampuni?, bagaimana saya bisa mengampuni kalau dia tidak menyesali perbuatannya? Butuh waktu untuk kemudian bisa memutuskan untuk mengampuni atau memberi maaf.

Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa Kristus mengajarkan kita untuk mengampuni. Bahkan, Yesus di dalam Matius 6:15 tadi mengatakan bahwa jika “kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” Oleh karena itu orang Kristen tidak punya pilihan lain kecuali mengampuni.

Saya tahu pernyataan ini akan membuat banyak orang gelisah. Oleh karena itu saya akan memberikan 2 buah alasan yang sangat baik, yang bisa menolong kita untuk mulai mengampuni.

Alasan yang pertama: mengampuni memutus mata rantai tudingan dan sakit hati, memutus lingkaran setan kebencian. Di Perjanjian Baru, kata dalam bahasa Yunani yang umum dipakai untuk pengampunan bermakna secara harfiah “melepaskan”, “membebaskan diri” dari sesuatu.

Kadang mengampuni memang terasa tidak fair. Doktrin “karma” kadang terasa lebih “fair” bagi kita. Para ahli tentang Karma telah menghitung secara matematis berapa reinkarnasi yang diperlukan seseorang untuk mengimbangi semua perbuatan salahnya selama dia hidup: dibutuhkan 6,8 juta kali reinkarnasi.

Satu contoh kecil tentang memutus mata rantai ini bisa kita lihat dalam kehidupan pernikahan kita. Suatu hari isteri saya bilang kepada saya: “Kok kamu bisa lupa ultah ibumu sendiri”.

Saya menjawab: “lho, bukannya kamu yang tugasnya mencatat ultah orang-orang?
Dia membalas: “jangan salahin aku dong, kan ibumu!”

“Iya, tapi minggu lalu kan aku minta kamu untuk mengingatkan aku!”
“Gila kamu ya – kan ibumu. Masak ultah ibu sendiri ga bisa diingat?”

“Kenapa aku harus ingat? Kan tugasmu untuk mengingatkan aku!”

Dialog ini bisa terus berlanjut sampai 6,8 juta kali, sampai salah satu dari kami berkata, “cukup! Aku akan menghentikan ini, memutus rantai ini, memutus lingkaran setan ini.” Dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan pengampunan, dengan mengatakan: “Ya, aku salah. Maafkan aku ya sayang..”

Mengampuni, meski kadang terasa tidak fair, menyelesaikan mata rantai tudingan dan sakit hati. Mengampuni artinya “melepaskan”, “membebaskan diri”, sedangkan Mendendam berasal dari kata yang berarti “merasakan kembali”. Mengampuni membawa kita untuk maju, tetapi mendendam mengikat kita pada masa lalu, kepahitan yang sudah terjadi, sakit hati yang sudah dialami, dan seterusnya. Martin Luther menulis tentang Adam dan Hawa. Alkitab mencatat mereka hidup 900 tahun lebih. Bayangkan bagaimana ketika mereka berantem, Hawa akan berkata: “kamu sih, ikutan makan buah itu” , dan Adam akan menjawab “kamu sih yang ngasih ke aku.”

Pengampunan, menawarkan sebuah jalan keluar. Mengampuni memang tidak menyelesaikan persoalan siapa yang bersalah atau apakah sudah adil atau belum, namun dengan mengampuni kita memberi kesempatan kepada sebuah hubungan untuk dimulai kembali, dimulai secara baru.

Seorang pujangga Rusia, Solzhenitsyn mengatakan, yang membedakan kita dengan binatang bukanlah kemampuan kita untuk berpikir, tetapi kemampuan kita untuk bertobat dan mengampuni.

Ketika kita mengampuni, kita melepaskan diri kita dari belenggu masa lalu sakit hati dan kepahitan. Ketika kita mengampuni, kita bukan saja melakukan firman Yesus. Lewis Smedes menulis, “pihak pertama yang dipulihkan ketika pengampunan diberikan adalah pihak yang memberikan pengampunan itu. Ketika kita dengan tulus mengampuni, kita membebaskan seorang tawanan, dan tawanan itu adalah diri kita sendiri.” Tidak mudah melakukannya memang. Ketika Yusuf mengampuni saudara-saudaranya di Kejadian 45, dia berteriak dan menangis dengan suara nyaring. Pengampunan yang diberikannya adalah kemerdekaan bagi dirinya.

