Tag Archives: Ahok

Ia yang Berdaulat dan Pegang Kendali

Beberapa hari ini saya merenungkan peristiwa Ahok. Dalam duka saya merenung dan terus berusaha supaya tidak benci pada yang menjadi aktor-aktor kunci di balik peristiwa ini (saya enggak tahu persisnya siapa) atau yang berteriak-teriak kalau Ahok itu penista agama.

Saya lalu mencoba fokus pada Ahok dan bukan pada para pemain yang memanas-manasi kasus penistaan agama ini. Di penjara tentu beliau merasa kesepian karena jauh dari keluarga, ruang gerak dibatasi, tidur pun konon hanya di dipan.

Lalu saya teringat Rasul Paulus yang dulu juga mengalami pengalaman di penjara di Roma karena memberitakan Firman Tuhan. Dari balik jeruji penjara, justru lahir surat kepada jemaat di Filipi yang menurut saya pribadi sangat powerful terutama dua ayat ini:

Janganlah hendaknya kamu kuatir akan apapun juga, tetapi nyatakanlah keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memenuhi hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. (Filipi 4:6-7).

Saya sebenarnya bukan tipe orang yang sedikit-sedikit posting ayat Alkitab, karena suka merasa, posting ayat tapi benar enggak saya sudah melakukan ayat tersebut, takutnya malah jadi omdo alias omong doang, tapi sungguh, hari ini saya merasakan urgensi untuk menuliskan perenungan saya selama beberapa hari ini, semoga sedikit menguatkan kita semua.

Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memenuhi hati dan pikiran Ahok dalam Kristus Yesus, dan memenuhi hati kita semua, sepanjang kita percaya, Ia yang berdaulat dan pegang kendali atas segala sesuatunya.

Selamat menyongsong akhir minggu dengan terus berdialog dengan Tuhan, diri sendiri, dan sesama. God bless us, everyone! (Berlaku untuk semua orang, tidak hanya nasrani saja)

“Tuhan Akan Menyelesaikannya Untukku!”

Surat buat Ahok.

Bisa jadi ini surat seperti sebuah ikut-ikutan karena lagi musim surat terbuka. Betul Pak Ahok, saya suka ikut-ikutan.

Kemarin waktu ramai di depan Balai Kota saya ikut-ikutan juga, terus pengen ikut-ikutan nyalain lilin, saya enggak ikut karena jam 9 malam saya sudah mengantuk. Entah kenapa Pak Ahok, beberapa waktu terakhir ini cuma Bapak aja nih yang seliweran di kepala saya. “Kok bisa gini dan kok bisa gitu ya”.

Kemarin waktu dengar soal batal banding, saya cuma melongo makin gagal paham sama cara pikir Bapak. Ini orang bodoh apa kepinteran sih?

Lalu seketika saya jadi lesu dan semangat untuk mengumandangkan “Silent Majority Speak Up!” sirna sudah dengan surat bapak yang dibacakan oleh ibu Vero. Iki piye Pak? Perjuangan belum selesai tapi kok diselesaikan sebelum berjuang, begitu saya pikir.

Paginya istri mengajak berdoa buat Pak Ahok, eh kita berdoa malah nangis. Entah karena sedih apa karena frustasi mau ngapain ya; kayaknya kok gak rela melihat ketidakadilan kayak gini.

Sedih tapi ya damai juga, bahagia melihat ada orang kayak Pak Ahok, dan bukan cuma sebuah bacaan di sebuah kisah alkisah, tapi beneran kejadian. Jadi nangisnya itu campur aduk antara bahagia, kagum, damai dan seketika saya merasa Oh, Tuhan itu beneran ada toh. Ya, karena melihat Pak Ahok itu.

Nah Pak Ahok, pagi ini saya merasa iri luar biasa. Pak Ahok keenakan dipakai Tuhan untuk pekerjaan yang luar biasa, lewat pak Ahok seluruh alam semesta mendengar “Tuhan akan menyelesaikannya untukku!” Mazmur 138:8 menjadi sebuah pujian yang indah banget dan semua menggumamkannya dalam hati.

