Tag Archives: Gereja

Pesparawi XIII dan Secuil Cerita Sumbang

Kontingen Sumatera Utara akhirnya menjadi juara umum Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Nasional XIII yang digelar di Yogyakarta. Kontingen ini meraih 12 medali emas dan membawa pulang piala bergilir Presiden RI.

Dilansir dari Antara, Ketua Umum Pesparawi Nasional XIII, Paku Alam X, mengatakan kemenangan itu adalah buah baik dalam falsafah Jawa yaitu sawiji greget sengguh ora mingkuh, yang artinya konsentrasi, semangat, percaya diri, dengan rendah hati dan bertanggung jawab.

Untuk diketahui, Pesparawi tahun ini memperlombakan 12 kategori, yaitu Solo Anak usia 7-9 tahun, Solo Anak usia 10-13 tahun, Paduan Suara Anak 7-13 tahun, Solo Remaja Putri, Solo Remaja Putra, Vocal Group Remaja, Paduan Suara Remaja, Paduan Suara Dewasa Wanita, Paduan Suara Dewasa Pria, Paduan Suara Dewasa Campuran, Musik Pop Gerejawi, dan Musik Gerejawi Nusantara.

Pesparawi selanjutnya, yaitu Pesparawi Nasional XIV akan diselenggarakan di Papua Barat, pada tahun 2025.

Dikutip dari Kumparan, Pesparawi sendiri digelar pertama kali pada 1983, yang merupakan prakarsa dari Direktorat Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama. Saat itu namanya Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) dan diadakan di Balai Sidang Senayan, Jakarta, tanggal 16-20 Juni 1983.

Cerita Sumbang

Di balik riuhnya nyanyian dan musik, ada cerita sumbang yang bermunculan di berita maupun di media sosial, yaitu munculnya unjuk rasa dari kontingen Yogyakarta pada saat acara penutupan. Mereka memprotes uang saku dan uang latihan yang tidak diberikan selama karantina.

Dari informasi yang dihimpun oleh KR Jogja, tiap kontingen seharusnya mendapatkan uang latihan sebesar Rp60 ribu setiap latihan dan uang saku selama dikarantina. Namun, kenyataannya kontingen DIY hanya mendapatkan uang latihan Rp7.500 setiap satu kali latihan dan uang saku secara sepihak ditiadakan.

Dikonfirmasi perihal ini, Sekda DIY, Kadarmanta Baskara Aji kepada KR Jogja mengatakan tidak terlalu memahami masalah sebab itu ada di bawah kewenangan Lembaga Pengembangan Pesparawi Daerah (LPPD) dan Kementrian Agama. Melihat situasi yang dialami kontingen Yogyakarta, Baskara Aji mengatakan akan memanggil LPPD dan Kemenag untuk meminta penjelasan.

Semoga masalah ini menemukan penyelesaian dan tidak terulang di Pesparawi berikutnya.

Peran Kaum Awam di Gereja: Studi Kasus GSRI

Laity menurut kamus Merriam-Webster memiliki pengertian : (1) orang-orang yang beragama yang dibedakan dari para klerus, (2) kelompok massa yang dibedakan dari mereka yang memiliki profesi tertentu atau mereka yang memiliki keahlian khusus.

Di dalam catatan sejarah gereja, pemisahan peran laity dan klerus (kaum imam) belum tampak pada gereja abad pertama. Barulah pada pertengahan abad ketiga, ketika orang Kristen semakin banyak, ikatan persatuan tidak lagi terkait eschatological hope, melainkan soal sakramen yang dikelola oleh kaum klerus. Apostolic Constitutions pada awal abad ke-empat melahirkan definisi laity yang lebih tepat dan kaum rohaniawan memiliki peran yang lebih besar di gereja, serta terjadinya pemisahan kaum laity dan klerus dalam ibadah .

Tapi bila hari-hari ini adalah masanya gereja, maka pastilah ini adalah masanya kaum laity di gereja. Sebab tak ada masa-masa seperti ini di dalam sejarah, di mana kita bisa mengakui bahwa orang-orang Kristen, apapun kedudukan dan statusnya, sama-sama dipanggil untuk memenuhi hidup sebagai orang Kristen. Semua umat Allah bisa berdialog, berbagi ide dan wawasan, tentang fungsi khas mereka di gereja .

Kesetaraan ini nampak nyata di Gereja Santapan Rohani Indonesia (GSRI). Meski pemisahan peran tetap berlaku, namun partisipasi kaum laity di GSRI terbilang signifikan. Tak hanya terlibat dalam berbagai pelayanan dan program gerejawi, kaum laity juga diizinkan menyampaikan kotbah di mimbar pada ibadah raya hari Minggu, dan menjadi ketua Badan Pengurus Sinode. Mengapa kaum laity mendapat peran sedemikian besar di GSRI?

Latar Belakang Gereja
Pada Juni 1942, Pendeta Timothy Dzao Zse Kwang dan lima rekan kerjanya mendirikan badan misi bernama Ling Liang Church di Shanghai. Ling Liang di Shanghai ini selanjutnya menjadi gereja induk bagi Ling Liang World-Wide Evangelistic Mission. Pada musim gugur tahun 1947, Gereja Ling Liang mengangkat Rev. Chuanzhen Lan dan Rev. Moses Chou sebagai pendeta misionaris. Rev. Lan dan istrinya diutus ke Calcutta, India, sedangkan Rev. Moses Chou ditugaskan melayani di Jakarta, Indonesia

Jejak pelayanan di Indonesia sebelumnya sudah dirintis oleh Pendeta Timothy Dzao Zse Kwang yang mengunjungi Indonesia pada 1941 dan mendirikan Gereja Sidang Kristus Batavia. Ke gereja inilah Pendeta Moses Chow diutus pada 1947 dan ditugaskan sebagai Gembala Sidang. Pada tanggal 25 November 1950, gedung gereja baru diresmikan dan tanggal ini ditetapkan sebagai tanggal berdirinya GSRI. Pada 27 Februari 1961 gereja ini resmi menyandang nama Gereja Santapan Rohani Indonesia.

Dalam usaha untuk memenuhi rencana jangka panjang, GSRI membuka Sekolah Latihan Pengabaran Injil di Kebayoran Baru, yang ditutup tak lama kemudian sebagai imbas peristiwa perpolitikan nasional. Dengan anugerah Tuhan, gedung Sekolah Latihan Pengabaran Injil ini dikembalikan pada tahun 1979 dan sekolah pekabaran Injil dibuka kembali pada 1981 dengan nama Institut Misi Alkitab Nusantara (IMAN), kini dikenal dengan nama STT Iman Jakarta.

GSRI kini terdiri dari 25 gereja mandiri yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, dari Sumatera sampai ke timur Indonesia.

Sistem Pemerintahan GSRI
Tata Gereja GSRI pasal 15 tentang Majelis Jemaat pada ayat 1 menyebutkan, sesuai dengan bentuk Gereja Santapan Rohani Indonesia yang presbiterial, maka pelayanan Sidang Jemaat dilaksanakan oleh Majelis Jemaat Gereja Santapan Rohani Indonesia. Pada ayat 2 disebutkan, Majelis Jemaat terdiri dari para pejabat gereja yaitu (Pendeta, Guru Injil) bersama-sama dengan para penatua.