Alasan yang kedua mengapa kita harus mengampuni adalah pengampunan sanggup mengubahkan penjahat yang paling jahat sekalipun. Kekuatan dahsyat dari pengampunan adalah transformasi. Sebuah novel klasik yang sangat terkenal, Les Miserables karya Victor Hugo, melukiskan ini dengan sangat baik.

Novel ini bercerita tentang Jean Valjean, seorang narapidana di Prancis. Valjean dihukum 19 tahun karena mencuri roti. Selama di penjara dia menjadi seorang yang sangat kuat dan tangguh secara fisik. Tidak ada yang bisa mengalahkan dia. Setelah dia menyelesaikan hukumannya dan keluar dari penjara, dia kesulitan mendapat tempat tinggal, karena di masa itu orang tidak mau berurusan dengan mantan napi. Untunglah ada seorang pastur yang menerima dia menginap di rumahnya. Malam harinya, Valjean bangun dan mengambil peralatan makan milik sang pastur yang terbuat dari perak, dan melarikan diri. Keesokan paginya, si pastur terkejut karena tiga orang polisi mengetuk pintu rumahnya. Mereka menangkap Valjean yang sedang berusaha menjual peralatan makan dari perak milik sang pastur. Akan tetapi, reaksi dari pastur ini mengejutkan mereka semua, terlebih-lebih Valjean. “Lho, kamu ini bagaimana sih? Untung kamu balik lagi ke sini. Kamu lupa ya, kalau tempat lilin ini juga aku berikan buat kamu? Ambillah, ini juga dari perak, dan kalau dijual harganya 200 francs!”. Valjean terkesima, dia tidak tahu harus bicara apa. Si pastur ini meyakinkan para polisi bahwa Valjean bukan pencuri, peralatan makan dan tempat lilin itu adalah pemberiannya. Setelah para polisi pergi, si pastur memberikan tempat lilin dan peralatan makan itu kepada Valjean dengan pesan: “jangan lupa, kamu sudah berjanji akan memakai uang ini untuk memulai hidup sebagai orang yang jujur.” Valjean tidak lupa, dan seumur hidupnya dia hidup jujur dan membaktikan dirinya untuk melayani sesamanya.

Ketika kita mengampuni, kita sedang melakukan “pembedahan rohani”. Kita memotong bagian yang bersalah/berdosa dari orang yang melakukan kesalahan kepada kita. Kita memisahkan dia dari perbuatan jahat/salahnya. Tadinya kita menyatakan bahwa dia melakukan kesalahan/kejahatan kepada kita. Namun sekarang kita mengubah identitas dia. Dia dijadikan baru dalam memori kita. Sekarang dia bukan lagi orang yang menyakiti kita, tetapi orang yang membutuhkan kita. Dia membutuhkan pengampunan kita, dan kita memberikannya.

Memberikan pengampunan, dalam dunia nyata memang tidak sederhana. Seorang pemerkosa yang diampuni tetap harus menjalani hukumannya di penjara, akan tetapi ketika korbannya memberikan pengampunan kepadanya, si korban membebaskan dirinya dari belenggu kesakitan dan sekaligus memberikan identitas baru kepada si pelaku, sebagai yang telah diampuni.

Yesus memberi teladan yang sempurna kepada kita tentang mengampuni dan memulihkan, ketika dia mengampuni dan memulihkan Petrus yang tiga kali menyangkal dia. Petrus tidak perlu tenggelam dalam rasa bersalah karena penyangkalannya. Tidak, dia dipulihkan dan menjadi sokoguru Gereja. (Yohanes 21)

Mengampuni memutus mata rantai tudingan dan kepahitan, membebaskan kita dari sakit hati dan kepahitan derita seorang korban, dan mengampuni mempunyai kuasa untuk mengubahkan si pelaku kejahatan/yang berbuat salah kepada kita.

Apa yang telah Allah lakukan melalui Yesus Kristus juga sama. Anak tunggal Allah diutus ke dalam dunia bukan untuk menghakimi kita yang berdosa, tetapi untuk menyatakan pengampunan Allah. Yesus yang tidak berdosa menempatkan diri sebagai terhukum, untuk melepaskan dari identitas lama kita sebagai orang berdosa dan memberikan identitas baru kepada kita sebagai anak-anak Allah.

