Tag Archives: film

Rasisme dalam Industri Perfilman Barat

Matt Damon kesal bukan kepalang. Dia menyangkal tuduhan bahwa telah terjadi praktek whitewashing dalam film The Great Wall, yang sebentar lagi tayang di Indonesia.

The Great Wall adalah film anyar yang berkisah tentang misteri di balik pembangunan Tembok Besar China. Film ini adalah garapan perdana dari Legendary East, studio milik Wanda Group asal China di Hollywood.

Whitewashing adalah praktek penggunaan aktor berkulit putih untuk memerankan tokoh dari ras yang lain. Konsep ini dekat juga dengan yellowface, yakni ketika peran tokoh Asia diperankan oleh aktor berkulit putih yang di-makeup sedemikian rupa.

Kepada kantor berita Associated Press baru-baru ini, Damon mengatakan peran utamanya di film The Great Wall bukanlah whitewashing. Dia menegaskan, tuduhan itu sangat menghina.

Dalam film itu, Damon berperan sebagai orang Eropa yang menyusup ke China untuk mencuri bubuk mesiu. Dia menduga, masalah whitewashing didengungkan sekadar untuk mengejar klik atau trafik di media online.

Tapi memang menarik untuk sekadar mengulas sedikit masalah rasisme dalam film-film Hollywood. Khususnya film-film teranyar. Bukan apa-apa, di zaman macam sekarang, apa iya masalah rasisme masih kental di industri perfilman barat?

Faktanya, bukan sekali ini lho tudingan whitewashing atau yellowface dilontarkan ke industri perfilman barat. Dalam film Doctor Strange dari Marvel misalnya, tudingan yellowface muncul melalui karakter Ancient One, sosok yang berlatar belakang Tibet (Seperti disebut di komiknya). Tapi tokoh ini diperankan oleh Tilda Swinton, aktris keturunan Skotlandia.

Konon, ada unsur politik juga sih dalam kasus Ancient One. Penggawa film ini ingin merangkul penonton China dengan menghindari unsur-unsur Tibet.

Kasus yellowface lain juga terdeteksi dalam film Iron Man 3, melalui karakter Mandarin yang diperankan oleh Ben Kingsley.

Sementara, kasus whitewashing tak hanya melanda ras Asia, tapi juga Afrika dan suku Indian. Dan praktek ini sudah terjadi lamaaa sekali di industri perfilman barat.

Awalnya sih, karena masih sedikit aktor dari ras bersangkutan yang bisa diandalkan. Makanya Warner Oland dipilih untuk memerankan detektif Charlie Chan dalam film Charlie Chan Carries On tahun 1931.

Tapi bukannya berhenti, praktek yang rasis itu terus dipelihara. BBC mengatakan, praktek aktor berkulit putih memerankan karakter dari ras lain terus terjadi, meski seringkali dikritik dan diprotes.

Ada dua alasan menurut BBC. Pertama, karena praktek rasialisme yang institusional di industri perfilman barat, dan kedua, keyakinan para produser bahwa aktor berkulit putih memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Sungguh memprihatinkan.

Foto: Pixabay/OpenClipartVectors

Artikel ini dikutip dari tulisan sendiri di: http://bangdeds.com/2017/01/03/memelihara-rasisme-dalam-industri-perfilman-barat/

Menggali Keberanian dan Keteguhan Hati dari Kisah Moana

Saya termasuk orang yang selalu berusaha menemukan makna di balik sebuah film yang bisa diaplikasikan untuk hidup. Begitu pun saat menjelang akhir pekan ini, saya menonton Moana, sebuah film animasi 3D terbaru dari Walt Disney Pictures.

Film animasi ini mengisahkan perjalanan Moana Waialiki (disuarakan oleh pendatang baru Auli’i Cravalho), anak kepala suku Motunui, dalam mencari Maui yang mencuri jantung Te Fiti, sang Dewi Pulau. Mereka harus mengembalikan jantung itu.

