Tag Archives: anak

Jangan Lakukan Kekerasan Anak dan Jangan Sebar Identitas Anak Korban Persekusi

Sehubungan dengan kasus persekusi terhadap anak yang dilakukan oleh sejumlah orang di Cipinang Muara, Jakarta Timur pada Rabu 31 Mei 2017 lalu, Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) mengimbau kepada masyarakat, media, dan semua pihak untuk meningkatkan kepekaan terhadap hak-hak anak demi kepentingan terbaik anak dengan melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik maupun psikis.

PKTA juga meminta untuk tidak menyebarkan profil atau foto atau video anak yang menjadi korban persekusi demi proses pemulihan fisik dan mental si anak serta melindungi identitas anak.

Aksi kekerasan terhadap anak itu terekam di depan kamera dan kemudian videonya telah tersebar di berbagai akun media sosial maupun media lainnya. Aliansi PKTA mengapresiasi respons kepolisian dan beberapa organisasi peduli anak yang telah bertindak cepat mengusut kasus, melindungi dan mendampingi anak yang menjadi korban.

Aliansi PKTA meminta pemerintah, pihak kepolisian, dan semua pihak yang terkait untuk mengusut tuntas kasus kejahatan terhadap anak ini.

Menurut berbagai pemberitaan media yang ada, kejadian yang terjadi di Cipinang Muara Jakarta Timur ini diawali dengan postingan facebook si anak yang diduga menghina pimpinan organisasi masyarakat (ormas) FPI, HRS. Postingan inilah yang kemudian mendorong sejumlah anggota ormas tersebut untuk datang menghampiri
dan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak korban.

Video yang berdurasi 2 menit 19 detik tersebut berisi intimidasi dan kekerasan fisik terhadap seorang anak yang diduga masih berusia 15 tahun. Dari video yang tersebar, terlihat sang anak tersebut juga dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan di atas materai.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak pada tahun 1990 dan telah mengharmonisasikannya ke
dalam perundang-undangan nasional, dan karena itu berkewajiban mengambil tindakan yang tepat dalam
melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik dan/ atau psikis.

Tidak ada satu pun bentuk kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan sehingga di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, ancaman pidana diberikan bagi setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak.

Di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 59 disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus dan pendampingan kepada anak korban kekerasan fisik dan/ atau psikis.

Pasal 72 Ayat 1 juga menegaskan bahwa masyarakat (termasuk media massa) berperan serta dalam perlindungan anak baik secara perseorangan maupun kelompok. Selain itu, Peraturan Dewan Pers No. 6 Tahun 2008 tentang Kode Etik Jurnalistik pasal 2 poin f juga menekankan pentingnya “menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara”.

Karena itu, Aliansi PKTA menghimbau seluruh masyarakat, pemerintah dan media agar:

1. Melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik maupun psikis dengan tidak menyebarkan profil atau foto atau video anak korban yang mengalami persekusi demi proses pemulihan fisik dan mental anak serta juga untuk melindungi identitas anak.

2. Mendorong penindakan sesuai hukum kepada pelaku tindakan kekerasan terhadap anak.

3. Bertindak pro aktif, jika menemukan kasus/ foto/ video persekusi untuk segera melaporkannya kepada pihak yang berwenang, seperti kepolisian (110), Kementerian Sosial (1500771), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (08212575123).

Sekretariat Aliansi PKTA:
Wahana Visi Indonesia Jl. Graha Bintaro Blok GB/GK 2 No.09, Pondok Aren, Tangerang Selatan 15228
Telp: +62 21 2977 0123 | Fax +62 21 2977 0101 | email: aliansipkta@gmail.com

Profil Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) adalah koalisi masyarakat sipil Indonesia yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi yang memiliki kesamaan tujuan dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap anak di Indonesia.

Aliansi PKTA memiliki visi meningkatnya dampak dari peran organisasi masyarakat sipil dalam mendukung pencapaianTujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/ SDGs) Target 16.2 dan target terkait lainnya untuk menghentikan perlakuankejam, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak, melalui kolaborasi dan aksi bersama dalam kerangka kemitraan global, regional, nasional dan daerah.

Anggota Aliansi PKTA saat ini terdiri dari 21 organisasi non-pemerintah, sebagai berikut:
1. Aliansi Remaja Independen
2. ChildFund Indonesia
3. Ecpat Indonesia
4. HI-IDTL
5. ICJR
6. ICT Watch
7. MPS PP Muhammadiyah
8. PKBI
9. Plan International Indonesia
10. Puskapa UI
11. Rifka Annisa
12. Rutgers WPF Indonesia
13. SAMIN
14. Sejiwa
15. Setara
16. Smeru
17. SOS
18. TDH
19. Wahana Visi Indonesia
20. Yayasan Sayangi Tunas Cilik
21. Youth Network on Violence Against Children

Memberi Uang pada Anak Jalanan, Anda Merampas Hak Mereka

“Saya enggak mau kembali ke jalan lagi. Sudah enak begini.” Febri, 12 tahun, mengatakan ini dengan nada yang terdengar mantab.

Wajah sumringah Febri menjelaskan semuanya. “Saya sekarang belajar dan bermain saja, nggak mau cari duit lagi. Kan, ibu sudah kerja,” katanya lagi.

Febri jadi salah satu kisah sukses anak jalanan yang berhasil “dikembalikan” menjadi anak yang memang tugasnya bermain dan belajar sesuai usianya. Di bawah binaan Yayasan Rumah Impian, Febri seperti menemukan kembali keceriaan.

Saat ditemui di sela-sela kegiatan Charity Expo yang diadakan Yayasan Rumah Impian, di Main Atrium Jogja City Mall, Yogyakarta, Sabtu (18/2), Febri sempat mengisahkan tentang bagaimana dia berjibaku mencari uang di jalanan.

“Saya cari uang di lampu merah di Bantul. Lupa saya Kak nama daerah lampu merahnya. Pagi, siang, malam ya di situ aja saya nggak kemana-mana, sama kakak dan ibu,” kata Febri.

Tap kini, anak terakhir dari lima bersaudara ini sudah tidak perlu lagi mencari uang receh dengan mengamen di lalu lintas Bantul. “Sekarang ibu sudah ada pekerjaan. Rumah Impian sudah kasih ibu kerjaan. Ibu dimodalin angkringan buat jualan di pinggir jalan,” katanya.