Sistem ini mengatur, pemerintahan gereja ada di tangan pejabat-pejabat gerejawi yang secara kolektif disebut Majelis Jemaat. Setiap anggota Majelis Jemaat mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Masing-masing juga memiliki tugasnya sendiri.

Apabila kita mengamati tata gereja di atas, dapat disimpulkan bahwa GSRI memiliki sistem pemerintahan presbiterian. Pada sisi lain, GSRI juga menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang mengikat dan cenderung menerapkan sistem sinodal. Maka GSRI, dan tentu saja GSRI Depok, dapat dikatakan menganut sistem pemerintahan yang disebut presbiterian sinodal.

Ciri lain sistem presbiterian sinodal adalah kepenuhan dalam kesatuan. Tiap-tiap jemaat yang dipimpin oleh Majelis Jemaat mempunyai kemandirian penuh; tetapi pada saat yang sama tiap-tiap jemaat yang ada berada dalam kesatuan dengan jemaat-jemaat lain dalam satu sinode.

Hal ini mempunyai implikasi positif sebagai berikut: Jemaat mempunyai otonomi (kemandirian penuh) tetapi terbatas; yang membatasinya ialah sinode. Sebaliknya Sinode mempunyai kekuasaan tetapi terbatas; yang membatasinya ialah jemaat-jemaat. Dalam sistem presbiterial sinodal, semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama bukan berdasarkan wewenang yang ada pada salah satu pihak.

Pembahasan
Kaum laity memiliki peran yang cukup signifikan di GSRI, bahkan sejak dari berdirinya. Di dalam sejarah misinya, GSRI termasuk gereja Tionghoa di mana kaum awam atau jemaat biasa berperan besar dalam mengabarkan injil kepada sesamanya dan berbuah banyak. Hal ini menepis anggapan bahwa kekristenan di Jawa Barat semata-mata adalah warisan badan zending. Para pekabar Injil Tionghoa tersebut, dianggap juga sebagai soko guru bagi beberapa jemaat di wilayah ini .

Di dalam sistem pemerintahannya, berdasarkan tata gereja di atas, dapat dikatakan bahwa Jemaat mandiri memiliki kekuasaan yang lebih besar ketimbang sinode, dan di dalam jemaat ini, kaum laity berperan besar. Ambil contoh GSRI Depok yang pernah diobservasi oleh penulis, hamba Tuhan atau pendeta di GSRI Depok secara otomatis termasuk ke dalam Majelis Jemaat, begitu juga Guru Injil. Adapun anggota Majelis Jemaat yang lain berasal dari jemaat laity, yang dipilih oleh sesama jemaat secara aklamasi dan terbuka dalam Sidang Jemaat.

Majelis Jemaat di GSRI Depok menjabat selama 3 tahun dan otomatis diperpanjang satu kali lagi. Setelah dua periode, mereka harus berhenti. Setelah satu periode berselang, jemaat yang pernah menjadi majelis, berhak untuk dipilih lagi menjadi anggota Majelis Jemaat. Anggota Majelis Jemaat yang berasal dari kaum laity mendapat gelar Penatua.

Tidak hanya di dalam pemerintahan, GSRI juga memberikan kesempatan yang besar bagi jemaat awam untuk melayani di berbagai bidang, termasuk berkotbah di mimbar ibadah raya. Tentu dengan kualifikasi tertentu dan telah mendapat persetujuan dari Gembala Sidang dan Majelis Jemaat. Kaum awam juga berkesempatan untuk melayani di bidang-bidang lain, seperti menjadi pemimpin kelompok sel, pemimpin pujian, pendoa, pengumpul persembahan, pembaca warta, pemusik, singers, usher, panitia hari besar gereja, dan sebagainya. Pendeta Ayub Rusmanto M.Th, gembala siding GSRI Depok berkata: “Keterlibatan kaum awam sangat nyata dan memberikan dampak positif di tengah tengah jemaat, karena dalam penggembalaan, seorang pendeta bukanlah semata-mata menjadi sentral pelayanan. Tetapi pendeta adalah pembina, pembimbing jemaat untuk terus bertumbuh di dalam Kristus melalui salah satunya adalah pelayanan di gereja.”

GSRI bahkan melangkah lebih jauh ketimbang gereja-gereja lain. Gereja ini juga memberikan kesempatan kepada laity untuk menjadi Ketua Sinode. Mengapa ini bisa terjadi?

Rupanya sistem pemerintahan gereja ini memang membuka peluang tersebut. Sebab menurut pasal 8 Tata Gereja GSRI , Sinode Gereja Santapan Rohani Indonesia (G.S.R.I) adalah suatu badan yang dibentuk/didirikan oleh Sidang-sidang Jemaat Gereja Santapan Rohani Indonesia (G.S.R.I) sebagai suatu wadah organisasi yang telah diakui dan mendapat pengesahan dari pemerintah (Dirjen Bimas Kristen Protestan) Kementerian Agama RI. Sinode, berdasarkan aturan ini, bukanlah pemerintah melainkan sekadar organisasi.

Organ Sinode GSRI terdiri dari: (1) Badan Penasihat Sinode, dan (2) Badan Pengurus Sinode. Badan Penasihat terdiri dari paling sedikit 5 (lima) orang dan para kandidatnya diajukan oleh Sidang Jemaat GSRI Mandiri dalam Sidang Raya Sinode. Untuk menjadi anggota Badan Penasihat, syaratnya antara lain: (1) mengetahui sejarah dan latar belakang Gereja Santapan Rohani Indonesia, (2) pernah menjadi anggota Badan Pengurus Sinode GSRI.

Adapun Badan Pengurus Sinode terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Bendahara, yang dipilih, diangkat dan disahkan dalam Sidang Raya Sinode. Syarat menjadi anggota Badan Pengurus Sinode antara lain: (1) Anggota GSRI, (2) sekurang-kurangnya berusia 30 (tiga puluh) tahun dan paling sedikit sudah 10 (sepuluh) tahun menjadi anggota GSRI, dan (3) Jabatan Ketua Badan Pengurus Sinode dapat dijabat oleh pejabat gereja atau penatua. Jika ketua Sinode seorang pejabat gereja, maka wakilnya seorang penatua dan sebaliknya.

Tentang tugas dan wewenang Badan Pengurus Sinode bisa dilihat pada pasal 14 Tata Gereja GSRI, antara lain: (1) memelihara hubungan dan kerjasama di antara Sidang Jemaat GSRI dalam usaha untuk mencapai tujuan jemaat setempat dan kepentingan bersama, (2) melaksanakan semua keputusan yang telah ditetapkan dalam Sidang Raya Sinode, (3) bertanggung jawab atas pemberlakuan ketentuan-ketentuan Tata Gereja dan Tata Laksana GSRI, (4) mempersiapkan Sidang Raya Sinode, (5) menyampaikan laporan pertanggung jawaban, usul-usul dan saran-saran kepada Sidang Raya Sinode, dan (6) dalam rangka penggembalaan, Badan Pengurus Harian Sinode menyelenggarakan perlawatan pada Jemaat.

