Tag Archives: agama

Mari Belajar Moderat

Di beberapa WA Grup yang menyertakan saya, cukup ramai dibicarakan soal rencana acara “spiritual” ini, yaitu ratusan paranormal akan berkumpul di Danau Toba. Hal ini dan ditanggapi pro kontra, lebih banyak yang keberatan dan alasan umumnya mereka: bertentangan dengan ajaran agama.

Saya sendiri tidak tertarik ritual semacam namun tak ikut menolak. Saya lebih suka dan telah mencoba melakukan bersama kawan-kawan gerakan kultural atau kesadaran menyayangi Danau Toba dan hutan yang mengitari. Lebih rasional dan tidak mengundang penilaian sinis atau dianggap seperti orang “tak bertuhan.”

Lelah menanggapi tuduhan-tuduhan semacam itu; apalagi masyarakat Batak pun banyak juga yang agamis (tak berarti relijius karena itu beda; relijiusitas seseorang itu lebih terlihat dari perilaku, dan tentulah lebih menyukai kedalaman menjalin hubungan yang agung dengan Tuhan yang dipercaya, bukan dilihat dari keaktifan beribadah atau beragama belaka).

Tetapi, bila pun ritual “membujuk penghuni danau” ini jadi dilaksanakan dan penggagasnya (maaf) bukan seseorang yang kupercaya integritasnya, menurutku biarlah dilakukan.

Argumen saya begini:

– Siapapun tidak berwenang mengintervensi keyakinan orang lain dan bila melsayakan, sama dengan mengatur dan menjajah kepercayaan orang lain; itu bentuk kesombongan dan fasisme kecil-kecilan.

– Siapapun tidak berotoritas memaksa orang lain harus serupa dengan yang diyakininya meski ada ayat-ayat suci dari agama yang menjustifikasi. Belajarlah menghormati kepercayaan orang lain sepanjang tidak mengusik ketenangan orang lain dan tidak merugikan pihak manapun.

– Bila ada yang merasa karena iman atau ajaran agamanya perlu menentang acara sejenis, cukup di lingkungan sendiri (keluarga, anak) dan jangan seperti “polisi agama” merecoki yang diyakini orang lain.

– Bila anda merasa terancam dan tidak suka ulah pihak-pihak yang intoleran dengan mengganggu kebebasan anda atau orang lain beragama atau menganut suatu keyakinan, jangan pula mengikuti mereka karena bertentangan dengan keyakinan yang anda anut atau percayai.

– Belajarlah bersikap moderat dan saling menghormati orang yang tak sama kepercayaan dengan anda karena anda pun akan marah bila diganggu atau dicibir orang yang tak sama kepercayaan dengan anda.

Untuk menunjukkan keimanan atau sikap agamis anda tidak pantas dan melanggar HAM bila melarang orang lain melakukan yang mereka percayai.

– Khotbahilah diri sendiri dan tak ada yang meminta anda mengkhotbahi orang lain; bila kelak anda ikut penghuni sorga dan yang lain tidak, syukurilah dengan rendah hati.

Sekali lagi, saya tidak cocok dengan penggagas atau bentuk acara sejenis ini, namun sebagai orang berpendidikan dan berupaya moderat, mendukung multikulturalisme dan menghormati pluralisme, saya tidak layak mengecam apalagi ikut melarang atas nama iman atau agama yang kuanut.

Bagi saya, marilah lebih menyayangi alam dengan tulus sebagai tanda terimakasih. Horas.

Kenangan di Kampus; Spirit Kenusantaraan yang Menghormati Plurarisme dan Multikulturalisme

Setelah gagal kuliah di Fakultas Filsafat UGM, di luar kemauan saya, abang saya mendaftarkan saya di satu kampus swasta, fakultas hukum, Universitas Kristen Indonesia kampus Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Saya pun akhirnya masuk ke lingkungan kampus yang saat itu dikuasai Menwa (mahasiswa semi serdadu), dua gang yang amat kuat di Jakarta (Siliwangi dengan bos Yapto S, gang Berland; dua gang ini diisi para anak kolong atawa turunan tentara), selain gang Ambon dengan bos Jongki Piters.

