Tag Archives: balance

Masih Muda, Jangan Boros!

Akhir-akhir ini saya sering mendengar iklan di radio, yang menyerukan gerakan menabung. Sebagian kata-kata di iklannya yang menarik, kira-kira begini:

Masih muda jangan boros, nanti di hari tua nggak punya apa-apa.

Iklan itu sepertinya ditujukan bagi para manusia modern, atau kawula muda, yang suka nongkrong di café mahal, suka shopping (tergoda sale), berpenampilan wah dan pergaulan berkelas, tapi tak punya simpanan di tabungan.

Tahun ini adalah tahun keenam saya bekerja di bagian keuangan. Dari apa yang sudah saya alami, menurut saya, balance, adalah kata kunci emas dalam pekerjaan akunting dan keuangan. Jika perhitungan sudah balance, artinya itu sudah beres. Kita bisa bernafas lega. Jika belum balance, terus dicek lagi, bahkan sampai lembur, dan bisa stress terbawa mimpi di rumah.

Kata balance bagaikan password pembuka file. Ibarat bisa buka brankas dengan digit tepat, ATM dengan nomor pin yang tepat, atau kepingan terakhir pada susunan puzzle. Kata balance bagaikan setetes air di gurun pasir.

Balance artinya pengeluaran dan pendapatan sebanding. Jika pengeluaran lebih besar, maka akan ada hutang. Jika pendapatan lebih besar, terjadilah surplus. Surplus akan menjadi simpanan/aset, untuk menambah modal berikutnya.

Lalu saya pernah terpikir. Apakah hidup kita balance? Apakah hidup kita sudah ‘pas’?

Seorang adik kelas, secara berkala berganti gadget, yang kadang harganya dua kali lipat gajinya. Demikian juga mantan rekan kerja saya, ponselnya lebih mahal daripada gajinya sebulan, ngalah-ngalahin harga ponsel bos pula! Dia juga mencicil mobil yang lebih mahal dibanding mobil atasan saya yang ekspatriat. Dan tentu saja, tiap bulan dia harus mencicil dengan kartu kredit. Kadang-kadang dia harus ke pegadaian, jika ada kebutuhan yang mendesak. Saya sebagai penonton pun, turut merasa letih melihat cara hidupnya. Dia memberikan gambaran; Hidup penuh dengan keruwetan. Terlalu lelah, tidak sehat, tidak balance.

Saya teringat seorang junior, yang sudah terbiasa hidup bergaya mewah, tetapi ketika dia sudah bekerja, dan sumbangan dari orangtua sudah dihentikan, dia tak bisa menghentikan gaya hidup yang mewah itu, karena gajinya ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Dia jadi meminjam kesana-kemari. Yang pertama dimintai tentu saja orang-orang terdekat, para sahabat. Dan bisa diduga, dia tak bisa mengembalikan pinjaman itu.

Akibatnya, persahabatan rusak, perselisihan timbul. Hubungan baik hancur karena konsumerisme yang tak terbendung.

Orang-orang dekat pun menjauh. Saya kuatir akhirnya dia ada masalah dengan debt collector bank.

Dalam hati kecil saya seolah berkata; “Aduh, nggak balance banget sih hidup loe!”

Tetapi, ada juga teman saya, yang terlihat pendiam dan sederhana, tapi rupanya diam-diam sudah membeli sepetak tanah di daerah ujung Depok, mencicil untuk membangun kontrakan di daerah Bogor, berinvestasi di daerah Cilegon. Ponselnya masih tipe yang lama, mobilnya masih butut, rumahnya belum direnovasi. Dia tak memakai kartu kredit. Jarang pergi ke Starbuck. Bukan penggemar sale di mal. Busana dan penampilannya tidak selalu bermerk. Tapi saya jadi kagum padanya. Menurut saya, hidup dia bukan hanya sekedar balance, dia juga surplus, masih ada sisa penghasilannya untuk jadi aset dan modal di ‘transaksi’ berikutnya.

Minggu kemarin saya ikut sebuah acara retret alumni. Seorang pembicara yang tengah membahas tentang pengelolaan uang, berkata kira-kira demikian: Di rumah masih banyak baju bagus, tapi masih suka belanja hanya karena ada diskon. Uang digunakan bukan karena kebutuhan, tapi karena nafsu. Janganlah kita menjadi orang yang seperti itu. Sesungguhnya, kita adalah tuan atas harta dan uang kita. Kitalah yang harus mengelola dengan bijaksana, sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan.

Dan, bagaimana dengan kita. Seberapa balance hidup kita?
Apakah minus, balance, atau surplus?

-*-