Tag Archives: debat

Debat Cagub DKI, Kiranya Pemilih Dikendalikan Tuhan

Setelah debat calon gubernur beberapa waktu lalu, banyak reaksi yang muncul memuji calon gubernur no.2 dan merendahkan cagub lain. Bahkan yg menyedihkan, ada pertemanan yang bubar gara-gara membaca komen: “Debat tadi malam seperti menghadirkan orang tua yang bijaksana menghadapi kedua anaknya. Yang satu terlalu ideal, bagai anak sulung yang banyak ide2 ideal. Yang satu lagi, bagaikan anak bungsu yg manja dan kebingungan”.

Membaca semua komentar itu, saya maklum. Namun ada beberapa catatan dan harapan saya.

1. Sebenarnya, hebat juga kedua Cagub saingan nomor 2 itu. Kehebatannya begini, bagaimana mereka masih berdiri mencoba menaikkan “bendera” ketika melihat bendera no.2 sudah berada tinggi berkibar megah di atas sana.

2. Maksud saya, siapa yang tidak bisa melihat prestasi cagub no.2 yang sedemikian fantastis? Saya kira, hanya yang menolak membuka mata yang tidak melihat. Nah, saya duga kedua Cagub termasuk melihat prestasi, karya-karya hebat itu. Di tengah kondisi demikian, mereka masih berani mencoba mempromosikan diri, apalgi masih dengan percaya diri dan berwacana “hebat” walau satupun belum terbukti, hebat sekali bukan?

3. Doa kita, kiranya dalam kondisi demikian, Allah tetap mengendalikan pemilih utk memilih calon yang terbaik, yang telah terbukti. Semua itu dilakukan demi kemajuan Jakarta, Indonesia dan tegaknya mutu dan kejujuran. Semoga.

 

Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, MTh.

Penulis adalah Alumnus Fakultas Teknik UI Doctor Theology dari Trinity Theological College, Singapore, Cambrige, Roma.

 

Foto: admin

Mengapa Kristiani tak Lagi Berdebat

Perdebatan mengenai teologi Kristen/Katolik telah lama selesai, meskipun masih bermunculan aliran atau sekte yang membawa semangat “pemurnian,” antara lain melalui kehadiran gereja-gereja yang disebut injili, kharismatik, yang di wilayah-wilayah persebaran seperti Indonesia, kadang menimbulkan friksi dengan jemaat dari denominasi gereja-gereja yang sudah lama mapan dan berorganisasi di bawah PGI (Protestan) atau KWI (Katolik).

Namun, tak sampai menimbulkan ketegangan atau segragasi yang tajam di antara sesama jemaat, sebab selain (mungkin) faktor minoritas hingga spektrum atau magnitudenya tak terasa, teologia Kristen/Katolik agaknya telah final dan tak lagi membutuhkan tafsir dan pembuatan kanonik baru; telah mapan, selesai, tinggal bagaimana menginternalisasi dan mengimplementasikan.

Tantangan gereja di abad kini, lebih menyangkut kegamangan menghadapi perubahan zaman dan sosial, juga menjawab isu-isu global yang harus diakui, kadang membuat gereja gagap menjawab, misalnya, kloning manusia, pengakuan LGBT, menguatnya kecenderungan sekularisasi dan free thinker yang memuja akal, logika, nalar, menuntut empirisme dan menganggap irasionalisme sebagai suatu sikap kebodohan.

Pula menghadapi gelombang ideologi yang membenarkan penumpukan modal dan kecenderungan warga dunia menganggap kapitalisme sebagai “tuhan” baru yang lebih menyenangkan dan powerful. Menghadapi manusia kini yang lebih suka memburu kekuasaan di bidang finansial dan industri dan dengan memiliki kemampuan finansial yang kuat merasa yakin akan bisa memenuhi kubutuhan maupun kesenangan–yang biasa disindir sebagai hedonisme.

Menyikapi pertumbuhan ideologi kemakmuran berikut implikasinya dan menjadi idaman manusia-manusia post modernisme yang menginginkan kemakmuran di dunia sekaligus keselamatan surgawi dan ditampung beberapa gereja dengan cerdik, merupakan tantangan sekaligus kegelisahan gereja-gereja konservatif yang di Indonesia berhimpun dalam PGI atau KWI. Juga masih ragu atau gamang menghadapi desakan konvensi-konvensi global yang semakin memberi kebebasan bagi individu dan sulit membantah pencapaian sains-teknologi, serta pertumbuhan free thinker dan pendukung hak-hak LGBT.

Artinya, mengenai aliran teologis, agaknya bukan lagi persoalan signifikan bagi gereja-gereja dan pengikut atau jemaat. Pengakuan atas kebebasan individu mengikuti atau meyakini yang dirasa paling cocok telah tertanam dan menjadi sikap masing-masing jemaat, bukan lagi isu penting.

Hasilnya, perbedaan atau ketidaksamaan aliran, tak lagi menimbulkan friksi atau ketegangan dengan yang tidak sama aliran akibat saling klaim kebenaran masing-masing, yang dampaknya menciptakan segragasi atau pemisahan sosial–walau ada pengikut gereja non PGI atau KWI, misalnya, begitu tegas menolak yang mereka yakini sinkretisme.

Itu pula yang mengakibatkan gereja tak mudah bila berkeinginan membentuk atau menggerakkan sikap politik dengan mempengaruhi jemaat. Peran rohaniawan (pastor, pendeta, uskup, ephorus, bishop) lebih diposisikan atau diperlakukan oleh jemaat sebagai pemimpin organisasi gereja, bukan tokoh sentral atau jadi acuan utama dalam menjalankan keyakinan. Diakui sebagai rohaniawan namun tidak sebagai penentu utama dalam membangun konstruksi iman dan rambu-rambu menyangkut keyakinan.

Dengan kondisi seperti itu, gereja (khususnya di bawah PGI dan KWI) sulit membentuk sikap politik jemaat, dan memang sebaiknya tidak perlu. Gereja lebih berfungsi sebagai rumah doa yang memfasilitasi peribadatan dan penampung kegelisahan jemaat; rohaniawan-rohaniawan yang bergiat di dalamnya berperan sebagai guru atau pembimbing urusan spiritual-kerohanian, pemimpin ritual keagamaan, bukan pekerja lembaga/organisasi gereja yang mencampuri urusan administrasi, materi-aset-uang, hingga sikap politik jemaat.

Itu menurut pandangan saya, barangkali saja tidak betul seluruhnya. ***

* Untuk mereka yg sering menanyakan dan meminta pandangan saya.

* Bila tertarik memberi tanggapan/komen, hendaknya kontekstual dan tidak mengarah ke sindirian pada siapapun.