Jadi jelas, di dalam kewenangannya, Badan Pengurus Sinode hanya berfungsi sebagai pemelihara hubungan/fasilitator kerjasama antar Sidang Jemaat di GSRI. Tak mengherankan apabila kaum laity memiliki ruang berkontribusi yang besar di sini.

Penutup

Kaum awam atau laity adalah orang-orang yang beragama yang dibedakan dari para klerus atau pendeta (imam). Sekarang adalah masanya kesetaraan antara laity dan klerus. Hal ini bisa dipelajari dari kasus Gereja Santapan Rohani Indonesia (GSRI). Di Gereja ini, laity dan klerus sama-sama dipanggil untuk memenuhi hidup sebagai orang Kristen dan bisa berdialog, berbagi ide dan wawasan, tentang fungsi khas mereka di gereja.

Meski pemisahan peran tetap berlaku, partisipasi kaum laity di GSRI terbilang signifikan. Kaum laity mendapatkan porsi yang cukup besar dalam aktivitas gerejawi, dari pemerintahan sampai berbagai macam bentuk pelayanan, bahkan menjadi ketua Badan Pengurus Sinode. Hal ini memang dimungkinkan oleh Tata Gereja yang menempatkan Badan Pengurus sebagai organ gereja yang berfungsi sebagai fasilitator dan pengelola belaka, bukan merupakan bagian dari sistem pemerintahan.

Daftar Pustaka

Firdaus, Yogi Fitra. “Peran Orang-Orang Tionghoa Dalam Pekabaran Injil: Kajian Historis Terbentuknya Jemaat Tionghoa Di Jawa Barat.” Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Musik Gereja 4, no. 1 (2020): 77–97.
Parrella, Frederick. “The Laity in the Church.” In Proceerings of the Catholic Theological Society of America, 265–266, 1980.
“Laity | Definition of Laity by Merriam-Webster.” Accessed November 12, 2020. https://www.merriam-webster.com/dictionary/laity.
“Sejarah GSRI – Sinode GSRI.” Accessed November 17, 2020. http://sinodegsri.com/sinode/index.php/2015/07/20/sejarah-gsri/.
Tata Gereja Santapan Rohani Indonesia. Jakarta: Badan Pengurus Sinode GSRI, 2018.

Jika Kau Patah Hati

Sekitar bulan Juli 2019 lalu, media sosial diramaikan oleh pemberitaan mengenai seorang wanita yang diduga beragama Katolik, yang membawa anjing ke dalam masjid.

Diam-diam saya mengikuti berita ini dan mengamati berbagai macam komentar, kecaman, hujatan terhadap perempuan tersebut. Tidak sedikit netizen yang mengatakan bahwa ini adalah dampak dari toleransi beragama yang kebablasan, yang diberikan kepada kaum minoritas di negeri kode +62 ini. Berbagai kecaman bermunculan hingga ada penjelasan dari salah satu anggota keluarga mengenai kondisi kejiwaan wanita tersebut, namun tidak juga mengurangi hujatan dari netizen yang merasa diri maha benar.

Bulan September 2019, masih baru-baru ini, gereja dan kalangan Kristen kembali digemparkan oleh pemberitaan mengenai seorang pastor bernama Jared Wilson, pastor muda dari sebuah gereja besar di Amerika yang meninggal karena bunuh diri. Bagaimana mungkin? Itulah pertanyaan yang muncul mungkin hampir sejuta kali di akun media sosial milik sang pastor. Banyak yang menyesalkan tindakan beliau memilih langkah pintas tersebut untuk mengakhiri hidupnya. Dan bagi orang awam, sepertinya keputusan Pastor Jared adalah keputusan yang bodoh mengingat dia adalah seorang hamba Tuhan. Banyak yang tidak tahu, setelah ditelusuri lebih lanjut, Pastor Jared ternyata mengalami depresi berat.

Banyak di antara kita yang tidak mengetahui bahwa masalah keimanan adalah salah satu penyebab masalah timbulnya gangguan kejiwaan. Kegagalan dalam melayani, tidak berjalannya fungsi pelayanan kategorial, kegagalan dalam misi penggembalaan dan tekanan hebat yang dialami para gembala jemaat dalam menjalankan misi penggembalaannya dalam menghadapi jemaat dengan problema imannya masing-masing, serta karakter tiap-tiap jemaat yang unik, dan problema kehidupan mereka sehari-hari, adalah sumber depresi.

Tanggal 10 Oktober, dunia memperingati hari kesehatan mental. Lalu bagaimana gereja mempersiapkan diri dalam menghadapi masalah kesehatan mental?

Gereja diharapkan tidak hanya menjalani misi pelayanan Alkitabiah dan doa tetapi lebih dari itu gereja diharapkan lebih peka untuk memandang permasalahan ini lebih dalam bagi para jemaatnya.

Adalah seorang pastor Anton Boisen yang mengidap skizofrenia menghabiskan dua puluh tahun di rumah sakit jiwa. Ketika beliau dinyatakan sembuh dari sakitnya, Boisen mengatakan: “Kalau seorang Kristen patah kaki, ia dapat disembuhkan, bahkan gereja dan lembaga Kristen lainnya dapat berperan membiayai pengobatannya hingga sembuh. Namun jika ada seorang Kristen yang ‘patah hati’, maka ia akan dilempar ke rumah sakit jiwa dan dilupakan oleh gereja.”

Untuk itulah pentingnya peran medis, spiritual dan psikologis dalam proses penyembuhan masalah mental dan jiwa. Ketiga hal tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dicerai-beraikan karena memang peran tiga serangkai ini sangat mendukung proses penyembuhan. Gereja menjalankan fungsinya sebagai pendampingan bagi jemaat dengan masalah ini. Keterlibatan gereja dalam proses ini tentunya akan sangat memengaruhi pertumbuhan gereja dan pelayanannya ke dalam dan ke luar agar tumbuh dan berkembang menjadi gereja yang sehat dengan jemaat yang sehat.

Kalau semua orang Kristen yang mengalami ‘patah hati’, lalu terbuang dan dilupakan oleh gereja, bagaimana gereja dapat bertumbuh menjadi besar? Atau apakah gereja hanya menjadi tempat peribadahan dengan jemaat yang datang dengan kegelisahan hatinya lalu pulang dengan kesedihan jiwanya?

Seperti Mazmur pada ratapannya: “Hai jiwaku, mengapa susah serta gelisah dalam hidupmu…” dan tak ada yang menyembuhkannya?

-*-

Saitioma Sinaga.

Sarjana Psikologi

Kaum Mardijkers, Komunitas “Meltingpot” Pertama di Batavia

Istilahnya Mardijkers berasal dari kata Melayu “Merdeka” (kebebasan) yang aslinya berasal dari bahasa Sansekerta, “Mahardhika.” yang berarti “kaya, sejahtera dan berkuasa”.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Belanda pada 1641, pihak Portugis, terutama komunitas mestiços (Portugis-Asia Kristen) dibebaskan dari status budak, termasuk turunan Afrika, India atau budak Asia lainnya dari Portugis, kemudian dimukimkan ke pusat perdagangan VOC, Batavia.

