Tag Archives: dreamhouse

Ayo Donasi untuk Melepas Anak dari Jalanan

“Aku ingin menjadi seorang koki ternama, yang berkiprah secara internasional dan menjadi inspirasi bagi semua orang yang bernasib kurang baik seperti aku dahulu” – Wisnu

Namanya Wisnu, atau biasa dipanggil “Ambon”. Wisnu hidup di jalanan selama tahun 2003-2006 setelah Wisnu putus sekolah sejak SMP karena permasalahan keluarga dan pengaruh lingkungan.

Wisnu bertemu dengan Yayasan Rumah Impian pada 2006 ketika yayasan ini melakukan program pendampingan jalanan di daerah Jetis, Yogyakarta. Wisnu adalah anak yang multi-talenta terutama dalam musik dan memasak di mana dia memiliki semangat yang tinggi.

Yayasan Rumah Impian kemudian mengusahakan Wisnu mengikuti program “Kejar Paket” dan turut dalam kegiatan dan pelatihan bermusik dan memasak. Melalui proses perjuangan tersebut, Wisnu merasa passion-nya sebagai koki dan bekerja di sebuah restoran Jerman di Yogyakarta, sebagai batu loncatan kariernya.

Sekarang, Wisnu telah menjadi koki restoran dan kapal pesiar. Berbekal program Kejar Paket dan semangat yang tinggi, Wisnu yang awalnya seorang anak jalanan berhasil menjadi seorang Koki yang telah melatih calon-calon juru masak di berbagai restoran di berbagai kota.

Yayasan Rumah Impian yang berdiri sejak 2009 percaya, cerita Wisnu yang menggapai impiannya dapat juga dialami anak jalanan lain. Saat ini Yayasan Rumah Impian mengelola Hope Shelter, yaitu rumah tinggal anak jalanan yang didampingi dan diusahakan kembali bersekolah. Mereka harus dipisahkan dari lingkungan jalanan.

Anak-anak yang tinggal di Hope Shelter sudah melalui persetujuan orangtua atau wali, sehingga lebih terlindungi dan jauh dari pergaulan buruk dan kekerasan terhadap anak. Saat ini ada 17 anak yang sedang meniti pendidikannya dan tinggal di Hope Shelter.

Tapi sebagaimana sebuah aksi sosial, Yayasan Rumah Impian tidak bisa berjalan sendir. Adik-adik di Hope Shelter membutuhkan bantuan dari kamu yang mau ikut serta dalam perjuangan mereka untuk meneruskan pendidikan. Yayasan Rumah Impian sedang menggelar kampanye pengumpulan dana untuk setahun ke depan.

Kampanye donasi untuk Hope Shelter dijalankan melalui laman https://kitabisa.com/dreamhouse. Kamu bisa ikut terlibat dengan memberikan donasi atau menyebarluaskan kampanye ini. Donasikan di laman tadi, berapapun yang kamu relakan. Setiap rupiah yang kamu beri adalah satu langkah kecil bagi anak jalanan untuk menggapai masa depan lebih baik.

Untuk mendukung aksi sosial ini, ikuti akun-akun media sosial dan website Yayasan Rumah Impian:
www.thedreamhouse.org
Facebook: Yayasan Rumah Impian Indonesia
Instagram: @thedreamhouseofficial
Twitter: @thedreamhouse
Line Official Account: @zgo8124b

Kamu juga bisa memberikan dukungan dengan memberikan hashtag #thestreetisnot4kids dan #dreamtroopers dalam post akun media sosial kamu mengenai permasalahan anak jalanan dalam bentuk apapun, seperti fakta mengenai anak jalanan, dukungan moril, ataupun informasi mengenai anak yang kamu temukan sedang bekerja di jalan.

Bentuk bantuan dan kerjasama lain, walaupun itu sumber daya, tenaga, waktu, hingga ide dapat langsung kamu komunikasikan pada kami melalui email lsm.rumah.impian@gmail.com

Donasi kamu akan dialokasikan untuk:
– Biaya sekolah, mencakup semua peralatan sekolah dan kegiatan tambahan yang dibutuhkan untuk menunjang bakat dan impiannya
– Biaya hidup sehari-hari anak-anak, seperti makanan, minuman, dan transportasi
– Biaya tempat tinggal
– Biaya lain untuk keperluan anak-anak

Aku Salaman dengan Pak Jokowi!

“Aku salaman dengan Pak Jokowi!”, begitu teriak gembira Restu, salah satu anak asuh kami di Yayasan Rumah Impian. Restu dipilih sebagai salah satu perwakilan dari sekolahnya di Kalasan, Yogyakarta untuk menerima langsung Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari Presiden Republik Indonesia dalam kunjungannya ke Kulonprogo, tanggal 27 Januari 2017.

“Kaget, bangga, pokoknya luar biasa deh pak!” Begitulah Restu menggambarkan perasaannya hari itu. Dari sekian banyak siswa di sekolahnya, merupakan sebuah kejutan yang membanggakan bahwa Restu bisa dipilih dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman untuk hadir dalam acara kemarin.

