Tag Archives: ibu

Angela Yuan: Kisah Seorang Ibu yang Hancur dan Mencari Harapan

Impian menjadi seorang ibu yang membawa anaknya kepada hidup yang sukses lenyap saat dia mendengar anaknya adalah seorang homoseksual. Suaminya tidak lagi seperti yang dia harapkan di saat mereka mulai membangun keluarga.

Anak pertamanya hidup dengan jalan hidupnya sendiri. Dan terakhir, anak yang diharapkannya menjadi kebanggaan dirinya, ternyata seorang homoseks dan pengedar narkoba pula.

Di saat hampir menyelesaikan studi doktoralnya, anak terkasihnya itu dikeluarkan dari kampus karena diketahui ia adalah seorang gay. Semua usahanya untuk membangun keluarga yang terpandang secara sosial dan ekonomi hancur di saat satu persatu semua yang dicintainya tidak lagi mencintainya.

Lalu untuk apa lagi dia hidup di saat segalanya sudah hancur? Masih adakah harapan baginya?

Sejak diumumkan bahwa akan ada KKR Kesaksian tentang seorang homoseksual dan pengedar narkoba yang menjadi dosen setelah Tuhan mengubah hidupnya, saya langsung menandai kalender untuk hadir. Yang memberi kesaksian adalah seorang penulis, pembicara dan pengajar di Moody Bible Institute: Christopher Yuan.

Sebenarnya harapan saya menghadiri KKR Kesaksian ini adalah ingin mempelajari seluk beluk seseorang yang tadinya homoseksual lalu menjadi normal kembali. Apakah mungkin? Bagaimana pemulihan yang Tuhan lakukan? Itulah tujuan saya hadir pada acara ini.

Saya berhasil mengajak suami untuk menemani saya hadir. Kapasitas Katedral Mesias – RMCI, GRII Pusat di Kemayoran, adalah 4.000-5.000 orang. Saat saya tiba, ruangan sudah hampir penuh.

Wow, ternyata seperti saya, banyak juga yang tertarik pada acara ini. Rupanya kisah pertobatan seorang Christopher Yuan cukup terkenal.

Sejak semula di gereja sudah diumumkan bahwa Christopher Yuan akan hadir bersama kedua orang tuanya–Angela dan Leon Yuan–saat akan memberi kesaksian. Sebelum dan sesudah kesaksian dibawakan, Pdt. DR. Stephen Tong memberikan pemberitaan firman Tuhan yang melengkapi kesaksian yang disampaikan.

Kurang lebih selama 3 jam berada di acara tersebut, saya tidak merasa lelah dan jenuh mendengarkan apa yang disampaikan oleh Keluarga Yuan. Mereka secara bergantian membagikan kisah hidup keluarga itu dari sejak awal dibangun lalu mulai mapan kemudian terjadi guncangan dan akhirnya hancur berantakan.

Hingga pada saat yang sangat kritis Tuhan datang menyelamatkan mereka satu persatu, dimulai dari Angela Yuan, sang ibu.

Angela adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat mengutamakan keluarga. Ia membantu suaminya membangun usaha klinik gigi.

Leon Yuan, adalah seorang dokter gigi dengan reputasi yang baik yang memulai kariernya dari bawah bersama Angela. Setelah menikah 20 tahunan hubungan Angela dan Leon menjadi semakin renggang dan dingin. Semua yang semula berawal baik seiring bertambah tahun semakin menuju kehancuran.

Leon dan Angela memiliki 2 anak laki-laki. Christopher adalah anak bungsu yang pada mulanya sangat dekat dengan sang ibu. Hanya, saat dia mengalami pelecehan seksual di usia belasan oleh seorang laki-laki dewasa, maka dia pun mulai kehilangan orientasi seksualnya. Bibit menjadi seorang homoseksual pun sudah mulai tertanam saat itu.

Mendengarkan Angela menceritakan kehancuran hatinya saat anak yang dikasihi memilih menjadi gay, saya pun terbawa emosi. Ia merasa gagal total menjaga pernikahannya dari kehancuran.

Pada saat itu, relasinya dengan suami dan anak tertua sudah semakin renggang dari hari ke hari. Ia merasa telah gagal sebagai seorang ibu ketika Christopher memilih untuk menjadi seorang gay.