Mardijkers pada umumnya adalah turunan masyarakat pribumi berasal dari wilayah yang dikuasai Portugis dan Spanyol. Mereka dari Afrika, Kepulauan Koromandel, Maldives, dan Sri Lanka di Samudera Hindia, Malabar daratan India, Myanmar hingga semenanjung Melayu.

Ada juga dari kepulauan Indonesia, seperti Banda, Ambon, Makassar, Bugis, Toraja, Bali, dll, Juga terdapat turunan Pampanga dari Pulau Luzon dan sekitarnya di Filipina.

Pihak VOC pernah menggunakan pasukan Pampanga sebagai garnisun pengaman Kota Batavia. Mereka bermarkas di Jalan Guntur sekarang.

Nama daerah kawasan Mampang pernah digunakan sebagai lintasan pasukan Pampanga menuju pusat kota. Namun pasukan Pampanga ditarik oleh Spanyol ketika terjadi konflik antara VOC dengan Spanyol dan Portugis di pada abad ke-XVII.  Banyak juga yang tetap bertahan dan mereka berbaur hingga terjadi asimilasi melalui proses perkawinan campuran.

Ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dari Belanda digunakan slogan Merdeka (“kebebasan”), memiliki akar yang sama dengan Mardijkers. Kata ini memiliki signifikansi politik yang cukup besar yang juga berkembang di Malaysia dan Singapura.

Pada masa Portugis para mardicas dan mestiços tersebar di berbagai kepulauan yang dikuasai Portugis, terutama di kepulauan Maluku, digunakan untuk melayani kepentingan para pemukim garnisun Portugis. Umumnya mereka ini didatangkan dari India.

Sementara di Sulawesi Utara, terutama di Amurang, Kema dan Manado banyak pula kaum Mardijkers didatangkan oleh Portugis dan Spanyol. Khusus di daerah Kema terdiri dari para pendayung dan pekerja kapal dari kepulauan Pasifik oleh Spanyol yang bermukim ada di sana sejak pertengahan abad ke-16.

Juga terdapat komunitas Mardijkers di Makassar hingga Nusa-Tenggara Timur, terutama pulau Flores. Tetapi sejak 1605 mereka menghilang ketika pihak Portugis dan Spanyol mulai tertarik dan berkonsentrasi di benua Amerika-Selatan, dan hanya meninggalkan nama keluarga saja.

Yang ditinggalkan adalah budaya musik khas Portugis yang menyebar di seluruh kepulauan Maluku. Posisi Portugis dan Spanyol berganti oleh Belanda menduduki Ambon dan Banda.

Pada sensus tahun 1672, pihak VOC membagi bekas budak yang dibebaskan dalam dua bagian. Yang pertama adalah “Budak Hijau” yang beragama Islam. “Budak Hijau” ini terdiri dari jumlah yang besar. Disebut demikian karena mereka berbendera hijau.

Saat VOC membebaskan budak di Makassar yang memeluk agama Islam kelompok “Budak Hijau” ini, kebanyakan mereka berasal dari Bali, Ternate, Maluku Selatan dan Batavia dikirim ke Ambon.

Disana mereka bergabung dengan kelompok non-“Budak Hijau” yang merupakan Mardijkers campuran di Ambon yang dibebaskan dan disediakan tempat khusus untuk mencari nafkah dengan berkebun dekat benteng Victoria dengan menanam padi.  Mereka juga memiliki pasar sayur mereka sendiri, yang disebut disebut “Pasar Mardikas”.

Nama ‘Mardijkers’ juga disebut Belanda Hitam (Zwarte Hollander) pada tentara yang direkrut di Ghana, Afrika, yang bertugas di tentara kolonial (KNIL) dan mendapatkan kebebasan mereka sesudahnya.

Kaum Mardijkers kebanyakan memeluk agama Roma Katolik dan rajin menghadiri gereja Portugis di Batavia. Tetapi pada akhirnya banyak dari mereka berpindah dan dibaptis oleh Gereja Reformasi Belanda menjadi Protestan.

Mereka diakui secara legal oleh VOC sebagai kelompok etnis yang terpisah, dan memisahkan diri dari pribumi.

Baca juga: Pribumi dan Nonpribumi, Warisan Kolonial yang Masih Membelenggu

Mereka menerima hak istimewa tertentu di kota, seperti hak perawatan kesehatan, tunjangan sosial bagi orang miskin dan hak atas pendidikan. Mereka umumnya melayani pihak VOC sebagai seorang tentara, pekerja dan sebagai pegawai pemerintah.

Populasi yang cukup besar di Batavia pada awal abad ke-17 adalah komunitas Mardijkers. Pada sensus penduduk tahun 1699 di Batavia, populasi Batavia berjumlah 3.679 orang Cina; 2.407 Mardijkers; 1.783 orang Eropa; 670 Campuran darah; 867 lainnya.

Selama era VOC sudah ada perkawinan yang cukup banyak dengan kaum Indo dalam sejarah pra-kolonial, yang seringkali juga keturunan Portugis. Selama era kolonial, Mardijkers berasimilasi sepenuhnya ke dalam komunitas Indo (Eurasia) dan tidak lagi terdaftar sebagai kelompok etnis yang terpisah.

Masa Peralihan
Antara abad ke-18 dan 19, Mardijkers mulai menukar kebiasaan peninggalan Portugis dan mengganti bahasa Portugis dan bahasa kreol-Portugis secara bertahap dengan bahasa Melayu Betawi, yang kemudian secara bertahap mengalami proses penyempurnaan menjadi bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa resmi.

Sungguhpun begitu banyak pula istilah-istilah Portugis digunakan ke dalam bahasa Indonesia, seperti sepatu, bendera, sekolah, dll. Sementara bahasa pergaulan atau informal tetap menggunakan dialek Mel.ayu Betawi bercampur dengan bahasa Cina dan Arab, seperti, lu, gua, ente dll.

Desa Tugu
Pada 1661 pihak VOC memberikan sebidang tanah bagi kelompok Mardijkers sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, yakni Tugu, yang letaknya sekitar 12 km bagian timur laut dari Batavia. Tugu adalah kantong Mardijkers pertama dan sejak itupun orang Belanda menyebut mereka “Toegoenezen Mardijkers” terdiri dari 23 keluarga, mengolah tanah mereka.

Umumnya mereka adalah komunitas Nasrani berasal dari Bengal dan kepulauan Koromandels, India. Semula terdiri dari lelaki yang kemudian mempersunting gadis-gadis Bali turunan bekas budak. Mereka dibebaskan karena meninggalkan iman Katolik dan menjadi Calvinis.

Mereka tinggal di pemukiman sederhana. Sebelumya mereka menetap di distrik Roa Malaka di Batavia Lama dekat Kali Besar,

Desa Tugu berkembang menjadi benteng Portugis Mestizo, dengan menggunakan logat Portugis-India. karena terisolasi. Baru pada akhir abad kesembilan belas berhasil ditembus pengaruh bahasa Melayu dan istilah Tugu Portugis hanya diucapkan oleh orang-orang yang lebih tua.

Pada 1930 guru Sekolah Tugu, Jacob Quiko giat mengumpulkan kata-kata Portugis yang masih digunakan generasi tua. Aksen bicara Portugisnya berbeda dengan koloni Portugis Flores dan Timor.