Perjalanan yang membahayakan sejak mula. Moana belum pernah berlayar. Menyentuh laut pun dilarang oleh sang ayah yang over protective. Belum lagi ketakutan yang dibangun bahwa samudera di balik karang sangat mengerikan.

Apalagi misi yang akan diemban. Maui (disuarakan oleh Dwayne Johnson) adalah manusia setengah dewa yang jago mengubah diri berkat senjata kailnya. Dengan kesombongan dan kedegilannya, apa dia mau dipaksa oleh seorang mortal (manusia) macam Moana?

Dan banyak lagi hal-hal mengerikan lain yang menantinya dalam perjalanan itu. Kamu akan kerap menahan nafas menonton film ini. Tapi jangan kuatir. Bumbu jenaka juga tak kalah banyaknya. Percayalah.

Apakah Moana bisa menyelesaikan misinya? Apa pelajaran yang bisa dipetik darinya? Kamu harus menonton film ini untuk lebih jelasnya.

***

Kisah Moana belum tentu akan memberikan ‘pelajaran’ pada semua orang. Tapi yang jelas, saya mendapat banyak pelajaran dan inspirasi darinya.

Pelajaran tentang keberanian, tentang keteguhan hati. Meski ada tantangan sebesar lautan, yang sama sekali belum dikenali, di balik karang. Pun meski misi yang diemban nyaris mustahil untuk dimenangkan.

“Kamu harus menjewer kuping Maui dan membawanya menyeberangi samudera untuk mengembalikan jantung Te Fiti, sang Dewi Pulau,” tutur Tala, sang nenek yang sedang sekarat.

Tak hanya nenek yang sekarat. Pulau suku Motunui pun sedang ‘sekarat’. Kelapa tak lagi berbuah baik. Ikan-ikan juga tak ada lagi. Dan semuanya kini tergantung pada usaha si kecil Moana untuk memulihkan kembali Te Fiti, sang Dewi Pulau.

Apa boleh buat. Maui, si manusia setengah dewa, harus dicari apapun risikonya. Sebab jantung mesti dikembalikan. Itu semua butuh kekuatan, keteguhan hati, dan keberanian.

Tapi kekuatan nyata itu lahir dari kesadaran diri. Pada kasus Moana, dia sadar bahwa dirinya adalah Moana, manusia yang terpilih untuk menjemput Maui, dan sejatinya di darahnya mengalir darah suku penjelajah lautan, bukan suku penakut.

“Aku yang mencintai laut dan rakyatku. Aku sudah pergi jauh dan pengalaman mengajariku, itu yang akan menuntunku. Aku tahu jalanku (karena) aku Moana.”

***

Moana adalah film animasi tipikal Disney, dalam hal karakter tiga dimensi dan jalinan ceritanya. Moana menambah panjang deretan para ‘princess’ dalam dunia dongeng Disney. Meski Moana tegas-tegas mengatakan, dia bukanlah Putri.

Tak banyak kritikan pada film yang disutradarai oleh Ron Clements and John Musker ini. Kritik yang ada kebanyakan seputar sosio-kultural. Sosok Maui dinilai tak seperti mitologinya yang sangat kuat dan super. Penggambaran Maui yang gemuk juga terlalu men-stereotyping orang Polinesia.

Soundtrack-nya: How Far I’ll Go, I Am Moana (Song of the Ancestors), dan We Know the Way, juga tak serenyah Let It Go dari Frozen (juga terbitan Disney). Apalagi kuat pengaruh musik khas Polinesia di dalam soundtrack Moana.

Tapi saya sepakat, film ini bisa menjadi tontonan segar dan inspiratif bagi siapa saja. Terutama bagi anak-anak menjelang akhir tahun, setelah sekian lama terharu biru oleh Anna dan Ratu Salju Elsa dari kisah Frozen.

Beberapa Fakta Film Moana

1. Pengisi suara Moana adalah aktris baru asli Hawaii bernama Auli’i Cravalho, 16 tahun.

2. Moana dan pengisi suaranya, Cravalho, sama-sama berusia 16 tahun saat film ini dirilis. Cravalho mulai mengisi suara Moana saat berusia 14 tahun.

