Tag Archives: dewasa

Apakah Anda adalah Pasangan yang Dewasa?

Biasanya pada jam makan siang di kantor, kami akan membahas segala macam, kami menyebutnya topik yang tak jelas. Kadang kami membahas politik, film, gosip artis, tentang shopping dan sale, lalu kisah tentang rumah tangga masing-masing. Jam ini adalah saat yang paling menyenangkan karena kami pasti akan membahasnya dengan konyol lalu tertawa-tawa bersama.

Kali ini topik bahasan kami adalah soal kedewasaan pasangan. Kedewasaan karakter, bukan sekedar usia.
Di kantor, kebetulan ada rekan X yang sedang bertunangan dan akan segera menikah.

Rekan saya, si A, mengatakan, dia merasa rekan bernama si X belum cukup dewasa untuk menikah.
Rekan B menyahut, tidak apa-apa, umurnya sudah cukup, nanti juga akan dewasa kalau sudah menikah.
Rekan C menimpali, pernikahan tidak akan membuat laki-laki jadi dewasa, tapi perempuanlah yang menjadi dewasa.
Rekan D berkata, betul, setelah menikah yang berubah itu adalah wanita, pria takkan pernah berubah.

Bisa ditebak jika rekan A sampai D ini semua adalah wanita. Lalu rekan E yang adalah pria muncul, dan memberi komentar: Jangan curhat dong, C dan D. Itu mungkin kisah hidupmu saja.

Dan kami mulai tertawa. Pembahasan mulai memanas tapi makin kocak, sebab kita selain serius memberi pendapat juga diselipkan bercandaan.

Seperti ketika rekan C berkata: Suami saya, dari menikah sampai sekarang, baju kotornya selalu ditaruh di balik pintu kamar, tak pernah berubah biarpun sampai berbusa mulut saya setiap hari mengingatkan dia.

Rekan E menyahut: Istri saya sejak menikah sampai sekarang tidak bisa memasak, saya tidak masalah. Saya tak ingin dia harus berubah.

Lalu rekan C berkata lagi: Salah mungkin kalau kita berharap pasangan berubah. Jadi nyesal dulu saya putusin mantan saya, Tom Cruise. Hahaha…

Tentu saja C bercanda. Dan ada banyak celutukan lainnya yang mengeluhkan sifat pasangan masing-masing.
Tapi pembicaraan kami ini, mengingatkan saya akan kotbah pendeta kami minggu lalu. Jika bapak Pendeta pas ada juga di meja makan kami siang itu, mungkin beliau akan menimpali demikian:

Syarat untuk sebuah pernikahan adalah calon pasangan yang dewasa karakter

. Salah satu lambang kedewasaan adalah kemandirian. Itulah mengapa di kitab suci disebutkan, seorang pria akan meninggalkan orang tua dan bersatu dengan istrinya. Hanya pria yang sudah dewasa yang meninggalkan rumah. Pria dewasa yang siap mandiri, baru boleh menikah.

Hal ini mengingatkan saya pada kebudayaan Jepang. Pada umur 20 tahun pemuda-pemudi di Jepang akan mengikuti upacara Seijin Shiki, semacam perayaan kedewasaan. Dengan demikian, secara resmi mereka menjadi orang dewasa dalam tatanan masyarakat Jepang, memiliki tanggung jawab serta kebebasan, dan tidak lagi tinggal dengan orangtua.

Pendeta juga berkata, bahwa,

syarat pernikahan adalah kedewasaan. Bukan pernikahan yang membuat dewasa

. Dewasa dulu baru menikah. Kalau masih anak-anak tidak boleh menikah. Mengapa?

Apa yang membedakan ciri-ciri sifat anak-anak dengan orang dewasa? Ada beberapa contohnya. Kita beri nomor agar mudah mengingatnya.