Aksen Tugu Portugis hanya tinggal di dalam musik, seperti dalam Orkes Keroncong Samuel Quiko ataupun Keroncong Moresko. Tetapi Mardijkers Portugis di desa Tugu, sejak pertengahan abad ke-19 hidup dengan dunia budayanya dan penduduk setempat menggunakan bahasa Portugis dengan damai dan tenang menjauhi keramaian Batavia hingga akhir abad ke-XIX..

Nama marga keluarga Mardijkers yang umum adalah De Fretes, Ferrera, De Mello, Gomes, Gonsalvo, Cordero, De Dias, De Costa, Soares, Rodrigo, De Pinto, Perreira, Lopez dan De Silva. Beberapa keluarga Mardijkers juga membawa nama Belanda seperti Willems, Michiels, Bastiaans, Pieters, Jansz, Fransz, Davidts, Thomas, Matheos dll. Nama-nama marga ini juga digunakan di Maluku, NTT dan Minahasa.

Sebagian besar dari nama-nama marga khas Mardijkers kemudian menghilang di mana-mana kecuali di Desa Tugu, dan hanya bertahan beberapa nama marga. Di kuburan di sekitar gereja nama Portugis dan Belanda seperti Rodrigues, Hein, Dinosaurus Adrian dan Chappie masih tercantum.

Yang menyedihkan situs sejarah peninggalan budaya Mardijkers di Desa Tugu cenderung musnah dan pemerintah Jakarta Utara sama sekali tidak punya kepedulian akan nilai-nilai kesejarahan.

Kendati pada masa pemerintahan Ali Sadikin ada perhatian, tetapi setelah itu dimusnahkan. Kendati demikian, kelompok Mardijkers turut mewarnai dalam sejarah Indonesia sebagai masyarakat melting-pot pertama di Asia pada abad ke-XVII.

(Dari berbagai sumber)

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Foto: Gereja peninggalan Portugis terletak di Kampung Kurus (Kampung Kecil), Kelurahan Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. Gereja dibangun sejak 1678 dan merupakan pemberian dari seorang dermawan bernama Justinus van der Vinck sebagai tuan tanah di daerah Cilincing dan Pasar Senen ketika itu.

Gedung ini menggantikan gereja kedua (dari tahun 1678) yang dihancurkan pada tahun 1740 oleh gerombolan liar Cina.

Pada tahun 1737, Pendeta Van der Tydt merehab bangunan tersebut, tapi tahun 1740 bangunan gereja itu hancur habis terbakar ketika di Batavia terjadi pemberontakan Cina (Chinezenmoord).

Tahun 1747 Gereja Tugu dibangun kembali oleh pendeta Mohr dan ditahbiskan pada tanggal 29 Juli 1774, atas izin Gubernur Gendral Van Imhoff yang berkuasa di Batavia. Gereja tersebut boleh dibangun di Desa Tugu dan hingga sekarang masih dapat disaksikan “Gereja Tugu Portugis” yang lebih bergaya arsitektur gereja Belanda abad 18 M dan gaya Gereja Evora (Santome) dekat Lisabon.

Gereja Tugu kelihatan sederhana, tetapi kokoh dan rapi. Di dalamnya berisi beberapa bangku diakon antik, piring-piring logam dan mimbar tua.

Menara lonceng berasal dari tahun 1880, tetapi lonceng lama yang rusak (dari tahun 1747) konon masih tersimpan dalam rumah pendeta.
Keluarga Mardijker pada 1704 di Desa Tugu

Menangkal Kaum Radikal, Sisihkan Minimal 3 Menit Berdoa

Rekan-rekanku sebangsa dan seperjuangan di mana pun Anda berada. Sudah baca mengenai kisah ibu dr Fiera Lovita dari RSUD Solok?

Sebagai akibat apa yang ditulisnya di status FB milik pribadinya, sekelompok kaum radikal mengintimidasi dia dan kedua anaknya yang masih kecil. Menurut berita terbaru, akibat peristiwa itu, dia dan keluarga sudah dipindahkan ke Jakarta.

Itu hanya salah satu contoh kecil di negara kita. Dalam kondisi semakin sulit seperti itu, apa yang harus kita lakukan? Banyak, jika kita mau berjuang bersama. Kita tidak boleh diam.

1. BERDOA.

Ketika umat Gereja perdana mengalami berbagai macam ancaman, Alkitab mencatat: “Berserulah mereka bersama-sama kepada Allah” (Kisah 4:24). Karena itu, turutlah berjuang menangkal kaum radikal dan intoleran. Atau istilah saya, kaum perusuh dan pengacau.

Mungkin ada benar-benar masih belum biasa berseru dan turun ke jalan. Masih ragu dan takut. Baik, sebelum Anda mendapat keberanian dari Allah, berjuanglah melalui doa. Tidak ada yang Anda takut kan ketika berdoa?

2. MOHON KEADILANNYA.

Banyak orang Kristen SALAH memahami Alkitab. Mereka hanya berdoa untuk kasih dan pengampunan Allah. Padahal, kasih dan keadilan TIDAK dapat dipisahkan.

Bahkan ketika kita menunjuk SALIB KRISTUS, di sana TIDAK hanya ada kasih dan Allah yang mengampuni umat berdosa. Akan tetapi di salib itu juga sangat nyata KEADILAN ALLAH.

Itu sebabnya Yesus harus menerima murka Allah yang seharusnya ditimpakan kepada kita orang berdosa. Tanpa itu, kasih dan pengampunan mustahil terjadi. Mohon dibaca dan teliti Efesus 2:3-4.

Dalam Perjanjian Lama, raja-raja lalim seperti Nebukadnezar mengalami penghukuman Allah. Demikian juga, dalam PB, raja Herodes MATI mendadak karena ditampar malaikat Tuhan. Itu akibat kesombongan dan kesewenang-wenangannya (Kisah Rasul 12:23).

Mari kita doakan besok hari di Gereja dengan sungguh-sungguh agar Allah menghukum semua orang, kelompok perusuh dan pengacau di Ibukota dan di Indonesia.

3. BERSATU KITA TEGUH.

Kita sudah sangat akrab dengan istilah di atas. Karena itu, mari terus membangun kesatuan, rapatkan barisan, jangan mau dipecah-pecah.

Dalam kesatuan itu juga kita berjuang dalam doa. “DOA ORANG BENAR BILA DENGAN YAKIN DIDOAKAN, BESAR KUASANYA” (Yakobus 5:16b).

Mari kita sama-sama menyebut nama-nama orang dan kelompok itu kepada Allah yang MAHAKUASA dan MAHAADIL. Kiranya Herodes dan Nebukadnesar masa kini juga dihukum Allah. Sesungguhnya Allah TIDAK TERTIDUR. Demikianlah tertulis dalam Taurat Musa:

Aku telah MEMPERHATIKAN kesengsaraan umatKu…Aku MENGETAHUI penderitaan mereka… .(Keluaran 3:7)

4. ALLAH MEMBERI KELEPASAN.

Apa hasil perjuangan doa itu? Kita membaca: “Aku telah turun MELEPASKAN mereka…”

Mengapa mereka terlepas? Alkitab mencatat: : “SERUAN mereka telah sampai kepadaKU” (ayat 9).