Tak terbayang jika saya mengalaminya. Saya dan suami bersama 4 anak laki-laki kami begitu dekat satu sama lain. Apa jadinya saya jika sesuatu yang saya sangat tidak harapkan terjadi pada salah satu anggota keluarga saya?

Sesuatu yang buruk, memalukan dan menghancurkan? Mungkinkah saya akan sama seperti Angela Yuan? Pada saat itu, Angela sudah memutuskan bahwa ia akan mengakhiri hidupnya.

Saya menanti-nantikan bagian dimana Tuhan masuk dalam cerita keluarga Yuan. Sebab, saat pertama memulai kesaksiannya Leon memberitahu bahwa mereka bukanlah keluarga yang mengenal Kristus. Rasa ingin tahu saya membawa saya menyimak setiap perkataan yang disampaikan Angela.

Dia menceritakan bahwa ketika dia memutuskan akan mengakhiri hidupnya, pada saat itu Tuhan memanggilnya. Melalui sebuah traktat yang diberikan seorang pendeta padanya, Tuhan berbicara padanya lewat tulisan yang ada didalam traktat itu.

Angela membaca salah satu bagian dalam traktat itu yang mengatakan bahwa Kristus sudah mati supaya mereka yang percaya padaNya tidak lagi mati.

Lalu ia bertanya-tanya, apakah Kristus juga mati baginya? Bagaimana caranya mengenal Kristus yang mau mati bagi dirinya? Lalu apakah dia masih harus mengakhiri hidupnya jika Kristus sudah mati baginya?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu dia pikirkan dalam perjalanan akan menemui Christopher untuk terakhir kalinya sebelum ia memutuskan akan bunuh diri. Saat itu, Angela sudah ingin mati. Ia tidak sanggup hidup lagi. Ia sudah kehilangan harapan dalam hidupnya.

Angela merasa sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk menjadi alasannya tetap hidup. Tetapi pada saat yang sama ia mendengarkan suara Tuhan yang berkata bahwa Tuhan mengasihinya dan Tuhan juga mengasihi Christopher. Dan tidak ada yang akan dapat memisahkan kita dari kasih ALLAH, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Roma 8:38-39 inilah yang Tuhan pakai untuk memanggilnya. Tuhan memanggil Angela untuk menerima kasihNya. Dan inilah permulaan dari pencarian harapan Angela bagi Christpher, anaknya yang terhilang.

Sekalipun acara KKR Kesaksian ini menyoroti pertobatan seorang gay dan drug dealer yang akhirnya sekarang Tuhan pakai menjadi alatNya melayani mereka yang berada didunia yang dulu pernah dihidupi seorang Christopher Yuan, tetapi bagi saya kisah Angela Yuan, sang ibu, itulah yang saya bawa pulang dan jadikan pelajaran baru bagi hidup saya.

Siapa yang tahu jalan di depan hidup kita? Paling tidak jika saya butuh kekuatan, saya tahu ada teladan seorang ibu yang berjuang keras demi kembalinya sang anak kepada Tuhan, setelah ia sendiri Tuhan panggil untuk percaya dan mengikutiNya. Angela tidak henti-hentinya berdoa bagi Christopher dan terus membanjiri Christopher dengan surat-suratnya yang berisi firman Tuhan saat Christopher dipenjara.

Angela memberikan pelajaran pada saya bagaimana seharusnya seorang ibu berjuang dengan segenap hati dan tanpa lelah agar anaknya yang tersesat dapat kembali pulang kepada Tuhan.

Dia adalah seorang ibu yang setelah hidup didalam Tuhan, tidak melepaskan harapannya pada Kristus, dan percaya akan kasihNya melalui keselamatan yang diberikan di atas salib. Dan ibu ini ingin anak terkasihnya yang jatuh dalam kegelapan dosa mendapatkan harapan dan kasih yang sama yang sudah ia terima dari Kristus.