Angkatan saya ada 300 lebih sekian jumlah mahasiswa, hampir semua suku yang ada di Indonesia “terwakili.” Agama kepercayaan pun begitu. Walau berlabel kampus Kristen (Protestan), mata kuliah agama yang diajarkan dosen, sama sekali bukan berisi teologia Kristen, melainkan agama sebagai suatu “disiplin ilmu” atau epistemologi atau sejarah dan filsafat agama. Pokoknya, asal-usul dan makna agama (tak spesifik agama tertentu).

Uniknya, justru mata kuliah Hukum Islam yang wajib dan empat semester (dua tahun), tak hanya menyangkut hukum-hukum Syariah dan Fiqh, terutama mengenai hukum keluarga-perkawinan-perwalian-pewarisan, pun sejarah dan mazhab-mazhab dalam agama Islam. Kuliah tersebut wajib karena bagaimana pun, aplikasi atau praksis hukum pasti akan bersentuhan dengan masyarakat yang –sebagaimana diketahui– mayoritas Muslim. Hukum Islam (masa itu) termasuk mata kuliah yang angker bagi umumnya mahasiswa hukum di Jakarta (terutama FH UI, FH UKI, FH Universitas Pancasila karena dosen-dosen pengajar yang sama).

Susah betul lulus…
Mahasiswa bisa jadi abadi di kampus gara-gara mata kuliah yang satu ini. (Saya mau membanggakan diri tanpa malu-malu: Hukum Islam termasuk kuliah favorit dan saya sering di-booked hingga kewalahan memberikan tentier/tutorial pada mahasiswa-mahasiswa seangkatan, junior, bahkan pada senior yang tak lulus meski telah belasan kali ujian! Honor? Cukup “ucapan terima kasih,” walau selalu disuguhi kopi plus kudapan dan rokok oleh pengundang. 🙂

Di antara yang susah lulus itu (tak usah kaget) justru lebih banyak mahasiswa Muslim (dan jumlah mereka banyak memang di kampus), dan itu tak berkorelasi dengan aqidah, tentunya. Materi Hukum Islam memang padat dan rumit terutama mengenai sistem dan aturan waris, terlebih karena metode atau aturan yang berbeda pada masing-masing mazhab. Butuh kecerdasan ekstra selain minat agar bisa lulus, formulanya “pakai matematika” pula. Jauh lebih mudah menghitung pembagian waris menurut hukum Barat (KUH Perdata).

Tentir yang saya berikan selalu menyertakan mahasiswa multi etnis dan agama, lintas angkatan dan tak perlu lagi gengsi karena kadang saya gabung dengan junior–ketimbang tak lulus? Tetapi sayang, pengetahuan Hukum Islam yang dulu lumayan kuat saya kuasai perlahan tergerus; terakhir saya bawakan di acara hukum untuk wanita karir yang digagas Radio Cosmopolitan Jakarta, 2005-2006. Sejak itu, kian menguap karena tak ada lagi yang meminta (klien atau publik).

*-*

Di antara kenangan dan pengalaman yang paling mengesankan selama saya di FH UKI yang lekat dengan label “kampus keras” dan banyak diisi para jawara ibukota itu, relasi dan pergaulan dengan ratusan mahasiswa lintas angkatan, beragam suku dan keyakinan, dengan semangat atau ikatan: pertemanan yang intens, hangat, egaliter, tak bersekat-sekat. Rasanya hanya ke kalangan Menwa saya kurang akrab karena tak nyaman dengan seragam serta tampilan mereka yang umumnya militeristik; namun ada beberapa jadi teman akrab (junior).