Baik, mari kita berseru-seru kepada Allah kita, dan mari kita nantikan jawaban doa kita. Selamat beribadah.

Soli Deo gloria.

 

Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, MTh.

Penulis adalah Alumnus Fakultas Teknik UI Doctor Theology dari Trinity Theological College, Singapore, Cambrige, Roma.

Kopi Luwak dan Kekudusan Keluarga

Kami berkunjung ke pengrajin kopi luwak. Di sana kami ditunjukkan kotoran hewan luwak. Terlihat butiran-butiran kopi utuh yang menggumpal bersama kotoran lain.

“Biji kopi ini akan diolah menjadi kopi luwak yang harganya mahal,” kata pemandu. Anak saya bergidik melihatnya.

“Tidak usah jijik. Biji-biji kopi ini akan kami pisahkan dari kotoran, lalu dicuci hingga bersih. Setelah itu dijemur. Setelah kering, kulit ari dipecah dan dibuang. Setelah itu, disangrai dengan panas tinggi dan ditumbuk,” terang sang pemandu.

Proses pembuatan biji kopi luwak ini mirip dengan prinsip pengudusan. Arti kata “kudus” atau qadosy (Ibrani) adalah “terpisah” atau dipisahkan. Orang Kristen yang dikuduskan adalah orang yang dipisahkan dari “kotoran” dosa, supaya dapat menjalin relasi dengan Allah.

Mengapa? Karena Allah itu kudus. Maka manusia harus dalam kudus, atau terpisah dari dosa, supaya dapat berhubungan kembali dengan Allah.

Dalam perjanjian lama, seorang imam akan ditahbiskan dalam upacara istimewa. Dia dikuduskan untuk melaksanakan ritual-ritual keagamaan, sebagai perantara antara Allah dengan umat Israel.

Seluruh umat Israel sebagai satu bangsa juga dikuduskan bagi Allah. Mereka dipisahkan dari bangsa-bangsa lain. Mereka tidak sama dengan bangsa-bangsa lain. Jadi yang menjadikan Israel sebagai bangsa yang kudus adalah hubungan mereka dengan Allah. Dalam pengertian ini ‘kudus’ mengacu kepada pengungkapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah.

Dalam perjanjian baru, umat Allah yang dikuduskan ini meluas ke bangsa-bangsa lain, yaitu mereka yang percaya kepada Yesus Kristus. Umat percaya ini bergabung dalam sebuah entitas bernama gereja.

Gereja berisi orang-orang yang telah diselamatkan dan dipisahkan agar Allah dapat menjalin hubungan dengan manusia. Sedangkan unit terkecil dari gereja adalah keluarga. Keluarga inti atau batih terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Namun ini dapat diperluas dengan kehadiran sanak-keluarga lain yang masih ikut mengindung.

Allah menghendaki agar umat-Nya [baca: keluarga] hidup dalam.

Imamat 19:2b, berkata, “Kuduslah kamu, sebab Aku TUHAN, Allahmu, kudus.” Allah itu kudus, karena itu umat-Nya pun harus kudus.

Karakter umat harus mencerminkan karakter Allah. Allah adalah kudus, artinya Ia bebas terhadap dunia. Allah menguduskan manusia, artinya memilih mereka sehingga menjadi milik-Nya. Allah besar dan baik oleh karena Allah adalah kudus. Tidak ada kejahatan di dalam kebaikan-Nya.

Pada waktu kita diminta untuk hidup kudus, tidak berarti bahwa kita menyamai kemuliaan Allah ini. Kita tidak bakal mampu. Kita dipanggil untuk mencerminkan dan merefleksikan karakter moral dan tindakan Allah. Sebagai keluarga yang telah dipanggil, dipilih dan dikuduskan Allah kita harus senantiasa hidup di dalam standar kekudusan Allah.

Beberapa orang memaknai kekudusan dalam makna sempit, yaitu berkaitan dosa seksual. Misalnya, topik utama dalam menjaga kekudusan pernikahan adalah soal kesetiaan dengan pasangan.

Padahal kehidupan kudus lebih luas daripada itu. Keluarga hidup kudus apabila masing-masing keluarga menjalankan peran masing-masing sesuai perintah Allah.

Seorang suami wajib mengasihi isterinya. Seorang istri hormat dan tunduk kepada suaminya. Dia menjadi penolong yang sepadan. Seorang bapa mendidik anaknya untuk takut kepada Tuhan. Seorang ibu mengasuh anak-anak. Memenuhi segala kebutuhan mereka. Anak-anak patuh kepada orangtua.

Kekudusan keluarga dapat dibentuk apabila masing-masing pribadi dalam keluarga dengan hati yang terbuka mau senantiasa belajar untuk meneladani Allah sebagai PRIBADI yang MAHAKUDUS. Apabila ini tercipta dengan mantap di dalam keluarga maka keluarga ini dapat mempolakan kehidupan yang sama kepada sesama.

Kristus dalam hidup dan sifat-sifat-Nya adalah teladan tertinggi kekudusan Allah. Dalam Dia keadaan kudus bahkan lebih daripada hanya tidak berdosa: itu adalah penyerahan-Nya yang seutuhnya kepada kehendak dan maksud Bapa. Dan untuk itu Yesus telah menguduskan diriNya sendiri (Yoh 17:19).

Kekudusan merupakan keniscayaan bagi keluarga Kristen sebab kita diibaratkan sebagai cabang pohon anggur. Kristus adalah pokok anggur tempat kita menempel. Ini adalah cara agar cabang pohon senantiasa menikmati segala sesuatu yang berasal dari pokok pohon. Bagian yang dapat kita nikmati dari Allah salah satunya adalah kekudusan.

 

Purnawan Kristanto

Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis.

Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=795

Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |

Mengapa Kristiani tak Lagi Berdebat

Perdebatan mengenai teologi Kristen/Katolik telah lama selesai, meskipun masih bermunculan aliran atau sekte yang membawa semangat “pemurnian,” antara lain melalui kehadiran gereja-gereja yang disebut injili, kharismatik, yang di wilayah-wilayah persebaran seperti Indonesia, kadang menimbulkan friksi dengan jemaat dari denominasi gereja-gereja yang sudah lama mapan dan berorganisasi di bawah PGI (Protestan) atau KWI (Katolik).

Namun, tak sampai menimbulkan ketegangan atau segragasi yang tajam di antara sesama jemaat, sebab selain (mungkin) faktor minoritas hingga spektrum atau magnitudenya tak terasa, teologia Kristen/Katolik agaknya telah final dan tak lagi membutuhkan tafsir dan pembuatan kanonik baru; telah mapan, selesai, tinggal bagaimana menginternalisasi dan mengimplementasikan.

Tantangan gereja di abad kini, lebih menyangkut kegamangan menghadapi perubahan zaman dan sosial, juga menjawab isu-isu global yang harus diakui, kadang membuat gereja gagap menjawab, misalnya, kloning manusia, pengakuan LGBT, menguatnya kecenderungan sekularisasi dan free thinker yang memuja akal, logika, nalar, menuntut empirisme dan menganggap irasionalisme sebagai suatu sikap kebodohan.

