Tag Archives: Gemuk

“Diet or Die”

Langsing lebih membawa keuntungan untuk perempuan daripada gemuk, itu fakta. Perempuan langsing lebih disukai laki-laki pada umumnya, lebih gampang cari baju, lebih populer..

***

Materi kuliah hari ini tentang tubuh perempuan dalam komik “Shiboo to iu na no fuku wo kite”(In Clothes Called Fat) karya Anno Moyoko.

Langsing lebih membawa keuntungan untuk perempuan daripada gemuk, itu fakta. Perempuan langsing lebih disukai laki-laki pada umumnya, lebih gampang cari baju, lebih populer (cheerleaders di sekolah-sekolah rata-rata murid perempuan yang cantik kan, dan tubuhnya langsing).

diet-or-die-rouli

Sama seperti pemutih kulit, sudah tak terhitung program pelangsingan tubuh yang ditawarkan di iklan-iklan, testimoni dari orang-orang yang sudah mencoba, dengan foto before dan after programnya.

Sekali lagi, saya bukan antidiet, atau antilangsing. Engga sama sekali. Kita juga tahu, bahwa gemuk itu tidak bagus, risiko kena banyak penyakit, seperti diabetes, darah tinggi, jantung, dan sebagainya. Kalau terlalu gemuk, gerak pun jadi lamban, jalan sedikit capek, stamina juga gampang drop. Gaya hidup sehat dengan tubuh ideal, jelas itu sebuah hal yang positif.

Tapi…..

Pertama. Bukankah di kelas, biasanya yang diledek itu orang gemuk, misalnya dibilang, “hai, gendut!” atau “dasar gajah lu!”, “big baboon lu!”? Kata-kata ini semua bernada negatif, tidak membangun.

Kedua. “Saya olahraga supaya sehat.” Oke, ini sebuah sikap yang sangat positif. Tetapi, apakah semua orang, terutama perempuan, berolahraga semata-mata supaya sehat?

Saya rasa, banyak yang motif berolahraganya karena ingin memiliki tubuh idaman, yaitu tubuh yang langsing, dan bukan hanya sekedar langsing, tapi juga kencang, padat, dan berisi di bagian-bagian tertentu. Sekali lagi, ingin punya tubuh langsing tidak salah, tapi sudah mulai tidak sehat, jika kita akhirnya terobsesi harus langsing.

Ketiga. Pernah engga, kita–kaum perempuan–terintimidasi karena lihat penampilan teman kita yang lebih keren, cantik, dan langsing? Atau merasa inferior karena ketika cari baju, baik baju luaran atau baju dalam, tidak ada ukuran yang pas, karena tidak muat di tubuh kita? Terutama untuk baju dalam, saya perhatikan, baju dalam dengan model lucu-lucu dan “warna perempuan”, pada umumnya menyediakan ukuran standar saja.

Yang big size biasanya warnanya membosankan (warna basic yang serius seperti krem, putih, hitam, biru donker), modelnya juga out of date, dan biasanya harganya agak lebih mahal.

Di dalam komik ini, dibahas tentang seorang perempuan usia 20-an yang di-bully karena tubuhnya yang gemuk, dan bagaimana perempuan ini akhirnya mati-matian diet sampai terkena bulimia, karena merasa bahwa tubuh langsing adalah kunci kebahagiaan.

Kelihatannya hiperbola, dan mungkin kita berpikir, “ahhhh itu kan cerita doang, engga mungkin saya begitu”. Tapi kenyataannya: nilai perempuan hingga saat ini, sayangnya….pada umumnya ditentukan oleh kecantikan (termasuk tubuh yang langsing) dan kemudaannya.

Hari ini, di kelas, mahasiswa presentasi tentang pembacaan komik ini, dan masing-masing kelompok saling memberi pertanyaan. Satu pertanyaan yang menarik : “Kalau kalian, lebih ingin jadi Noko (tokoh utama, perempuan gemuk yang bulimia) atau Mayumi (tokoh antagonis, perempuan langsing yang ngebully tokoh utama)?”

Yang lebih menarik lagi adalah jawaban yang diberikan para mahasiswa ini. Kebanyakan dari mereka, bilang begini:

“Saya ngga mau jadi Noko atau Mayumi. Menurut saya, yang penting itu bukan fisik perempuan itu gemuk atau langsing. Yang paling penting adalah bagaimana saya sebagai perempuan berani mengungkapkan pikiran dan pendapat saya.” Jawaban yang luar biasa!