Setiap orang yang putus harap dan frustasi, sejak kemarin menggumamkan kata iman yang sama “Tuhan akan menyelesaikannya untukku”. Ya ampun, Hok. Baru kali ini jutaan orang seketika menjadi punya iman dan harapan; bahwa Tuhan itu berdaulat dan sedang bekerja untuk menyelesaikan segala perkara kita (apa saja) untuk kebaikan kita.

Lilin langsung saya potek-potek, ini enggak penting. Pak Ahok sudah jadi lilin yang sejati yang mengajarkan teladan, soal menjadi terang dan garam. Saya mah masih cuma bisa nyalain lilin yang artifisial, sama ngutip-ngutip ayat Alkitab sambil merasa udah suci sembari hidung kembang kempis; ujung-ujungnya masih nyari kepuasan diri sendiri dan maksimal sampai ke keluarga biar senang.

Nah, Pak Ahok, you are not comparable to anyone of us ( yang saya kenal ya) makanya saya bilang saya iri setengah mati sama Bapak. Tuhan sepertinya sayang Pak Ahok 100 kali lipat dari pada ke saya.

Karena itu pak Ahok, saya enggak pantas mengucapkan “Stay Strong ya Pak!”. Bapak duluan sudah menunjukkan soal setrong dan lemah itu, saya yang perlu dikasih tahu, “Eh Cok, stay strong ya jangan lemah gitu dong baru juga disenggol Ojek udah sewot”.

Sesungguhnya Bapak sudah bebas, komplit bebas merdeka! Bahkan jeruji besi tidak sanggup memenjarakan sukacita pak Ahok. Pak Ahok, Tuhan bapak luar biasa sayangnya ya.

Pak Ahok, ajarin saya seperti bapak. Saya masih “terpenjara”.

Salam dari Panggang Ucok.

Ucok Gultom.

Penulis adalah pemerhati kesedihan, pecinta kopi yang tak pandai menabung, sekarang berkantor di Panggang Ucok, Jl Otista Raya no 149.

Debat Cagub DKI, Kiranya Pemilih Dikendalikan Tuhan

Setelah debat calon gubernur beberapa waktu lalu, banyak reaksi yang muncul memuji calon gubernur no.2 dan merendahkan cagub lain. Bahkan yg menyedihkan, ada pertemanan yang bubar gara-gara membaca komen: “Debat tadi malam seperti menghadirkan orang tua yang bijaksana menghadapi kedua anaknya. Yang satu terlalu ideal, bagai anak sulung yang banyak ide2 ideal. Yang satu lagi, bagaikan anak bungsu yg manja dan kebingungan”.

Membaca semua komentar itu, saya maklum. Namun ada beberapa catatan dan harapan saya.

1. Sebenarnya, hebat juga kedua Cagub saingan nomor 2 itu. Kehebatannya begini, bagaimana mereka masih berdiri mencoba menaikkan “bendera” ketika melihat bendera no.2 sudah berada tinggi berkibar megah di atas sana.

2. Maksud saya, siapa yang tidak bisa melihat prestasi cagub no.2 yang sedemikian fantastis? Saya kira, hanya yang menolak membuka mata yang tidak melihat. Nah, saya duga kedua Cagub termasuk melihat prestasi, karya-karya hebat itu. Di tengah kondisi demikian, mereka masih berani mencoba mempromosikan diri, apalgi masih dengan percaya diri dan berwacana “hebat” walau satupun belum terbukti, hebat sekali bukan?

3. Doa kita, kiranya dalam kondisi demikian, Allah tetap mengendalikan pemilih utk memilih calon yang terbaik, yang telah terbukti. Semua itu dilakukan demi kemajuan Jakarta, Indonesia dan tegaknya mutu dan kejujuran. Semoga.

 

Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, MTh.

Penulis adalah Alumnus Fakultas Teknik UI Doctor Theology dari Trinity Theological College, Singapore, Cambrige, Roma.

