Tag Archives: Bineka

Belajar Bersyukur menjadi Indonesia

Bagaimana mengajarkan anak mengenai Indonesia dan kebinekaan serta keberagamannya? Bukan perkara mudah sebetulnya.

Apalagi kalau kita terbiasa menyekolahkan anak di sekolah berbasis Kristen atau Katolik sejak Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah.

Anak terbiasa bergaul dengan kelompok homogen sejak muda. Bagaimana saat mereka harus bergaul dengan sekeliling yang heterogen, kemudian dihina atau diejek oleh anak-anak muda lain karena keminoritasannya?

Apalagi situasi akhir-akhir ini, sejak masa pemilihan presiden 2014 dan kemudian makin mengental saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Isu SARA menjadi mainan politik. Akibatnya, kebinekaan Indonesia berada di ujung tanduk. Bibit-bibit intoleransi bahkan sudah tumbuh pada anak-anak, seperti video yang viral di media sosial.

Tapi sebagai orang Kristen, membalas sikap intoleransi dengan sikap intoleransi, jelas jauh dari ajaran Kristus mengenai kasih. (Baca: Omong Kosong Soal Pribumi – Non Pribumi)

Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian komunitas persekutuan alumni Kristen SMA Negeri 13 Jakarta dan mendasari diadakannya Bible Camp bertajuk “Bersyukur menjadi Indonesia”, yang diadakan di Tanakita, Sukabumi, 25-27 Juni 2017 kemarin.

Sekitar 30 anak, dari usia Taman Kanak-Kanak hingga SMA, disatukan di bumi perkemahan itu untuk dididik menjadi anak-anak yang cinta Tuhan Yesus, berdisiplin, sekaligus menghargai perbedaan dan mengerti bagaimana bertoleransi di tengah kebinekaan negeri ini.

Betapa kita tidak bersyukur
bertanah air kaya dan subur;
lautnya luas, gunungnya megah,
menghijau padang, bukit dan lembah.

Refrein:
Itu semua berkat karunia Allah
yang Agung, Mahakuasa;
itu semua berkat karunia Allah
yang Agung, Mahakuasa.

Lagu di atas adalah semacam lagu tema Bible Camp itu. Anak-anak diajak bersyukur pada indahnya Indonesia, dengan segala isinya. Tak hanya keindahan alam, tapi juga keindahan perbedaan agama, warna kulit, suku, di dalamnya.

Bagaimana caranya? Dengan mempraktekkan hukum kasih yang menjadi landasan ajaran Kekristenan. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap akal budimu. Kasihilah sesamamu sebagaimana engkau mengasihi dirimu sendiri.”

Bagaimana mengasihi orang lain yang berbeda dengan kita? Saya kira, implementasinya tepat seperti yang dikatakan Rasul Paulus kepada jemaat Korintus di 1 Korintus 13: 4-8:
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.

Sedang orangtua yang ikut juga dalam kegiatan itu, banyak berdiskusi dalam forum yang diadakan panitia setiap hari. Dimulai dari bahasan mengenai bagaimana mendidik anak dalam ajaran kasih dan bagaimana ajaran kasih itu bisa menjadi landasan anak dalam bertoleransi dengan orang lain yang berbeda dengannya.

Kemudian, berdiskusi melalui pengalaman masing-masing orangtua, tentang bagaimana menjadi orang Kristen yang bisa berdampak bagi sekelilingnya. Ada orangtua yang mengatakan, salah satu cara paling simpel adalah dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan rumahnya.

Orang Kristen jangan menjadi kaum pasif, atau malah cenderung menjauhkan diri dari pergaulan dengan tetangga, RT, atau lingkungan sekitarnya. Ketika orang Kristen terlibat di lingkungannya, ini bisa menjadi cara mengubah pandangan orang-orang terhadap Kekristenan. Jadikanlah hidup penuh kasih di tengah keluarga kemudian jadi kesaksian bagi orang lain. (Baca: Wonder Woman dan Pelajaran Cinta)

Pada bagian akhir, Pendeta Fidel Ramond, salah satu alumnus SMA 13, menyampaikan bahwa rahasia menjadi berkat bagi sekeliling adalah dengan hidup jadi orang Kristen yang sungguh-sungguh dengan menjadikan Yesus sebagai teladan.