16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. 17 Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. 18 Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. (Yohanes 3:16-18)

Oleh karena itu, kita tidak bisa menolak ketika Dia berkata: 14 Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. 15 Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

Dan Paulus menulis juga: Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. (Kolose 3:13)

Teladan pengampunan kita adalah Tuhan yang telah mengampuni kita, karena itu pengampunan kita juga tidak diberikan batas, sampai berapa kali kita mengampuni. Yesus mengatakan kita mengampuni 70 x 7 kali terhadap saudara yang berbuat dosa kepada kita (Matius 18).

Harapan bagi bangsa ini, harapan bagi dunia ini adalah ketika kita yang telah menikmati pengampunan oleh kasih karunia Allah dalam Kristus Yesus, hidup dalam pengampunan itu, dan melepaskan pengampunan setiap kali pengampunan dibutuhkan. Seperti doa Fransiskus dari Asisi, Jadikan kami alat damai-Mu, di mana ada kebencian, biarlah kami melepaskan pengampunan.

 

Foto : Taman Getsemani, Bukit Zaitun, Yerusalem (koleksi pribadi)

Kuasa Kata

Tahukah Anda bahwa “kata” mempunyai kuasa? Sebuah kata memiliki kuasa, tergantung kepada siapa yang mengucapkan kata itu. Seorang perwira Romawi yang datang kepada Yesus dalam cerita Injil Matius (Mat 8:5-13), mengetahui betul hal itu.

Dia meminta Yesus menyembuhkan hambanya, namun Yesus tidak perlu datang ke rumahnya. Yesus cukup mengucapkan “sepatah kata” saja, dan hambanya akan sembuh. Perwira Romawi ini yakin siapa Yesus, yaitu Dia yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dengan sepatah kata (kata=word=firman).

Lalu bagaimana dengan “kata-kata” kita? Yesus mengatakan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya. (Markus 11:23).

Wow. Jika kita percaya, “kata-kata” kita pun memiliki kuasa yang dahsyat. Persoalannya adalah apakah kita sudah mencobanya? (Atau, apakah kita benar-benar percaya?)

Banyak orang sesungguhnya mempraktekkan “kata-kata” yang penuh kuasa pada dirinya, namun kebanyakan dengan negatif. Kita sering berkata “sial benar aku hari ini”, “bodoh sekali apa yang kulakukan”, dan seterusnya. Jika kita sungguh percaya kepada Allah sebagai Bapa yang maha kasih, yang rancangannya adalah kebaikan dan damai sejahtera bagi kita, seharusnya itu tercermin dalam kata-kata yang kita ucapkan juga.

Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semua itu (Filipi 4:8), dan jika itu ada di dalam hati kita, tentu akan terlihat melalui kata-kata kita.

Sang Pengkhotbah juga menulis begini “Perkataan orang arif itu seperti tongkat tajam seorang gembala, tongkat yang dipakainya untuk melindungi dombanya. Kumpulan amsal dan nasihat, seperti paku yang tertancap kuat. Semua itu pemberian Allah juga, gembala kita yang satu-satunya.” (Pengkhotbah 12:11 BIS).

Kata-kata yang keluar dari mulut orang yang memiliki otoritas dalam kasih karunia Allah, akan mendatangkan damai sejahtera, yang menginspirasi, membangkitkan semangat yang patah, dan mengobarkan api yang hampir padam.

Ah, saya mau mengucapkan “kata-kata” yang keluar dari iman saya kepada Allah, sang Bapa yang baik itu. Saya mau menikmati “memindahkan gunung” dalam hidup saya bersama-Nya. Mau mencoba? Ayo!

“Dusta di Antara Kita”

“Siapa yang kentut?”

Begitu saya spontan bertanya. Kasus: bau tak sedap. TKP: di dalam mobil. Tersangka: hanya empat orang, yaitu Si Papa, si Kakak, si Adik, dan saya.

“Aku!” jawab si Adik cepat.

Tidak seperti kasus kopi sianida yang bertele-tele, kasus kami ini langsung tuntas tanpa proses hukum.
Seketika mobil kami penuh tawa. Si Kakak lalu mengejek si Adik. Tapi saya memujinya.
“Bagus! Mama bangga akan kejujuran Adik,” puji saya.

Lalu saya pikir, mungkin begitulah hidup ini. Ketika kita mengungkapkan kejujuran, akan ada minimal dua respon. Ada yang menerima dan ada yang mencela. Itulah resikonya.

Padahal, seperti dalam ajaran berbagai agama, kejujuran itu hal yang mutlak. Hukum taurat kesembilan mengatakan: Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Entah mengapa, melakukan kejujuran sudah diajari sejak kecil tapi kita sering lupa (?) mengaplikasikannya dalam hidup nyata. Apakah karena terlalu menyakitkan, atau lebih menyulitkan, orang lebih suka mengambil jalan pintas untuk berbohong? Kejujuran memang bukan hal yang mudah. Lebih mudah melakukan kebohongan.

Dalam hal sepele dalam hidup sehari-hari, mungkin tanpa sadar kita adalah pembohong yang produktif dan seringkali kreatif. Kok bisa? Bisa dong. Orang kan suka berbasa-basi, yang biasanya isinya semua ‘kebohongan’ dalam bentuk kreatif. Mau contoh?

‘Masakanmu enak banget, masterchef pun kalah!’

‘Kamu adalah cewek paling cantik di dunia! ‘

‘Loe emang orang paling baik di dunia!‘

Basa-basi boleh saja, asal jangan sampai menjadi kebohongan. Kita bisa memuji orang tapi jangan jadi berlebihan dan bahkan melenceng dari realitas. Ucapan kita jangan jadi pembelokan kenyataan. Tetaplah di dalam rel, fokus pada tujuan kita untuk ucapan itu. Misalnya untuk memuji. Saya pikir, ucapan bercanda lebih baik daripada berbasa-basi, misalnya, daripada berkata: Kumismu lebih menarik daripada aktor Captain America, lebih baik berkata: Saking kumis lo mirip aktor Captain America, gue jadi pengen memelihara kumis juga. Yang penting kan tujuan awal kita adalah memuji (dengan kreatif). Bukan melebih-lebihkan.

Atau, berkata: ‘Kamu terlihat cantik dengan baju merah ini’, lebih baik daripada : Kamu cantik banget kayak Angelina Jolie. (Iya kalau benar mirip Jolie, kalau tidak, bagaimana? Nanti dikira menyindir, kan repot. Hehehe…)

Konon, ada seorang HRD manager di perusahaan tempat saya bekerja dulu, sering memalsukan absensi. Saya pernah masuk list urutan tiga besar karyawan yang paling sering terlambat. Tapi kalau mau jujur, HRD manager itu sama seringnya telat seperti saya, tapi namanya tidak tercantum pada list yang memalukan itu, sebab hal itu bisa ditutupi dengan manis (HRD manager gitu lho, yang pegang absensi.) Tapi toh pada akhirnya dia keluar dari perusahaan dengan tidak hormat. Itu menjadi pelajaran. Kita semua akan menerima upah dari perbuatan masing-masing. Seperti tertulis di kitab suci, apa yang kau tabur akan kau tuai. Orang yang suka berdusta pada akhirnya akan kena batunya sendiri dengan dustanya itu.

Dulu saya ada rekan yang suka karaoke. Kalau mau jujur, suara rekan ini fals, tapi jadinya lucu dan seru, dan kalau ke karaoke ada dia pasti jadi rame. Seorang rekan lain, punya suara bagus sekali. Suatu kali waktu kami karaoke, si suara bagus ini mencela si suara fals dengan jujur. “Suara lo ancur banget sih, X!”
Lalu si X yang memang berwajah bagus, juga menjawab dengan jujur:  “Eh… Mending suara gue ancur daripada loe mukenya yang ancur.” Seketika kami semua tertawa. Ouch! Kejujuran memang terkadang menyakitkan.

