Tag Archives: Bara api

Mengapa Kita Memaafkan

Bicara soal memaafkan memang seolah tak ada habisnya.

Kemarin pada sebuah pertemuan non formal, kami sedang membicaran soal self healing. Ada seorang rekan yang memang mempelajari hal tersebut. Konon katanya, ada orang yang banyak penyakit dalam tubuhnya disebabkan oleh beban pikiran. Contohnya kanker disebabkan rasa dendam dan kepahitan, yang bisa memproduksi asam berlebih dalam tubuh, yang potensial menyuburkan sel kanker.

Tambahnya, kita mungkin tak sadar jika kita memendam kepahitan, benci atau amarah atau dendam. Atau mungkin juga sadar, tapi dengan sengaja tak mau melepaskannya. Padahal, jika kita dendam, yang kita sakiti adalah diri kita sendiri. Orang uyang kita dendam mungkin tidak sadar, nggak ‘berasa’, dan hidup dengan merdeka, bahagia haha-hihi di luar sana. Sementara kita terperangkap dalam luka batin. Luka dalam batin kita. Bukan batin orang yang kita benci itu. Kita luka, menderita, tidak bahagia. Sendiri.

Seperti kata seseorang, kebencian atau dendam tidak menyakiti orang yang Anda tidak sukai, tetapi setiap hari dan setiap malam dalam kehidupan Anda, perasaan itu menggerogoti Anda (Norman Vincent Peale).

Saya jadi ingat ibu seorang teman saya. Ibu paruh baya ini sungguh pintar memasak. Saya sering kecipratan masakannya yang dibawa oleh anaknya, teman saya ini. Suaminya selingkuh dan menikah lagi. Anak-anaknya semua marah dan tak bisa menerima hal tersebut. Tapi ibu ini tetap menerima suaminya, dan diberi kebebasan untuk pulang ke rumah sesekali, bisa sekali sebulan atau setiap akhir pekan. Dan tiap kali suaminya akan kembali ke rumah istri keduanya, ibu ini membekali dengan masakan beraneka ragam dalam jumlah banyak, bukan hanya untuk suaminya tapi juga untuk semua anggota keluarga istri kedua suaminya. Konon dia tahu istri kedua suaminya tak pintar memasak.

Luar biasa ibu ini. Dia begitu mengamalkan sikap seorang Kristen yang sejati. Saya sungguh kagum padanya. Bahkan anaknya, yang adalah teman saya, tak habis pikir melihat sikap ibunya itu.

Ibu itu mengingatkan saya akan nats, Roma 12:20; Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.

Arti ungkapan “menumpukkan bara api di atas kepalanya” mengacu pada kitab Yesaya, di mana bara api diambil dari altar dan disentuhkan kepada mulutnya, sebagai penjamin bahwa: “Kesalahanmu telah dihapus, dan dosamu telah diampuni” (Yesaya 6:7).

Bara api dikaitkan dengan penyucian dosa, seperti dalam kitab Maleakhi, api tukang pemurni logam (Maleakhi 3:2). Ada penafsir yang memandang kemungkinan latar belakang budaya dalam adat Mesir kuno, di mana jika seseorang menunjukkan penyesalan atas kesalahannya, akan membawa satu piring bara api di atas kepalanya.
Artinya adalah, dengan menumpuk bara (= menghapus dosa) dan terus membalas dengan kebaikan kepada orang yang menyakiti kita, pada akhirnya kita bisa mengalahkan kebenciannya terhadap kita.

Itulah yang dilakukan oleh ibu teman saya tadi. Itu adalah praktek sulit dari sebuah teori yang ‘mudah’.

Jika anda pernah menonton film Star Wars, Episode 1, The Phantom Menace, salah satu pemerannya, Yoda, pernah berkata; Takut adalah jalan menuju kegelapan, takut mendorong orang menjadi marah, marah membuat orang menjadi benci, dan benci menggiring orang memasuki penderitaan.

Ketika kita membenci dan mendendam, sebenarnya kita sedang menciptakan penderitaan kita sendiri, membangun neraka kita sendiri.

Jadi, jika ingin hidup bahagia? Maafkanlah.
Tak ingin hidup menderita, jangan membenci.

Sesederhana itu. Walau, itu tak sederhana.

Selamat Hari Raya Idul Fitri bagi sahabat semua, mohon maaf lahir bathin.

-*-