Tag Archives: buku

Menghakimi Buku Melalui Sampulnya (Pengalaman Yesus)

Maggie Tulliver tak habis pikir ketika Mr Riley, teman ayahnya, mengkritisi keputusannya membeli buku “The History of the Devil” karya Daniel Defoe, dari pasar murah Partridge.

Penilaiannya seperti tak dianggap. Padahal bagi Maggie, buku itu begitu menarik dari sampul dan penjilidannya. Dan dia pikir, buku itu adalah buku yang baik.

Sedang Mr Riley tetap menganggap buku itu tak cocok untuk si kecil Maggie. Dan Maggie pun terluka hatinya. Kemudian dia berkata, “Tapi memang kelihatannya, kita tak boleh menilai dari tampilan luarnya, ah dunia ini memang membingungkan.”

Cuplikan kisah fiksi di atas diambil dari novel “The Mill on The Floss” karya George Eliot yang terbit pada 1900. Kalimat yang diucapkan Mr Riley dan kemudian dikutip oleh Maggie menjadi asal mula idiom “you can’t judge a book by its cover”.

Kalian pasti tahu makna idiom itu. Kalau menurut kamus Cambridge, kalimat itu berarti: kita tak bisa mengetahui sesuatu atau seseorang seperti apa hanya dengan melihat apa yang kelihatan dari sesuatu atau seseorang itu.

Seberapa sering kita terjebak pada cara berpikir seperti ini? Belum-belum sudah mengatakan si A itu blablabla.. si B itu blablabla. Padahal, mengenal kualitasnya pun belum.

Kejadian serupa pernah dialami Yesus Kristus, seperti digambarkan pada Matius 13:53-58. Setelah melakukan perjalanan dan pengajaran (salah satunya memberi kotbah di bukit yang terkenal itu), Yesus kembali ke Nazaret, kota asal-Nya.

Sebagaimana di tempat lain, Yesus pun mengajar di bait Allah di kota itu. Tapi apa yang terjadi? Orang-orang di kota asalnya, yang tadinya terkagum-kagum, malah berbalik jadi kecewa dan menolak Dia. Mengapa?

Sebab ternyata mereka mengenal sosok yang mengajar luar biasa dan berkuasa mengadakan mujizat-mujizat itu adalah Yesus si anak tukang kayu yang miskin dan tak terpandang.

Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” Dan karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mujizat diadakan-Nya di situ. (Matius 13:57-58)

Di dunia ini ada banyak contoh orang ditolak (dalam mencari kerja, menjadi calon pemimpin, urusan pernikahan, dan sebagainya) karena status sosialnya, agamanya, relasinya, sukunya, dan sebagainya.

Tapi itu memang lumrah saja. Sebab umumnya kita ini menilai orang lain berdasarkan pada apa yang tampak. Bukan pada kualitas dan potensi seseorang.

Bagaimana kalau kita mengalaminya sendiri, jadi korban penilaian orang lain? Jangan menyerah dan tak ada alasan untuk menyerah. Saya percaya, pasti ada tempat di mana kita bisa diterima berdasarkan kualitas dan kepribadian kita. Bukan pada “sampul” kita.

 

***

Artikel ini dikutip dari tulisan sendiri di: http://bangdeds.com/2017/02/13/menghakimi-orang-melalui-sampulnya/

Pertemuan yang Mengubah Hidup

Kita bertemu banyak orang di dalam perjalanan hidup ini. Beberapa orang mempengaruhi pola pikir kita, membawa kita menuju kedewasaan, membuat kita menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari.

Beberapa orang menginspirasi kita, membuat kita belajar banyak mengenai keberanian, semangat juang, kerja keras, pantang menyerah, sabar, bertahan, dan menanti dalam pengharapan.

Salah seorang perempuan yang mempengaruhi pola pikir saya selama hampir 7 tahun terakhir ini adalah Enchi Fumiko, salah seorang pengarang perempuan Jepang. Saya menghabiskan waktu 6 tahun untuk mempelajari karya-karya dan kehidupan beliau selama saya studi di Jepang.

Karya-karyanya sering membuat saya menangis kesal karena untuk membacanya saja butuh usaha dan kerja keras, tetapi juga sekaligus membuat saya menangis sedih, karena membayangkan nasib tokoh-tokoh perempuan di dalam karya-karyanya yang terjebak dalam kungkungan masyarakat patriarki.

Sekaligus membuat saya menangis haru, ketika akhirnya, setelah perjuangan dan penantian panjang selama hampir 30 tahun, beliau berhasil meraih impiannya menjadi seorang penulis yang diakui di dalam dunia kesusastraan Jepang modern.

Beliau melewati masa-masa suram tidak dapat menulis karena masalah rumah tangganya, masa-masa pahit melihat satu persatu pengarang perempuan lainnya beranjak naik karirnya, sedang beliau hanya diam di rumah karena sakit dan selama beberapa tahun. Sekalipun beliau menulis, tidak ada yang mau menerima tulisannya untuk dipublikasikan.

Satu gaya hidup yang beliau wariskan untuk saya adalah “shifuku” (terus berkarya dan mempersiapkan diri sampai suatu hari tiba waktunya untuk mekar sempurna).

Memang akhirnya di usia nyaris 50 tahun, beliau sukses menjadi penulis, tetapi bagaimana perasaannya saat beliau menjalani usia 20an, 30an, 40an? Tentu kegalauan, kekhawatiran, putus asa terus berkecamuk, tetapi beliau tidak menyerah. Beliau tetap menulis.

Apapun itu, beliau tidak berhenti. Tidak ada jaminan kesuksesan di masa depan, tapi beliau terus berkarya.

Setelah usia 50an, memang karir beliau akhirnya menanjak dan sampai usia 80an, sampai akhir hidupnya, beliau tetap menulis. Sesuatu, yang dibangun di atas dasar yang kuat dan disemai dengan persiapan yang matang dan lama, pada saatnya yang tepat, pasti akan mekar sempurna.

Mungkin memang ada maksud dari Yang Maha Kuasa, “mempertemukan” saya dengan Enchi Fumiko. Mengapa saya tidak “bertemu” dengan Ariyoshi Sawako, Miyamoto Yuriko, Hayashi Fumiko yang lebih mudah rejeki untuk cepat sukses dan terkenal? Padahal kalau soal kerja keras, Enchi Fumiko tidak kalah dengan rekan-rekan sesama pengarang perempuan lainnya.

Dalam dimensi yang berbeda, kehidupan Enchi Fumiko mengajarkan satu hal penting kepada saya. Bahwa, untuk segala sesuatu ada waktunya, untuk setiap hal, ada masanya, dan waktu setiap orang tidak sama, semua berbeda-beda, tinggal kita pelaku-pelaku kehidupan ini, kuat atau tidak untuk bertahan, bersabar, dan terus berjuang.

*Sebuah renungan saat sedang membuat resume presentasi*

 

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Foto: meexia.com