Tag Archives: Hunger Games

Tentang Rasa Suka

Saya suka novel (dan film) Hunger Games. Ada banyak pesan moral dalam kisah fiksi itu. salah satunya adalah tentang rasa suka.

Haymitch, dalam film Hunger Games, dalam satu cuplikan, memberitahu Katniss, tips untuk bertahan hidup, sambil menunjuk pada Peeta yang sedang mendadahi penonton. “Dia, telah melakukannya.”
Nasihat Haymitch, cara bertahan hidup adalah dengan disukai. Membuat dirimu disukai orang. Dalam pertarungan saling membunuh untuk menjadi satu-satunya peserta yang hidup, hanya peserta yang disukai penontonlah yang akan mendapat bantuan dari sponsor, berupa makanan, obat atau peralatan bantu untuk bertarung, selama mereka berada dalam arena pertarungan yang mematikan.

Rasa suka ini ternyata sungguh berefek besar.

Mungkin teman-teman pernah menonton film kriminal, di mana orang yang dibunuh pertama kali adalah yang paling tidak disukai. Tidak usah jauh-jauh ke film, di dalam sebuah perusahaan juga, biasanya orang yang tak disukai adalah yang disingkirkan terlebih dahulu, bukan?

Lalu saya pikir, mungkin itulah yang dilakukan oleh para penjilat. Para penjilat ini berhasil membuat orang lain merasa disukai dengan jilatan-jilatan maut dan dahsyat mereka, hingga mereka jadi disukai, dan efeknya, para penjilat ini mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka pun sukses bertahan.

Dalam psikologi, mungkin itulah salah satu contoh istilah mirroring.
Kita akan menyukai orang yang cenderung mirip atau punya kesamaan dengan kita. Ada juga kecenderungan kita lebih menyukai orang yang menyukai kita juga. Hubungan yang baik, seperti pertemanan, biasanya dimulai dengan rasa saling menyukai.

Sebaliknya, kita cenderung tidak menyukai orang yang tidak menyukai kita, kan? Karena kita tidak menyukai orang tersebut, itu bisa menimbulkan sikap yang membuat orang tersebut akhirnya tidak menyukai kita. Orang yang tidak suka pada kita juga seringkali bersikap yang membuat kita tidak menyukai orang itu.

Ada sebuah kejadian yang menggelitik saya pada ironi tentang rasa suka.
Pada suatu pertemuan tahunan keluarga besar, di mana setiap orang diberikan waktu untuk mengungkapkan isi hatinya, seorang anggota keluarga besar kami (sebutlah si Z) dengan cara yang sehalus mungkin tapi terdengar sangat gamblang, membandingkan si X dan si Y. Si Y baginya adalah orang yang paling disukainya di keluarga besar kami. Dan dengan sengaja, walaupun tanpa kata-kata yang eksplisit, dia berusaha menunjukkan sejelas-jelasnya bahwa dia tidak suka seseorang (sebutlah si X) dan tidak cocok dengan si X. Sementara si Y, sangat dipuja-pujinya sepanjang penuturan yang bertele-tele dengan bumbu-bumbu kata-kata manis, yang walau terasa beracun buat si X. Tapi si X hanya diam.

Dalam hati saya merasa bahwa si Z sedang berusaha menyindir-sindir si X. Ibarat sebuah ilustrasi gambar kartun, dalam imajinasi saya membayangkan si Z ini tengah menusuk-nusuk si X dengan pedang yang tajam dan berharap si X mati kesakitan, padahal si X malah tergeli-geli tertawa dan tidak mati-mati sambil terus tertawa berguling-guling.

Saya sempat merasa simpati dan kasihan pada si X. Tapi melihat sikapnya yang tenang, saya malah jadi kagum padanya. Dan otomatis runtuhlah respek saya pada si Z. Pada akhirnya, kami semua toh bisa mengerti dan menerima sikap si Z ini, mengingat bahwa si Z ini memang memiliki masa lalu yang kurang indah, hingga sampai saat ini rasa suka tidak suka sangat penting baginya.

Pada akhirnya, ketika giliran si X tiba, dia mengucapkan beberapa kalimat yang lebih diplomatis, walau tidak ditujukan secara khusus untuk membalas si Z.

Kira-kira demikian:

Saya rasa, pada dasarnya tak ada orang yang cocok di dunia ini. Yang ada adalah orang-orang yang berusaha untuk mencocokkan dirinya dengan dengan orang lain, suka atau tidak suka. Salah satu ciri kedewasaan adalah kemampuan menyukai atau minimal menerima apa yang tidak disukai. Orang lain tidak bertanggung jawab atas perasaan kita. Kitalah yang harus mengendalikan perasaan kita. Suka tak suka, kita harus bisa hidup berdampingan dengan orang lain dengan harmonis. Tak seorangpun dari kita dilahirkan untuk menyenangkan hati orang lain. Kita juga tidak berhak memaksa orang lain menyukai kita. Kita diciptakan untuk menyenangkan hati sang Pencipta saja.

