Tag Archives: Belanda

Pribumi dan Nonpribumi, Warisan Kolonial yang Masih Membelenggu

Beberapa waktu yang lalu, petraonline.net baru saja mempublikasikan sebuah artikel singkat yang memaparkan bahwa pembedaan pribumi dan nonpribumi sebenarnya hanyalah berdasar pada argumentasi omong kosong belaka.

Baca: Omong Kosong soa Pribumi – Nonpribumi

Betapa tidak? Sebagian besar antropolog sepakat bahwa asal-usul manusia modern dapat ditelusuri hingga benua Afrika, antara 80.000 hinga 100.000 yang lalu. Ini berarti bahwa seluruh penghuni Nusantara pada dasarnya adalah keturunan dari para imigran yang datang di kepulauan Asia Tenggara ini puluhan ribu tahun yang lalu.

Arus kedatangan rumpun Austronesia bahkan lebih lambat lagi. “Penduduk asli” pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaka itu meninggalkan ‘tanah leluhur mereka,’ yaitu pulau Taiwan sekitar 1.000 tahun atau lebih sebelum masehi.

Bila para penduduk asli itu sebenarnya adalah “pendatang”, mengapa saat ini kita mengenal pembedaan antara “pribumi” dan “nonpribumi”? Siapakah yang pribumi dan siapakah yang bukan?

Pembedaan antara “pribumi” dan “nonpribumi” sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang tergolong baru, bila dibandingkan dengan sejarah Nusantara yang telah mencapai ribuan tahun. Pembedaan ini baru mulai dikenal pada sekitar abad ke sembilan belas, seiring dengan stratifikasi masyarakat berdasarkan ras, yang menurut Professor Wertheim, sangat berbeda dari sistem lama di Indonesia, yang tidak mengenal pembedaan semacam itu.

Stratifikasi sosial baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial ini menempatkan orang-orang Belanda dan golongan Eropa lainnya pada lapisan teratas dari masyarakat pada saat itu. Orang-orang Eropa ini memiliki status hukum yang sangat berbeda dari golongan lain, yaitu mereka yang disebut sebagai bumiputera, yang justru menempati lapisan masyarakat terbawah.

Sementara itu, dalam wilayah koloni Belanda saat itu, terdapat pula orang-orang Asia yang berasal dari negara negara di luar Nusantara. Mereka adalah para pendatang (atau keturunan pendatang) dari Tiongkok, Jepang, Arab, India.

Sebagaimana dituliskan oleh Charles A. Coppel, orang-orang ini (dengan pengecualian pendatang dari Jepang yang pada akhir abad Sembilan belas disamakan dengan golongan Eropa) dikategorikan sebagai “mereka yang disamakan dengan pribumi”.

Namun meski disamakan secara status, mereka dibedakan sebagai golongan tersendiri, yaitu “Timur Asing”. Menurut Coppel, istilah “Timur Asing” ini seolah melanggengkan pandangan bahwa mereka pada hakikatnya adalah “orang orang asing”.

Meski penggolongan penduduk berdasakan ras di atas merupakan peninggalan kebijakan kolonial, keberadaannya tampaknya diterima oleh para aktivis pergerakan nasional pada awal abad ke-dua puluh. Sebagian besar dari organisasi yang memupuk kebangsaan Indonesia pada periode itu memandang bahwa hanya masyarakat pribumilah yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia.

Orang-orang Timur Asing tidak dapat dianggap sebagai bangsa Indonesia meski mereka telah hadir di wilayah jajahan Belanda itu selama beberapa generasi. Sebagaimana ditulis oleh Mobini-Kheseh, setidaknya selama beberapa waktu, orang-orang keturunan Arab tidak dapat menjadi anggota penuh dari Syarikat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu pemersatu.

Hanya beberapa dari para tokoh kebangsaan saat itu – teruatama para pendiri Indische Partij – yang berpandangan bahwa Indonesia (saat itu disebut sebagai Hindia) adalah tanah air dari mereka yang tinggal di Indonesia, tanpa memandang ras, etnisitas, ataupun agama.

Sayang, Indische Partij sendiri tak berumur panjang karena segera diberangus oleh pemerintah kolonial. Seiring pudarnya Indische Partij, ide pembangunan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada status kepribumian menjadi wacana yang paling dominan dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu.

