Tag Archives: anak jalanan

Kurang Memelas

Suatu hari beberapa perwakilan dari sebuah BUMN datang ke kantor Yayasan kami. Mereka mengutarakan rencana mereka untuk melakukan kunjungan ke asrama anak-anak dampingan kami. Yang akan datang berkunjung adalah paguyuban pensiunan BUMN tersebut. Kami tentu saja menyambut rencana itu dengan gembira. Dengan antusias kami menceritakan tentang apa yang dilakukan oleh Yayasan kami, dan kemudian membawa mereka melihat-lihat kondisi kantor dan asrama, serta bertemu dengan anak-anak
yang kebetulan baru kembali dari sekolah

Setelah berkeliling dan bercakap-cakap dengan beberapa relawan dan beberapa anak yang tinggal di asrama, mereka pun meminta diri. “Kami akan hubungi lagi ya, mas,” ujar seorang wanita yang kelihatannya adalah pemimpin perwakilan itu. “Nanti kami akan memutuskan apakah kami jadi berkunjung atau tidak,” demikian ujarnya dan mereka pun pergi.

Beberapa hari kemudian saya mendapat kabar dari teman-teman di kantor bahwa rombongan paguyuban pensiunan BUMN tersebut tidak jadi berkunjung. Mereka memutuskan untuk mencari tempat yang lain. Saya heran dan menanyakan alasannya, dan jawaban yang diberikan mengejutkan saya, “Alasannya karena anak-anak di tempat kita kurang memelas pak.”

Sejenak saya terkejut, namun kemudian kami semua tertawa terbahak-bahak. Frasa “kurang memelas” adalah penghiburan yang menyenangkan untuk memulai hari itu. Akan tetapi setelah pulang ke rumah hari itu, saya berpikir cerita ini harus direnungkan lebih mendalam, dan dibagikan di sini.

Visi Yayasan Rumah Impian Indonesia adalah transformasi anak jalanan dan anak beresiko menjadi pribadi- pribadi yang mandiri dan berdampak bagi sesama. Kami bekerja keras menjangkau anak-anak yang bekerja di jalanan, yang putus sekolah dan anak-anak yang beresiko putus sekolah, karena kami ingin semua anak dapat memiliki impian dan meraih impiannya melalui proses yang layak. Setelah menjangkau anak-anak seperti itu, kami juga mendampingi keluarga-keluarga mereka. Kami menyediakan pendampingan pola
asuh bagi keluarga-keluarga dan pendampingan belajar bagi anak-anak. Dalam proses menolong anak-anak meraih impian, kami menyediakan fasilitas pengasuhan di asrama yang kami beri nama “Hope Shelter”.

Asrama ini adalah tempat bagi anak-anak yang membutuhkan pengasuhan karena orang tua mereka tidak dapat memberikan pengasuhan yang layak bagi mereka. Anak-anak yang mengalami eksploitasi atau anak-anak yang beresiko tinggi mengalami eksploitasi, adalah anak-anak yang diterima di asrama kami. Memang “wajah memelas” tidak termasuk dalam kriteria yang kami pakai untuk menilai apakah seorang anak bisa diterima atau tidak, namun kondisi anak-anak yang diterima itu tentu saja lebih buruk daripada sekedar
“memelas”.

Di Hope Shelter, anak-anak ini akan diajak untuk menemukan impian mereka kembali. Mereka diasuh dalam suasana yang bersahabat dan penuh kasih sayang. Bukan saja para pengasuh yang bersama mereka, tetapi seluruh pengurus Yayasan terlibat, dan menjadikan mereka sebagai bagian dari sebuah keluarga besar Yayasan Rumah Impian Indonesia. Oleh karena itu, akan sulit untuk menemukan wajah-wajah memelas di antara anak-anak yang tinggal di asrama. Yang akan ditemui adalah anak-anak yang ceria,
positif, dan penuh gairah mengejar impian-impiannya.

Sejak 2006 hingga sekarang, kami telah menyaksikan anak-anak yang tadinya “memelas” karena kehilangan impian, kembali bangkit mengejar dan meraih impian mereka. Ada yang kini bekerja sebagai chef, bidan, dan hotelier. Ada juga anak-anak yang sedang berjuang menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Kami menyebut mereka para pejuang impian, atau the dream troopers.

Jadi, memang Anda tidak akan menemukan wajah memelas di Yayasan kami. Akan tetapi, Anda bisa menjadi bagian dari impian kami untuk menolong anak-anak yang masih “memelas” di sudut-sudut Yogyakarta, untuk menemukan kembali impian mereka dan menjadi dream troopers. Anda bisa menyebut saya pemimpi, tapi saya percaya saya tidak sendirian. Saya berharap suatu hari Anda bergabung dengan kami, dan menjadi saksi bagi sebuah dunia impian yang menjadi kenyataan.