Setelah acara itu, bukan hanya saya yang merasa bahwa si Z sudah keterlaluan, dan apakah dia sadar atau tidak sadar, dia seolah tengah memicu perang pada si X. Pada hari raya (Lebaran misalnya), pertemuan tahunan dengan keluarga besar adalah saat untuk menjalin silaturahmi, mengungkapkan apresiasi, saling memaafkan, dan bukan ajang untuk mendiskreditkan orang lain. Dia tak sadar dengan caranya itu dia tengah menumpuk bara api di atas kepalanya sendiri. Dengan mengekspos ketidaksukaannya pada si X, dia telah membuat dirinya tidak disukai orang lain, dianggap kekanakan dan bersikap tidak sesuai dengan usianya.

Lalu saya simpulkan untuk diri sendiri. Sesungguhnya, hidup kita ini, teman, tidak terdiri dari hal-hal yang kita sukai saja. Hidup tak terdiri dari orang-orang yang baik pada kita, suka pada kita, dan kita sukai, saja.

Kita tidak berhak memaksa orang lain untuk menyukai kita dan membuat kita bahagia. Itu bukan tugas orang lain. Tak seorangpun di dunia ini berkewajiban membuat anda bahagia. Kebahagiaan adalah keputusan anda sendiri. Anda tak berhak harus disukai, diterima dan dicintai.

Memang keinginan untuk diterima, disukai dan dihargai adalah kebutuhan dasar manusia. Tapi tak ada hukum yang memaksa orang lain untuk menyukai kita.

Sesungguhnya rasa suka itu sungguh subjektif, Saudara! Menurut psikolog, perasaan itu adalah sebuah bentuk subjektifitas. Kita sendiri kadang bisa bingung mengapa kita bisa menyukai orang lain atau tidak menyukai orang lain, tanpa alasan yang jelas.

Dan seperti si Z, untuk apa kita terus seperti orang yang kehausan akan perhatian dan rasa suka dari orang lain? Apakah kita tidak bisa bertahan hidup dengan menyadari bahwa tidak semua orang menyukai kita? Seolah hanya itu yang menentukan siapa kita. Lihat betapa banyaknya haters para selebriti di samping banyaknya fans mereka. Hidup kita tak selalu ditentukan oleh siapa yang menyukai kita. Kita memang bertugas melakukan hal yang baik dan benar, tapi itu bukan untuk tujuan agar kita disukai, layaknya para penjilat.

Kita hidup bukan untuk menjadi favorit orang lain. Demikian juga orang lain bukan tercipta untuk menjadikan kita orang kesukaan mereka. Hidup ini sungguh tak sepicik urusan suka-menyukai. Memang keadaan akan lebih baik jika kita disukai, tapi jika memang tidak disukai, apakah kita tidak bisa survive?

Kalau kita refleksi, cobalah kita ingat-ingat. Memangnya kita selalu menyukai orang lain? Seperti contoh, tetangga kita? Apakah kita selalu menyukai rekan kerja kita? Saudara ipar atau mertua kita? Atasan atau bawahan kita? Bahkan pacar atau pasangan sendiripun tak selalu cocok dan kita sukai, bukan? Mungkin terkadang kita kesal dan membenci mereka. Tapi kita memutuskan untuk menerima mereka, terlepas dari rasa suka atau tidak. Kita mengambil tindakan logis untuk mengendalikan perasaan kita. Kita mengambil keputusan untuk menjadi dewasa dengan berusaha mengesampingkan sentimen pribadi kita, atau perasaan sesaat kita. Itu adalah keputusan dewasa.

Mungkin hanya anak kecil sajalah yang terus memilah-milah hidup ini berdasarkan apa yang enak dan tidak enak, apa yang manis dan pahit, apa yang disukai dan tak disukai, dan seterusnya. Sebab anak kecil memang cenderung tak bisa mengendalikan perasaannya.

Ada seorang teman, tidak suka naik kopaja. Dia tak suka kenek kopaja yang katanya kadang bau dan kurang sopan, dan kadang tidak mengembalikan uang kembalian dengan pas, ditambah supir kopaja yang suka mengebut dan merokok sembarangan di dalam bus. Tapi dia butuh mereka untuk mengantarkannya pada tujuan, jadi dia kesampingkan perasaan tidak sukanya demi tujuan yang lebih prioritas. (Dan dia juga tak berharap keneknya menyukai dia, hingga dia selalu diberi tempat duduk kosong dan siapa tahu ongkos jadi gratis, hahaha…)

Barangkali kita pernah juga berusaha membuat orang lain menyukai kita, tapi tetap saja, entah dengan alasan apa, orang tetap tak suka pada kita. Tapi itu bukan masalah kita. Itu masalah mereka. Jadi kalau kita tidak berbuat sesuatu yang baik untuk membuat orang lain menyukai kita, mengapa kita berharap orang harus menyukai kita?

Pada akhirnya, disukai atau tidak disukai orang lain, mari nikmati sajalah. Asal jangan kita yang bersikap yang memancing kebencian dari orang lain.

Hidup ini sudah berat, mari dijalani dengan gembira sajalah yaaa…

Jadi, siapa kira-kira yang tidak suka pada anda? ?

 

Almino Situmorang