1. Orang dewasa, sadar tugasnya mengurus. Anak-anak, perlu diurus dan minta diurus.
2. Orang dewasa, melayani, sedangkan anak-anak minta dilayani.
3.

Orang dewasa bisa hidup rukun, anak-anak cenderung bertengkar melulu.

4. Orang dewasa itu sabar. Anak-anak itu, tidak sabaran.
5. Orang dewasa bisa mengerti orang lain, sedangkan anak-anak minta dimengerti.
6. Orang dewasa bisa menahan keinginan, anak-anak maunya keinginannya dituruti terus.
7. Orang dewasa bisa mengendalikan diri, anak-anak itu kurang terkendali dan ingin mengendalikan orang lain.

Kata Pendeta, pernikahan berisikan dua orang dewasa, akan terasalah bahwa pernikahan itu indah bagai sorga. Tapi ketika pasangan ‘anak-anak’ yang menikah, pernikahan akan menjadi neraka. Neraka itu adalah tempat di mana konflik selalu terjadi, hilanglah kedamaian dan sukacita. Jika dua orang ‘anak-anak’ yang menikah, maka bisa dipastikan akan segera berakhir dengan buruk.

Pendeta juga mengatakan, bahwa dewasa itu adalah proses. Yang belum dewasa, setelah menikah juga masih bisa belajar menjadi dewasa asal mau berubah. Itulah yang disebut dengan proses pertumbuhan.

Kalau teman-teman saya mendengar paparan Pendeta tersebut di atas, saya yakin mereka akan jadi terdiam trenyuh, seperti saya. Mungkin ada yang akan merenung dan jadi merefleksikan pada dirinya: Wah, berarti saya masih anak-anak dong, sebab saya sering bertengkar dengan suami.
Mungkin si D akan berpikir ulang, bahwa dia belum dewasa sebab dia mengharapkan suaminya berubah tapi dia sendiri tak mau mengerti.
Mungkin si C akan merasa tidak dewasa sebab dia sering tidak sabar dan ingin dimengerti. Dan seterusnya.

Sesungguhnya, setelah melihat dan merefleksikan ketujuh ciri orang dewasa di atas, inti dari topik pembahasan makan siang kami, kembali ke sebuah pertanyaan: Sebenarnya, apakah kita semua sudah dewasa?

Jadi, jika kita maunya selalu minta diurusin, ingin dilayani, suka bertengkar, tidak sabaran, tidak mau mengerti, maunya dituruti terus, maunya mengendalikan pasangan, apakah kita adalah pasangan yang dewasa?
Atau masih anak-anak?

Mampu Bertahan dalam Masa Sulit?

Kemarin, sepulang kantor saya menjemput anak dari tempat les bimbel ke tempat les musik. Biasanya jarak tempuh paling lama 30 menit. Tapi kemarin, saking macetnya, nyaris dua jam. Dalam lima meter saja, mobil kami nyaris 30 menit tak bergerak.

Untunglah guru les musiknya ternyata berhalangan, jadi kami tak perlu kuatir terlambat. Kami jadi bisa langsung pulang atau pergi lagi ke acara kebaktian malam di gereja.

Selama dalam kemacetan itu, mungkin karena kebosanan, anak saya yang berumur 9 tahun itu mengeluh terus.
Aku lapar, Ma. Aku haus, Ma. Aku pegal, Ma.

Saya kebetulan hanya membawa roti dan dia segera memakannya. Tapi saya lupa membawa minuman karena biasanya dia membawa sendiri dari rumah. Lalu anak saya pun cegukan. Dia marah. Lalu dia mengeluh lagi. Dia terus-terusan menyalahkan saya. Ini gara-gara Mama. Kenapa kita lewat jalan ini. Kenapa kita tidak belok kiri saja tadi. Kenapa kita tidak ke mal saja tadi makan dulu. Semua gara-gara Mama.