 

Foto: admin

Memfitnah Pekerja Media “Buzzer Penista Agama”, Selamat Menikmati Dusta yang Kau Tabur

Di kalangan pelaku kriminal, baik yang kelas teri, kakap, maupun paus, berlaku satu peraturan baku: jangan kau jadikan polisi sebagai korban kejahatanmu. Ya, kalimat seperti ini pun sering tersirat dalam adegan-adegan film produksi Holywood.

Di film Godfather produksi 1972, ketika Michael Corleone, anak bungsu dari sang Godfather Don Corleone, ingin membunuh seorang kepala polisi, semua anggota keluarga menjadi marah dan kesal. Polisi yang diincar padahal merupakan polisi korup, beking pedagang narkoba, dan dalang usaha pembunuhan sang ayah, Don Corleone.

Akhirnya, adegan film memperlihatkan bahwa eksekusi ke polisi korup tetap terjadi, namun banyak harga yang harus dibayar, bisnis mafia Godfather banyak yang mesti “shut down”, media harus dikontrol, dan Michael Corleone meninggalkan New York, AS, untuk mengungsi ke Italia sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Intinya, aparat keamanan jangan dijadikan korban, karena kejahatan yang menimpa masyarakat awam saja bisa dibongkar oleh polisi, apalagi kalau yang jadi korban polisi itu sendiri.

Habis sampai ke akar-akarnya itu geng penjahat kalau berani. Aparat kepolisian punya semua sarana prasarana mumpuni yang diberikan secara sah oleh negara untuk memberantas kejahatan.

Apa yang dilakukan akun Facebook Eko Prasetia pun rasanya bisa sama seperti perumpamaan di atas.

Akun ini membuat berita hoax yang menyakitkan para pekerja media, terutama para pewarta foto. Saya sebagai salah satu pewarta foto juga, dan mengenal beberapa kawan yang ada digambar hoax itu, benar-benar merasa geram.

Akun Eko Prasetia bermain di media sosial–yang terlacak Facebook dan Twitter–untuk memfitnah pekerja media. Bagi saya ini nekat, cenderung kurang cerdas.

Ditulis di inputan hoax itu, “Tim cyber/buzzer penista agama yang malu dan takut ketahuan tampangnya untuk dipublikasikan…Udah seperti PSK asal China kelakuannya, pake tutupin muka segala”.

Astaga, kotor sekali pikiran akun ini. Membuat predikat “Tim buzzer penista agama yang malu dan takut” saja sudah semacam kekejian fitnah luar biasa. Bagaimana mungkin bisa sampai ke PSK China dibawa-bawa?

Bagaimana bisa si pemilik akun yang “cuma” punya media sosial malah memfitnah pekerja media? Para pekerja media ini bukan cuma punya media sosial masing-masing, mereka juga punya media tempat mengabdi, plus punya rekan dan ikatan seprofesi yang dijunjung.

Akibatnya jelas, para pekerja media melawan hoax yang diciptakan oleh akun Eko Prasetia ini. Media mainstream dan media sosial pun bergerak untuk melawan hoax ini. Berbagai media online skala nasional pun menuliskannya ini.

“Pengakuan teman-teman, saat mereka sedang menunggu sidang, tiba-tiba ada seorang peserta unjuk rasa yang berjalan melewati mereka. Namun orang itu balik lagi sambil berkata ‘wah, teman-teman wartawan belum difoto nih’. Lalu dia mengeluarkan HP dan langsung memotret teman-teman ini,” kata Ketua Pewarta Foto Indonesia, Lucky Pransiska, seperti dikutip dari Kumparan.com, Selasa (10/1).

“Teman-teman fotografer mengklarifikasi kalau yang di dalam foto tersebut adalah jurnalis foto yang tengah meliput sidang dugaan penistaan agama di Auditorium Kementan,” ujar
Lucky telah mengkonfirmasi hal tersebut kepada jurnalis foto yang ada di dalam foto tersebut. Mereka adalah fotografer beberapa media online nasional yang sedang bertugas.