Ditambah pengalaman bersekolah di SMA (14 Jakarta), spirit kenusantaraan yang menghormati plurarisme dan multikulturalisme, kian terbangun selama kuliah. Kawan-kawan saya yang lintas angkatan itu (pada yang junior malah lebih akrab karena urusan tentir-menentir), telah berperan mengeratkan tali-temali keindonesiaan yang harus jujur kukatakan: amat indah. Rumah atau kos-kosan mereka banyak sekali yang pernah kujambangi, kuinapi, makan enak atau mendengar musik sambil ngobrol apa saja yang asyik diomongkan. Rumah (kakak-kakak) dan kos-an saya pun begitu…

Seorang di antara kawan masa lampau yang sempat akrab dengan saya (sebelum dia keluar di tahun keempat kuliah karena memilih berbisnis), lelaki keturunan Arab bernama Ali. Dia anak orang kaya, berumah di Menteng, orangtuanya (eks) pemilik Hotel Sabang. Entah berapa kali saya nginap di rumahnya yang mengundang decak saking luas dan mewah, di wilayah Menteng. Ia kawan yang sungguh baik, makanan dan minuman yang melimpah di rumahnya tak bosan dia sodorkan pada siapa saja kawan yang mampir atau menginap (dengan embel-embel “belajar bersama”) di rumahnya. Orangtua dan sanak saudaranya begitu pula halnya.

Tak sebersit pun rasanya kami (di FH UKI) menyinggung keyakinan dan isu kepribumian-ketidakpribumian. Organisasi mahasiswa dari luar tak berhasil menerobos ke dalam maka tak kentara siapa anggota GMKI, HMI, PMKRI, dan yang lain. Itu kampus berlabel agama yang hampir sempurna menganut sekularisme. Kampus yang dikenal keras karena hegemoni resimen mahasiswa dan gang-gang anak muda Jakarta namun terjauh dari aliran sektarianisme maupun sukuisme.

Tiba-tiba tadi teringat mereka semua, dan Ali salah satu –yang entah di mana dia kini. Semoga dia tetap seperti Ali yang kukenal, lelaki berdarah Arab yang menyenangkan, tak menghendaki polarisasi manusia berdasarkan suku bangsa atau agama. Bahkan bila pun tak sama kewarganegaraan.

*-*

Ketika Rumah Ibadah dan Agama Jadi Kedok Para Penyamun

Tak ada yang lebih menakutkan ketika melihat rumah ibadah menjadi sarang penyamun. Itulah yang ditemukan Yesus ketika mendatangi Bait Allah, begitu Dia memasuki Kota Yerusalem.

Bait Allah berubah jadi pasar. Ada jasa penukaran uang (sebab mata uang asing diharamkan sebagai persembahan), jual beli hewan kurban. (Matius 21:12-13). Pasar itu muncul sebab diduga telah terjadi monopoli oleh Imam dan pedagang, untuk pengadaan hewan kurban. (Baca e-santapan harian edisi 13 Maret 2017)

Umat yang membawa kurban sendiri, meski merasa sudah mengikuti ketentuan, akan dipersulit saat uji kelayakan. Mereka yang tak lolos uji kelayakan, akan terpaksa membeli di pasar di Bait Allah. Sampai-sampai burung merpati, kurban bagi yang miskin, juga dikuasai oleh mereka.

Belajar dari pengalaman, orang-orang, termasuk yang miskin, akhirnya terpaksa membeli kurban di pasar itu, meski itu pasti menyulitkan mereka.

Komersialisasi di rumah ibadah ini sudah terjadi bertahun-tahun. Yesus yang melihat itu jadi jengkel dan marah lalu menjungkirbalikkan meja penukar uang dan bangku pedagang merpati. “Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun,” kata Yesus.

Bagaimana kalau “Rumah Doa” telah berubah menjadi “Sarang Penyamun”?

Sarang bagi para penyamun adalah tempat bagi mereka untuk berkumpul, menyimpan hasil kejahatan, dan kemudian merencanakan kejahatan demi kejahatan.

Apa jadinya kalau rumah ibadah kemudian menjadi tempat para penjahat berkumpul, menyimpan hasil kejahatannya, dan merancangkan kejahatan-kejahatan lainnya? Apa jadinya kalau rumah ibadah tak ubahnya kedok untuk menutupi kejahatan?

