Tag Archives: Gempa

Kesaksian Capt Pilot Mafella, Selamatkan 140 Penumpang Batik Air dari Gempa Palu

Pilot Batik Air, Capt Ricosetta Mafella, mendapat sorotan setelah ia menerbangkan pesawatnya tiga menit lebih cepat dari Palu menuju Jakarta.

Atas keputusannya ini, ia berhasil menyelamatkan penumpang Batik Air dari Tsunami Palu, Jumat (28/9/2018).

Ia lantas memberikan kesaksian di sebuah Gereja Duta Injil BIP, Jakarta.

Capt Mafella meluapkan semua apa yang ia lihat dari udara saat tsunami menerjang Kota Palu.

Dalam Ibadah Minggu di Duta Injil BIP, Capt Mafella Pilot Batik Air,  memberikan kesaksian kenapa dia mempercepat penerbangannya 3 menit dari jadwal yang sudah ditentukan di Bandara Palu.

Sepanjang hari hatinya saya merasakan kegelisahan yang saya sendiri tidak tahu kenapa. Untuk mengusir rasa kegundahan hati saya,  sepanjang perjalanan dari Ujung Pandang ke Palu, saya menyanyi lagu-lagu rohani dengan nada keras (biasanya saya hanya bersenandung saja, tapi hari itu saya ingin memuji Tuhan sebaik-baiknya). Sampai Co-Pilot yang muslim menyarankan saya sambil bercanda supaya saya membuat CD lagu rohani.

Ketika hendak mendarat di bandara Palu, udara terlihat cerah tapi angin terlalu kencang dan Saya mendengar suara dalam hati untuk memutar sekali di udara sebelum landing.

Letak Bandara Palu diapit oleh 2 pegunungan dan itu mengingatkan Saya degan ayat Mazmur 23:4:

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku: gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku”.
“I may walk through valleys as dark as death but I wont be afraid. You are with me and your shepherd’s rod makes me feel safe”.

Bandara yang terletak diapit pegunungan bagi seorang pilot disebut lembah kematian karena mereka harus ekstra hati-hati ketika landing dan ayat Mazmur 23:4 (sebutannya Mazmur DjiSamSoe adalah pegangan para Pilot yang Kristiani).

Sesaat setelah pesawat sukses landing, Saya mendengar suara di hati Saya untuk lekas pergi dari bandara itu. Oleh karena itu, Saya menginstruksikan crew agar beristirahat 20 menit saja sebelum pesawat kembali pulang ke Jakarta via Ujung Pandang.

Saya bahkan tidak turun dari cockpit pesawat dan meminta ijin kepada Menara Control Air Traffic Center (ATC) untuk mempercepat lepas landas 3 menit dari jadwal yang sudah ditentukan.

Setelah Saya mendapat izin take off dari Alm. Agung (Anthonius Gunawan Agung, petugas air traffic control (ATC) Airnav Indonesia), mereka bersiap lepas landas.

Saat itu, saya melanggar prosedur penerbangan karena saya mengambil alih tugas Co-Pilot dengan menambah kecepatan pesawat saat prosesi take off. Saya sendiri tidak tahu kenapa tapi tangan Saya terus memegang tuas agar kecepatan lebih besar supaya badan pesawat lebih cepat merangkak naik (istilah mobil di-gas poll).

Saat itu, Saya tidak tahu kalau gempa sudah melanda Palu tapi Saya merasa pesawat sedikit oleng ke kiri dan kanan. Kalau saja Saya terlambat 3 menit, Saya tidak bisa menyelamatkan 140 penumpang karena aspal pacuan landas bandara bergelombang seperti kain ditiup angin!

Beberapa menit selepas take off, Saya mencoba menghubungi pihak menara namun sudah tidak dijawab lagi oleh almarhum Agung.

Saya menengok kebawah dan melihat fenomena alam yang aneh. Air laut di pinggir pantai membentuk lubang yang sangat besar sehingga dasar laut terlihat.

Ketika pesawat tiba di Ujung Pandang, barulah Saya diberitahu bahwa telah terjadi gempa dan tsunami di Palu dan pegawai menara control yang memandu pesawat Saya take off telah gugur sesaat setelah memastikan pesawatnya lepas landas.

Sebelum bertolak terbang ke KL, saya menegaskan pentingnya kita harus peka mendengar suara Tuhan. Dan dalam situasi apapun harus tetap tenang jangan panik supaya bisa jelas mendengar suara Tuhan yang disampaikan melalui Roh Kudus karena dia menambahkan bahwa ketika ia mengambil alih tugas Co-pilot utk menambah kecepatan, sang Co-pilot terlihat ketakutan melihat badan pesawat oleng ke kiri dan ke kanan.

Kesaksian ini saya bagi supaya kita bisa memetik pesan moral dan mendapatkan berkat. Amin…Amin..Amin.

Gempa Aceh dan Dekatnya Bayangan Kematian Mengikutiku

Gempa Aceh kemarin mengingatkanku 11 tahun yang lalu. Ya, gempa Nias 28 Maret 2005, yang berkunjung hanya dalam hitungan menit saja, telah mengubah sebagian besar hidupku dan juga teman-temanku.

Mereka yang baru saja bercanda denganku di hari yang sama, tiba-tiba sudah tidak ada lagi, ditelan reruntuhan bangunan megah buatan tangan manusia. Masih jelas tergambar di benakku kehancuran hebat saat itu.

Rumah-rumah rubuh, jalan-jalan terbelah, kebakaran menghanguskan sisa-sisa harta yang tertinggal, bau mayat di mana-mana. Aku sampai tidak mengenali lagi kota Gunungsitoli, kota kelahiranku.

Aku ingat teriak mereka yang berlumuran darah. Aku ingat tangis mereka yang memekakkan telinga.

Aku ingat ketakutan yang tergambar di setiap wajah. Bahkan aku ingat boneka berbentuk hati yang kubawa lari ke pengungsian malam itu.

Rasanya bayangan kematian begitu nyata mengejarku. Tidak ada pengungsian yang cukup aman bagiku untuk berlindung dari kematian. Aku tidak pernah tahu entah kapan kematian itu datang. Entah saat aku tidur, entah saat aku bermain, entah saat aku mandi, entah saat aku sama sekali tidak memikirkan tentang kematian.

Sesungguhnya, tanpa harus gempa pun, bayang-bayang kematian memang selalu mengikuti. Hanya mungkin sedang tidak sadar saja. Pertanyaannya, sudah siapkah apabila waktunya tiba menjemput? Sudah siapkah kita berhadapan dengan ajal?

Moi, je suis prête.

Foto: Pixabay/Angelo_Giordano