Yayasan Rumah Impian sendiri memang merupakan organisasi pendamping anak jalanan. “Kalau orang tua masih mengandalkan anak buat cari nafkah, kami dari Rumah Impian harus bisa mencoba buat memberi alternatif sumber mata pencaharian, supaya orang tua anak-anak jalanan ini punya penghasilan,” kata Founder Rumah Impian Samuel Lapudooh.

Dan ini yang paling penting: Jangan kasih uang ke anak jalanan! Dengan memberi uang, kita merampas masa depan anak jalanan.

Loh kok bisa begitu? “Memberi uang kepada mereka membuat mereka akan di jalan terus, orang tua mereka juga akan bergantung terus pada mereka. Seorang anak itu seharusnya belajar dan bermain, itulah dunia anak-anak. Dan, ini penting buat masa depan mereka,” kata Samuel.

Jadi jelas. Memberi uang pada anak jalanan tidak tepat, dan ini tidak pula membuat kita terlihat pelit.

Gunakan sumber daya kita untuk membantu anak jalanan lewat yayasan atau organisasi yang memang peduli akan nasib anak jalanan, seperti Yayasan Rumah Impian yang beroperasi di Yogyakarta ini misalnya.

 

Foto: Dok pribadi

Aku Salaman dengan Pak Jokowi!

“Aku salaman dengan Pak Jokowi!”, begitu teriak gembira Restu, salah satu anak asuh kami di Yayasan Rumah Impian. Restu dipilih sebagai salah satu perwakilan dari sekolahnya di Kalasan, Yogyakarta untuk menerima langsung Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari Presiden Republik Indonesia dalam kunjungannya ke Kulonprogo, tanggal 27 Januari 2017.

“Kaget, bangga, pokoknya luar biasa deh pak!” Begitulah Restu menggambarkan perasaannya hari itu. Dari sekian banyak siswa di sekolahnya, merupakan sebuah kejutan yang membanggakan bahwa Restu bisa dipilih dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman untuk hadir dalam acara kemarin.

Restu , anak asuh kami yang duduk di kelas IX itu, prestasi di sekolahnya secara akademik memang membanggakan. Oleh karena itu, mungkin wajar kalau dia dipilih mewakili sekolahnya. Akan tetapi, jika mengingat latar belakang Restu sebelum kembali ke sekolah, kebanggaan itu akan menjadi sesuatu yang mengharukan.

Restu sempat putus sekolah dan hidup di jalanan. Kami menemukannya mengamen di bus-bus antar kota di terminal Jombor pada tahun 2010.

Dia kembali ke sekolah pada tahun 2011 dengan status sebagai siswa pendengar karena tidak memiliki dokumen kependudukan. Akan tetapi, kerja kerasnya dan potensi akademiknya akhirnya meyakinkan pihak sekolah untuk menerimanya secara penuh. Restu menyelesaikan jenjang pendidikan SD dengan hasil yang sangat baik, dan sekarang dia bersiap untuk ujian akhir di tingkat SMP.

Bertemu dan bersalaman dengan Presiden Republik Indonesia, walaupun hanya singkat, memberikan kesan yang luar biasa bagi Restu. Ketika ditanya apa impiannya sekarang, dia menjawab: “Aku mau belajar lebih keras lagi, pak. Aku mau menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin yang merakyat seperti Pak Jokowi.”

Semangat, Restu!

Belajar dari Orat-oret Anak-anak

Sadar atau tidak, kita, orang dewasa, suka sekali meremehkan anak kecil. Padahal kalau mau jujur, kitalah yang sering berlaku kekanak – kanakan.

Untuk itu, kita perlu belajar banyak dari cara berpikir kanak – kanak dengan ide – ide berani, kreativitas liar dan sikap optimis yang mereka miliki.

Hal ini disampaikan oleh seorang anak kecil bernama Adora Svitak yang kala itu berusia 12 tahun saat memberikan paparan “What Adults Can Learn from Kids” pada TED Conference, Februari 2010 lalu di depan orang – orang dewasa.

Adora tak main – main, dia bahkan memberi contoh dampak dari tindakan dan pengambilan sikap orang dewasa pada dunia dengan apa yang dilakukan oleh anak – anak seperti pengalaman inspiratif Anne Frank di kamp konsentrasi NAZI.

Juga keberanian Ruby Bridges melangkah ke sekolah kulit putih semasa kanak – kanak meski mendapat tekanan dari sana – sini demi mendapatkan persamaan hak dalam pendidikan tanpa membandingkan warna kulit.

Ada juga kegiatan sederhana Charlie Simpson mengumpulkan dana untuk korban gempa Haiti dengan bersepeda di taman – taman dekat rumah (tentang siapa anak – anak ini, kapan – kapan saya ceritakan atau silakan tanya mbah Google bila tak sabar menanti ceritanya).

Ketika diminta untuk mengisi kegiatan berbagi di Rumah Ilmu (Rumil) pertengahan Oktober lalu, nama Adoralah yang langsung terlintas di kepala. Dia, salah satu blogger cilik (sekarang sudah gede tentu saja) inspiratif yang isi blognya menyenangkan.

Dia anak ajaib yang mendapat julukan The Genius Kid on Earth pada 2010 karena kecerdasan dan pola pikirnya yang melampaui anak seusianya bahkan orang dewasa yang umurnya terpaut jauuuuuh dari usianya.

Adora menjadi sumber inspirasi Nicklodeon Jr dalam menciptakan tokoh kartun Dora The Explorer yang mendunia.

Saya sudah berbagi sedikit cerita keriaan sewaktu memberi tugas menulis pada anak – anak Rumil, ada yang berani menolak karena lebih suka menggambar yang bisa dibaca di SINI.

Lucunya nih, salah seorang anak yang ingin menggambar itu kemudian bingung hendak menggambar apa. Namanya belajar dan bermain, saya gangguin saja anaknya. Namanya Nina, saya biasa memanggilnya Ninoy, teman bercerita yang menyenangkan dan ‘ngangenin.

“Bingung mau gambar apa, nggak usah ya tante. Habisnya ‘ndak tauuuu,” ini kebiasaan dirinya bila mulai merajuk, memonyongkan bibirnya yang lucuuu demi mencari alasan agar tak mengerjakan apa yang harusnya dia kerjakan.