Ada sebuah gurauan, tentang pertanyaan paling sulit dijawab dengan jujur, yaitu jika ada wanita yang minta pendapat apakah dirinya gemuk. Dijawab jujur, nanti tersinggung. Dibilang kurus, nanti dikira bohong. Hahahaaa…

Memang tidak mudah hidup dengan kejujuran. Mungkin takkan ada yang bisa melakukannya dengan sempurna. Tapi yang terbaik adalah niat untuk melakukannya, dengan hikmat, pada saat dan tempat yang tepat. Ucapkanlah pada timing yang tepat. Bijaklah, untuk memilah mana yang harus diucapkan, mana yang hanya disimpan saja. Saya sendiri pun masih belajar bijak. Saya menulis artikel ini juga sebagai refleksi untuk diri saya sendiri, sambil mendengarkan lagu milik Broery Marantika, ‘Jangan ada dusta di antara kita’. 🙂

*-*

 

Komunitas Tanpa Syarat

dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu. (Kolose 3:11)

Kita hidup di dalam dunia di mana ada begitu banyak syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Dalam hubungan pekerjaan atau bisnis, syarat dan ketentuan memang diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi kekacauan. Akan tetapi masalahnya adalah, syarat dan ketentuan itu pun sudah menjadi bagian dalam hubungan antara manusia. Bahkan pasangan yang akan menikah pun sekarang sudah lazim membuat perjanjian pra-nikah, yang mengatur apa yang akan terjadi seandainya nanti mereka bercerai.

Gereja sebagai komunitas orang percaya, yang dipanggil keluar dari kehidupan yang penuh dosa oleh kasih karunia Allah, harus menghadapi kenyataan ini sebagai sebuah tantangan. Mengapa demikian? Karena banyak orang sekarang ini juga takut atau enggan datang ke gereja karena merasa diri mereka tidak dapat memenuhi ‘syarat dan ketentuan’ yang berlaku untuk dapat diterima di gereja. Apakah syarat dan ketentuan untuk diterima di gereja? Kekudusan, atau banyak lagi yang lain?

Kalau kita membaca Injil, kita akan menemukan bahwa ada banyak kisah tentang orang-orang yang tidak memenuhi ‘syarat dan ketentuan’ yang bahkan ada dalam kitab suci. Lihatlah cerita Saulus. Ketika Ananias, seorang hamba Tuhan di Damsyik, disuruh Tuhan untuk mendoakan dia, Ananias menolak, karena Saulus terkenal sebagai seorang yang memimpin teror terhadap orang Kristen di Yerusalem. Demikian juga Zakheus, seorang kepada pemungut cukai. Di mata orang Yahudi dia sama sekali tidak memenuhi syarat untuk mendapat keselamatan. Akan tetapi, Yesus mengatakan tentang dia: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.” (Lukas 19:9). Begitu juga dengan seorang yang kerasukan roh jahat sebanyak legion Romawi. Dia yang begitu ganas sehingga harus dikucilkan di pekuburan di Gerasa. Dia bahkan bukan orang Yahudi. Akan tetapi, Yesus melintasi danau yang dilanda angin topan hanya demi menemui dia. Dan untuk membebaskan dia Yesus membiarkan satu kampung di Gerasa kehilangan mata pencaharian (Markus 5:1-20). Atau Anda mungkin ingat cerita perempuan yang diseret ke depan Yesus karena kedapatan berzinah (Yohanes 4), dan perempuan Samaria yang sudah menikah 5 kali dan hidup bersama dengan laki-laki yang bukan suaminya (Yohanes 8)? Mereka semua tidak layak untuk disambut di gereja? Yesus menyambut mereka dengan hangat.

Gereja adalah tempat di mana kasih Allah nyata. Kasih Allah harus dinyatakan dengan sekuat-kuatnya, sama seperti kuasa dan kebenaran-Nya. Jika orang-orang berdosa tidak dapat lagi datang ke gereja karena terhalang oleh ‘syarat dan ketentuan’ yang dibuat oleh gereja, ke manakah lagi mereka dapat pergi? Padahal Yesus jelas mengatakan: “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” (Luk 19:10).

Gereja harus menjadi tempat di mana tidak ada syarat dan ketentuan yang diajukan. Siapapun boleh datang. Sekelam dan sehancur apapun masa lalunya, dia boleh datang. Sekeji dan sebrengsek apapun dosa-dosanya, dia diterima dengan hangat. Tidak ada pembedaan status sosial, ras, ataupun suku bangsa. Petrus menyatakan hal ini di rumah Kornelius, seorang perwira Italia yang didoakannya, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:34-35). Siapapun diterima, dan mengalami hidup yang baru di dalam kasih karunia. Haleluya!

 

Foto: Shine Jogja