Masih menurut laporan Kumparan.com. Difoto oleh orang tak dikenal, membuat beberapa jurnalis foto risih. Sebagian memalingkan badan dan ada juga yang menutupi muka karena merasa tak nyaman. “Pengakuan temen ada yang memang enggak suka difoto, jadi nutupin pakai tangan,” kata Lucky yang juga pewarta foto dari Kompas.

“Jadi teman-teman tahu ada orang yang ingin memotret mereka. Cuma mereka enggak tahu kalau foto mereka akan viral di media sosial. Baru sore ini ada yang ngasih tahu mereka kalau foto tersebut udah viral di media sosial. Mereka pun kaget karena caption dan kenyataan dalam foto sama sekali berbeda,” kata Lucky.

Kasus Ahok, ditambah lagi dengan sidangnya, benar-benar menarik perhatian. Hampir segala hal yang dibahas seputar kasus ini menjadi pembicaraan orang. Apakah ini juga maksud akun Eko Prasetia? Ingin menjadi pembicaraan orang? Sepertinya berhasil.

Akun Eko Prasetia mendadak banyak dijenguk. Namun, laporan terakhir, akunnya sudah ditutup, dan postingannya dihapus.

Laporan terakhir, rekan-rekan pewarta foto–secara kelembagaan Pewarta Foto Indonesia (PFI)–telah melaporkan akun Eko Prasetia ini ke kepolisian pada Rabu siang, 11 Januari 2017.

Makin terkenallah kau wahai akun Eko Prasetia. Selamat menikmati hari-hari yang tak tenang ke depan kawan. Kau yang menebar hoax, kau juga yang akan memanen hasilnya.

Satu pertanyaan mengganjal…kok kau tau sih kelakuan PSK China?

Gelombang Balik #KerenanAHok dan Senyum Kecut BESOK SENIN

Ada dua keriuhan tertanda di jagad media sosial yang saya lihat. Dan saya jujur saja jadi senyum-senyum sendiri membacanya.

Trending topic Twitter untuk Indonesia memperlihatkan tagar #KerenanAhok dari Minggu malam sudah merajai dengan cuitan sebanyak 9.962 kali, nyaris tembus 10.000 cuitan. Wajarlah, Minggu sore dan malam menjadi kehebohan tersendiri buat para pendukung cagub DKI Nomor 2 Ahok-Djarot yang menggelar flashmob di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan.

Dan, segala hal yang berkaitan dengan Ahok–baik maupun buruk, berita miring maupun berita tegak–akan selalu menghadirkan kehebohan tersendiri di jagad media sosial. Jadi, booom, berita di media sosial dan menular ke media massa menceritakan soal flashmob yang digagas Sys NS ini.

Sys NS menyatakan, ide acara itu muncul sekitar empat hari lalu, 4 Januari 2017. Mulanya, ia hanya mengajak beberapa kalangan undangan saja. Tapi ia tak menyangka undangan tersebut tersebar di media sosial sehingga yang berpartisipasi menjadi banyak.

“Saya sebelunya pengen cuma beberapa orang, 300-400 orang. Tapi tersebar di media sosial jadinya udah pada tau semua,” kata Sys NS, yang juga bertindak selaku koordinator acara, kepada awak media, Minggu malam. Demikian dikutip dari Kompas.com.

Akibat dari kehebohan terkait Ahok ini–meski Ahok-nya sendiri tidak datang–saya dan publik sepertinya harus bersiap menghadapi gelombang informasi “perlawanan” terkait kegembiraan para pendukung di Citos ini.

Informasi “berlawanan” inilah yang mengundang senyum karena biasanya bersifat menafikan atau bertolak belakang sama sekali. Seolah-olah kita nginep di Bumi yang berbeda.

Sudah jamak dalam tata pergaulan di media sosial ini, seperti gelombang ombak menerpa batu karang. Ketika ada gelombang datang dari arah laut, maka kita akan bersiap melihat hempasan balik gelombang yang sama setelah membentur batu karang dengan bunyi yang lebih heboh dari saat gelombang itu datang.