Tak ada yang lebih mengerikan dan menakutkan kalau penyamun, pencuri, dan penipu sudah memakai agama dan rumah ibadah sebagai kedoknya.

Rumah ibadah seharusnya jadi tempat pertobatan. Ya, kita semua memang berdosa dan jahat di mata Tuhan. Tapi melalui karya penyaliban Yesus, dosa dan kejahatan kita akan dihapuskan. Rumah Tuhan seharusnya menjadi tempat penyembuhan semacam itu.

Itulah yang kemudian diteladankan Yesus, setelah mengusir para penukar uang dan pedagang. Yesus kemudian menerima “orang-orang buta” dan “orang-orang timpang”, lalu menyembuhkan mereka.

Dia ingin menegaskan, rumah Tuhan seharusnya menjadi tempat siapa saja yang berdosa, untuk disembuhkan. Bukan malah memelihara dosa dan merancangkan dosa lainnya.

Foto:

Apakah Salah Menjadi Radikal

Apakah salah menjadi radikal? Menurut saya, sebenarnya tidak. Radikal menjadi orang jujur, misalnya, saya pikir itu perlu.

Menjadi radikal baru salah ketika misalnya kita menyakiti orang lain. Sebagai orang jujur yang jadi radikal, misalnya, dia tidak salah selama dia memang sungguh-sungguh mengungkapkan kebenaran dan tidak dilandasi dendam kepada orang yangg diungkap kesalahannya.

Lalu apakah menjadi seorang penganut kepercayaan tertentu yang radikal adalah salah? Tentu tidak juga.

Kalau kita mau mencintai Tuhan dengan sungguh-sungguh, tidak setengah hati kadang taat kadang tidak taat, ya kita harus radikal.

Yang menjadi bermasalah adalah kalau kita radikal dan kemudian menganggap yang lain atau yang berbeda dari kita salah. Mengapa demikian?

Alasannya menurut saya adalah:

1. Urusan kepercayaan kepada Tuhan pada dasarnya adalah urusan “pertemuan pribadi/kelompok” antara Tuhan dengan seseorang/kelompok orang. “Pertemuan” saya denganNya tentu berbeda dengan “pertemuan” anda denganNya.

Pemahaman siapa TUHAN buat orang Islam, Kristen, Budha, Yahudi, Hindu, dan sebagainya tentu tidak mungkin sama. Jadi, kita tidak bisa begitu saja menghakimi orang lain benar atau tidak dalam beragama, baik yang seiman dengan kita, apalagi yang tidak seiman.

2. Sejarah kehidupan manusia membuktikan bahwa keragaman itu memang ada atau setidaknya diizinkan ada oleh DIA yang disebut TUHAN. Jangankan soal keyakinan, hewan, tumbuhan, planet, benda-benda langit aja semua berbeda-beda, apalagi soal keyakinan. Berangkat dari poin 1, jelas sejarah membuktikan agama/kepercayaan/keyakinan itu adalah hasil pertemuan pribadi/kelompok. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin agama X lahir di tanah Y atau agama A lahir di kota B?

Ada Sunda Wiwitan di tanah Pasundan, ada Yahudi di tanah Israel dan Palestina. Sebagai manusia yang terbatas, kita diberi kemampuan untuk bisa melihat bahwa TUHAN itu memakai dan bekerja di dalam sejarah manusia menurut keterikatan manusia sendiri dengan asal-usulnya. Jadi walaupun mungkin dalam kitab suci ada tugas misi untuk menyatakan kebenaran keyakinan, jangan lupa bahwa diterima atau tidaknya misi itu tetap tergantung pada “pertemuan orang/kelompok orang” yang menerima misi itu dengan TUHAN. Justru di sini nyata kebesaran TUHAN tidak bisa kita batasi dengan rencana dan usaha kita.