Saya yang sudah letih dan pegal juga, nyaris ikut kehilangan kesabaran. Dengan berusaha bercanda, saya sahuti: Memang, semua salah Mama. Ya sudahlah, mau diapakan lagi. Terimalah kenyataan.

Sebab kami tak bisa lagi putar balik. Jangankan putar balik, bergerak saja sudah mepet dengan motor-motor yang nyaris menyerempet, dan jalannya kecil. Luar biasa macetnya sore kemarin itu.

Tapi anak saya tidak bisa diam. Seperti cacing kepanasan di dalam mobil. Dia menginjak ranselnya. Dia berdiri. Dia duduk menghadap ke belakang. Dia menyender di pintu mobil. Dan beberapa kali dengan gemas memukul lengan saya.

Dalam keadaan stuck dua jam itu, ketika kita tak bisa berbuat apa-apa, segalanya terasa sangat membosankan dan menyebalkan, dan potensial membuat kita emosi.

Saya jadi sempat merenung.

Dengan melihat sikap anak saya, saya melihat refleksi. Mungkin dalam hidup kita yang kadang menyebalkan ini, kadang kita bersikap seperti anak kecil. Ketika kita dalam masalah yang tak bisa kita atasi, kita tak bisa menahan diri, tak bisa sabar, tak bisa tenang, tak bisa ambil jalan keluar dan hanya bisa menyalahkan orang lain.

Mungkin, saya pikir, seperti gurauan saya, sesekali dalam hidup ini, ketika keadaan di luar kendali kita, mungkin tak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali diam dan menerima keadaan, dan berkata: Ya sudahlah, mau diapakan lagi. Terimalah kenyataan.

Inilah salah satu faktor yang membedakan anak kecil dan orang dewasa. Kemampuan mengatasi keadaan dengan tenang, bisa beradaptasi dengan keadaan, mampu bertahan dalam masa sulit, adalah bukti kedewasaan.

Jika kita masih sering mengeluh dan menyalahkan orang lain atas keadaan yang terjadi, mungkin kita perlu mengingat lagi, berapa sih sebenarnya usia kita? 9 tahun atau 45 tahun? 🙂

-*-

Belajar dari Orat-oret Anak-anak

Sadar atau tidak, kita, orang dewasa, suka sekali meremehkan anak kecil. Padahal kalau mau jujur, kitalah yang sering berlaku kekanak – kanakan.

Untuk itu, kita perlu belajar banyak dari cara berpikir kanak – kanak dengan ide – ide berani, kreativitas liar dan sikap optimis yang mereka miliki.

Hal ini disampaikan oleh seorang anak kecil bernama Adora Svitak yang kala itu berusia 12 tahun saat memberikan paparan “What Adults Can Learn from Kids” pada TED Conference, Februari 2010 lalu di depan orang – orang dewasa.

Adora tak main – main, dia bahkan memberi contoh dampak dari tindakan dan pengambilan sikap orang dewasa pada dunia dengan apa yang dilakukan oleh anak – anak seperti pengalaman inspiratif Anne Frank di kamp konsentrasi NAZI.

Juga keberanian Ruby Bridges melangkah ke sekolah kulit putih semasa kanak – kanak meski mendapat tekanan dari sana – sini demi mendapatkan persamaan hak dalam pendidikan tanpa membandingkan warna kulit.

Ada juga kegiatan sederhana Charlie Simpson mengumpulkan dana untuk korban gempa Haiti dengan bersepeda di taman – taman dekat rumah (tentang siapa anak – anak ini, kapan – kapan saya ceritakan atau silakan tanya mbah Google bila tak sabar menanti ceritanya).

Ketika diminta untuk mengisi kegiatan berbagi di Rumah Ilmu (Rumil) pertengahan Oktober lalu, nama Adoralah yang langsung terlintas di kepala. Dia, salah satu blogger cilik (sekarang sudah gede tentu saja) inspiratif yang isi blognya menyenangkan.