“Hmm … tadi yang minta gambar siapa ya?”

“Ninoy.”

“Gimana kalau Ninoy gambar cerita kemarin jalan – jalan ke Kidzania? atau waktu jalan ke Schmutzer minggu lalu?”

“Nggak aah ..”

Karena setahun ini kami cukup sering bersua, saya jadi hapal kebiasannya. Dan karena iman saya gampang goyah dengan rajukan anak – anak, sebelum benar – benar runtuh, saya tinggalkan dirinya yang menikmati bersandar di pilar dengan pesan,”waktunya dua puluh menit lho Noy, gambar ya,” lalu diam – diam mengamatinya dari jauh.

Hal berbeda ditunjukkan oleh Rafa. Dia sangat bersemangat menjelaskan apa yang sedang digambarnya, berulang pula ia menyebut maynekeref yang terdengar asing di kuping.

Biar nggak digangguin terus, saya main jawab,”iya .. iya, bagus” saja tapi lantas berpikir, ini anak sebenarnya mau gambar apa ya? Kebiasaan orang dewasa yang ingin selalu terlihat pintar di depan anak – anak, sok tahu kan? hahaha.

Obrolan singkat dan kejadian – kejadian menggelikan selama berada di dekat mereka serasa diputar kembali di depan mata saat menikmati Es Sanger Ulee Kareng yang sejuk sembari membolak – balik kertas tugas mereka di Fakultas Kopi beberapa hari yang lalu.

Saya ingat telah berjanji akan membagikan 3 (tiga) tulisan terbaik yang mereka kerjakan di pendopo pada Minggu itu. Tapi ternyata butuh waktu khusus dengan menghabiskan 2 (dua) gelas es sanger ditambah semangkuk Gule Bebek dari Aceh yang sedap di lidah (dan seporsi nasi) di sebuah ruang khusus yang tertutup dan berpendingin untuk memeriksa tugas – tugas itu.

Hahaha .. awalnya, saya pun berpikir begitu. Tapi setelah ditimbang – timbang, anak – anak ini serius kok saat mengerjakan tugas yang diberikan.

Kenapa tidak meluangkan waktu untuk melihat, memeriksa, mengoreksi yang perlu dibenahi, membantu serta memberi semangat dan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan bakat, minat dan kreatifitasnya?

 

Apa yang bisa kita pelajari dari anak kecil?

Anak – anak memiliki semangat yang menggebu, bila kita keliru merespon dan mengarahkannya akan menjadi bumerang dan menjadikan mereka patah arang. Harapan mereka membubung tinggi, jangan salah memberi janji karena mereka akan menuntut.

Tunjukkan kalau kita peduli tanpa sikap berpura – pura.

Kalau kata orang bijak, jadilah anak kecil saat bermain dan belajar bersama anak – anak, belajarlah dari cara pandang mereka yang polos dan menyenangkan, serta nikmati masa – masa bersama mereka karena engkau akan merindukan masa itu ketika mereka telah bertumbuh dewasa

Jadi, apa yang berhasil mereka gambar setelah menolak tugas menulis? Nggak salah kan Lip? Koq, malah mau mengulas gambar bukannya tulisan? Karena gambar mereka sangat menarik dan membuat saya iri ingin bisa menggambar (lagi).

Nina akhirnya menggambar cerita perjalanannya ke Kidzania bersama kakak dan abangnya dalam bentuk komik, saya biasa menyebutnya storyboard. Dia menuangkan apa yang dia lihat dan nikmati selama berada di Kidzania lewat sketsa gambar.

Dengan semangat dia pun menceritakan kembali apa yang dituangkan di gambar, tentang pengalamannya yang menyenangkan bisa bermain seperti layaknya menjalani keseharian di kehidupan nyata bisa belanja ke supermarket, bisa bekerja dan menjadi tamu di hotel, bisa jalan – jalan dan lain – lain. Tak lupa ia pun memamerkan kartu SIM dan selembar uang dari dompet yang didapatnya di Kidzania.

Apa kabar dengan Rafa? Gambar maynekeref-nya selesai, diberi warna, dan diberi judul Maynekeref vs Zombi-zombi, Perang Pedang dan Tembakan. Melihat hasil gambarnya, saya baru sadar, ternyata maynekeref yang dia maksudkan adalah minecraft; permainan anak generasi milenium semacam lego virtual.

Demi melihat ada gambar menyerupai makam di kertas tugasnya, spontan saya bertanya itu gambar apa? Katanya,”Kakak, itu kuburan. Kan zombie – zombienya kalah dan mati lalu jadi pocong.”

Lalu apa hubungannya laba – laba dengan semua yang ada di gambar ini? Dengan santai dia pun kembali menjawab,”laba – laba itu gigit – gigit pocong, kak!”

Saat berbincang dengan ibunya, beliau mengatakan Rafa agak susah fokus. Sang ibu ingin anaknya konsentrasi untuk belajar menulis, tapi anaknya lebih senang menggambar. Pada ibunya saya menyarankan untuk tidak memaksa keinginan kepada sang anak, biarkan mereka memilih kesukaannya. Sebagai orang tua, kita wajib mengarahkan dan membimbing.

Rupanya, ada tiga anak yang lebih mengutamakan menggambar. Seorang lagi bernama Zahran. Dia juga menggambar minecraft disertai dua gundukan makam dan diberi judul Serangan Zombie.

Ohh maaak! Memori dua anak ini sepertinya merekam dengan baik video singkat #TanteKuburan yang mereka tonton saat presentasi. Hasilnya, serial minecraft zombie dan minta diajak main ke kuburan 🙂

Hati – hati menyampaikan sesuatu dan jagalah setiap tutur yang keluar dari bibir di hadapan anak – anak karena generasi mereka sangat pintar dan kreatif. Beri mereka penjelasan sederhana yang gampang dicerna oleh nalarnya, tak perlu mengemas jawaban berbumbu yang malah tak masuk akal.

 

Olive Bendon

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di:

Penulis adalah Travel Blogger | Old Grave Lover |  Citizen Journalism | Volunteer for The War Graves Photographic Project

Foto: obendon.com

Martabak dan SMS

Suatu malam (di Jakarta), di suatu hari minggu, saya dan istri pergi berbelanja. Pulangnya, istri saya terpikir untuk membeli martabak untuk anak-anak.

“Kayaknya Kharis sedang lapar nih,” kata istri saya. Lalu kami mampir ke tukang martabak langganan kami.

Sampai di rumah ternyata anak-anak kami sudah masuk kamar mau tidur. Lalu istri saya masuk kamar dan ternyata Kharis belum tidur.

“Ris, kamu sedang memikirkan apa?” tanya istri saya. “Martabak,” jawabnya. “Kan aku sudah SMS Papa minta beli martabak,” katanya lagi.

Lalu saya cek SMS, ternyata HP saya mati. “Wah, Ris ternyata SMS kamu terkirim ke hati Mama,” kata saya. Merenungkan kejadian itu, terpikir oleh saya tetang sensitivitas seorang ibu terhadap anaknya.

Apa artinya ini? Kalau manusia bisa punya sensitivitas sedemikian, apalagi Tuhan Allah kita!

Kata Tuhan Yesus: “Akan tetapi Bapamu Bapamu yang di Surga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. (Mat. 6:32).

Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking?

Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!
Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Luk 11: 12,13).

-*-
Foto: Pixabay

Anak Sekarang Terlalu Cepat Dewasa?

Seorang anak kelas 2 SD Angkasa IX Halim Perdanakusumah menceritakan kisah “Bang Maman dari Kali Pasir” dengan detail. Kisah ini termuat dalam Lembar Kerja Siswa (LKS).

Dalam kisah itu diceritakan bang Maman meminta seorang perempuan bernama Patme untuk mengaku-aku sebagai istri simpanan Salim. Tindakan itu dilakukan agar putri bang Maman yang bernama Ijah mau menceraikan Salim. Bang Maman ingin Ijah cerai dari Salim karena sang menantu sudah jatuh miskin.

Apen, sang orangtua dari murid kelas 2 ini, terkejut dan khawatir anaknya dewasa terlalu cepat. “Saya khawatir ya khawatir. Takutnya anak saya berpikir lebih dewasa dari sebelum waktunya,” ujar Apen.

Apen membandingkan dirinya saat bersekolah dulu. Istilah-istilah seperti “istri simpanan” itu adalah tabu saat itu.

“Dulu waktu zaman saya sekolah, istilah istri simpanan itu tabu untuk dibahas, tapi sekarang saya enggak tahu ya. Ya saya sih belum tahu ceritanya kaya apa,” jelas Apen.

Peristiwa ini mencerminkan kekhawatiran para orangtua terhadap gejala anak-anak terlalu cepat menjadi dewasa pada usia muda.

Karena asupan gizi yang lebih baik dan fasilitas pelayanan kesehatan yang semakin mudah dijangkai kita menjumpai anak-anak mengalami pertumbuhan badan yang lebih cepat dibandingkan zaman kita. Tubuh mereka lebih tinggi dan lebih besar dibandingkan dengan tubuh kita saat seusia itu.

Selain itu ada juga kecenderungan anak-anak sekarang lebih dini dalam memasuki masa puber. Saat ini anak-anak perempuan usia kelas 6 SD sudah mendapat menstruasi yang pertama. Anak laki-laki juga mulai memproduksi hormon progesteron lebih cepat dari zaman kita.

Secara sosial, anak-anak juga cenderung mengalami percepatan menjadi dewasa. Karena kemajuan teknologi komunikasi maka anak-anak sekarang mudah sekali mengakses informasi yang berkaitan dengan orang dewasa. Dalam pergaulan, mereka juga mulai tertarik pada lawan jenis sejak usia muda.

Ada juga anak yang terlalu cepat menjadi dewasa karena dipaksa oleh keadaan. Misalnya karena ayah meninggal, anak sulung harus mengambil alih peran ayah dalam keluarga itu. Dia tidak sempat menikmati masa anak-anak karena harus memikirkan kebutuhan keluarga agar bisa bertahan hidup.

Di sisi lain, ada anak yang dipaksa menjadi dewasa lebih cepat karena ambisi orangtua. Mereka mengikutkan anak kepada berbagai macam kegiatan agar talenta anak mengalami perkembangan secara maksimal. Misalnya, mengikutkan anak untuk mengikuti audisi bintang sinetron, kemudian anak ditekan dengan jadwal shooting yang padat.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Apabila anak kita lebih cepat memasuki masa puber karena faktor gizi, tentunya kita perlu mensyukurinya. Yang perlu kita lakukan adalah memberi pendidikan seks yang benar.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas London pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 68 persen anak-anak mencari informasi seks dari media, 66 persen bertanya kepada ibu mereka, dan hanya 34 persen anak-anak berkonsultasi dengan ayah mereka tentang hal-hal yang berbau seksual.

Berdasarkan penelitian ini, kaum ibu perlu membekali diri dengan belajar tentang seks. Banyaklah membaca buku tentang pendidikan seks.

Orangtua memang perlu memberi bekal pendidikan dan keterampilan pada anak sehingga anak kelak bisa menjadi orang yang sukses. Namun demikian hendaknya diberikan dengan takaran yang wajar. Jangan sampai masa kecil yang menyenangkan itu justru terampas oleh ambisi orangtua.

Saat ini sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak. Di dalamnya terdapat aturan yang mencegah agar anak-anak tidak dieksploitasi. Kita perlu mempelajari dan menyebarluaskan undang-undang ini sehingga semakin banyak orang dewasa yang menghormati hak-hak anak.

Purnawan Kristanto

Catatan: Tulisan ini dikutip sudah seizin penulis.

Laman asli tulisan ini lihat di: http://renungan.purnawan.web.id/?p=541

Penulis adalah writer | trainer | humanitarian volunteer | video & photo hobyist | jazz & classic lover | husband of priest | father of two daughters |

Dokter Lintas Batas: Memenuhi Panggilan Jiwa dan Kemanusiaan di Wilayah Konflik

Seorang gadis kecil berlari-lari kecil mengekor di belakang ibunya yang tergesa melintas di depan puing bangunan yang hancur dihantam bom lewat serangan udara di satu kota kecil yang mereka tinggali di Afrika. Sebentar ia berhenti, menengok ke kanan, matanya sembab dan berair, ada riak di pipinya yang berkilat disorot kamera, tangan kanannya teracung.