Restu , anak asuh kami yang duduk di kelas IX itu, prestasi di sekolahnya secara akademik memang membanggakan. Oleh karena itu, mungkin wajar kalau dia dipilih mewakili sekolahnya. Akan tetapi, jika mengingat latar belakang Restu sebelum kembali ke sekolah, kebanggaan itu akan menjadi sesuatu yang mengharukan.

Restu sempat putus sekolah dan hidup di jalanan. Kami menemukannya mengamen di bus-bus antar kota di terminal Jombor pada tahun 2010.

Dia kembali ke sekolah pada tahun 2011 dengan status sebagai siswa pendengar karena tidak memiliki dokumen kependudukan. Akan tetapi, kerja kerasnya dan potensi akademiknya akhirnya meyakinkan pihak sekolah untuk menerimanya secara penuh. Restu menyelesaikan jenjang pendidikan SD dengan hasil yang sangat baik, dan sekarang dia bersiap untuk ujian akhir di tingkat SMP.

Bertemu dan bersalaman dengan Presiden Republik Indonesia, walaupun hanya singkat, memberikan kesan yang luar biasa bagi Restu. Ketika ditanya apa impiannya sekarang, dia menjawab: “Aku mau belajar lebih keras lagi, pak. Aku mau menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin yang merakyat seperti Pak Jokowi.”

Semangat, Restu!

Biarkanlah Kami

Saya teringat ketika saya beraktivitas bersama teman-teman yang mendampingi komunitas anak jalanan di Jombor. Perempatan Jombor selalu ramai di sore hari, dengan para pengendara yang tidak sabar lagi ingin cepat pulang ke rumah.Sejak kami memulai program kami di sana, perempatan itu menjadi makin ramai lagi dengan anak-anak dan beberapa relawan bertampang mahasiswa yang beraktifitas dengan penuh semangat. Sebenarnya saya tidak terlibat langsung dalam program-program yang langsung turun ke jalan, tapi karena ada seorang Bapak yang mengajukan permintaan kepada kami untuk berkenan mengasuh dan menyekolahkan anaknya lewat program Pengasuhan kami, saya merasa sebaiknya saya yang bertemu langsung dengannya.Ketika kemudian saya melihat mereka bersemangat mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan LSM kami di sana, saya jadi bersemangat lagi untuk lebih sering mendatangi mereka.

Kegiatan yang kami lakukan sendiri sebenarnya tidak terlalu ‘menghebohkan’. Kami cuma mengadakan les calistung (baca tulis hitung) untuk beberapa anak, yang kami antar jemput dari perempatan Jombor untuk belajar di kantor kami, 5 hari dalam seminggu. Lalu kami juga mengajak mereka berkreasi lewat kegiatan menggambar/melukis bersama, seminggu sekali. Ada juga yang membawa kotak berisi buku-buku bacaan, yang kami namai Ko-PER (Kotak Perpustakaan). Dan yang terakhir, yang mungkin sedikit unik adalah kami meminjamkan beberapa kamera analog kepada anak-anak jalanan, untuk mereka pakai mengabadikan aktifitas mereka sehari-hari. Film untuk kamera-kamera itu kami sediakan, dan kami juga akan memproses foto-foto hasil jepretan mereka.

Sore itu saya kembali ke perempatan ramai itu. Betapa senangnya melihat wajah anak-anak yang penuh senyum dan kegembiraan walau dalam segala keterbatasan. Sewaktu saya sedang berbicara dengan Bagas dan Eno, dua bocah berusia 6 tahun yang sangat lucu, tanpa sengaja mata saya tertuju kepada para pengendara yang sedang berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Ada seorang Bapak yang memandang dengan tajam ke arah kami. Dari pakaiannya saya menduga dia mungkin seorang pegawai pemerintah, entah dari instansi mana. Sedikit ge-er karena ada yang memandangi, saya mencoba tersenyum. Akan tetapi Bapak itu malah semakin melotot. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya. Dia memandangi saya tanpa berkedip sedikit pun, sampai rambut halus di tengkuk saya pun berdiri karenanya. Tetapi Bapak itu tidak memalingkan wajahnya sama sekali, matanya melotot dan penuh selidik. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Untungnya lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, dan si Bapak pun meneruskan perjalanannya, dengan, sekali lagi, entah apa yang ada di dalam pikirannya.

Ah, saya jadi teringat adegan beberapa tahun yang lalu sewaktu kami diadili warga sebuah kelurahan yang menolak di lingkungannya ada rumah yang menampung anak-anak yang “belum jadi manusia seutuhnya”. Apakah saya masih trauma oleh peristiwa itu, sehingga menghadapi pelototan seorang Bapak di perempatan saja, saya sudah bergidik? Mudah-mudahan ini hanya masalah saya sendiri, karena bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang yang peduli kepada sesamanya. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang yang peduli bukan hanya dengan retorika kata-kata atau tindakan-tindakan seremonial. Teman-teman kami di jalanan butuh kesempatan, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk sekedar bermain dan tertawa. Biarkanlah kami memberikan itu kepada mereka, Bapak.

You don’t know what it’s like to love somebody, the way I love you…

Sammy Ladh

Photo: courtesy of LSM Rumah Impian (thedreamhouse.org)