Tag Archives: Guru

RAHASIA PANJANG UMUR

Bulan lalu, November, kebetulan ada hari guru nasional (PGRI).

Menurut Wikipedia, Guru, (dalam bahasa Sanskerta, arti secara harfiahnya adalah “berat”) adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia.

Menurut saya, kita semua adalah guru, dan murid sekaligus. Yang di sekolah adalah guru profesional. Kita adalah guru fungsional.

Guru, pada hakekatnya adalah pemberi contoh, untuk ditiru. Pemberi teladan. Pemberi kesaksian, pemberi inspirasi. Kita semua bisa menjadi guru bagi sekitar. Sebab sadar tak sadar, di sekeliling kita ada yang melihat kita, lalu meniru kita, ada yang mengikuti kita, dan juga ada yang tidak. Tergantung apa yang kita lakukan, ucapkan atau contohkan.

Jika diteliti, sebenarnya kita semua adalah guru. Di kantor kita adalah guru untuk anak buah atau rekan kerja lainnya. Di rumah, kita adalah guru untuk anak-anak dan asisten rumah tangga. Di tempat umum juga kita bisa menjadi guru dengan menjadi teladan memberikan contoh dalam menaati peraturan, seperti buang sampah, antri, parkir sesuai aturan, dan menjaga ketertiban.

Contohnya. Seorang rekan kerja saya yang lebih junior, saya anggap adalah guru saya dalam hal mode dan kecantikan, karena dialah yang mengajari saya tentang make up dan fesyen yang kebetulan bidang yang dikuasainya. Dari dialah saya tahu bagaimana menggunakan pemulas mata dengan benar (hahaha).

Saya ingat, ketika anak saya masih TK, tiba-tiba dia rajin membaca dan sering membeli buku. Ketika saya bercerita pada neneknya, neneknya berkata: Ya kalian berdua orangtuanyalah yang ditiru. Kalian berdua kan suka membaca. Nah itu beberapa tahun lalu. Sekarang anak saya itu sering bermain HP. Tak perlu heran. Saya tahu, kami berdualah yang dilihatnya juga, hahaha…

Hal umum, yang paling saya ingat dari ajaran ayah saya waktu kecil adalah, jangan lupa mematikan lampu dan air jika sudah tidak digunakan. Sampai sekarang saya masih melakukannya, bahkan kadang saya spontan berhenti dulu untuk mematikan air keran di tempat umum (contoh, toilet kantor atau toilet mal) jika ada yang lupa dan membiarkannya begitu saja.

Itu mungkin adalah contoh bahwa saya mengingat betul ajaran ayah saya (yang itu) dan terus melakukannya. Dan sekarang, saya masih dalam tahap sedang menanamkannya pada anak-anak saya.

Bicara tentang murid, dulu waktu mahasiswa, aktif dalam organisasi kampus, saya ingat sekali ada frase yang sangat berkesan bagi saya: Berikanlah saya hati seorang murid.
Apa artinya itu hati seorang murid? Begitu dulu saya pikir. Artinya adalah, hati yang selalu ingin belajar, selalu mendapat ajaran dari guru. Selalu mau diberi pengetahuan baru.

Hal ini membuat saya teringat guru favorit saya waktu SMP. Saya selalu ingin hari yang ada jadwal beliau cepat-cepat datang dan merasa terlalu cepat jika waktu belajar dengan beliau sudah berakhir. Saya suka belajar dengan beliau. Mengapa? Sebab saya suka yang diajarkan, dan saya suka cara beliau mengajarkannya. Dan saya juga suka mengerjakan PR dari beliau, walau mungkin itu jadi beban bagi murid lain.

Dan bisa dibilang, hingga kini ilmu yang diajarkan oleh guru favorit saya itu sungguh berguna dan masih relevan dengan pekerjaan profesional saya.

Minggu lalu saya berulang-tahun dan kado paling spesial adalah ucapan yang paling menyentuh hati saya, dari nats Amsal 3.
“Apa rahasia panjang umur?”