Tidak ada yang akan dapat memisahkan kita dari kasih ALLAH, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Nah, bagi pembaca Petra Online, terutama bagi para wanita, untuk menjadi seperti seorang Angela Yuan yang hidupnya Tuhan perbaharui, dapat kita mulai dari saat masih di bangku kuliah atau pun saat sudah bekerja, saat masih bujang maupun saat sudah berkeluarga. Masalahnya, sudahkah engkau memiliki kasih Kristus?

Soli Deo Gloria

(Silahkan search google untuk lebih mengenal Christopher Yuan dan Angela Yuan yang sudah menulis buku tentang kisah hidup mereka)

Inge Waluyo

Penulis adalah ibu rumah tangga yang mengajar bahasa inggris di sekolah dasar di Bintaro Jaya

Foto: www.challies.com

Doa Ibu yang Mengubah Dunia

Sering, lagu ini saya dengar di acara pemberkatan nikah, yaitu pas prosesi ketika pengantin akan sungkem kepada orangtua. Dan bagian ini selalu menjadi bagian yang mengharukan dan bisa bikin airmata menitik.

Di waktu ku masih kecil gembira dan senang
Tiada duka kukenal tak kunjung mengerang
Disore hari nan sepi ibuku bertelut
Sujud berdoa ku dengar namaku disebut
Di doa ibuku namaku disebut
Di doa ibuku kudengar ada namaku disebut

Sebenarnya ini bukan lagu pernikahan, cuma memang liriknya bisa pas untuk mengenang masa lalu yang akan kita tinggalkan, masa bersama ibu dan masa kecil kita (oh ya, sebenarnya kasihan juga si bapak ya, karena nggak ada disebut di lirik lagu ini, hehehe).

Sering ini kukenang di masa yang berat
Di kala hidup mendesak dan nyaris kutersesat
Melintas gambar ibuku, sewaktu bertelut
Kembali sayup kudengar namaku disebut
Di sore hari nan sepi ibuku bertelut
Sujud berdoa ku dengar namaku disebut
Di doa ibuku, namaku disebut
Di doa ibuku dengar ada namaku disebut
Ada namaku disebut.

Apa yang unik pada lagu ini bagi saya pribadi adalah, lagu ini rasanya Mama saya banget! Ibu saya memang seorang ibu yang rajin berdoa. Sungguh! Belum pernah saya menemukan ibu teman lain sebanyak (rajin) berdoa seperti mama saya ini. Bagi saya, doa adalah lambang kedekatan seseorang dengan Tuhannya, dan itu adalah teladan yang luar biasa dan langka sekaligus tidak mudah! (So, thank God I have you, Mom. You show me the real God. You’re an extraordinary mother!)

Lalu, entahlah apakah hanya terjadi pada saya, tapi tahu ngggak sih, sejak jadi ibu, saya merasa kok makin gampang terharu ya? Serius!

Pernah sekali waktu, anak-anak sekolah minggu di gereja saya, (yang setiap tahun, di gereja pada hari minggunya, merayakan hari Ibu), setelah paduan suara anak-anak sekolah minggu ini menyanyikan lagu “Di doa ibuku namaku disebut”, mereka akan turun dari podium menuju ke tempat duduk jemaat untuk mencari ibu masing-masing, untuk memberikan setangkai bunga.

Itulah saat pertama kali saya dengan noraknya nggak bisa menahan airmata.
“Selamat hari Ibu, Mama sayang! Aku sayang Mama,” kata anak saya, pula.

Beeuuuhhhh… ! Nggak nahan! Duh, sambil menerima bunga dan cium peluk dari anak saya yang waktu itu masih umur 3 tahun, saya nggak bisa menahan linangan airmata, di antara ibu-ibu lain yang duduk sebangku di gereja. Rasanya, no matter how hard I tried not to let my tears out, I just couldn’t help it.

Aduhhh, malu banget deh saya kesannya cengeng gitu, lalu saya buru-buru mengeluarkan tisu sambil menghapus mata yang jebol, baju saya pun sudah sampai basah ketumpahan airmata saya sendiri. Nggak berani lagi menoleh ke kanan ke kiri. Astaga, kata hati saya, inilah rasanya jadi seorang ibu! Terharu biru! Astaganaga, hahaha… Itu pertama kalinya di depan umum saya dapat bunga dan ucapan sayang dari anak saya! Sungguh mengharukan!