3. Walaupun TUHAN menciptakan kita beragam, tapi ada 1 hal yang hampir pasti dimiliki semua individu, yaitu akal budi dan hati nurani, walaupun mungkin pemahaman akan keduanya bisa berbeda2 sesuai agama/kekhasan budaya kita. Keduanya sepertinya memang diberikan TUHAN untuk jadi penyaring buat manusia memilih yang benar dan yang salah, yang wajar dan layak atau tidak. Nah, kalo keradikalan kita sudah sampai bertentangan dengan akal budi dan hati nurani, yang berarti bertentangan dengan kemanusiaan, maka keradikalan kita bukan lagi keradikalan yang memang bermanfaat buat kita, sesama apalagi semesta. Sederhananya sebagai contoh, seluruh perang agama dalam sepanjang sejarah manusia jelas merugikan manusia itu sendiri, baik yang jadi kawan, lawan atau bahkan penonton, dan tentunya merugikan juga alam sekitarnya.

Maka, apakah keradikalan kita adalah keradikalan yang membawa manfaat atau tidak? Apakah keradikalan kita membawa damai atau tidak? Apakah keradikalan kita bertentangan dengan kemanusiaan atau tidak? Pada titik inilah kita perlu merenung dan mengambil keputusan untuk semakin sejati menjadi manusia yang sesungguhnya.

Sisi Lain Kasus Ahok

Tentu saja saya bersimpati pada Ahok, terlepas dari dia berposisi minoritas seperti saya yang pelik dan tak mudah mengharap kesetaraan sebagaimana jaminan konstitusi negara mengenai kebebasan menganut suatu keyakinan agama.

Kuatnya desakan untuk membuat dirinya terpidana dan “masifikasi’ perlawanan pada dirinya–sebelum kasus atau tuduhan penodaan agama–dengan meletupkan pelbagai tuduhan dan isu, itu yang terutama membuat saya melihat unfairness dan lebih dilandasi energi kebencian pada dirinya.

Kebencian karena pelbagai alasan, motif, namun bila para pembenci itu jujur, lebih karena ia seorang petahana yang paling mudah meraup suara dukungan untuk jadi Gubernur DKI berikutnya.

Ia fenomenal, didukung tak hanya orang-orang berpendidikan, para white collars, namun juga kalangan jelata yang minim pendidikan. Tak pandang suku, agama, dsb. Dalam waktu singkat dan tanpa dia rekayasa, sejuta lebih KTP warga DKI yang heterogen, berhasil dikumpulkan “Teman Ahok” yang hanya beberapa orang muda penggagasnya.

Berduyun-duyun orang, tak pandang suku, agama, strata sosial, sukarela dan girang menyerahkan fotokopi KTP; tentu saja itu fenomena yang mencengangkan, mengundang decak kagum, walau di seberang–yakni para penentang dan yang semakin khawatir tak bisa lagi menjadikan uang Pemprov DKI Jakarta jadi bancakan–bertambah gelisah dan geram.

Semua tahu, segala cara diupayakan untuk mengadangnya, termasuk orang-orang parpol yang sebelumnya tak mau mendukungnya namun kemudian hanya bisa mingkem setelah bos-bos partai memutuskan dukungan. Popularitas, daya pikat Ahok, dan dinamika politik yang tak biasa itu, barangkali baru kali ini terjadi dalam sejarah perebutan kekuasaan di negara ini.

Ahok yang menjadi idola dalam waktu cepat tanpa biaya PR, hanya karena keberanian dan ketegasan, berbahasa ceplas-ceplos namun logis, bernalar, yang kemudian disebut “kasar,” “tidak sopan,” “sombong,” dsb, oleh para penentangnya.

Ahok yang kelewat pede dengan pikirannya membenahi Jakarta dengan logika-logika yang kukuh dipercayainya–termasuk mengembalikan bantaran kali dari pemukiman slums, ilegal, terlepas dari pemihakan pada kaum marjinal yang digusur dan dipindahkan ke rusun-rusun yang disiapkan Pemprov.

Ahok yang menutup secara ketat keran uang pada mereka yang dianggap lazim bila pejabat Pemprov berkolaborasi dengan politisi, pengusaha, kontraktor, membagi-bagi proyek–termasuk me-mark up anggaran, dsb.