Sebuah kalimat berjalan tak jauh dari kakinya, tepat saat jarinya menunjuk ke mata saya yang terpana di depan layar … WHAT’S WRONG WE HAVE DONE?

Mata itu menatap penuh tanya dan harap; menyedot energi yang melesak ke dalam sorotnya. Mengingatkan pada tatap tak berdosa anak -anak Nyanga dalam Black Butterflies, juga sorot mata anak-anak dan perempuan dalam Sometimes in April.

Visualisasi penggalan kisah perjalanan James Maskalyk saat bertugas sebagai dokter Médecins Sans Frontières (MSF) di Abyei, Sudan di buku A Doctor without Borders yang saya baca beberapa tahun lalu. Buku berisi catatan-catatan James yang sebelumnya dituangkan dalam blog pribadinya Six Months in Sudan.

Apa yang dialami oleh gadis kecil dan ibunya, serupa dengan yang terjadi dan dirasakan oleh mereka yang tinggal di beberapa bagian dunia yang sehari-hari was-was karena pertikaian yang masih saja berlangsung di negaranya. Potongan film dokumenter di atas bukan di Abyei tapi Abs, Yaman Utara, saat rumah sakit yang dikelola oleh MSF terkena serangan udara pada Senin, 15 Agustus 2016 lalu.

Dr Lukman Hakim, salah seorang dokter MSF asal Indonesia yang bertugas di Abs sejak Juni 2016 mengisahkan, pk 15.00 waktu setempat ketika selasar UGD rumah sakit Abs yang selalu ramai dengan pasien dihantam bom menyebabkan 11 orang meninggal termasuk seorang staf MSF dan 19 orang luka-luka.

Dirinya hari itu sedang berada di kantor MSF, 10 km dari rumah sakit. Mereka hanya diberi waktu 3 (tiga) jam untuk mengecek kondisi di rumah sakit pasca pengeboman. Esoknya, semua staff MSF dievakuasi ke kota dan pelayanan di rumah sakit diambil alih oleh staf pemerintahan setempat.

Dalam aturan dasar Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) disebutkan bahwa lambang palang merah harus dihormati sebagai tanda perlindungan. Karenanya dilarang menyerang petugas medis atau kendaraan atau tempat yang mengenakan lambang palang merah.

Dalam setiap misinya MSF sendiri telah memasang lambang tersebut di setiap tempat yang mudah untuk dilihat. Entah kenapa dan siapa yang telah menjatuhkan bom di atas rumah sakit di Abs sampai hari ini belum ada yang mengaku bertanggung jawab.

Atas beberapa serangan yang terjadi terhadap fasilitas medis yang dialaminya, MSF pun melancarkan protes EVEN WAR HAS RULES. Menggalakkan kampanye untuk menarik perhatian, mengajak dunia membuka mata agar menghormati hukum humaniter; mereka bekerja untuk kemanusiaan dan berada pada posisi netral untuk membantu siapapun yang membutuhkan bantuan kesehatan.

Médecins Sans Frontières (MSF)/Doctors without Borders/Dokter Lintas Batas adalah organisasi kemanusiaan medis internasional yang didirikan di Perancis pada 1971 dengan misi pertama ke Nikaragua pada 1972.

Kegiatan MSF mencakup perawatan kesehatan dasar, layanan kesehatan ibu dan anak, pembedahan, upaya menangani wabah, merehabilitasi dan mengelola rumah sakit dan klinik, vaksinasi massal, mengoperasikan pusat-pusat gizi, layanan kesehatan jiwa, serta memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan setempat.

MSF adalah organisasi independen yang menjalankan misinya tanpa membedakan suku, agama, ras, gender maupun pandangan politik. Tidak pula bergantung pada pendanaan pemerintah dan institusi. Pendanaan MSF 92% berasal dari donatur individu dan 7% dari donasi lembaga publik.

Staf MSF dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, pekerja di lapangan dan pekerja di kantor. Mereka adalah gabungan dari tenaga medis dan juga tenaga dari berbagai disiplin ilmu yang saling menopang satu dengan yang lain. Mereka berasal dari berbagai negara yang terpanggil untuk memberikan layanan kemanusiaan dan kesehatan secara profesional.

Dr Lukman Hakim adalah salah satu tenaga medis asal Indonesia, mulai bergabung dengan MSF pada misi pertamanya di Karachi, Pakistan pada 17 Oktober 2013. Abs, Yaman menjadi tempat penugasan ketiganya di Juli 2016 setelah menyelesaikan tugas di Lamkien, Sudan Selatan.

Tak hanya terjun ke wilayah konflik, karena pada dasarnya kegiatan MSF menyediakan layananan kesehatan berkualitas yang dibutuhkan di satu daerah baik dalam situasi non-darurat maupun kondisi stabil.

Di Indonesia, MSF pun telah mengambil bagian dalam penanganan medis yang dilakukan di beberapa provinsi sejak 1995 hingga 2009 seperti membantu kegiatan tanggap darurat pasca gempa di Jambi, penanganan wabah Malaria dan kesehatan ibu anak di Papua, penanganan tuberkulosis (TBC) di Ambon, serta tanggap darurat dan rehabilitasi tsunami Aceh.

Pada kegiatan MSF & Bloggers Meet Up yang diadakan di Jakarta Sabtu (26/11/2016) lalu, Intan Febriani, Communication Manager MSF Indonesia mengatakan, ada satu kondisi di satu tempat seseorang dianggap berbahaya namun di sisi lain dia adalah pahlawan bagi kelompoknya. Dalam kondisi seperti inilah perlunya organisasi netral.

Untuk mengenal lebih dekat kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh MSF, MSF Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk mengunjungi Photo Exhibition & Film Screening yang akan diadakan pada 8-16 Desember 2016 di Grand Indonesia, Jakarta. Pameran ini terbuka untuk umum dan GRATIS.

msf_no-borders

Jika kamu penasaran seperti apa keseharian staf MSF di lapangan, silakan untuk melihat keseharian Vincent Pau, seorang perawat dari Hongkong yang bergabung dengan MSF sejak 2012 lewat film dokumenter A Day on the Front Line: Doctors without Borders berikut.