Ayo Donasi untuk Melepas Anak dari Jalanan

“Aku ingin menjadi seorang koki ternama, yang berkiprah secara internasional dan menjadi inspirasi bagi semua orang yang bernasib kurang baik seperti aku dahulu” – Wisnu

Namanya Wisnu, atau biasa dipanggil “Ambon”. Wisnu hidup di jalanan selama tahun 2003-2006 setelah Wisnu putus sekolah sejak SMP karena permasalahan keluarga dan pengaruh lingkungan.

Wisnu bertemu dengan Yayasan Rumah Impian pada 2006 ketika yayasan ini melakukan program pendampingan jalanan di daerah Jetis, Yogyakarta. Wisnu adalah anak yang multi-talenta terutama dalam musik dan memasak di mana dia memiliki semangat yang tinggi.

Yayasan Rumah Impian kemudian mengusahakan Wisnu mengikuti program “Kejar Paket” dan turut dalam kegiatan dan pelatihan bermusik dan memasak. Melalui proses perjuangan tersebut, Wisnu merasa passion-nya sebagai koki dan bekerja di sebuah restoran Jerman di Yogyakarta, sebagai batu loncatan kariernya.

Sekarang, Wisnu telah menjadi koki restoran dan kapal pesiar. Berbekal program Kejar Paket dan semangat yang tinggi, Wisnu yang awalnya seorang anak jalanan berhasil menjadi seorang Koki yang telah melatih calon-calon juru masak di berbagai restoran di berbagai kota.

Yayasan Rumah Impian yang berdiri sejak 2009 percaya, cerita Wisnu yang menggapai impiannya dapat juga dialami anak jalanan lain. Saat ini Yayasan Rumah Impian mengelola Hope Shelter, yaitu rumah tinggal anak jalanan yang didampingi dan diusahakan kembali bersekolah. Mereka harus dipisahkan dari lingkungan jalanan.

Anak-anak yang tinggal di Hope Shelter sudah melalui persetujuan orangtua atau wali, sehingga lebih terlindungi dan jauh dari pergaulan buruk dan kekerasan terhadap anak. Saat ini ada 17 anak yang sedang meniti pendidikannya dan tinggal di Hope Shelter.

Tapi sebagaimana sebuah aksi sosial, Yayasan Rumah Impian tidak bisa berjalan sendir. Adik-adik di Hope Shelter membutuhkan bantuan dari kamu yang mau ikut serta dalam perjuangan mereka untuk meneruskan pendidikan. Yayasan Rumah Impian sedang menggelar kampanye pengumpulan dana untuk setahun ke depan.

Kampanye donasi untuk Hope Shelter dijalankan melalui laman https://kitabisa.com/dreamhouse. Kamu bisa ikut terlibat dengan memberikan donasi atau menyebarluaskan kampanye ini. Donasikan di laman tadi, berapapun yang kamu relakan. Setiap rupiah yang kamu beri adalah satu langkah kecil bagi anak jalanan untuk menggapai masa depan lebih baik.

Untuk mendukung aksi sosial ini, ikuti akun-akun media sosial dan website Yayasan Rumah Impian:
www.thedreamhouse.org
Facebook: Yayasan Rumah Impian Indonesia
Instagram: @thedreamhouseofficial
Twitter: @thedreamhouse
Line Official Account: @zgo8124b

Kamu juga bisa memberikan dukungan dengan memberikan hashtag #thestreetisnot4kids dan #dreamtroopers dalam post akun media sosial kamu mengenai permasalahan anak jalanan dalam bentuk apapun, seperti fakta mengenai anak jalanan, dukungan moril, ataupun informasi mengenai anak yang kamu temukan sedang bekerja di jalan.

Bentuk bantuan dan kerjasama lain, walaupun itu sumber daya, tenaga, waktu, hingga ide dapat langsung kamu komunikasikan pada kami melalui email lsm.rumah.impian@gmail.com

Donasi kamu akan dialokasikan untuk:
– Biaya sekolah, mencakup semua peralatan sekolah dan kegiatan tambahan yang dibutuhkan untuk menunjang bakat dan impiannya
– Biaya hidup sehari-hari anak-anak, seperti makanan, minuman, dan transportasi
– Biaya tempat tinggal
– Biaya lain untuk keperluan anak-anak

Memberi Uang pada Anak Jalanan, Anda Merampas Hak Mereka

“Saya enggak mau kembali ke jalan lagi. Sudah enak begini.” Febri, 12 tahun, mengatakan ini dengan nada yang terdengar mantab.

