Tag Archives: HAM

Mari Belajar Moderat

Di beberapa WA Grup yang menyertakan saya, cukup ramai dibicarakan soal rencana acara “spiritual” ini, yaitu ratusan paranormal akan berkumpul di Danau Toba. Hal ini dan ditanggapi pro kontra, lebih banyak yang keberatan dan alasan umumnya mereka: bertentangan dengan ajaran agama.

Saya sendiri tidak tertarik ritual semacam namun tak ikut menolak. Saya lebih suka dan telah mencoba melakukan bersama kawan-kawan gerakan kultural atau kesadaran menyayangi Danau Toba dan hutan yang mengitari. Lebih rasional dan tidak mengundang penilaian sinis atau dianggap seperti orang “tak bertuhan.”

Lelah menanggapi tuduhan-tuduhan semacam itu; apalagi masyarakat Batak pun banyak juga yang agamis (tak berarti relijius karena itu beda; relijiusitas seseorang itu lebih terlihat dari perilaku, dan tentulah lebih menyukai kedalaman menjalin hubungan yang agung dengan Tuhan yang dipercaya, bukan dilihat dari keaktifan beribadah atau beragama belaka).

Tetapi, bila pun ritual “membujuk penghuni danau” ini jadi dilaksanakan dan penggagasnya (maaf) bukan seseorang yang kupercaya integritasnya, menurutku biarlah dilakukan.

Argumen saya begini:

– Siapapun tidak berwenang mengintervensi keyakinan orang lain dan bila melsayakan, sama dengan mengatur dan menjajah kepercayaan orang lain; itu bentuk kesombongan dan fasisme kecil-kecilan.

– Siapapun tidak berotoritas memaksa orang lain harus serupa dengan yang diyakininya meski ada ayat-ayat suci dari agama yang menjustifikasi. Belajarlah menghormati kepercayaan orang lain sepanjang tidak mengusik ketenangan orang lain dan tidak merugikan pihak manapun.

– Bila ada yang merasa karena iman atau ajaran agamanya perlu menentang acara sejenis, cukup di lingkungan sendiri (keluarga, anak) dan jangan seperti “polisi agama” merecoki yang diyakini orang lain.

– Bila anda merasa terancam dan tidak suka ulah pihak-pihak yang intoleran dengan mengganggu kebebasan anda atau orang lain beragama atau menganut suatu keyakinan, jangan pula mengikuti mereka karena bertentangan dengan keyakinan yang anda anut atau percayai.

– Belajarlah bersikap moderat dan saling menghormati orang yang tak sama kepercayaan dengan anda karena anda pun akan marah bila diganggu atau dicibir orang yang tak sama kepercayaan dengan anda.

Untuk menunjukkan keimanan atau sikap agamis anda tidak pantas dan melanggar HAM bila melarang orang lain melakukan yang mereka percayai.

– Khotbahilah diri sendiri dan tak ada yang meminta anda mengkhotbahi orang lain; bila kelak anda ikut penghuni sorga dan yang lain tidak, syukurilah dengan rendah hati.

Sekali lagi, saya tidak cocok dengan penggagas atau bentuk acara sejenis ini, namun sebagai orang berpendidikan dan berupaya moderat, mendukung multikulturalisme dan menghormati pluralisme, saya tidak layak mengecam apalagi ikut melarang atas nama iman atau agama yang kuanut.

Bagi saya, marilah lebih menyayangi alam dengan tulus sebagai tanda terimakasih. Horas.

Tentang Respek pada Hak Azasi Manusia

Hari ini dunia merayakan hari Hak Azasi Manusia (HAM). Suatu deklarasi yang bersifat universal untuk melindungi setiap insan agar hak-hak dasar-dan azasi terjamin, tak boleh dirampas oleh siapapun. Suatu karya anak-anak manusia yang amat cemerlang untuk membebaskan manusia di belahan mana pun di dunia ini dari ancaman dan tindasan; memberi kebebasan menganut dan melakukan hak-hak yang amat fundamental dan kesamaan status maupun perlakuan tanpa mengenal gender, usia, strata sosial, suku bangsa. Siapapun dia harus dihormati dan dilindungi hak-hak dasarnya.

Prinsip dan moral HAM, secara substansial mengatur:

1. Hak untuk hidup
2. Terbebas dari penganiayaan
3. Terbebas dari perbudakan
4. Berhak mendapatkan peradilan yang adil dan fair
5. Bebas menyuarakan pendapat-pikiran
6. Bebas menganut suatu keyakinan atau agama

Dan hak-hak lain, termasuk orientasi seksual.

Pergumulan untuk melindungi manusia dari hak-hak dasarnya telah dimulai sejak abad 16, ketika kesadaran (sekali lagi kesadaran) mengenai harkat dan kebebasan azasi manusia dianggap amat signifikan.

Filsuf Jhon Locke, salah satu penggagas penting. Pikiran-pikiran manusia yang luarbiasa ini kemudian menjadi bahan perenungan para kaum cendekia di Eropa dan Amerika.

Banyak tantangan dan penolakan, tentu. Terutama dari pihak-pihak yang merasa terganggu, baik karena alasan ekonomi, kepercayaan, budaya, dsb. Naluri dasar manusia memang tak semua menyangkut hal yang baik, pun yang buruk, egoistis, dan kejam. Karena itulah proses dan perjuangan untuk menghormati HAM terasa lama, beradab-abad, sebab banyak tantangan dan ketidaksepakatan.

PBB (United Nations) akhirnya menyepakati dan mendeklarasikan pada 12 Desember 1948. Urgensinya sudah sedemikian krusial, mendesak, karena di berbagai tempat terus terjadi penistaan manusia, baik karena alasan kekuasaan-politik, gender, keyakinan-agama, sosial-ekonomi, budaya. Maka, bagi negara yang menjadi anggota PBB, wajib mematuhi; menerjemahkan prinsip-prinsip dasar HAM tsb ke dalam regulasi, hukum, di negara masing-masing–dan harus dipatuhi. Bila tidak, PBB akan mengambil keputusan dan menjatuhkan sanksi.

Tetapi, mestinya, tanpa ancaman sanksi dari PBB pun sewajarnyalah setiap insan yang beradab (apalagi beragama pula) menghormati HAM. Menghormatinya, berarti pula menghormati diri sendiri.

Deklarasi menyangkut pengakuan dan penjaminan atas HAM pun merupakan karya besar dan luhur. Perlahan-lahan, tindak kebiadaban terkikis, dan gagasan menyebarkan prinsip-prinsip keadilan, fairness, demi kemanusiaan, menjadi pegangan bermilyar warga dunia.

Namun hingga kini, isu dan persoalan HAM masih terus menjadi keresahan bersama dan jadi keprihatinan PBB serta para cerdik-cendekia dan aktivis yang peduli. Masih banyak perlakuan dan terus terjadi pelanggaran HAM di berbagai negara. Pelakunya bisa negara, institusi, kelompok, pun person.

Minimnya pengetahuan mengenai HAM, ditengarai salah satu penyebab mengapa masih terus terjadi pelanggaran–apalagi bila perspektif agama dan budaya yang dipakai saat menilai segala sesuatu menyangkut manusia. Seharusnya, sejak dini dan dalam materi pendidikan dasar sekolah formal, prinsip dan moralitas HAM menjadi materi penting dan tak terputus hingga level pendidikan selanjutnya.

Pengetahuan dan kesadaran mengenai (pentingnya) HAM pulalah menjadi modal utama untuk menciptakan relasi sosial, hubungan antarindividu, dan relasi serta tanggungjawab pengelola negara dengan rakyat. Dasar tuntutan pun dibekali oleh pemahaman yang memadai menyangkut hak-hak dasar tiap manusia, tak hanya warganegara.

Negaralah memang yang paling bertanggungjawab menjamin dan melindungi HAM setiap orang yang berada di wilayahnya. Maka, sungguh mengherankan, hingga kini, upaya untuk menyebarkan dan mengingatkan serta yang terutama menjamin HAM setiap warga, belum menjadi concern utama penyelenggara negara.

Kritik saya pada pemerintahan Jokowi, setuju atau tidak dengan yang saya sampaikan ini, menteri-menteri dan departemen pemerintah yang membidangi semua aspek HAM, belum berbuat maksimal. Sama saja dengan rezim yang digantikan. Apa saja upaya yang dilakukan Menteri Hukum & HAM selama ini, misalnya, sila Anda “renungi dan evaluasi.”

Negara tidak boleh kalah pada pelanggar HAM, dan para cerdik-pandai, orang terdidik, para terpelajar, seharusnya ikut peduli dan tidak berstandar ganda. HAM menerobos sekat-sekat yang memisahkan dan membedakan manusia, menolak segala bentuk diskriminasi dan perlakuan tak adil, menjunjung fairness dan keadilan yang substansial–tanpa memandang gender, strata sosial, etnisitas, seagama atau tidak, dll. Prinsip kesetaraan, equality, menjadi pegangan dasar.

Negara memang harus terus mendidik warga mengenai HAM, namun bila abai, tak sepatutnyalah orang-orang terdidik seperti Anda, ikut-ikutan tak menghormati. Sayang sekali pengetahuan dan ijazah yang dikoleksi.

Salam damai, mari respek HAM demi humanisme tanpa membedakan siapa dia: apakah seiman-seagama, pribumi, turunan Arab, China, India, Eropa, Afrika, dan lain-lain.

Foto: Pixabay/Geralt