“Tuhan Yesus tidak meminta kita jadi orang baik saja, karena ada banyak orang di luar sana yang jauh lebih baik sikapnya ketimbang orang Kristen,” katanya. “Tapi yang Tuhan mau adalah kita menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh.”

Memang untuk hidup sungguh-sungguh itu tak mudah. Pendeta Fidel mencontohkan hidup Rasul Paulus, yang hidup bersungguh-sungguh dengan Tuhan, meninggalkan zona nyamannya sebagai pemuka agama dan orang penting, hanya untuk kemudian menjadi pengikut Kristus yang hidupnya sengsara sampai mati sebagai martir.

Tapi percayalah, kata sang pendeta, batas antara hidup di dunia dan kekekalan itu hanya setipis tirai. Pada kekekalan, hanya ada dua pilihan abadi: surga atau neraka. Mana yang kita pilih? Pilihan ditentukan ketika kita masih hidup, bukan saat kita sudah mati.

Foto: Dok Pribadi

Jangan Amnesia! Kita Punya Pancasila

Selamat hari lahir Pancasila! Pertama kali kenal Pancasila, ketika duduk di bangku SD. Tahu sila pertama sampai kelima karena diajarkan pada pelajaran PMP alias Pendidikan Moral Pancasila. Tiap hari Senin upacara bendera, dengan khusyuk pasti menyebutkan lima sila itu.

Memang seperti indoktrinasi sih, tapi mungkin kita memang perlu diingatkan berulang-ulang soal Pancasila sebagai dasar negara ini (dasar lho dasar….artinya apapun yang kita lakukan sebagai warga negara, mestinya didasari nilai-nilai luhur ini). Ini biar enggak pada amnesia bahwa kita punya Pancasila dan enggak coba-coba ganti dasar negara dengan falsafah yang lain.

Zaman saya SD, saya harus banget menghafalkan 36 butir P4. Sekarang di SD, kayaknya sih tidak sampai harus menghafalkan 36 butir P4, ya, tapi kalau saya lihat materi pelajaran anak saya, tetap kok diajarkan tentang Pancasila dan nilai-nilai pengamalannya.

Saya suka tanya pada mahasiswa-mahasiswa saya, setelah selesai baca karya sastra: paling suka bagian yang mana? Nahhh…kalau saya ditanya, sila Pancasila mana yang paling powerful untuk kamu?

Jawaban saya: sila ke-3, Persatuan Indonesia. Karena, kalau kita benar-benar menghayati sila ini, harusnya perpecahan bangsa itu enggal akan terjadi.

Saya mungkin sok idealis banget ya, tapi menurut saya, di zaman serba tidak pasti dan penuh kecurigaan sana sini dan goncang ganjing politik begini, saya merasa, yang paling kita butuhkan itu adalah harapan.

Harapan bahwa kita bisa menjadi lebih baik, maju, damai, lebih menghormati satu dengan yang lain. Kalau belum-belum sudah pesimistis, ya akhirnya, terjadilah sesuai dengan pikiran pesimistismu. Apapun itu, menyebarkan aura negatif yang bikin enggak damai itu sungguh meresahkan.

Mungkin ada yang berpikir, “ini wall gue, ini socmed gue, terserah gue mau nulis apa.” Menurut saya, tetap enggak bisa “terserah” sih, karena meskipun “wall gue, socmed gue,” yang baca kan bukan hanya yang menulis!

Dan socmed itu sudah merupakan sebuah masyarakat, di mana para penggunanya saling berinteraksi, jadi tetap kalau bicara atau mengeluarkan pendapat atau share sesuatu, harus pakai etika.

Kalau dibilang apa yang diposting di socmed itu enggak ada hubungan dengan kepribadian yang bikin postingan tersebut, menurut saya sih tidak demikian. Sedikit banyak, postingan seseorang, berbicara mengenai kepribadian, pola pikir, cara pandang orang tersebut, meski memang tidak sepenuhnya terlihat dalam setiap postingan tersebut.

Jadi, di hari peringatan lahirnya Pancasila ini, mari kita jaga esensi keberagaman bangsa tercinta ini, yang konon katanya “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita sudah diajarkan semboyan negeri ini kan, jadi untuk apa kita masih cari semboyan lain, atau masih mengaku berbhinneka tunggal ika dan cinta Pancasila, tapi kenyataannya malah membela sekelompok SARA tertentu dan tidak menghormati yang berbeda dengan diri kita sendiri, baik dalam hal kesukuan, agama, ras, dan golongan?