Wajah sumringah Febri menjelaskan semuanya. “Saya sekarang belajar dan bermain saja, nggak mau cari duit lagi. Kan, ibu sudah kerja,” katanya lagi.

Febri jadi salah satu kisah sukses anak jalanan yang berhasil “dikembalikan” menjadi anak yang memang tugasnya bermain dan belajar sesuai usianya. Di bawah binaan Yayasan Rumah Impian, Febri seperti menemukan kembali keceriaan.

Saat ditemui di sela-sela kegiatan Charity Expo yang diadakan Yayasan Rumah Impian, di Main Atrium Jogja City Mall, Yogyakarta, Sabtu (18/2), Febri sempat mengisahkan tentang bagaimana dia berjibaku mencari uang di jalanan.

“Saya cari uang di lampu merah di Bantul. Lupa saya Kak nama daerah lampu merahnya. Pagi, siang, malam ya di situ aja saya nggak kemana-mana, sama kakak dan ibu,” kata Febri.

Tap kini, anak terakhir dari lima bersaudara ini sudah tidak perlu lagi mencari uang receh dengan mengamen di lalu lintas Bantul. “Sekarang ibu sudah ada pekerjaan. Rumah Impian sudah kasih ibu kerjaan. Ibu dimodalin angkringan buat jualan di pinggir jalan,” katanya.

Yayasan Rumah Impian sendiri memang merupakan organisasi pendamping anak jalanan. “Kalau orang tua masih mengandalkan anak buat cari nafkah, kami dari Rumah Impian harus bisa mencoba buat memberi alternatif sumber mata pencaharian, supaya orang tua anak-anak jalanan ini punya penghasilan,” kata Founder Rumah Impian Samuel Lapudooh.

Dan ini yang paling penting: Jangan kasih uang ke anak jalanan! Dengan memberi uang, kita merampas masa depan anak jalanan.

Loh kok bisa begitu? “Memberi uang kepada mereka membuat mereka akan di jalan terus, orang tua mereka juga akan bergantung terus pada mereka. Seorang anak itu seharusnya belajar dan bermain, itulah dunia anak-anak. Dan, ini penting buat masa depan mereka,” kata Samuel.

Jadi jelas. Memberi uang pada anak jalanan tidak tepat, dan ini tidak pula membuat kita terlihat pelit.

Gunakan sumber daya kita untuk membantu anak jalanan lewat yayasan atau organisasi yang memang peduli akan nasib anak jalanan, seperti Yayasan Rumah Impian yang beroperasi di Yogyakarta ini misalnya.

 

Foto: Dok pribadi

Makan Malam Bersama Yesus

Desember telah kembali. Orang Kristen pun mulai bersiap-siap untuk merayakan hari Natal, hari kelahiran Yesus. Tahun ini di rumah kami Natal akan sedikit berbeda, karena perempuan tercantik di rumah kami sedang menunaikan cuti sabatnya yang telah terlalu lama tertunda. Tanpa dia Natal jelas akan berbeda, karena tidak akan ada masakan lezatnya, dan terlebih lagi, ide-ide cemerlangnya.

Di antara Natal yang pernah kami rayakan di rumah, ada satu Natal yang tidak akan pernah terlupakan. Itu adalah Natal sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu istriku mengusulkan untuk memberi hadiah Natal yang istimewa kepada Yesus. Dia mengundang Yesus untuk makan malam di rumah kami.

Sejak pagi, kami menyiapkan makan malam istimewa itu. Memilih beras yang terbaik, menyiapkan ayam panggang, sayur-sayuran yang paling segar, dan minuman yang paling memuaskan dahaga.

Beberapa teman datang membantu. Ada yang membantu menyiapkan makanan, ada yang membantu membersihkan rumah dan menyiapkan tempat.

Anakku pun tidak ketinggalan. Dia meminta membelikan snack dan kue-kue untuk Yesus yang akan datang ke rumah kami. Tidak lupa dia menyiapkan mainan kesukaannya dan film kartun favoritnya untuk dinikmati bersama Yesus.

Menjelang malam, Yesus pun datang ke rumah kami. Ah, ini bukan tulisan metafisis atau gaib. Injil Matius mencatat perkataan Yesus: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Jadi, kami mengumpulkan 30 anak jalanan untuk menikmati makan malam istimewa di hari Natal itu.

Mereka pun datang. Gembira, ramai, dan bahkan berisik (setidaknya keesokan harinya kami harus menjelaskannya kepada para tetangga). Dimulai dengan sedikit permainan, kemudian makan-makan, dan ditutup dengan nonton dan bermain bersama; ah, aku tidak akan bisa melupakan hari Natal itu.

Itu adalah hari Natal yang paling melelahkan, namun luar biasa. Istriku puas karena makanan yang disediakannya licin tandas. Anakku gembira karena bisa bermain dan bahkan berteriak bersama dengan begitu banyak anak.

Dan aku, suaraku menjadi serak, karena harus terus berbicara selama beberapa jam, termasuk beberapa kali memisahkan pertengkaran di antara tamu-tamu istimewa kami itu.

Ya, di hari Natal itu kami makan malam bersama Yesus. Aku akan selalu mengingat malam itu. Malam itu begitu istimewa sehingga sejak waktu itu, anak-anak jalanan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kami. Terima kasih Tuhan, Engkau mau datang, sudah datang. Haleluya!

 

Foto: Dok Pribadi

 

Biarkanlah Kami

Saya teringat ketika saya beraktivitas bersama teman-teman yang mendampingi komunitas anak jalanan di Jombor. Perempatan Jombor selalu ramai di sore hari, dengan para pengendara yang tidak sabar lagi ingin cepat pulang ke rumah.Sejak kami memulai program kami di sana, perempatan itu menjadi makin ramai lagi dengan anak-anak dan beberapa relawan bertampang mahasiswa yang beraktifitas dengan penuh semangat. Sebenarnya saya tidak terlibat langsung dalam program-program yang langsung turun ke jalan, tapi karena ada seorang Bapak yang mengajukan permintaan kepada kami untuk berkenan mengasuh dan menyekolahkan anaknya lewat program Pengasuhan kami, saya merasa sebaiknya saya yang bertemu langsung dengannya.Ketika kemudian saya melihat mereka bersemangat mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan LSM kami di sana, saya jadi bersemangat lagi untuk lebih sering mendatangi mereka.

Kegiatan yang kami lakukan sendiri sebenarnya tidak terlalu ‘menghebohkan’. Kami cuma mengadakan les calistung (baca tulis hitung) untuk beberapa anak, yang kami antar jemput dari perempatan Jombor untuk belajar di kantor kami, 5 hari dalam seminggu. Lalu kami juga mengajak mereka berkreasi lewat kegiatan menggambar/melukis bersama, seminggu sekali. Ada juga yang membawa kotak berisi buku-buku bacaan, yang kami namai Ko-PER (Kotak Perpustakaan). Dan yang terakhir, yang mungkin sedikit unik adalah kami meminjamkan beberapa kamera analog kepada anak-anak jalanan, untuk mereka pakai mengabadikan aktifitas mereka sehari-hari. Film untuk kamera-kamera itu kami sediakan, dan kami juga akan memproses foto-foto hasil jepretan mereka.

Sore itu saya kembali ke perempatan ramai itu. Betapa senangnya melihat wajah anak-anak yang penuh senyum dan kegembiraan walau dalam segala keterbatasan. Sewaktu saya sedang berbicara dengan Bagas dan Eno, dua bocah berusia 6 tahun yang sangat lucu, tanpa sengaja mata saya tertuju kepada para pengendara yang sedang berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Ada seorang Bapak yang memandang dengan tajam ke arah kami. Dari pakaiannya saya menduga dia mungkin seorang pegawai pemerintah, entah dari instansi mana. Sedikit ge-er karena ada yang memandangi, saya mencoba tersenyum. Akan tetapi Bapak itu malah semakin melotot. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya. Dia memandangi saya tanpa berkedip sedikit pun, sampai rambut halus di tengkuk saya pun berdiri karenanya. Tetapi Bapak itu tidak memalingkan wajahnya sama sekali, matanya melotot dan penuh selidik. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Untungnya lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, dan si Bapak pun meneruskan perjalanannya, dengan, sekali lagi, entah apa yang ada di dalam pikirannya.

Ah, saya jadi teringat adegan beberapa tahun yang lalu sewaktu kami diadili warga sebuah kelurahan yang menolak di lingkungannya ada rumah yang menampung anak-anak yang “belum jadi manusia seutuhnya”. Apakah saya masih trauma oleh peristiwa itu, sehingga menghadapi pelototan seorang Bapak di perempatan saja, saya sudah bergidik? Mudah-mudahan ini hanya masalah saya sendiri, karena bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang yang peduli kepada sesamanya. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang yang peduli bukan hanya dengan retorika kata-kata atau tindakan-tindakan seremonial. Teman-teman kami di jalanan butuh kesempatan, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk sekedar bermain dan tertawa. Biarkanlah kami memberikan itu kepada mereka, Bapak.

You don’t know what it’s like to love somebody, the way I love you…

Sammy Ladh

Photo: courtesy of LSM Rumah Impian (thedreamhouse.org)