Pula menghadapi gelombang ideologi yang membenarkan penumpukan modal dan kecenderungan warga dunia menganggap kapitalisme sebagai “tuhan” baru yang lebih menyenangkan dan powerful. Menghadapi manusia kini yang lebih suka memburu kekuasaan di bidang finansial dan industri dan dengan memiliki kemampuan finansial yang kuat merasa yakin akan bisa memenuhi kubutuhan maupun kesenangan–yang biasa disindir sebagai hedonisme.

Menyikapi pertumbuhan ideologi kemakmuran berikut implikasinya dan menjadi idaman manusia-manusia post modernisme yang menginginkan kemakmuran di dunia sekaligus keselamatan surgawi dan ditampung beberapa gereja dengan cerdik, merupakan tantangan sekaligus kegelisahan gereja-gereja konservatif yang di Indonesia berhimpun dalam PGI atau KWI. Juga masih ragu atau gamang menghadapi desakan konvensi-konvensi global yang semakin memberi kebebasan bagi individu dan sulit membantah pencapaian sains-teknologi, serta pertumbuhan free thinker dan pendukung hak-hak LGBT.

Artinya, mengenai aliran teologis, agaknya bukan lagi persoalan signifikan bagi gereja-gereja dan pengikut atau jemaat. Pengakuan atas kebebasan individu mengikuti atau meyakini yang dirasa paling cocok telah tertanam dan menjadi sikap masing-masing jemaat, bukan lagi isu penting.

Hasilnya, perbedaan atau ketidaksamaan aliran, tak lagi menimbulkan friksi atau ketegangan dengan yang tidak sama aliran akibat saling klaim kebenaran masing-masing, yang dampaknya menciptakan segragasi atau pemisahan sosial–walau ada pengikut gereja non PGI atau KWI, misalnya, begitu tegas menolak yang mereka yakini sinkretisme.

Itu pula yang mengakibatkan gereja tak mudah bila berkeinginan membentuk atau menggerakkan sikap politik dengan mempengaruhi jemaat. Peran rohaniawan (pastor, pendeta, uskup, ephorus, bishop) lebih diposisikan atau diperlakukan oleh jemaat sebagai pemimpin organisasi gereja, bukan tokoh sentral atau jadi acuan utama dalam menjalankan keyakinan. Diakui sebagai rohaniawan namun tidak sebagai penentu utama dalam membangun konstruksi iman dan rambu-rambu menyangkut keyakinan.

Dengan kondisi seperti itu, gereja (khususnya di bawah PGI dan KWI) sulit membentuk sikap politik jemaat, dan memang sebaiknya tidak perlu. Gereja lebih berfungsi sebagai rumah doa yang memfasilitasi peribadatan dan penampung kegelisahan jemaat; rohaniawan-rohaniawan yang bergiat di dalamnya berperan sebagai guru atau pembimbing urusan spiritual-kerohanian, pemimpin ritual keagamaan, bukan pekerja lembaga/organisasi gereja yang mencampuri urusan administrasi, materi-aset-uang, hingga sikap politik jemaat.

Itu menurut pandangan saya, barangkali saja tidak betul seluruhnya. ***

* Untuk mereka yg sering menanyakan dan meminta pandangan saya.

* Bila tertarik memberi tanggapan/komen, hendaknya kontekstual dan tidak mengarah ke sindirian pada siapapun.

Surat Terbuka Guru Besar Teologia kepada Komisi Fatwa MUI

Yang terhormat:

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Jalan Proklamasi 51, Jakarta Pusat 10320

Salam sejahtera dan dengan hormat,

Sehubungan dengan terbitnya Fatwa MUI nomor 56 Tahun 2016 tertanggal 14 Desember 2016, tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim, perkenankanlah saya menyampaikan beberapa catatan dan pertanyaan berikut:

1. Di dalam judul dan butir-butir keputusan fatwa tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah Non-Muslim adalah umat atau pemeluk agama Kristen (=Nasrani). Namun dari latar belakang dan konteks terbitnya fatwa ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah umat Kristen.

2. Di dalam fatwa tersebut tidak secara rinci disebut apa-apa saja yang dimaksud dengan atribut ataupun simbol keagamaan non-muslim yang dinyatakan haram, kendati pada Keputusan, butir Ketentuan Umum, dinyatakan bahwa “dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.”

3. Kendati tidak disebut secara rinci, namun dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah pernik-pernik hiasan yang digunakan banyak orang untuk merayakan Hari Natal, misalnya: pohon terang dengan berbagai hiasannya, bintang, lonceng, topi sinterklas, topi bertanduk rusa, kereta salju, lilin, dsb.

4. Sampai sekarang gereja Kristen (yang terdiri dari berbagai aliran dan organisasi) belum pernah membuat konsensus tentang atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu. Bahkan ada juga gereja yang tidak merayakan hari Natal dan tidak menggunakan simbol salib.

Atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu muncul dari tradisi sebagian gereja, terutama yang di Barat (Eropa dan Amerika), yang kemudian disebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

5. Produksi, penyebaran, dan perdagangan benda-benda itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan iman Kristen, termasuk iman kepada Yesus Kristus, yang diimani umat Kristen sebagai Tuhan Allah yang menjelma menjadi manusia, serta sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia.

Penyebaran, produksi, dan perdagangan benda-benda itu lebih dimotivasi oleh hasrat untuk mendapat keuntungan material; itulah sebabnya orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas itu berasal dari berbagai penganut agama. Bahkan boleh jadi orang yang tak beragama pun ikut memproduksi dan memperdagangkannya.

Karena itu saya tidak mempersoalkan atau berkeberatan kalau Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa menggunakan, memproduksi, menyebarkan, dan memperdagangkan benda-benda atau atribut-itu adalah haram.

6. Di dalam fatwa itu, pada bagian konsiderans (Mengingat dan Memperhatikan), berulang kali dikutip ayat Kitab Suci Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad/Rasulullah SAW, dan pendapat sejumlah tokoh Islam, yang pada pokoknya menyatakan bahwa orang-orang non-muslim itu adalah kafir.

Perkenankan saya bertanya: apa/siapa yang dimaksud oleh Komisi Fatwa MUI dengan kafir? Apakah semua orang non-muslim adalah kafir, termasuk umat Kristen? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang dikatakan bahwa kafir adalah “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya”. Bila inilah pengertiannya maka lebih dari 5 milyar penduduk dunia adalah kafir.

7. Sepengetahuan saya, Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan bersahabat dengan banyak orang Kristen (Nasrani) dan tidak pernah menyebut mereka kafir. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits Nabi yang menyebut orang Kristen sebagai kafir.

8. Karena itu, bila Komisi Fatwa MUI, sehubungan dengan atribut keagamaan non-muslim, menyebut umat Kristen sebagai kafir, perlulah Komisi Fatwa MUI memberi penjelasan dan mengemukakan argumen yang kuat. Saya bersedia diundang untuk mendiskusikan hal ini dalam suasana persahabatan dan persaudaraan.