Selamat memaknai kebhinnekaan dalam hidup, keragaman dalam berbangsa, dan lima sila sebagai dasar bertutur dan bertindak! Mari jadikan apa yang orang-orang sebut sebagai utopia dan sekadar angan yang mustahil menjelma nyata, dan terus berproses semakin hari semakin mendekati kenyataan!

 

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Omong Kosong soal Pribumi – Nonpribumi

Pribumi dan nonpribumi? Itu cuma konsep omong kosong. Bukan cuma saya yang bilang lho ya. Itu juga dibuktikan secara ilmiah. Mengapa saya berpendapat begitu? Coba baca sampai selesai ya.

Saya mulai dari cerita masa kecil saya dulu deh. Saya ini lahir dan besar di lingkungan yang majemuk. Waktu saya kecil sekali, keluarga kami menjadi satu dari dua keluarga Kristen yang tinggal di afdeling di salah satu sudut kawasan perkebunan sawit milik PTP Nusantara VII (Sekarang PTPN IV).

Tapi kami tetap saling menghormati. Teman-teman saya menghargai saya yang tak ikutan berpuasa dengan mereka saat ramadan. Saya pun menghargai mereka yang sedang menahan lapar dan haus. Ketika Idul Fitri tiba, kegembiraan mereka juga menular sampai ke rumah kami. (Tentang kisah ini, bisa baca tulisan saya: Pasir Mandoge dan Kisahku)

Kemudian saya bersekolah di SMP dan SMA Negeri dengan teman dari berbagai latar belakang agama yang berbeda.

Adik saya dan Om saya memilih ikut agama istri mereka masing-masing. Dan warna-warni di keluarga kami bukan cuma soal agama. Di darah anak-anak kami, mengalir darah Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Karo, Tionghoa, Minang, Jawa, dan China.

Orangtua kami adalah pasangan Batak Simalungun. Tentu ada resistensi ketika anak-anaknya membawa menantu dari berlainan suku dan agama. Tapi lambat laun kami baik-baik saja dengan semua itu. Perbedaan menjadi keniscayaan di keluarga kami. Ikatan kami adalah kekeluargaan kami. Sedang urusan agama, itu pribadi sifatnya.

Dalam perspektif yang kurang lebih sama, seharusnya kita orang Indonesia tetap bisa hidup aman damai dalam kebinekaan kita. Karena kita ini sesungguhnya satu keluarga berdasarkan genetika, bahkan dengan mereka yang kita anggap berbeda ras dengan kita.

Tak ada gen murni Indonesia. Kita ini semua adalah pendatang di bumi Nusantara. (Masih berpikir kamu orang pribumi?) Begitulah yang ditegaskan Prof. Dr. Herawati Supolo-Sudoyo M.S. Ph.D, ahli genetika dari Lembaga Eijkman, dalam suatu seminar yang saya hadiri, beberapa waktu lalu.

“Kita merupakan pencampuran genetika dan semua berasal dari Afrika,” kata Prof. Herawati. Dengan kata lain, omong kosonglah dengan istilah-istilah “pribumi” dan “nonpribumi” yang didengung-dengungkan sekelompok orang itu.

Herawati mengatakan meski merupakan pencampuran, presentasi genetika Austronesia lebih dominan di bagian barat Indonesia dan genetika Papua di kawasan timur. Tetapi ada gradasi pembauran genetik ditemukan pada populasi Indonesia di barat maupun di timur.

Dari mana kesimpulan ini? Herawati dan tim peneliti menganalisis 2.740 individu dari 12 pulau, 6 dari Indonesia barat dan enam dari Nusa Tenggara Timur (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor). Jadi bukan asumsi atau asal njeplak gaya kalangan rasis itu.

Saya sepakat dengan arkeolog senior Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak yang mengatakan, “Kebinekaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.”

Tak bisa lebih sepakat lagi dengan ucapan antropolog Dr. Kartini Sjahrir, yang menegaskan bahwa kemajemukan adalah satu paket dari pendiri negeri ini, yang dijadikan sebagai konstruksi sosial Indonesia.

“Yang mengatakan Cina-Cina, pribumi non pribumi, adalah sebuah kebodohan mendasar,” katanya. “Mereka lupa siapa dirinya, seperti Malin Kundang lupa pada ibunya.”