3. Berbeda dengan kebanyakan karakter Disney, Moana bukanlah Putri bangsawan. Tapi seperti kata Maui: “Kalau kamu memakai dress dan punya teman binatang, kamu adalah putri.” Dalam petualangannya, Moana tak sengaja membawa ayam jantannya: Heihei.

4. Cravalho hampir saja gagal mengisi suara Moana karena dia anak baru di sekolah dan gagal mengikuti audisi acapella. Tapi ada direktur casting Disney di audisi itu dan dia menghubungi mama Cravalho. Dia akhirnya datang ke audisi hari terakhir dan mendapatkan peran itu.

5. Cravalho dan Dwayne Johnson benar-benar menyanyi dalam beberapa lagu di film itu.

6. Karakter Disney biasanya punya teman binatang. Kalau Cinderella punya tikus, putri duyung Ariel dengan kepiting Sebastian, Moana punya babi bernama Pua dan ayam jantan Heihei.

7. Sepintas terlihat mirip antara Cravalho dan Moana. Tapi karakter Moana diciptakan jauh sebelum Cravalho dipilih jadi pengisi suaranya.

8. Kalau di film Cravalho yang menyanyikan lagu How Far I’ll Go ciptaan Lin-Manuel Miranda, maka untuk versi rekaman radio, lagu itu dinyanyikan oleh penyanyi asal Kanada, Alessia Cara.

Foto: movies.disney.com

Ditulis ulang dan lebih lengkap dari tulisan sendiri di: http://bangdeds.com

Fantastic Beasts, Menundukkan Makhluk Paling Kejam di Dunia

Anda yang telah kangen dengan “ledakan-ledakan” ide unik dari kisah Harry Potter, wajib nonton film ini. Niscaya, kerinduan atas dunia lain ciptaan JK Rowling akan terobati.

Fantastic Beasts and Where to Find Them, sebuah film spin off dari dunia rekaan JK Rowling. Ini juga merupakan sebuah film “test the water” dari JK Rowling dan Warner Brothers sebagai perusahaan pembuat, apakah publik telah siap dan akan menerima lagi keseruan dunia sihir.

Pasalnya, akan ada 5 film yang segera dibuat dengan latar belakang dunia Harry Potter. Film-film itu mengisahkan beberapa dekade sebelum era Harry Potter. Dan seperti yang telah dilaporkan di banyak situs yang mengulas tentang film ini, sepertinya Warner Brothers “menang banyak” atas pemunculan Fantastic Beasts and Where to Find Them.

Fantastic Beasts and Where to Find Them mengisahkan tentang Newt Scamander ( Eddie Redmayne), seorang magizoologist, yang menciptakan sebuah buku wajib bagi para pelajar sihir di sekolah sihir Hogwarts.

Bukunya berupa katalog tentang binatang-binatang di dunia sihir yang harus diketahui oleh para penyihir itu sendiri. Dari nama katalog yang disusun Scamander itulah, judul film ini dibuat.

Newt Scamander datang ke tanah Amerika Serikat dari negeri leluhur, Inggris. Eddie Redmayne yang memerankan Scamander benar-benar aktor kelas Oscar–dan memang dia langganan nominasi Oscar sekaligus memenanginya lewat akting sebagai Stephen Hawkings.

Gaya canggung Scamander plus gaya progresif dari penduduk Amerika Serikat jadi sangat terasa terbentur begitu Scamander keluar dari kapal yang mengantarnya ke pelabuhan di New York. Akibatnya, tas ajaib yang dibawa-bawa Scamander pun lewat dari pengawasannya.

Beberapa “penghuni” tas berhasil keluar. Para penghuni ini tentu saja binatang-binatang yang ajaib, sesuai dengan lingkungan mereka di dunia magis.