Jadi, saya tak lama lagi akan terpapar juga versi berbeda dari kehebohan di Citos itu. Atau mungkin, akan ada kegiatan berbeda yang berusaha melebihi magnitude keriaan ciptaan Sys NS dkk ini.

Satu lagi, trending topic yang bikin saya tersenyum: BESOK SENIN. Ini menempatin nomor 2 terbanyak jadi cuitan sejak Minggu malam. Sudah sekitar 7.628 cuitan menggunakan dua kata ini.

Ada apa dengan hari Senin? Jawabannya bisa dilihat di salah satu dari twit selebritas ini.

Jennifer Rachel, ‏@Rachel_JKT48 :

Besok senin.
Udah mulai sekolah besok, jiwa dan raga blm siap jalanin kehidupan ini (?) *apasingawur*

Nah loh, rupanya Senin ini, 9 Januari 2017, memang merupakan hari masuk sekolah nasional, setelah libur Tahun Baru. Para pekerja pun kebanyakan telah menyelesaikan cutinya, dan Senin ini, semua siap kembali bekerja.

Untuk penghuni Kota Jakarta dan sekitarnya, rutinitas menghadapi kemacetan kota besar, mengejar waktu, dan sebagainya, kembali terjadi. Jakarta akan berdetak kencang lagi seperti biasanya. Tidak seperti dua minggu lalu, di mana jalanan terasa lengang, dan segala sesuatu tidak terasa perlu diburu-buru.

Kali ini, saya senyum-senyum kecut. Sama seperti kebanyakan pengguna kata “BESOK SENIN” di Twitter, saya juga merasa males banget harus menghadapi rutinitas ini. Tapi ya mau bagaimana? Berakit-rakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Dengan kita bekerja keras, kita akan merasakan nikmatinya liburan bukan? Jadi, mari kita “nikmati lagi” isu Ahok dan rutinitas di kota besar ini sampai nanti ada tanggal merah yang jatuh hari Jumat atau hari Senin. Dengar-dengar, katanya tahun ini lumayan banyak tanggal merah dengan posisi asyik macam itu.

 

Foto: Twitter @RennyFernandez (atas) dan Screenshot (bawah)

Tentang #fitsahats dan BAP

Sedang trending #fitsahats di media sosial. Bermula dari keterangan salah satu saksi kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama di dalam BAP alias Berita Acara Pemeriksaan.

Saya bukan pakar hukum, tapi saya pernah berurusan dengan hukum beberapa kali. Sebagai wartawan, saya juga pernah ditugaskan meliput kasus-kasus hukum. Karena itu, mau tak mau, saya harus belajar mengenai hukum, perundang-undangan, hukum pidana, perdata, sampai hukum acaranya.

Tujuannya, supaya saat memberitakan sebuah kasus kepada publik, saya bisa memahami persoalannya dan bisa menulis dengan jernih.

Makanya, saya mengerti pentingnya BAP ini. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 187 huruf (a) sudah mengatur bahwa berita acara, termasuk berita acara pemeriksaan saksi, merupakan alat bukti surat.

Pakar hukum juga mengatakan bahwa sesungguhnya berita acara itu dapat disamakan dengan suatu keterangan saksi yang tertulis. Ia adalah bukti yang sah di pengadilan.

Sebagai bukti hukum yang sah, adalah sebaiknya BAP ini disusun dengan sebenar-benarnya. Soalnya kalau keterangannya palsu, di pemberi kesaksian bisa kena pidana.

Saya ingat, dalam pemeriksaan untuk pembuatan BAP di depan polisi yang pernah saya jalani, petugas akan mengkonfirmasi betul keterangan yang saya ucapkan.

Kalau ada keterangan yang kurang jelas, polisi akan meminta saya mengulang atau mengejanya. Termasuk untuk penyebutan kata-kata asing, nama, tempat, dan sebagainya.