Lebih dari dua abad telah berlalu sejak penggolongan masyarakat berdasarkan ras diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial. Indonesia pun telah tujuh puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan. Namun istilah pribumi dan non-pribumi masih seringkali didengungkan, tanpa memahami konteks di mana istilah tersebut pertama kali dicipta.

Sebagai bangsa merdeka, bukankah seyogianya kita pun membebaskan diri dari belenggu mental yang pernah dikenakan kepada kita oleh pemerintahan kolonial di masa lalu?

Dalam hemat saya, salah satu dari belenggu tersebut adalah pembedaan terhadap saudara sebangsa berdasarkan penggolongan pribumi dan nonpribumi.

 

J Roestam

Penulis adalah antropolog

 

Foto: pixabay.com

Mengenal Kampung Melayu

Kampung Melayu adalah kelurahan di kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Kelurahan ini memiliki luas 47,83 hektare, terdiri atas 114 Rukun Tetangga dan 8 Rukun Warga.

Wilayah kelurahan Kampung Melayu berbatasan dengan rel kereta api Kelurahan Kebon Manggis di sebelah utara; Jl. Sungai Ciliwung, Kelurahan Bukit Duri di sebelah barat; Jl. Jatinegara Barat dan Jl. Matraman Raya, Kelurahan Bali Mester di sebelah timur; serta Jl. Kampung Melayu Kecil, Kelurahan Bidara Cina di sebelah selatan.

Kampung Melayu termasuk wilayah yang rawan banjir karena terletak di tepi sungai Ciliwung . Namun pada masa pemerintahan Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama atau dikenal dengan panggilan singkat, Ahok, daerah ini dapat diatasi dengan memindahkan penduduk yang menghuni bantaran Sungai Ciliwung ke rumah susan. Sementara itu, Sungai Ciliwung dinormalisasi kembali dari berbagai hambatan hingga daerah ini tidak banjir.

Pada zaman penjajahan dahulu, wilayah ini menjadi pemukiman etnis Melayu. Kampung Melayu juga merupakan nama sebuah stasiun pemberhentian kendaraan umum yang penting di Jakarta Timur.

Pada 1900, wilayah ini memiliki tempat penyeberangan perahu di Sungai Ciliwung di bagian selatan daerah Meester Cornelis, Weltevreden (Batavia).

Kawasan Kampung Melayu merupakan wilayah Kelurahan Kampung Melayu dan sebagian dan wilayah Kelurahan Balimester, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan demikian, karena dipertengahan abad ke-17 dijadikan tempat pemukiman komunitas Melayu pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus .

Wan Abdul Bagus adalah anak Encik Bagus, kelahiran Patani, Thailand Selatan. Ia terkenal pada zamannya sebagai orang sangat cerdas dan piawai dalam melaksanakan tugas, baik administrasif maupun di lapangan sebagai perwira.

Selama hidupnya ia membaktikan diri pada Kompeni, dimulai sebagai juru tulis, juru bahasa, bahkan sebagai duta atau utusan.

Sebagai prajurit, ia sering terlibat dalam berbagai peperangan, seperti di Jawa Tengah, pada waktu Kompeni “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo . Demikian pula pada perang Banten, ketika Kompeni “membantu” Sultan Haji menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa.

Waktu menghadapi pemberontakan Kapitan Jonker yang asal Ambon, Kapten Wan Abdul Bagus terluka cukup parah. Menjelang akhir hayatnya ia dipercaya oleh VOC untuk bertindak selaku Regeringscommisaris, semacam duta, ke Sumatera Barat.

Kapten Wan Abdul Bagus meninggal dunia tahun 1716, ketika usianya genap 90 tahun. Kedudukannya sebagai kapten orang–orang Melayu digantikan oleh putranya yang tidak resmi, Wan Abdullah, karena ahli waris tunggalnya, Wan Mohammad, meninggal dunia mendahului ayahnya.

Yang juga menarik adalah daerah Cawang yang juga merupakan komunitas Melayu. Nama ini berasal dari nama Eche (Tuan) Awang Abdullah, yang pada abad 18 berperan sebagai penterjemah antara orang Belanda dengan pemuka-pemuka pribumi dipedalaman. Merekapun mendapat peta pemukiman di daerah Condet.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Foto:
1. Getek penyeberangan di tepi Sungai Ciliwung mengangkut mobil. di Kampung Melayu.
2. Pemukiman Kampung Melayu di masa silam.