Sebut saja, si biang keladi kekacauan sekaligus pengawal cerita, Niffler. Bentuknya seperti platipus, kegemarannya adalah benda-benda mengkilat dan bersinar. Niffler terlepas di depan sebuah bank. Binatang ini langsung mengincar uang logam berpendar dan seterusnya ke brankas berisi emas perak berkilau. Ini saja sudah menghasilkan kegaduhan tersendiri.

Ada lagi yang terlepas, Demiguise. Hewan seperti kera namun berbulu perak. Bulu itu pula yang membuat dia bisa tak terlihat. Demiguise sangat sulit ditangkap jika telah lepas, karena hewan ini bisa membaca masa depan. Jadi, kita harus melakukan gerakan tak terduga untuk menangkapnya.

Bowtruckle, makhluk manis berbentuk batang pohon kecil. “Bowtruckle adalah pemakan serangga dan sangat pemalu. Dia juga makhluk yang sangat setia pada tuannya, sekaligus sangat jago membuka lubang kunci,” kata Newt.

Kemudian penonton akan menyaksikan makhluk-makhluk perkasa, seperti Graphorn. Graphorn berperawakan seperti bison raksasa.

Ada lagi Erumpent, gabungan antara gajah dan badak. Scamander wajib melakukan gerakan-gerakan yang dijamin akan membuat penonton terbahak-bahak, hanya demi menundukkan keganasan Erumpent.

Kemudian Thunderbird, burung raksasa yang telah jadi legenda di dunia nyata. Thunderbird menjadi penurut ketika sang tuan mengelus-elusnya dengan penuh kasih sayang.

Beberapa binatang terakhir ini hadir dengan ukuran raksasa dan tingkat kengerian yang masif sebenarnya. Namun, ternyata yang paling berbahaya dari semua ini adalah Obscurus. Dari tampilan fisiknya, Obscurus hanya berupa bayang-bayang hitam. Scamander berhasil menundukkannya dengan mengisolasi Obscurus menggunakan gelembung udara.

Namun, diceritakan Obscurus ini menjadikan manusia sebagai media penghancur. Obscurus muncul jadi energi dahsyat yang bisa menghabisi apa saja jika dia telah berada di dalam manusia. Makin besar emosi manusia itu, makin kuat daya ledak dan rusak Obscurus yang keluar tubuh manusia.

Tak ada yang lebih menyeramkan dan menyulitkan untuk ditaklukkan dari hanya sekadar makhluk gabungan gajah dan badak mengamuk di taman kota, dibanding Obscurus yang mengamuk dan membuat kota hancur lewat media tubuh seorang anak bernama Credence.

Sesuatu yang lembut, mengambang di udara, ternyata menjadi kekuatan hebat dan sangat berbahaya. Obscurus seperti sebuah ledakan emosi besar, nyata dan merusak, yang ternyata bisa dihadirkan manusia.

Manusia-manusia bersumbu pendek, mudah meledak, berpikiran sempit, yang beberapa kali berkelebat di televisi dan menghinggapi media sosial kita, mungkin telah dirasuki oleh Obscurus ini.

Dan, terakhir dan yang paling merusak dari semua itu, melebihi Obscurus, adalah manusia.

“Aku harus menangkap kembali binatang-binatang itu dan menyimpannya lagi ke dalam koper ini, sebelu mereka terluka. Mereka sedang dalam bahaya saat ini. Mereka sedang dikelilingi jutaan makhluk paling kejam, manusia,” kata Newt Scamander.

Bahkan kekuatan Obscurus ini saja, yang paling berbahaya, desktruktif, dan paling sulit ditaklukkan di antara makhluk lain, masih bisa ditunggangi demi kepentingan sesaat manusia dalam berpolitik.

Percival Grave, seorang petinggi di antara mahkamah sihir AS, memanfaatkan kekuatan Obscurus di tubuh Credence demi memuluskan agenda-agenda politiknya. Inilah manusia, jika rasa picik dan licik sudah muncul, kekuatan dahsyat semurni apa pun bisa ditunggangi demi mencapai apa yang diinginkan.

Kalau dengar kata “tunggang-menunggangi” begini, saya jadi ingat pidato Presiden Joko Widodo tentang “Aksi ini telah ditunggangi aktor-aktor politik”. Relevan banget ya. Saya sih yakin Jokowi belum menonton film ini, ini cuma “cita rasa” saya saja.

Pada akhirnya, film Fantastic Beasts and Where to Find Them ini memberi satu inspirasi. Tak ada yang lebih menyeramkan, lebih menghancurkan dan lebih kejam dibanding nafsu dan kepicikan manusia.

Dan untuk menundukkan kepicikan manusia, Newt Scamander mengajarkan,” Jangan panik, tidak ada alasan untuk itu!” Di lain waktu dia mengatakan,”Kekhawatiran membuatmu menderita dua kali lipat.”

Panik dan khawatir hanya akan membuat orang picik sukses mencapai tujuannya. Sementara, ketenangan dan melihat segala sesuatu lebih jelas justru akan membuat segala usaha destruktif menjadi sia-sia.

 

Foto: imdb.com

Benyamin S, Muni Cader, dan Pola Pikir yang Belum Beranjak

Akhir pekan lalu saya beserta keluarga, istri dan dua anak tercinta, menikmati family time di sebuah area yang sangat unik di Bekasi. Bukan, bukan karena Bekasi-nya sehingga saya menggunakan kata “unik”. Jargon “Bekasi itu di planet luar Bumi” sepertinya sudah diterima dengan lapang dada oleh warga Bekasi sendiri.

Tingkat “unik”-nya adalah karena kami menikmati malam yang diselingi rintik hujan datang dan pergi di sebuah area bernama Festival Kuliner Bekasi di Summarecon Mall. Bagi kami, ini jelas kesempatan tiada dua untuk mencoba berbagai cita rasa masakan tradisional dan jajanan jadoel, seperti mengarungi waktu lalu. Anak-anak pun bersemangat menerima informasi dari kedua orang tuanya tentang berbagai jenis masakan yang sekarang susah banget ditemui.

Sang adik sangat tertarik dengan cara pedangang Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih menyajikan dagangan. Wajan ukuran jumbo diletakkan di kompor dan sangat mencolok bagi pelanggan yang lewat, di wajan besar itu telah ada nasi goreng yang menggunung. Kami beli dua porsi, dan si penjual langsung beratraksi dengan mengongseng-ongseng nasi segunung di wajan jumbo. Plok, plok, langsung tersaji dua piring nasi goreng.

Sang kakak memilih ngantre beli Harum Manis, gulali yang berbentuk kapas yang secara membuatnya saja sudah menarik perhatian dengan mesin bundar yang berputar cepat sambil digenjot di bawah seperti mesin jahit.

Sayang, antrean buat beli produk ini cenderung liar, enggak berderet rapih ke belakang, tapi lebih ke “adu-aduan” lemak tubuh. Ya kakak mundur teratur dan enggak jadi beli.

Namun ternyata bukan sekadar makanan yang disajikan, Festival Kuliner Bekasi juga mengadakan layar tancep. Saat kami memilih tempat duduk, kami tak sadar sama sekali kalau di depan kami ada layar putih besar. Ketika proyektor di dekat kami duduk menyala dan menyorot ke layar barulah kami “ngeh” bagaimana pas-nya tempat duduk kami, karena berada paling depan.

Film yang diputar “Koboi Ngungsi” yang dibintangi almarhum Benyamin S dan peran pembantu Edi Gombloh. “Peran pembantu” di sini benar-benar berperan sebagai pembantunya si Benyamin.

Kapan lagi coba nonton Benyamin S beraksi. “Ini komedian paling top zaman dulu nak”, begitulah saya coba menerangkan. Kemudian dua anak saya tertawa terpingkal-pingkal pada beberapa adegan yang ditampilkan di film itu. Adegan-adegannya berupa kekocakan yang kasar menjurus ke slapstick , celaannya pun buat zaman sekarang ini terasa cukup menyengat. Bayangkan, nama si Edi Gombloh saja “Charles Dongok”, lalu setiap dipanggil oleh si Benyamin,”Eh elu Dongok!” Busyet dah.