Setelah itu, polisi akan membacakan kembali keterangan itu, meminta saya memastikan bahwa semua keterangan sudah benar adanya. Setelah itu, saya akan diminta menandatangani BAP.

Typo dalam pengetikan? Sebetulnya biasa saja terjadi.

Tapi sepanjang pengalaman saya bekerja di dunia tulis menulis, kalau typo sampai dua suku kata, menurut saya sih bukan typo namanya. Itu mah sengaja. Bisa jadi, si saksi memang menginginkan keterangannya begitu.

Atau polisi mungkin menulis persis seperti pengucapan saksi. Tapi kan habis itu si saksi disuruh periksa sebelum ditandatangani.

Meski begitu, kalau melihat materinya, sebetulnya enggak signifikan banget sih soal #fitsahats ini dalam kasus hukum yang sedang berproses di pengadilan itu. Kurang ngaruh lah.

Kita ambil hikmahnya saja rame-rame ini. At least, ada hiburan baru di media sosial yang panas. Sesuatu yang bikin kita bisa ketawa bareng. Kalau ada yang kupingnya panas, ya mohon maap yak. Bukan maksud.

Sisi Lain Kasus Ahok

Tentu saja saya bersimpati pada Ahok, terlepas dari dia berposisi minoritas seperti saya yang pelik dan tak mudah mengharap kesetaraan sebagaimana jaminan konstitusi negara mengenai kebebasan menganut suatu keyakinan agama.

Kuatnya desakan untuk membuat dirinya terpidana dan “masifikasi’ perlawanan pada dirinya–sebelum kasus atau tuduhan penodaan agama–dengan meletupkan pelbagai tuduhan dan isu, itu yang terutama membuat saya melihat unfairness dan lebih dilandasi energi kebencian pada dirinya.

Kebencian karena pelbagai alasan, motif, namun bila para pembenci itu jujur, lebih karena ia seorang petahana yang paling mudah meraup suara dukungan untuk jadi Gubernur DKI berikutnya.

Ia fenomenal, didukung tak hanya orang-orang berpendidikan, para white collars, namun juga kalangan jelata yang minim pendidikan. Tak pandang suku, agama, dsb. Dalam waktu singkat dan tanpa dia rekayasa, sejuta lebih KTP warga DKI yang heterogen, berhasil dikumpulkan “Teman Ahok” yang hanya beberapa orang muda penggagasnya.

Berduyun-duyun orang, tak pandang suku, agama, strata sosial, sukarela dan girang menyerahkan fotokopi KTP; tentu saja itu fenomena yang mencengangkan, mengundang decak kagum, walau di seberang–yakni para penentang dan yang semakin khawatir tak bisa lagi menjadikan uang Pemprov DKI Jakarta jadi bancakan–bertambah gelisah dan geram.

Semua tahu, segala cara diupayakan untuk mengadangnya, termasuk orang-orang parpol yang sebelumnya tak mau mendukungnya namun kemudian hanya bisa mingkem setelah bos-bos partai memutuskan dukungan. Popularitas, daya pikat Ahok, dan dinamika politik yang tak biasa itu, barangkali baru kali ini terjadi dalam sejarah perebutan kekuasaan di negara ini.

Ahok yang menjadi idola dalam waktu cepat tanpa biaya PR, hanya karena keberanian dan ketegasan, berbahasa ceplas-ceplos namun logis, bernalar, yang kemudian disebut “kasar,” “tidak sopan,” “sombong,” dsb, oleh para penentangnya.

Ahok yang kelewat pede dengan pikirannya membenahi Jakarta dengan logika-logika yang kukuh dipercayainya–termasuk mengembalikan bantaran kali dari pemukiman slums, ilegal, terlepas dari pemihakan pada kaum marjinal yang digusur dan dipindahkan ke rusun-rusun yang disiapkan Pemprov.

Ahok yang menutup secara ketat keran uang pada mereka yang dianggap lazim bila pejabat Pemprov berkolaborasi dengan politisi, pengusaha, kontraktor, membagi-bagi proyek–termasuk me-mark up anggaran, dsb.

Ahok yang membuat resah para pejabat dan pegawai Pemprov DKI karena menerapkan disiplin yang ketat, memecat dan mengangkat pejabat dan aparat setiap saat dia mau lakukan bila menurutnya tak becus kerja, menyemprot bawahan di hadapan pewarta dan siapa saja.

Ahok yang kelewat bersemangat ingin mengubah mentalitas dan sistem di lingkungan administrasi pengurus ibukota dalam waktu singkat hingga mengabaikan unsur sensitivitas bahwa ia seorang yang dianggap minoritas namun kok kelewat berani, dan bekerja terang-terangan pula, termasuk mengungkapkan kebobrokan pejabat serta permainan anggaran ratusan milyar rupiah setiap tahun.

Ahok yang tak peduli resistensi dari yang tak “bahagia” (dan itu ada banyak) yang berniat menggulingkannya melalui cara apa saja, lalu membentuk aliansi-aliansi.

Maka, tanpa kasus (tuduhan) penodaan agama itu pun Ahok telah banyak mengumpulkan pembenci. Mulai dari yang mengandalkan isu sektarianisme-primordialisme, sentimen antietnis tertentu, ditambah “warisan” perseteruan pasca dan post pilpres, hingga para orang terdidik yang sebelumnya bersikap “objektif dan netral” namun berbeda paradigma serta pendekatan mengenai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pinggiran.

Ahok yang ironis karena di satu sisi ada berjuta penggemar namun di sisi lain tak kalah banyak pula yang membenci–walau berdalih ini itu namun kandungan kebencian tetap tak tertepis.

Tak ada lagi yang perlu disesali karena toh tak mungkin mengembalikan ke situasi sebelum penyebaran video editan oknum bernama BY itu menyebar dan mengundang amarah; sesuatu yang masih terus menjadi bahan perdebatan dan gunjing yang hanya berisi dua warna: bukan penodaan agama dan sebaliknya, itu masuk kategori penistaan.

Hiruk-pikuk dan pertengkaran yang membela dan membenci Ahok sungguh-sungguh melelahkan, bukan lagi sebatas persoalan lokal namun nasional, bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Ahok yang fenomenal dan kontroversial!

Ada banyak yang bersorak atas pengadilannya yang dimulai hari ini, ada banyak yang emosional dan terharu hingga mengaku sampai meneteskan airmata. Airmata–serta doa–untuk yang mereka percaya hendak membangun ibukota yang dampaknya melanda ke semua penjuru wilayah negara.

Dampak positif tentu saja karena telah kelamaan masyarakat yang kritis muak menyaksikan ulah para pemimpin–termasuk di daerah mereka. Mereka begitu emosional dan sampai menangis karena merasa dan percaya, Ahok adalah idola, harapan, bagi perbaikan Indonesia; berasal dari berbagai suku dan agama serta lapisan sosial.

Maka, pengadilan Ahok adalah pula pertarungan antara akal sehat dan emosi yang bisa menguras enerji di kalangan yang mendukung dan membenci. Ada setitik harapan bahwa hukum akan dijalankan aparat pelaksana dengan benar–setidaknya mengindahkan prinsip dan moral HAM yang dianut PBB.

Salah satu: menjamin peradilan yang bebas dari intervensi, menjaga fairness, bagi siapa saja manusia di muka bumi ini–namun lebih dominan bayangan kekecewaan, bahkan kecemasan: Ahok akan dihukum, dipenjara, sementara ia dipercaya pendukungnya atau yang masih mempertahankan akal sehat: tak berniat menghina suatu agama

Bukan tak mungkin Ahok akan terjerat pasal pidana mengenai penodaan agama–walau pada yang lebih keras dan jelas melakukan tak dijerat, entah karena apa–dan dihukum majelis hakim yang menyidangkan; entah percobaan atau kurungan. Barangkali, majelis hakim yang menangani perkara pun masih berbeda pikiran karena pelbagai pertimbangan, terutama unsur pidana, dan tekanan massa di sisi lain.