Mungkin itulah bagian termanis menjadi seorang Ibu.

Lalu, bagian tersulit adalah, seperti kutipan saat teduh Renungan Harian, tanggal 22 Desember 2009, yang masih saya simpan sampai sekarang:

“Bertumbuhnya seorang pribadi selalu ditopang oleh kehadiran dan dukungan seorang ibu, atau seorang lain yang berperan sebagai ibu baginya. Bagaimana berkata-kata, mengampuni sesama, berbagi serta menunjukkan kasih, juga memercayai Tuhan, kebanyakan dipelajari orang dari ibu. Maka, kiranya perhatian ibu bukan mengatur urusan rumah jasmani saja. Yang jauh lebih penting adalah menata fondasi hidup seorang anak, yang kelak bisa mengubah dunia dengan cara yang menyenangkan Allah.”

Betapa beratnya tugas seorang Ibu. Kitalah yang bisa mengubah dunia, melalui pembentukan karakter anak-anak kita. Itulah kenapa, kita memang harus menjadi ibu yang banyak berdoa.

So help us, God!

-*-

Foto: Pixabay

Martabak dan SMS

Suatu malam (di Jakarta), di suatu hari minggu, saya dan istri pergi berbelanja. Pulangnya, istri saya terpikir untuk membeli martabak untuk anak-anak.

“Kayaknya Kharis sedang lapar nih,” kata istri saya. Lalu kami mampir ke tukang martabak langganan kami.

Sampai di rumah ternyata anak-anak kami sudah masuk kamar mau tidur. Lalu istri saya masuk kamar dan ternyata Kharis belum tidur.

“Ris, kamu sedang memikirkan apa?” tanya istri saya. “Martabak,” jawabnya. “Kan aku sudah SMS Papa minta beli martabak,” katanya lagi.

Lalu saya cek SMS, ternyata HP saya mati. “Wah, Ris ternyata SMS kamu terkirim ke hati Mama,” kata saya. Merenungkan kejadian itu, terpikir oleh saya tetang sensitivitas seorang ibu terhadap anaknya.

Apa artinya ini? Kalau manusia bisa punya sensitivitas sedemikian, apalagi Tuhan Allah kita!

Kata Tuhan Yesus: “Akan tetapi Bapamu Bapamu yang di Surga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. (Mat. 6:32).

Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking?

Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!
Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Luk 11: 12,13).

-*-
Foto: Pixabay

Menjadi Orangtua Yang Sempurna

Awalnya saya kira hanya saya yang mengalaminya. Rupanya teman-teman juga pernah. Mungkin Anda juga?

Pernahkah Anda merasa tidak mampu menjadi orangtua yang baik? Ketika melihat anak-anak tiap hari bergelut, berebutan, berkelahi tanpa sebab yang jelas, kita jadinya menyalahkan diri sendiri merasa bahwa kita telah gagal mendidik anak. Apalagi jika mendengar laporan yang kurang baik dari sekolah tentang anak, atau dari sesama orangtua murid, atau tetangga, rasanya kita telah gagal menjadi orang tua.

Padahal rasanya kita sudah mengajarkan dan menasihati ratusan kali, tetap saja anak seolah tak berubah, tetap sulit bangun pagi, malas belajar sendiri, susah mandiri, senang berkelahi dengan adik/kakaknya dan kurang menurut pada orangtua.

Apa yang salah? Hati kita bertanya-tanya.

Kita merasa telah melakukan segala yang kita dengar, baca, dan pelajari, tentang tugas menjadi sesosok orang tua. Kita banyak membaca buku tentang parenting, menonton dan mendengar radio bahkan ikut berbagai seminar. Tapi kita tak pernah merasa sudah bisa melakukan tugas sebagai ibu atau sebagai orangtua yang baik.

Setiap hari bahkan mungkin kita berdoa agar diberi kekuatan dan perubahan diri untuk bisa mendidik anak-anak dengan lebih baik, tapi tiap kali juga kita selalu merasa gagal dan jatuh ke dalam kesalahan yang sama: ketidaksabaran. Kita tetap menjadi ibu bawel dan tak sabaran, pemarah, dan suka mengomel. Tiap hari. Hingga mungkin kita merasa muak dan letih dengan diri sendiri.