Dia anak ajaib yang mendapat julukan The Genius Kid on Earth pada 2010 karena kecerdasan dan pola pikirnya yang melampaui anak seusianya bahkan orang dewasa yang umurnya terpaut jauuuuuh dari usianya.

Adora menjadi sumber inspirasi Nicklodeon Jr dalam menciptakan tokoh kartun Dora The Explorer yang mendunia.

Saya sudah berbagi sedikit cerita keriaan sewaktu memberi tugas menulis pada anak – anak Rumil, ada yang berani menolak karena lebih suka menggambar yang bisa dibaca di SINI.

Lucunya nih, salah seorang anak yang ingin menggambar itu kemudian bingung hendak menggambar apa. Namanya belajar dan bermain, saya gangguin saja anaknya. Namanya Nina, saya biasa memanggilnya Ninoy, teman bercerita yang menyenangkan dan ‘ngangenin.

“Bingung mau gambar apa, nggak usah ya tante. Habisnya ‘ndak tauuuu,” ini kebiasaan dirinya bila mulai merajuk, memonyongkan bibirnya yang lucuuu demi mencari alasan agar tak mengerjakan apa yang harusnya dia kerjakan.

“Hmm … tadi yang minta gambar siapa ya?”

“Ninoy.”

“Gimana kalau Ninoy gambar cerita kemarin jalan – jalan ke Kidzania? atau waktu jalan ke Schmutzer minggu lalu?”

“Nggak aah ..”

Karena setahun ini kami cukup sering bersua, saya jadi hapal kebiasannya. Dan karena iman saya gampang goyah dengan rajukan anak – anak, sebelum benar – benar runtuh, saya tinggalkan dirinya yang menikmati bersandar di pilar dengan pesan,”waktunya dua puluh menit lho Noy, gambar ya,” lalu diam – diam mengamatinya dari jauh.

Hal berbeda ditunjukkan oleh Rafa. Dia sangat bersemangat menjelaskan apa yang sedang digambarnya, berulang pula ia menyebut maynekeref yang terdengar asing di kuping.

Biar nggak digangguin terus, saya main jawab,”iya .. iya, bagus” saja tapi lantas berpikir, ini anak sebenarnya mau gambar apa ya? Kebiasaan orang dewasa yang ingin selalu terlihat pintar di depan anak – anak, sok tahu kan? hahaha.

Obrolan singkat dan kejadian – kejadian menggelikan selama berada di dekat mereka serasa diputar kembali di depan mata saat menikmati Es Sanger Ulee Kareng yang sejuk sembari membolak – balik kertas tugas mereka di Fakultas Kopi beberapa hari yang lalu.

Saya ingat telah berjanji akan membagikan 3 (tiga) tulisan terbaik yang mereka kerjakan di pendopo pada Minggu itu. Tapi ternyata butuh waktu khusus dengan menghabiskan 2 (dua) gelas es sanger ditambah semangkuk Gule Bebek dari Aceh yang sedap di lidah (dan seporsi nasi) di sebuah ruang khusus yang tertutup dan berpendingin untuk memeriksa tugas – tugas itu.

Hahaha .. awalnya, saya pun berpikir begitu. Tapi setelah ditimbang – timbang, anak – anak ini serius kok saat mengerjakan tugas yang diberikan.

Kenapa tidak meluangkan waktu untuk melihat, memeriksa, mengoreksi yang perlu dibenahi, membantu serta memberi semangat dan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan bakat, minat dan kreatifitasnya?

 

Apa yang bisa kita pelajari dari anak kecil?

Anak – anak memiliki semangat yang menggebu, bila kita keliru merespon dan mengarahkannya akan menjadi bumerang dan menjadikan mereka patah arang. Harapan mereka membubung tinggi, jangan salah memberi janji karena mereka akan menuntut.

Tunjukkan kalau kita peduli tanpa sikap berpura – pura.