9. Dengan itu pula saya mengimbau Komisi Fatwa MUI agar tidak menerbitkan fatwa yang bisa ikut menambah panas suasana dan suhu kehidupan di negeri kita ini, sebaliknya menyampaikan fatwa ataupun pendapat yang mendatangkan kesejukan.

Izinkanlah umat Kristen di Indonesia merayakan hari Natal (kelahiran) Yesus Kristus, yang kami yakini sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia, dalam suasana tenteram dan sejahtera.

Salam hormat teriring doa,
Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D.
Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat 10320

Catatan: Tulisan ini dibagikan atas seizin penulis.

Foto: pixabay

 

 

Tradisi Lilin Natal dari Berbagai Belahan Dunia

Menyalakan lilin untuk sebuah peringatan saat ini memang telah menjadi umum. Saat ulang tahun, kita akan meniup lilin di atas kue tart. Saat ada peristiwa penting, seperti tragedi tertentu, kita menyalakan lilin di tanah lapang atau di lokasi kejadian peristiwa.

Saat Natal pun lilin dinyalakan. Penggunaan lilin saat Natal adalah tradisi lama. Tradisi menyalakan lilin Natal berasal dari Festival Cahaya sebagai bagian dari perayaan Yahudi atau sering disebut Hanukkah. Hanukkah pada intinya merupakan ritual menghidupkan 8 lilin Chanukah selama 8 hari festival.

Karena jemaat mula-mula dari kekristenan juga merupakan orang-orang Yahudi, adaptasi pun terjadi. Menyalakan lilin saat Natal sebenarnya lebih ditekankan sebagai menandai kelahiran Yesus Kristus yang adalah Terang Dunia.

Lilin Natal juga disimbolkan sebagai Cahaya dari Surga yang menyediakan kehangatan selama malam musim dingin. Patut diingat, hari Natal selalu jatuh pada musim dingin.

Di abad pertengahan, menyalakan lilin menjadi sebuah kewajiban untuk mewakili Kristus. Kebiasaan ini masih diikuti di sebagian besar gereja-gereja dan rumah-rumah orang Kristen sampai sekarang.

Beberapa negara di belahan dunia pun memiliki tradisi dengan makna tersendiri dalam ritual menyalakan lilin saat Natal. Inilah beberapa tradisi tersebut seperti dikutip dari boldsky.com.

Irlandia

Ayah atau ibu sebagai perwakilan rumah tangga akan menyalakan lilin besar yang dihiasi dengan daun holly. Kemudian seluruh anggota keluarga duduk bersama mengelilinginya dan berdoa untuk semua handai taulan dan orang-orang yang dikasihi, baik yang hidup dan yang telah meninggal.

 

Bangsa-bangsa Slavia

Kebanyakan keluarga-keluarga negeri bangsa-bangsa Slavia ini meletakkan lilin Natal besar di atas meja setelah lilin terswebut diberkati oleh imam di gereja. Menariknya, di Ukraina, mereka meletakkan lilin di tengah-tengah roti berbentuk melingkar dan bolong di bagian tengah.

 

Amerika Selatan

Di banyak negara di Amerika Selatan, lilin ditempatkan dalam lentera kertas dengan simbol Natal dan gambar dari budaya asli untuk dekorasi.

 

Inggris dan Prancis

Tiga lilin diletakkan bersama-sama dalam satu dasar yang menandakan Tritunggal Kudus.

 

Jerman

Lilin Natal ditaruh ke dalam sebuah tempat kemudian digantung di tiang kayu, dan ini tradisi yang telah muncul sejak Abad 17-18 Masehi.

 

Berbagai tradisi ini memiliki kesamaan makna, bagaimana pun cara menyalakannya. Cahaya lilin melambangkan kehadiran Yesus sebagai Terang Dunia. Lilin juga melambangkan iman seseorang kepada Allah sebagai sumber terang dan fakta bahwa kehidupan manusia tidak selamanya. Sama seperti lilin, pada waktunya manusia akan “selesai juga” seperti lilin yang mencair.

 

Foto: pixabay

Awal Mula Christmas Carol, dari Nyanyian Malaikat hingga Tradisi Pagan di Eropa

Tahukah kamu Christmas Carol paling pertama dilakukan itu kapan?

“Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” Lukas 2:13-14

Itulah dia Christmas Carol paling pertama. Kelahiran Yesus ditandai dan dirayakan pertama kali dengan puji-pijian sorgawi, di mana malaikat dan bala tentara sorga bernyanyi. Jemaat Kristen mula-mula pada abad pertama melanjutkan tradisi para malaikat, yaitu membawakan puji-pujian sukacita dari rumah penduduk satu ke rumah penduduk lain.

Sampai saat ini, kekristenan di seluruh dunia masih menjalani tradisi ini, pergi dari pintu ke pintu untuk menyanyikan lagu-lagu sukacita Natal.

Sejarah mencatat, pada tahun 129 Masehi, puji-pujian yang dinyanyikan dari pintu ke pintu ini ditulis dalam bahasa Latin dan berbentuk himne, belum berupa Carol yang artinya adalah lagu-lagu kegembiraan.

Jadi Christmas Carol sendiri artinya? Secara ringkas arti sesungguhnya lagu-lagu kegembiraan tentang kelahiran Yesus Kristus dan dinyanyikan pada masa perayaan Natal atau dalam tradisi barat disebut Noel. Noel adalah masa perayaan Natal yang mengambil kurun waktu 24 Desember-6 Januari.

Bentuk paduan suara dalam Christmas Carol sebenarnya adaptasi dari kebiasaan menyanyi di Eropa ribuan tahun lalu. Saat kekristenan belum tumbuh di Eropa, tradisi pagan telah melahirkan gaya menyanyi model paduan suara, namun orang-orang menyanyikannya dengan mengelilingi sebuah batu di lapangan luas pada musim dingin.

Berdasarkan tradisi lahirnya Christmas Carol mula-mula, lagu-lagu kegembiraan Natal atau Carol ini memang tidak untuk dinyanyikan di gereja, namun di rumah-rumah. Para penyanyi yang berkeliling dari pintu ke pintu membawakan Carol dan lama-kelamaan lagu-lagu himne Latin pun tergeser sehingga wujudnya seperti Christmas Carol sekarang dan kebiasaan ini tersebar ke seluruh dunia.

Uniknya lagi, sebelum lagu-lagu kegembiraan Natal atau Carol menjadi populer, para penyanyi yang bernyanyi pintu ke pintu ini disebut kelompok penyanyi “Waits”. Mereka disebut demikian karena mereka hanya bernyanyi pada malam Natal, sambil “menunggu” Hari Natal tiba.

Para penyanyi Carol mula-mula ini mengaggap diri mereka seperti para gembala di malam hari yang menyaksikan malaikat menampakkan diri dan memuji-muji tentang kelahiran Bayi Yesus.

Inilah sekelumit sejarah mula-mula Christmas Carol. Saat ini, Christmas Carol masih terus dijalankan umat kristiani, dan berkembang menjadi pembawa sukacita saat ada jemaat gereja yang membutuhkan penghiburan di rumah-rumah, contohnya karena ada jemaat yang sakit atau jemaat yang sedang berduka.

Sumber: boldsky.com

Foto: Pixabay