Ahok yang membuat resah para pejabat dan pegawai Pemprov DKI karena menerapkan disiplin yang ketat, memecat dan mengangkat pejabat dan aparat setiap saat dia mau lakukan bila menurutnya tak becus kerja, menyemprot bawahan di hadapan pewarta dan siapa saja.

Ahok yang kelewat bersemangat ingin mengubah mentalitas dan sistem di lingkungan administrasi pengurus ibukota dalam waktu singkat hingga mengabaikan unsur sensitivitas bahwa ia seorang yang dianggap minoritas namun kok kelewat berani, dan bekerja terang-terangan pula, termasuk mengungkapkan kebobrokan pejabat serta permainan anggaran ratusan milyar rupiah setiap tahun.

Ahok yang tak peduli resistensi dari yang tak “bahagia” (dan itu ada banyak) yang berniat menggulingkannya melalui cara apa saja, lalu membentuk aliansi-aliansi.

Maka, tanpa kasus (tuduhan) penodaan agama itu pun Ahok telah banyak mengumpulkan pembenci. Mulai dari yang mengandalkan isu sektarianisme-primordialisme, sentimen antietnis tertentu, ditambah “warisan” perseteruan pasca dan post pilpres, hingga para orang terdidik yang sebelumnya bersikap “objektif dan netral” namun berbeda paradigma serta pendekatan mengenai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pinggiran.

Ahok yang ironis karena di satu sisi ada berjuta penggemar namun di sisi lain tak kalah banyak pula yang membenci–walau berdalih ini itu namun kandungan kebencian tetap tak tertepis.

Tak ada lagi yang perlu disesali karena toh tak mungkin mengembalikan ke situasi sebelum penyebaran video editan oknum bernama BY itu menyebar dan mengundang amarah; sesuatu yang masih terus menjadi bahan perdebatan dan gunjing yang hanya berisi dua warna: bukan penodaan agama dan sebaliknya, itu masuk kategori penistaan.

Hiruk-pikuk dan pertengkaran yang membela dan membenci Ahok sungguh-sungguh melelahkan, bukan lagi sebatas persoalan lokal namun nasional, bahkan menjadi sorotan dunia internasional. Ahok yang fenomenal dan kontroversial!

Ada banyak yang bersorak atas pengadilannya yang dimulai hari ini, ada banyak yang emosional dan terharu hingga mengaku sampai meneteskan airmata. Airmata–serta doa–untuk yang mereka percaya hendak membangun ibukota yang dampaknya melanda ke semua penjuru wilayah negara.

Dampak positif tentu saja karena telah kelamaan masyarakat yang kritis muak menyaksikan ulah para pemimpin–termasuk di daerah mereka. Mereka begitu emosional dan sampai menangis karena merasa dan percaya, Ahok adalah idola, harapan, bagi perbaikan Indonesia; berasal dari berbagai suku dan agama serta lapisan sosial.

Maka, pengadilan Ahok adalah pula pertarungan antara akal sehat dan emosi yang bisa menguras enerji di kalangan yang mendukung dan membenci. Ada setitik harapan bahwa hukum akan dijalankan aparat pelaksana dengan benar–setidaknya mengindahkan prinsip dan moral HAM yang dianut PBB.

Salah satu: menjamin peradilan yang bebas dari intervensi, menjaga fairness, bagi siapa saja manusia di muka bumi ini–namun lebih dominan bayangan kekecewaan, bahkan kecemasan: Ahok akan dihukum, dipenjara, sementara ia dipercaya pendukungnya atau yang masih mempertahankan akal sehat: tak berniat menghina suatu agama

Bukan tak mungkin Ahok akan terjerat pasal pidana mengenai penodaan agama–walau pada yang lebih keras dan jelas melakukan tak dijerat, entah karena apa–dan dihukum majelis hakim yang menyidangkan; entah percobaan atau kurungan. Barangkali, majelis hakim yang menangani perkara pun masih berbeda pikiran karena pelbagai pertimbangan, terutama unsur pidana, dan tekanan massa di sisi lain.

Maka, peradilan Ahok akan menjadi peradilan yang amat menegangkan dan krusial–bahkan amat kritis–tak hanya bagi rakyat Indonesia, pula majelis hakim yang menyidangkan perkara. Bagi masyarakat luas, hanya ada dua keinginan: bagi pembenci, ia layak dihukum, dan bagi yang bersimpati, ia patut dibebaskan dari segala tuduhan.

Pengadilan Ahok pun bukan lagi arena peradilan atas pelanggaran suatu pasal pidana mengenai penodaan agama belaka, namun memiliki spektrum yang lebih luas dan mengguncangkan.

Tak mudah tentu bagi majelis hakim yang menyidangkan. Sangat tak mudah, dan biarlah itu menjadi pertaruhan integritas dan kredibilitas mereka menjalankan pekerjaan, terutama pada sumpah yang telah diaminkan saat dinobatkan jadi hakim; pengadil yang tak boleh berpihak selain pada keadilan itu sendiri, yang berasal dari ilmu hukum, doktrin, filosofi, dan norma-norma hukum yang disodorkan kitab-kitab hukum–meskipun tak mampu memenuhi kemauan semua pihak, yang menghendakinya dihukum atau dibebaskan.

Saya kira, Ahok telah memikirkan hal terburuk, di luar yang dibayangkan para simpatisannya, dan juga sudah menyiapkan dirinya. Bagi saya, yang kini terjadi atau akhirnya dialami Ahok, kembali mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang kelewat sensitif bila menyangkut isu agama.

Karenanya jangan coba-coba menyepelekan meskipun tak ada motif melecehkan. Hanya akal sehat dan keluasan wawasan yang mampu menetralisir. Sementara, itu suatu hal yang sulit diharapkan merata dimiliki 250 jutaan warga yang amat beragam latar belakang, pendidikan, keyakinan, pergaulan, dan cara pandang.

Dengan kata lain, kasus Ahok ini “hanya” pengingat betapa kita belum boleh berharap banyak mengenai kedewasaan berpikir seluruh unsur masyarakat yang merata. Karenanya berhati-hatilah selain turut serta menjadi penganjur keutamaan akal sehat, mendorong upaya-upaya pencerdasan di lingkungan terdekat–antara lain melalui media sosial–dan tak turut di barisan kaum pandir yang malas berpikir.

Pendidikan formal itu amat penting, berguna banyak, namun yang terutama ialah: untuk membangun kerangka pikir yang logis dan bernalar, membongkar kepicikan atau kegelapan pikiran, membangun kesadaran bahwa alam dan manusia tak sesimpel yang tersimpan di benak, baik karena ajaran, doktrin, dogma, maupun mitos-mitos yang terwariskan.

Mari redam emosi, sesekali penting pula merenungkan betapa absurd dan kejam bila menyangkut “urusan dan perjuangan menggapai keadilan,” sambil mengingat beratus ribu manusia Indonesia yang (pernah) menjadi korban. Antara lain, mereka yang dihukum tanpa proses peradilan yang sesuai dengan kaedah hukum pasca G 30 S. Orang-orang yang dihukum mati tanpa suatu kesalahan yang telah dibuktikan melalui persidangan.

Perjalanan Ahok akan menjadi catatan penting dalam perjuangan keadilan, namun yang dialaminya tak seberapa dibanding korban-korban kekejaman suatu rezim atau penguasa di negara ini, pun di negara lain. Semoga ia kuat dan pendukungnya tetap mengutamakan akal sehat.

Mungkin ada yang tak gembira dengan catatan singkat ini, tak mengapa, karena saya pun tengah mendidik diri saya agar terus membiasakan berpikir tenang, konstruktif, selalu memikirkan berbagai aspek, dimensional, suka atau tak suka, setuju atau menentang situasi yang tak menyenangkan ini.

 

Foto: Admin Petraonline.net