Kalau kata orang bijak, jadilah anak kecil saat bermain dan belajar bersama anak – anak, belajarlah dari cara pandang mereka yang polos dan menyenangkan, serta nikmati masa – masa bersama mereka karena engkau akan merindukan masa itu ketika mereka telah bertumbuh dewasa

Jadi, apa yang berhasil mereka gambar setelah menolak tugas menulis? Nggak salah kan Lip? Koq, malah mau mengulas gambar bukannya tulisan? Karena gambar mereka sangat menarik dan membuat saya iri ingin bisa menggambar (lagi).

Nina akhirnya menggambar cerita perjalanannya ke Kidzania bersama kakak dan abangnya dalam bentuk komik, saya biasa menyebutnya storyboard. Dia menuangkan apa yang dia lihat dan nikmati selama berada di Kidzania lewat sketsa gambar.

Dengan semangat dia pun menceritakan kembali apa yang dituangkan di gambar, tentang pengalamannya yang menyenangkan bisa bermain seperti layaknya menjalani keseharian di kehidupan nyata bisa belanja ke supermarket, bisa bekerja dan menjadi tamu di hotel, bisa jalan – jalan dan lain – lain. Tak lupa ia pun memamerkan kartu SIM dan selembar uang dari dompet yang didapatnya di Kidzania.

Apa kabar dengan Rafa? Gambar maynekeref-nya selesai, diberi warna, dan diberi judul Maynekeref vs Zombi-zombi, Perang Pedang dan Tembakan. Melihat hasil gambarnya, saya baru sadar, ternyata maynekeref yang dia maksudkan adalah minecraft; permainan anak generasi milenium semacam lego virtual.

Demi melihat ada gambar menyerupai makam di kertas tugasnya, spontan saya bertanya itu gambar apa? Katanya,”Kakak, itu kuburan. Kan zombie – zombienya kalah dan mati lalu jadi pocong.”

Lalu apa hubungannya laba – laba dengan semua yang ada di gambar ini? Dengan santai dia pun kembali menjawab,”laba – laba itu gigit – gigit pocong, kak!”

Saat berbincang dengan ibunya, beliau mengatakan Rafa agak susah fokus. Sang ibu ingin anaknya konsentrasi untuk belajar menulis, tapi anaknya lebih senang menggambar. Pada ibunya saya menyarankan untuk tidak memaksa keinginan kepada sang anak, biarkan mereka memilih kesukaannya. Sebagai orang tua, kita wajib mengarahkan dan membimbing.

Rupanya, ada tiga anak yang lebih mengutamakan menggambar. Seorang lagi bernama Zahran. Dia juga menggambar minecraft disertai dua gundukan makam dan diberi judul Serangan Zombie.

Ohh maaak! Memori dua anak ini sepertinya merekam dengan baik video singkat #TanteKuburan yang mereka tonton saat presentasi. Hasilnya, serial minecraft zombie dan minta diajak main ke kuburan 🙂

Hati – hati menyampaikan sesuatu dan jagalah setiap tutur yang keluar dari bibir di hadapan anak – anak karena generasi mereka sangat pintar dan kreatif. Beri mereka penjelasan sederhana yang gampang dicerna oleh nalarnya, tak perlu mengemas jawaban berbumbu yang malah tak masuk akal.

 

Olive Bendon

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

Penulis adalah Travel Blogger | Old Grave Lover |  Citizen Journalism | Volunteer for The War Graves Photographic Project

Foto: obendon.com

Anak Sekarang Terlalu Cepat Dewasa?

Seorang anak kelas 2 SD Angkasa IX Halim Perdanakusumah menceritakan kisah “Bang Maman dari Kali Pasir” dengan detail. Kisah ini termuat dalam Lembar Kerja Siswa (LKS).

Dalam kisah itu diceritakan bang Maman meminta seorang perempuan bernama Patme untuk mengaku-aku sebagai istri simpanan Salim. Tindakan itu dilakukan agar putri bang Maman yang bernama Ijah mau menceraikan Salim. Bang Maman ingin Ijah cerai dari Salim karena sang menantu sudah jatuh miskin.