Risiko akan selalu ada di mana pun kita berkegiatan. Pada salah satu tulisan dalam blog pribadinya, Dr Lukman menuliskan mimpinya yang sederhana, mengabdi di tempat-tempat yang jauh, di mana perbedaan bahasa, budaya dan adat istiadat bukanlah kendala tapi jembatan untuk memahami keberagaman.

Meski perang menakutkan, sebelum meninggalkan Abs Agustus lalu, dirinya berjanji akan kembali ke sana menyelesaikan misinya bersama MSF bila kondisi sudah memungkinkan mereka untuk masuk kembali ke Yaman. Somebody has to do it!

Setiap kita punya pilihan. Dr Lukman dan dokter-dokter lintas batas memilih untuk mengabdikan diri di wilayah konflik. Bagaimana dengan kamu? Apa yang sudah kamu lakukan untuk sesamamu? Bila pergi jauh dari rumah adalah halangan, cobalah buka mata dan lihat sekelilingmu, sudahkah kita menghargai keberagaman? saleum.

 

Laman asli tulisan ini lihat di:

https://obendon.com/2016/11/29/dokter-lintas-batas/

Foto: doctorswithoutborders.org

Siapkan 7 Hal Ini Sebelum Merayakan Natal

Minggu pertama Desember 2016 sudah lewat nih. Itu berarti Hari Natal sudah semakin dekat.
Bagi umat Kristen, Natal menjadi salah satu momen yang sangat dinanti untuk dirayakan. Lewat Natal, kita merajut silaturahmi kembali dengan keluarga besar kita yang bisa saja cuma kita temui setahun sekali.

Bagi anak-anak, Natal selalu berarti keceriaan, banyak kue, dan kado. Masa kecil kita dipenuhi dengan suka cita Natal.

Selain menghias pohon Natal, ada banyak hal yang harus dipersiapkan sedini mungkin karena ini kan momen spesial. Yuk, kita tengok, apa saja sih yang harus disiapkan dari sekarang menjelang Natal.

1. Kado Natal
Inilah yang pertama harus kita siapkan. Karena Natal itu selalu membawa sukacita, jadi wajar saja kita bersiap memberi kado spesial sebagai tanda kita mengasihi orang lain. Kado spesial mungkin perlu dipersiapkan untuk sanak saudara, terutama anak-anak kecil.

Supaya tidak lupa, alangkah baiknya Anda mendaftar siapa saja yang perlu diberikan kado pada hari Natal nanti. Satu lagi yang terpenting, jangan berburu kado Natal saat sudah dekat 25 Desember, tetapi berburulah di bulan November atau di awal Desember supaya lebih tenang dan tidak ada yang terlewat.

2. Ayo Bersihkan Rumah
Natal akan semakin nyaman jika Anda sudah siap dengan rumah yang bersih. Bersih-bersihnya lebih baik dilakukan dari jauh hari. Anda dapat memulainya dari sudut rumah yang paling jarang diakses, misalnya gudang atau sudut-sudut rumah.

Selain itu, membersihkan rumah dari jauh hari akan membuat sejumlah pernak-pernik Natal seperti pohon Natal dan semua aksesorisnya bisa enak dilihat saat diletakkan di berbagai sudut ruang.

Apalagi kalau rumah Anda akan menjadi tempat berkumpul keluarga besar, membersihkan rumah sudah jadi kewajiban supaya tamu-tamu spesial yang datang menjadi nyaman.

3. Menghias Rumah
Sudah pasti suasana dan dekorasi rumah harus berubah. Mendirikan pohon Natal saja sudah jelas-jelas akan membuat keadaan di rumah jadi beda. Sekeluarga menghias pohon Natal pasti menjadi momen yang indah.

Lalu, Anda bisa memasang lampu di pekarangan atau teras rumah. Warna-warni lampu yang menyala tentunya akan menambah semarak perayaan Natal di rumah. Warga sekitar rumah pun akan ikut merasakan sukacita Natal melihat kemeriahan pekarangan rumah Anda.

4. Belanja
Belanja kebutuhan Natal bersama orang yang kita sayang, seperti keluarga dan anak-anak tentu tidak boleh dilewatkan. Sisihkan anggaran untuk membeli pakaian dan beberapa aksesori untuk menghias rumah serta pohon Natal. Buat daftar belanja, biar kantong enggak jebol duluan dan semua hal penting terbeli.

Karena ini momen setahun sekali, pilihlah baju yang nyaman dan sesuai selera, dan sepertinya enggak perlu mahal-mahal. Yang terpenting, enak dipakai seharian nanti saat Hari Natal.

5. Menu Khusus
Nah, karena belanja merupakan salah satu hal penting dalam mempersiapkan Natal, tentu belanja menu makanan khusus untuk dihidangkan juga harus ada dalam daftar belanja Anda.

Nastar dan kastengel okelah, wajib itu. Nah, jika Anda biasa menjadi tempat berkumpul keluarga besar, menu-menu makan khusus pastilah harus disiapkan.

6. Rute Kunjungan
Karena Natal bukan sekadar perayaan, tapi juga saat tepat menjalin silaturahmi, penting buat Anda sekeluarga menentukan rute kunjungan sepulang dar gereja. “Kita ke rumah oma dulu, ke tante itu, om ini..”

Daripada berdebat sepulang dari ibadah di gereja karena belum sepakat hendak ke mana, lebih baik dibicarakan  jauh-jauh hari. Sekalian Anda mengecek apakah orang-orang yang mau dituju benar ada di rumah saat akan dikunjungi.

Buat Anda yang masih jomblo, ini dia. Cari waktu yang tepat ya buat ketemu calon mertua alias camer.

7. Rencanakan Liburan
Dan, setelah semua kemeriahan Natal kita jalani, satu hal yang wajib dipersiapkan oleh Anda dan keluarga adalah pergi berlibur. Karena ini juga menentukan dari segi anggaran, jadi Anda wajib mempersiapkan jauh-jauh hari rencana liburan Anda, tentu setelah dibagi-bagi dengan anggaran merayakan Natal.

Setelah perayaan Natal, jalan-jalan bersama keluarga merupakan salah satu kenangan yang juga tak terlupakan. Buat rencana kapan akan berangkat, di mana menginap, transportasi dan sebagainya.