Jawabannya: dalam nats Amsal 3.
Amsal 3:1

Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku.

Ajaran orangtua tidak boleh dilupakan, kita harus mengingatnya, dan berarti juga menaati. Ketaatan berarti, ajaran itu tertanam di hatinya, dan menjadil inti kepribadiannya.

Amsal 3:1Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku,
3:2 karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu.
3:3 Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu,
3:4 maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.
Saya jadi ingat film Kungfu jaman kecil dulu, di mana murid/anak didiknya sungguh hormat dengan gurunya. Mereka akan melakukan apa saja yang diajarkan sang guru, mengikut gurunya tanpa pamrih, penuh totalitas dan kesetiaan tanpa batas.

Saya pikir, orangtua kita, lebih dari sekedar guru kungfu, yang harus lebih kita hormati. Mengapa?

Sebab mereka tidak hanya guru, melainkan perwakilan Tuhan di dunia ini, di mana mereka adalah imej Allah dalam bentuk manusia.

Jika kembali pada pertanyaan tadi, apa rahasia panjang umur?
jawabannya:
Menjadi anak (‘murid’) yang melakukan ajaran orangtua.

Seperti dalam versi bahasa Inggris, New International Version (NIV):

My son, do not forget my teaching, but keep my commands in your heart,
for they will prolong your life many years and bring you peace and prosperity.’

Tidak hanya panjang umur, juga lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepada kita.

-*-

Pelita dalam Gulita

Guru. Entah mengapa, ada nada sendu di hati saya jika menyebut kata ini. Guru.

Apa yang paling berkesan bagi anda tentang guru?

Kalau saya, yang pertama kali teringat di benak saya adalah bapak guru bahasa Inggris waktu SMP. Saya kira beliaulah yang membuat saya menyukai pelajaran itu. Dia begitu bersemangat mengajar, tak pernah mengeluh, walau jauh dari keluarganya yang hanya bisa dia temui tiap akhir pekan di daerah lain. Dia menularkan semangat itu pada muridnya.

Yang kedua teringat adalah ibu guru bahasa Indonesia saya waktu SMA. Beliau saya suka karena cerdas, tegas dan kreatif, juga sederhana. Tak bisa saya lupa ekspresinya ketika beliau tahu cerpen pertama saya dimuat di surat kabar lokal. Waktu itu saya masih kelas dua SMA. Kau membuat mimpiku jadi kenyataan, kata beliau. Saya sangat tersentuh. Rupanya diam-diam beliau sangat ingin menjadi seorang penulis. Dia menitipkan mimpi itu pada siswanya.

Yang ketiga (lho?) adalah ibu saya. Bukan ibu saya saja sih tepatnya. Kebetulan ibu saya guru matematika saya waktu kelas 3 SD. Waktu itu ada teman sekelas yang pintar matematika, dan ibu saya sengaja membuat saya semeja dengan anak itu. Mungkin karena teman ini jugalah saya makin menyukai pelajaran matematika. Saya berutang budi pada teman itu. Dia adalah guru matematika kedua saya.

Jika diingat, guru saya ada bermacam-macam tipenya. Ada guru geografi saya SMP, yang mungkin saking jeniusnya, sampai botak karena stress, karena murid-muridnya tak bisa mengerti apa yang beliau terangkan. Demikian juga guru elektronika, selalu stress karena muridnya tak bisa mengikuti yang beliau ajarkan (hahaha).

Ibu saya pernah bercerita, bahwa dulu gaji guru sangat kecil. Syukur atas kebijakan pemerintah saat ini yang telah menaikkan taraf hidup mereka. Dulu, kadang kasihan melihat para guru. Bahkan sampai-sampai ada guru SMA saya yang menjual copyan contoh soal-soal ulangan untuk menambah modal pernikahan. Sungguh memprihatinkan.

Bagi seorang teman saya bernama Sabam, guru yang paling berjasa baginya adalah Bu Sahara, yang sungguh sabar mengajarinya dari nol, hingga bisa membaca dan menulis, tak pernah marah, dan intonasi cadelnya terdengar sangat enak di telinga. Tapi yang paling tak terlupa baginya adalah ibu guru yang cantik, yang sering pakai baju pink dan rok merah, berambut panjang, lembut dan ramah, sampai tangan dan kaki beliau yang berbulu pun masih diingat sampai sekarang, hahaha

Lain lagi teman saya bernama Dedi, yang paling tak terlupakan baginya adalah kepala sekolah SMP, yang suka memukul pakai lidi. Jaman itu, masih ‘lazim’ dengan kekerasan seperti itu. Kebalikannya, jaman sekarang sudah berbeda, malah ada berita tentang kekerasan dari murid pada guru.

Pada acara perpisahan sekolah SD anak saya, (bukan karena anak saya yang dipilih untuk menyanyikan lagu ini), tapi saya ikut terharu dan susah payah menahan untuk tidak menitikkan airmata mendengar liriknya:

Terima Kasihku Kuucapkan
Pada Guruku Yang Tulus
Ilmu Yang Berguna Slalu Di Limpahkan
Untuk Bekalku Nanti

Setiap Hariku Dibimbingnya
Agar Tumbuhlah Bakatku
Kan Ku Ingat Slalu Nasihat Guruku
Trima Kasihku Guruku

Selain guru yang berkesan baik, pernah juga ada guru yang berkesan buruk. Tapi guru hanyalah manusia, sama seperti kita, para murid yang juga beranekaragam permasalahannya. Saya percaya mereka tak bermaksud buruk atau kejam. Bagaimanapun mereka sudah bersusah-payah mencerdaskan bangsa. Para guru hanya berusaha yang terbaik untuk mengabdi pada negara dan memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya. Kita bisa pintar karena dididik para guru. Apa jadinya kita tanpa para pendidik itu.

Maka benarlah kata lagu:
Guru bag pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara.

-*-

Foto: Pixabay

Maafkan Aku, Guru

Di masa kanak-kanak
ia berkhayal jadi guru
seperti gurunya
yang selalu tersenyum
dan tak lelah mengajarinya menebar senyum

Di masa remaja
ia mulai mengenal cinta
jatuh hati pada gurunya yang tampan
meskipun ia tahu itu tak layak

Tadi pagi…
ia berdiri di depan kelas
dengan bangga menganggukkan kepala setiap kali mendengar ucapan
“Selamat pagi guru…!”

Tapi saat ini…
ia berdiri di depan cermin
tak berani mengangkat kepala…
karena ia tahu…
sosok di depannya belumlah layak untuk digugu dan ditiru
wajahnya jarang menebar senyum
tangannya terlalu sibuk menyusun administrasi
waktunya habis mengumpulkan poin demi tunjangan sertifikasi dan inpasing
belum lagi urusan politik dan setumpuk bisnis sampingan berdalih demi sesuap nasi

Tangannya terlanjur lunglai
tak sempat lagi menepuk pundak anak-anak didiknya untuk menghalau beban yang semakin menumpu di sana
bahkan…
guratan di wajahnya
adalah lukisan seribu warna
keinginan mencipta tertutup warna amarah
kerinduan meneduhkan terhalang dengki dan akar pahit
luka
dendam
kecewa….

Setengah berbisik
ia menutur
“Untuk guruku yang dulu pernah mengasihiku dengan tulus…
untuk guruku yang jejaknya kuingin turut…
maafkan anakmu…
aku
tak layak disebut guru seperti dirimu.
Selamat Ulang Tahun…
Semoga engkau masih berkenan memberiku senyum…”

-*-

Suryani Waruwu

Penulis adalah alumnus FIB UI, berprofesi sebagai seorang Pendidik

Foto: Pixabay