Maka, peradilan Ahok akan menjadi peradilan yang amat menegangkan dan krusial–bahkan amat kritis–tak hanya bagi rakyat Indonesia, pula majelis hakim yang menyidangkan perkara. Bagi masyarakat luas, hanya ada dua keinginan: bagi pembenci, ia layak dihukum, dan bagi yang bersimpati, ia patut dibebaskan dari segala tuduhan.

Pengadilan Ahok pun bukan lagi arena peradilan atas pelanggaran suatu pasal pidana mengenai penodaan agama belaka, namun memiliki spektrum yang lebih luas dan mengguncangkan.

Tak mudah tentu bagi majelis hakim yang menyidangkan. Sangat tak mudah, dan biarlah itu menjadi pertaruhan integritas dan kredibilitas mereka menjalankan pekerjaan, terutama pada sumpah yang telah diaminkan saat dinobatkan jadi hakim; pengadil yang tak boleh berpihak selain pada keadilan itu sendiri, yang berasal dari ilmu hukum, doktrin, filosofi, dan norma-norma hukum yang disodorkan kitab-kitab hukum–meskipun tak mampu memenuhi kemauan semua pihak, yang menghendakinya dihukum atau dibebaskan.

Saya kira, Ahok telah memikirkan hal terburuk, di luar yang dibayangkan para simpatisannya, dan juga sudah menyiapkan dirinya. Bagi saya, yang kini terjadi atau akhirnya dialami Ahok, kembali mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang kelewat sensitif bila menyangkut isu agama.

Karenanya jangan coba-coba menyepelekan meskipun tak ada motif melecehkan. Hanya akal sehat dan keluasan wawasan yang mampu menetralisir. Sementara, itu suatu hal yang sulit diharapkan merata dimiliki 250 jutaan warga yang amat beragam latar belakang, pendidikan, keyakinan, pergaulan, dan cara pandang.

Dengan kata lain, kasus Ahok ini “hanya” pengingat betapa kita belum boleh berharap banyak mengenai kedewasaan berpikir seluruh unsur masyarakat yang merata. Karenanya berhati-hatilah selain turut serta menjadi penganjur keutamaan akal sehat, mendorong upaya-upaya pencerdasan di lingkungan terdekat–antara lain melalui media sosial–dan tak turut di barisan kaum pandir yang malas berpikir.

Pendidikan formal itu amat penting, berguna banyak, namun yang terutama ialah: untuk membangun kerangka pikir yang logis dan bernalar, membongkar kepicikan atau kegelapan pikiran, membangun kesadaran bahwa alam dan manusia tak sesimpel yang tersimpan di benak, baik karena ajaran, doktrin, dogma, maupun mitos-mitos yang terwariskan.

Mari redam emosi, sesekali penting pula merenungkan betapa absurd dan kejam bila menyangkut “urusan dan perjuangan menggapai keadilan,” sambil mengingat beratus ribu manusia Indonesia yang (pernah) menjadi korban. Antara lain, mereka yang dihukum tanpa proses peradilan yang sesuai dengan kaedah hukum pasca G 30 S. Orang-orang yang dihukum mati tanpa suatu kesalahan yang telah dibuktikan melalui persidangan.

Perjalanan Ahok akan menjadi catatan penting dalam perjuangan keadilan, namun yang dialaminya tak seberapa dibanding korban-korban kekejaman suatu rezim atau penguasa di negara ini, pun di negara lain. Semoga ia kuat dan pendukungnya tetap mengutamakan akal sehat.

Mungkin ada yang tak gembira dengan catatan singkat ini, tak mengapa, karena saya pun tengah mendidik diri saya agar terus membiasakan berpikir tenang, konstruktif, selalu memikirkan berbagai aspek, dimensional, suka atau tak suka, setuju atau menentang situasi yang tak menyenangkan ini.

 

Foto: Admin Petraonline.net