Jadi, setelah “baterai energi” Anda mulai lemah karena menjalani sukacita Natal, Anda bisa menyegarkan kembali fisik dan psikis dengan berlibur bersama keluarga dengan tenang dan nyaman karena sudah direncanakan jauh hari.

Dan jangan lupa, merencanakan liburan di jauh-jauh hari terasa lebih hemat karena hotel biasanya belum menaikkan harga lebih tinggi, tiket pesawat juga belum tinggi-tinggi amat, tiket kereta tidak berebut dan banyak keuntungan lainnya.

 

Tim Penulis PO FIB UI

Foto: Pixabay

Cukup Adit, Jangan Biarkan Jatuh Korban Lagi

“Bunda, adik tidur ya. Adik sakit.”

Itu kalimat terakhir Aditya Fadilah, bocah 4 tahun, kepada ibunya, Siska, 23 tahun. Bocah yang tinggal di Palembang, Sumatera Selatan ini, tak bangun-bangun lagi.

Ketika polisi memeriksa jenazahnya, ya Tuhan, ditemukan jejak-jejak penyiksaan. Ketahuan, sang ibulah yang diduga menyiksa bocah itu. Sebelum tidur, sang ibu memukul, menggigit, dan menendang ulu hati anaknya.

Mengerikan sekali.

Saya punya anak berusia hampir 2 tahun. Sebagai orangtua, kadang-kadang saya juga marah kalau kelakuannya menjengkelkan.

Tapi ketika air matanya bercucuran, kemarahan di dada pun langsung lenyap tak berbekas. Saya kira, begitulah cinta.

Sulit membayangkan, seorang ibu bisa menyakiti anaknya sedemikian rupa. Meskipun persoalan rumah tangga yang membikin stres dan marah, tak semestinya kemarahan dilampiaskan pada anak-anak.

Kekerasan terhadap anak atau child abuse bukanlah hal yang main-main. Child abuse ini sebetulnya tak sekadar penyiksaan fisik.

Mengabaikan kebutuhan anak, membiarkan mereka tanpa pengawasan, situasi berbahaya, atau membuat anak merasa tak berharga atau bodoh, ternyata juga termasuk child abuse.

Kekerasan fisik hanya satu tipe dari child abuse. Pengabaian dan penyiksaan secara emosi, juga memberikan dampak yang sama buruknya dengan penyiksaan fisik. Malah lebih parah, sebab karena sifatnya yang subtil, orang lain cenderung mengabaikannya.

Child abuse juga tak hanya dilakukan oleh orang-orang yang jahat. Keluarga terdekat pun bisa jadi abuser. Di keluarga yang terlihat bahagia, child abuse bisa terjadi tanpa diketahui orang lain.

Korban penyiksaan ketika dewasa bisa jadi juga akan mengulangi penyiksaan itu kepada anak-anaknya secara tak sadar.

Tetapi, ada juga korban penyiksaan yang akhirnya tumbuh dewasa dengan motivasi kuat untuk melindungi anak-anaknya dari child abuse. Seharusnya, beginilah yang terjadi.

Hal yang memprihatinkan, kasus yang menimpa Adit ternyata bak fenomena gunung es. Kasus Adit hanya satu dari begitu banyak kasus child abuse di Indonesia.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sampai 2015, selama periode 4 tahun, mereka sudah menerima 16.000 lebih laporan kekerasan terhadap anak di 34 provinsi dan 179 kota.

Sebanyak 50 persen kasus melibatkan kekerasan seksual, yang bisa berujung pada pembunuhan. Kasus lain berupa penyiksaan fisik, penculikan, eksploitasi ekonomi, dan penyelundupan anak.

Nah, yang memprihatinkan dari fakta itu adalah, 93 persen pelaku adalah orang dekat korban, termasuk ayah dan ibu.

***

Saya percaya, Tuhan tak menitipkan anak pada kita untuk disakiti dan disiksa sedemikian rupa. Lewat anak, Tuhan mengajari kita untuk mengasihi dan berkorban.

Ayah dan ibu, kakak-adik, Om-Tante, mari melihat anak-anak sebagai manusia, yang punya hak untuk tumbuh merdeka dari berbagai kekerasan.

Saya percaya, teladan hidup, adalah guru terbaik untuk mengajarkan apa saja kepada anak. Segala sesuatu, mulailah dari diri sendiri terlebih dahulu. Saya juga belum sempurna. Karena itu saya tak berhenti berusaha.

Setelah dari diri sudah berusaha, ada upaya lain, menurut saya, yang bisa kita lakukan untuk membantu mengatasi agar tak jatuh korban Adit-Adit lainnya.

Stand with them. Kalau melihat child abuse di sekitar kita, jangan diam saja. Peringatkan pelaku, siapapun dia, akan bahayanya perlakuan itu.

Kita pun bisa melaporkan peristiwa child abuse kepada pihak berwajib, termasuk ke KPAI. Selain kesaksian, ambillah foto supaya alat buktinya kuat.

Foto: Pixabay/Unsplash

Dwayne Jones:  Kuasa Mayoritas itu!

Ada ribuan waria tua terlunta-lunta, demikian sari berita yang saya baca pada suatu pagi di koran langganan. Informasi tersebut disampaikan Ketua FKWI (Forum Komunikasi Waria Indonesia). Bagi banyak orang yang tahu atau setidaknya ikut membaca berita tersebut, mungkin tak ada pentingnya kabar tersebut–apalagi dipikirkan.

Apa faedahnya membicarakan waria? Bukankah mereka digolongkan manusia “salah cetak” yang tak berguna, malah bikin malu keluarga dan karenanya, umumnya diusir, tak diakui sebagai bagian dari anak, sanak-saudara, atau kerabat?

Bahkan penganut agama-agama dari “langit” atau Samawi menganggap mereka sejenis najis berlumur dosa, melawan kodrat, menyimpangi “kemauan” Tuhan, yang layak dimusnahkan; pembawa sial yang memalukan.

Jadilah mereka individu-individu yang tak pernah mereguk kemerdekaan, dikucilkan, objek olok-olok, meskipun keadaan mereka yang digolongkan transgender itu bukan karena pilihan–sebagaimana sering disalahpahami orang-orang yang merasa diri normal atau straight atau hetero.