“Emang dongok artinya apa Pa?”, “Kurang pandai, kak. Berbuat kesalahan yang enggak perlu terus.” Begitulah dialog kami.

Lalu muncullah Muni Cader sang antagonis legendaris kelas wahid. Predikat “legendaris” ini penting, karena ternyata gaya antagonis Muni Cader sangat-sangat tidak ada perubahan dengan gaya antagonis bin jahat dari yang kita sering lihat di sinetron-sinetron yang berseliweran saat ini.

Seperti sebuah pakem, Muni Cader bergaya dengan omongan yang mencibir, lalu mata mendelik-mendelik lebar, alis hampir melewati jidat, dan ujung bibir kiri dan kanan bergantian tertarik-tarik ke atas. Nyaris tak ada yang berubah gaya antagonis ini dengan antagonis-antagonis di sinetron sekarang, contoh saja antagonis di sinetron “Cinta yang Tertukar”.

Ya pembantu rumah tangga saya sangat menggemari sinetron ini, sekelebat saya dan anggota keluarga lain juga menyaksikan adegan-adegannya. Karena Minggu adalah hari senang-senang bagi dia, jadilah kami membiarkan dia menguasai remote televisi di ruang tengah, dan kami berempat beraktivitas lain di luar rumah.

Gaya akting Muni Cader dan beberapa artis legendaris seperti Grace Simon, Conny Sutedja dan Nani Widjaja, di film ini benar-benar terasa masih banyak kesamaannya dengan gaya-gaya akting dan bertutur para artis Indonesia masa kini saat berperan.

“Dasar Koboi sarap!” Nah loh. Itu salah satu contoh makian Conny Sutedja.

Pantas saja anak-anak saya yang masih duduk di bangku SD dan TK ini bisa tertawa terpingkal-pingkal melihat akting mereka, apalagi akting Benyamin S yang berperan sebagai Billy Ball. Rupanya mereka masih “konek” dengan kelucuan tahun 70-an itu.

Narasi lucu-lucuan dari zaman film itu dibuat tahun 1975 sampai sekarang enggak banyak berubah. Ternyata…

Anak-anak masih menemukan kelucuan yang sama yang mereka lihat di komedi-komedi masa kini. Mereka juga masih melihat akting stereotipe penjahat yang masih juga enggak berubah saat ini.

 

Pola Pikir

Jadi, lengkap sudah. Kami ke sebuah festival makanan jadoel yang tak lekang sampai sekarang masih diminati. Plus, kami juga melihat film yang ternyata gerak aktingnya juga “tak lekang” alias enggak bergeser jauh dari yang ada sekarang ini.

Untuk yang pertama, tentu sangat menyenangkan mengetahui dan merasakan masakan Nusantara yang jadi kenangan di masa kecil masih sangat diminati. Untuk yang kedua, terasa menyedihkan, bagaimana pola pikir yang disuguhkan kepada kita seperti belum beranjak jauh dari stereotipe yang diberikan pada zaman baheula.

Ini belum lagi pelajaran berharga buat generasi mendatang, bahwa budaya antre masih minim berlaku di masyarakat, sepertinya sesuatu yang dilakukan rebutan dan cenderung chaos itu mengasyikkan. “Menang” dalam rebutan–datang belakangan tapi dapat duluan–bagi banyak orang terasa sangat memuaskan.

Malam makin larut di mal itu, sambil terpingkal-pingkal nonton Benyamin S, kue ape gurih garing juga terus dikunyah. Ibunya anak-anak rela bolak-balik beli kue ape yang gerobaknya berjarak sekitar 50 meter dari kami duduk. Ah untuk yang satu ini pasti polanya sama, namanya emak-emak selalu jadi seksi sibuk. Takkan (boleh) berubah.

JOB PALAR

Foto: Koboi Ngungsi, dirilis pada tahun 1975 oleh Jiung Production