Pembahasan mengenai tubuh perempuan (dan laki-laki) masih akan berlanjut pada minggu-minggu berikut. Ini sebenarnya “hanya” kelas kajian budaya dan masyarakat Jepang, tapi saya berharap, setelah mereka mengikuti kelas ini, mahasiswa-mahasiswa saya menjadi perempuan-perempuan yang percaya diri, berani mengemukakan pendapat, dan berani punya sikap, termasuk punya persepsi positif mengenai tubuh mereka (kebetulan kelas ini isinya perempuan semua).

Marilah kita semua berhenti bersikap dangkal: menilai orang hanya dari tampilan fisiknya, terutama tampilan fisik perempuan. Dan…stop ejekan, ledekan, candaan yang meledek fisik orang. Please, itu sungguh tidak manusiawi.

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay

Foto Buku: http://books.bunshun.jp/ud/book/num/9784167777012

“Gemuk Ya Sekarang?”

Siapa yang pernah dikomentarin begitu? Saya sih sudah sering banget.

Pertama-tama, saya tidak menampik kenyataan saya gemuk. Mau bagaimana lagi…hidup di bumi Indonesia dengan nasi padangnya yang maknyooooos, untuk saya sih mustahil menahan hasrat makan ini.

Kedua, saya juga enggak akan mau membalas pernyataan orang yang ada tendensi “meledek” atau “menghina” fisik dengan ungkapan serupa. Saya tidak akan mau mengatakan seseorang itu gemuk atau kurus dalam arti yang negatif. Mengapa? Maaf, saya enggak level untuk meledek fisik orang. Saya sekali-sekali tidak akan mau.

Begini. Sebelum ngomong gemuk atau kurus, coba pikir dulu, kira-kira kita nyaman nggak kalau dibilang seperti itu. Sama halnya dengan menanyakan kepada perempuan yang sudah menikah, apakah dia sudah hamil atau belum atau perempuan yang belum menikah, kapan nikahnya, atau kepada laki-laki usia produktif, sudah dapat kerja atau belum.

Saya enggak akan menanyakan hal-hal seperti itu. Orang bilang, itu kan bentuk perhatian, tapi menurut saya bukan. Jika sebuah pernyataan atau pertanyaan sudah tidak menyamankan pihak yang ditanya, itu bukan perhatian namanya. Itu namanya menyusahkan orang lain.

Kalau kita bilang pada orang lain: gemuk ya sekarang? Itu maksudnya apa? Perhatian? Basa basi? Atau hanya sebuah pernyataan untuk mengkonfirmasi bahwa diri sendiri ini langsing dibanding orang yang kita bilang gemuk?

Kalaupun iya itu perhatian atau basa-basi, lebih baik cari kalimat lain yang menunjukkan perhatian atau membuka percakapan, deh. Soalnya, sekalipun yang bersangkutan emang beneran gemuk, pasti dia enggak suka dibilang gemuk.

Mengapa? Karena gemuk itu punya citra negatif dibanding langsing. Dan sekalipun yang punya badan gemuk itu merasa baik-baik saja dengan tubuhnya, tapi ucapan yang bertendensi negatif itu tetap aja tidak sejuk untuk telinga dan hati.

Orang bilang, perkataan orang enggak usah dimasukin ke hati. Iya, itu betul. Tetapi, alangkah baiknya jika kita menjaga perkataan kita agar sebisa mungkin tidak berdampak negatif pada orang lain. Iya kan?

Jadi mulai sekarang, sekalipun untuk kasih perhatian atau basa basi, enggak usah kita bilang: gemuk banget ya sekarang, atau, kok kurus banget sih kayak kurang gizi. Ingat, kita sungguh lebih berharga dibanding hanya menjadi golongan orang yang komen-komen soal gemuk kurus, sudah nikah belum, sudah punya anak belum, sudah kerja belum.

Ada segudang topik menarik untuk dibahas, seperti impian kita apa, produksi terbaru Teater Koma, musik klasik, buku-buku bermutu yang wajib dibaca, debat capres Amrik. Oke, oke, ini topik menarik menurut saya.

Tapi intinya, ada banyak hal yang bisa dibahas selain pertanyaan dangkal macam gemuk kurus, nikah atau enggak, punya anak atau nggak. Be smart and wise, oke?

 

Rouli Esther Pasaribu
Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: Pixabay