Pernahkah Anda menonton serial komedi televisi Amerika, Last Man Standing?

Saya suka menonton film serial komedi itu. Di film itu, Tim Allen berperan sebagai Mike Baxter, ayah dari tiga anak perempuan, yang mendukung nilai-nilai tradisional Amerika, dan seorang Kristen yang taat. Caranya menghadapi masalah dengan tenang dan humorislah yang membuat saya kagum. Saya ingin setenang Mike, tapi nyaris tak pernah bisa. Padahal anak saya cuma dua dan masih di bawah usia remaja, artinya masalahnya belum terlalu kompleks seperti ketiga anak perempuan Mike.

Bayangkanlah Mike harus mengurus cucunya yang adalah anak yang lahir karena “kecelakaan” putri sulungnya yang hamil waktu SMA, menghadapi putri sulungnya yang tak pernah cocok dengannya, menantunya yang pengangguran, dan masalah lainnya.

Entahlah, saya merasa tipe seperti Mike inilah orangtua yang “sempurna”. Yang ingin saya tekankan di sini adalah cara Mike menghadapi masalah. Rasa humornya. Tapi tetap dengan prinsip yang dia pegang teguh. Dalam satu episode, ada kutipan, seperti ini: “…your kid is a mess and it’s your fault … They need dads who teach them how to be men … You absentee fathers still have time to make things right.”

Sama dengan Mike, kita sebagai orangtualah yang terus bertanggungjawab akan kelakuan dan masalah anak-anak kita. Sebagai orangtua, selain ibu, perlu sosok ayah yang kuat untuk membangun karakter anak. Saya bisa mengomel seharian untuk memberi perintah kepada anak-anak, tapi hanya dengan satu kalimat, anak-anak akan segera melakukan perintah ayah mereka.

Saya yakin, kita tahu bahwa diri kitalah yang harus kita hadapi ketika menghadapi anak. Sifat kitalah yang harus diubah. Pola pikir dan cara bertindak kitalah yang perlu improvisasi.

Lantas apakah dengan melakukan itu semua kita bisa menjadi orangtua yang sempurna? Tentu tidak! (Seperti iklan deh…)

Jadi, jika Anda bertanya, apa tips menjadi orangtua yang sempurna, jawaban saya adalah TIDAK ADA.

Sebab tak ada orangtua yang sempurna. Takkan ada. Hidup adalah proses. Sampai tuapun kita sebagai orangtua terus belajar menjadi lebih baik. Takkan ada yang sempurna. Anak pun tak sempurna. Mengapa kita orangtua ingin menjadi sempurna? (Seperti kata teman saya, kesempurnaan hanya milik Yang di Atas, hehe…)

Mungkin seperti Mike, kita tak perlu tiap kali terlalu serius. Kita harus lebih banyak memakai sense of humor.

Tapi kadang itu ada juga resikonya. Suami saya kadang-kadang bercanda dengan anak dengan cara humor yang saya sebut garing.

Pernah waktu masih TK, anak saya bertanya: Binatang peliharaan itu apa. Sebelum saya jawab dengan anjing, kucing dll, suami saya sudah menjawab dengan iseng: Semua binatang yang ada di rumah. Nah, suatu kali anak saya pulang dengan heboh. Dia habis ulangan. Nilainya jelek. “Masa aku salah sih, Ma? kata bu guru jawabanku salah semua,” katanya.

Kulihat kertas ulangannya. Sebutkan nama -nama binatang peliharaan. Anak saya menulis: Cicak. Nyamuk. Tikus. Kecoa.

Seketika, saya bingung antara ingin tertawa dan marah pada suami. Lalu saya mengomel dengan sarkastis: Bagus, itu ajaran Papa tuh!

Anak saya lalu berkata lagi, “Tapi temanku lebih parah, Ma. Dia tulis jawabannya: Singa, harimau, beruang, macan dan buaya.”

Saya pun tak bisa menahan tawa. Rupanya masih ada yang lebih parah dari jawaban anak saya. Pikir saya, teman anak saya itu, rumahnya kebun binatang ‘kali, ya?

Hahaha…