Mereka ditepikan di satu dunia yang serbaterbatas, tak berkesempatan melakoni dan menikmati kehidupan sebagaimana orang-orang mayoritas yang merasa normal itu. Mereka adalah manusia-manusia aneh yang seolah tak punya hak sekadar menunjukkan diri yang sesungguhnya, dan mungkin telah dilupakan para petugas pencacah jiwa.

Siapakah yang sudi peduli memikirkan jiwa-jiwa yang dianggap cacat dan memalukan itu? Siapakah yang memberi mereka tumpangan dan makanan ketika mereka tak lagi bertenaga mengais recehan di pelosok-pelosok kota yang ganas dan kejam?

Adakah yang menangisi saat nyawa mereka pupus di gubuk-gubuk kumuh? Adakah yang berupaya mencegah atau menunda kematian mereka?

Barangkali, di situlah dipertegas apa yang disebut absurditas. Dalam detik-detik pertarungan melawan jemputan maut, entah apa yang memenuhi pikiran mereka. Kepasrahan? Keinginan segera mati, atau…?

Tentu perasaan dan pikiran mereka pun sama halnya dengan orang-orang mayoritas itu. Ada ketakutan yang tak terkira karena tak siap meninggalkan dunia ini meski diketahui kefanaannya. Kendati realitas yang dihadapi sepanjang hidup, amat kejam, termasuk rasa sepi yang menikam-nikam dan pedihnya menjadi orang yang dibuang.

Pengisi dunia ini memang sering berbuat kejam pada penyandang status minoritas (dalam pelbagai hal). Norma-norma yang menjadi anutan umum yang diyakini oleh kalangan terbanyak sebagai “kebenaran,” bisa menjadi pedang yang setiap saat menebas leher mereka tanpa kesempatan mengajukan pleidoi berdasarkan nurani dan akal sehat.

Kaum mayoritas selalu merasa diri paling benar dan paling berwenang menentukan apapun, termasuk hal-hal pribadi yang amat pelik dan sulit diuraikan dengan logika.

Bukankah manusia dan problematika yang mengitari tak selalu bisa dijelaskan dengan pikiran-pikiran rasional?

Itu pulalah salah satu kelemahan asas demokrasi yang menyanjung suara terbanyak, sebab mayoritas suara tak berarti cerminan atau pemenuhan rasa keadilan (sense of justice) yang berlaku umum, diterima semua orang. Para mayoritas malah kerap mengenyampingkan suara-suara tersembunyi yang sunyi, dibungkam ketidakberdayaan, dan itu menyimpan kepedihan.

***
Di negerinya Dwayne Jones, Jamaica, ada satu hukum yang berlaku tegas dan sebetulnya dimaksudkan untuk menciptakan masyarakat beradab: seks anal dilarang! Tetapi, entah ditujukan kepada satu golongan atau tidak, hukum tersebut langsung menuding kaum transgender dan gay.

Dwayne, remaja dari keluarga miskin dan besar di lingkungan kumuh pantai utara Montego Bay, lahir dengan kecenderungan atau orientasi seksual yang dianggap tak lazim. Ia lelaki namun merasa dirinya perempuan.

Fakta tersebut membuat ayahnya gusar dan geram, lalu sering menyiksa remaja yang pandai menari itu. Dwayne dianggap aib yang memalukan keluarga hingga harus disiksa demi mengembalikan kelelakiannya. Ayahnya tak juga percaya bahwa menjadi transgender bukan kemauan anaknya.

Segala cara kekerasan yang dilakukan untuk “menormalkan” Dwayne sia-sia, dan karena tak tahan terus disiksa, remaja yang “mendua jiwa” itupun kabur dari rumah orangtuanya.

Dia memilih tinggal di pemukiman sekaumnya, di lingkungan yang sama kumuhnya. Orang-orang yang terbuang dan dibenci para mayoritas yang merasa normal!

Malam itu, dengan polos, ia bercerita pada satu sahabat wanitanya bahwa dirinya baru menghadiri pesta para straight namun saat itu dia tampil dengan busana perempuan, dan pengakuannya, itulah penampilannya pertama kali sebagai “wanita” di tempat orang normal, para mayoritas itu.

Pengakuannya lagi, ia menari bagus dan kemudian diganjar pujian. Dengan bangga ia tuturkan, wajahnya membersitkan kegembiraan.

Kawannya itu mendengar setengah tak percaya, namun kemudian memberitahukan pengakuan Dwayne tersebut pada lelaki-lekaki seumurannya.

Mereka lalu mendatangi Dwayne, menginterogasi, mengusut keaslian kelaminnya, kemudian menghujami remaja yang terbuang itu dengan pukulan, tendangan, bahkan tikaman, hingga babak belur dan telentang di tepi jalan yang remang itu.

Kawanan orang muda yang marah itu meninggalkan Dwayne dengan perasaan puas. Mereka tak peduli bahwa korban mereka akhirnya mengembuskan nafas terakhir di tepi jalan yang muram itu.

Dwayne mereka matikan untuk menebus “dosanya,” dan para pelaku penganiayaan merasa layak melakukan; para mayoritas yang merasa berotoritas menghukum siapa saja yang dianggap tak sama, menyimpang,  melanggar hukum buatan Tuhan.

Mereka terlahir dengan orientasi seksual yang dianggap jamak, normal. Mereka beruntung tak seperti Dwayne. Mereka lakukan perbuatan biadab tersebut yang menurut pikiran dan keyakinan mereka, demi keberadaban yang berasal dari norma-norma hukum, juga agama-kepercayaan yang mereka yakini.

Mereka tidak mau tahu problema apa sesungguhnya yang mendera Dwayne sejak menyadari kelainan hormon dan arah seksualitasnya. Mereka tak mau berpikir sejenak bahwa manusia bisa berbeda karena disengaja atau karena kesadaran, pilihan, atau telah koheren dalam diri seseorang.

Mereka merasa paling benar dan dengan kuasa mayoritas boleh melakukan apa saja, termasuk menghentikan hak hidup orang lain yang tak sama. Kuasa mayoritas  telah mencabut nyawa lelaki belia yang malang itu, meskipun tak melakukan kejahatan yang merugikan sesiapa. Hanya karena ia dianggap menyimpang dan jumlahnya sedikit.