Apen, sang orangtua dari murid kelas 2 ini, terkejut dan khawatir anaknya dewasa terlalu cepat. “Saya khawatir ya khawatir. Takutnya anak saya berpikir lebih dewasa dari sebelum waktunya,” ujar Apen.

Apen membandingkan dirinya saat bersekolah dulu. Istilah-istilah seperti “istri simpanan” itu adalah tabu saat itu.

“Dulu waktu zaman saya sekolah, istilah istri simpanan itu tabu untuk dibahas, tapi sekarang saya enggak tahu ya. Ya saya sih belum tahu ceritanya kaya apa,” jelas Apen.

Peristiwa ini mencerminkan kekhawatiran para orangtua terhadap gejala anak-anak terlalu cepat menjadi dewasa pada usia muda.

Karena asupan gizi yang lebih baik dan fasilitas pelayanan kesehatan yang semakin mudah dijangkai kita menjumpai anak-anak mengalami pertumbuhan badan yang lebih cepat dibandingkan zaman kita. Tubuh mereka lebih tinggi dan lebih besar dibandingkan dengan tubuh kita saat seusia itu.

Selain itu ada juga kecenderungan anak-anak sekarang lebih dini dalam memasuki masa puber. Saat ini anak-anak perempuan usia kelas 6 SD sudah mendapat menstruasi yang pertama. Anak laki-laki juga mulai memproduksi hormon progesteron lebih cepat dari zaman kita.

Secara sosial, anak-anak juga cenderung mengalami percepatan menjadi dewasa. Karena kemajuan teknologi komunikasi maka anak-anak sekarang mudah sekali mengakses informasi yang berkaitan dengan orang dewasa. Dalam pergaulan, mereka juga mulai tertarik pada lawan jenis sejak usia muda.

Ada juga anak yang terlalu cepat menjadi dewasa karena dipaksa oleh keadaan. Misalnya karena ayah meninggal, anak sulung harus mengambil alih peran ayah dalam keluarga itu. Dia tidak sempat menikmati masa anak-anak karena harus memikirkan kebutuhan keluarga agar bisa bertahan hidup.

Di sisi lain, ada anak yang dipaksa menjadi dewasa lebih cepat karena ambisi orangtua. Mereka mengikutkan anak kepada berbagai macam kegiatan agar talenta anak mengalami perkembangan secara maksimal. Misalnya, mengikutkan anak untuk mengikuti audisi bintang sinetron, kemudian anak ditekan dengan jadwal shooting yang padat.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Apabila anak kita lebih cepat memasuki masa puber karena faktor gizi, tentunya kita perlu mensyukurinya. Yang perlu kita lakukan adalah memberi pendidikan seks yang benar.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas London pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 68 persen anak-anak mencari informasi seks dari media, 66 persen bertanya kepada ibu mereka, dan hanya 34 persen anak-anak berkonsultasi dengan ayah mereka tentang hal-hal yang berbau seksual.

Berdasarkan penelitian ini, kaum ibu perlu membekali diri dengan belajar tentang seks. Banyaklah membaca buku tentang pendidikan seks.

Orangtua memang perlu memberi bekal pendidikan dan keterampilan pada anak sehingga anak kelak bisa menjadi orang yang sukses. Namun demikian hendaknya diberikan dengan takaran yang wajar. Jangan sampai masa kecil yang menyenangkan itu justru terampas oleh ambisi orangtua.

Saat ini sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak. Di dalamnya terdapat aturan yang mencegah agar anak-anak tidak dieksploitasi. Kita perlu mempelajari dan menyebarluaskan undang-undang ini sehingga semakin banyak orang dewasa yang menghormati hak-hak anak.

Purnawan Kristanto

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis.

Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=541

Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |