Serasa Mimpi

Rasanya bagai mimpi.

Tahun lalu, bersama dua sahabat, kami bertiga sudah merencanakan perjalanan ke luar negeri, yang akhirnya kami tunda dan diganti menjadi tahun ini, dan batal lagi.

Masih terasa seperti kemarin, di akhir tahun, bersama keluarga merencanakan wisata ke benua di seberang samudera, tapi harus diundur entah sampai kapan.

Serasa bagai lelucon, ketika di awal tahun kita mendengar berita tentang virus Corona di Wuhan, dan banyak gurauan yang mengatakan bahwa virus itu takkan mampu bertahan di Indonesia karena di Indonesia sudah banyak saingannya.

Kami masih ngopi di café, makan di restoran, menonton film di bioskop, membeli barang online dari luar negeri, ke pusat kebugaran, jalan-jalan ke mall, bahkan ke luar kota.

Baru di bulan Maret, secara resmi dinyatakan virus Corona sudah masuk Indonesia.

Ada sedikit rasa kuatir. Masih sedikit.

Tapi kita semua seolah masih menganggap itu seperti virus lain yang pernah ada dan akan hilang dalam beberapa minggu, dan rasanya virus itu jauh dari kita.

Lalu jumlah korban mulai diberitakan. Alamat korban diberitakan. Korban meninggal pun masuk berita. Ternyata sang korban adalah tetangga, rekan, saudara, selebriti, dan si Corona pun terasa makin dekat di depan kita!   

Dan sekolah pun resmi di’rumah’kan. Anak sekolah belajar di rumah. Orangtua mulai resah. Jika sekolah sudah diliburkan, tentu virus ini tidak main-main. Lalu perusahaan mulai ikut. Karyawan pun dialihkan bekerja dari rumah. Masyarakat makin gusar. Angkutan umum mulai dibatasi. Fasilitas umum dikurangi. Aktivitas umum diminimalisasi. Tembok dibangun. Jarak diperluas.

Kemudian negara lain mengumumkan ribuan korban. Mata kita makin terbuka. Itu bukan film. Itu bukan hoax. Itu bukan sekedar berita. Itu realitas. Kejadian itu tidak hanya di televisi. Ada di depan mata kita! Korbannya adalah saudara kita, rekan, tetangga, orang yang kita hormati, kasihi, kagumi. Orang-orang yang ada di sekitar kita! Selama sakit tak boleh dibesuk, ketika meninggal pun tak boleh dilihat. Menyedihkan.

Dan kita tertampar realita pahit. Ini bukan mimpi!

Virus Corona ada di depan hidung kita. Hidung kita perlu ditutupi masker agar tidak dirasuki si virus. Kita dihimbau tetap di dalam rumah. Kita ketakutan jika keluar rumah. Bahkan ketakutan menyentuh apapun. Kita bolak-balik mencuci tangan. Apakah pintu mall ini ada virusnya, apakah tombol lift ini terpapar virus, apakah helm si Bang Ojek kena virus dari penumpang sebelumnya, apakah kopi yang kita minum diseduh oleh orang yang terinfeksi virus, apakah rekan kantor kita diam-diam sudah terinfeksi virus, apakah anak-anak di rumah bergaul dengan teman yang terkena virus, apakah mobil kita harus disemprot disinfektan tiap hari, apakah barang belanjaan kita bebas dari infeksi virus, apakah tangan kita bersih dari virus sehabis memencet tombol mesin ATM, apakah uang kembalian tukang sayur sudah kena virus? Dan seterusnya.

Tak diduga kita menjadi paranoid. Virus yang tak bisa dilihat mata normal itu menjadi momok yang menghantui siang dan malam. Saya pribadi, sejak pemberlakuan Working From Home (WFH), jam tidur saya jadi mundur lebih larut. Tidak ada rasa kantuk, bahkan kadang memaksa diri untuk tidur di malam hari. Tidur siang pun tak lagi bisa. Apakah saya diam-diam sudah paranoid?

Kita tak lagi dianjurkan bersosialisasi dalam jarak dekat. Physical distancing. Kita terpaksa mencurigai apapun, siapapun, di manapun. Tak ada lagi pesta. Tak ada kebaktian di gereja. Tak ada yang datang di pusat kebugaran. Tak lagi ada janjian ngopi bareng sahabat. Tak ada acara arisan. Semua pertemuan yang melibatkan kerumunan dilarang.

Tak ada lagi jalan-jalan ke luar kota atau ke luar negeri. Ke mall pun sudah sepi. Semua diisolasi. Kita di rumah hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Bagi yang memiliki tas dan baju bermerk mahal dan segala perhiasan pun, kini teronggok tak terpakai. Kita makin tertampar pertanyaan hakiki tentang kehidupan. Apa yang terpenting dalam hidup rupanya bukan harta yang kita miliki.

Masih saja banyak yang membuat lelucon. Ada yang lucu, ada yang garing, bahkan sarkastis. Sekalipun terasa sarkastis, lelucon itu masih jauh lebih ringan daripada manusia berjiwa hater yang hanya bisa menyebar hoax, menyebar kabar buruk, memaki-maki pemerintah, juga manusia egois yang menumpuk bahan makanan dan memonopoli masker.

Dalam keadaan genting, ada saja manusia yang mencari kesempatan dalam kesempitan, memancing di air keruh. Ada lagikah makhluk yang lebih jahat daripada itu?

Dalam pandemi Covid-19 ini, tak harus bertemu orang lain masih bisa saya terima. Tak harus ke luar rumah masih bisa saya atasi. Harus menahan bosan, lelah dan kuatir, masih bisa saya kendalikan. Yang tak tertahankan adalah tidak mengetahui kapan ini akan berakhir. Kapan semua kembali ke normal. Ketidaktahuan bagaikan racun yang menggerogoti jiwa, mengguncang iman dan merampas kebahagiaan.

Ketidaktahuan bisa membuat kita menderita, tak tahan, tak sabar, tak yakin, tak bahagia, curiga dan penuh prasangka. Mungkin itu yang menyebabkan banyak manusia berjiwa hater yang menebarkan kebencian dan berita busuk, sebab dia tak ingin mengalami penderitaan jiwanya sendirian.  

Namun, apa lagi yang bisa kita lakukan dalam kejadian ini?

Khotbah pendeta kami, memberikan sisi pandang lain. Dalam penderitaan, manusia potensial bertumbuh. Penderitaan membuat kita makin dekat pada Tuhan. Kita makin berharap dan berserah dan bersyukur pada Tuhan. Tuhan punya rencana baik dalam setiap peristiwa. Penderitaan juga membuat kita lebih peka akan sesama. Seperti saat ini, gerakan saling membantu sesama dengan menyumbang kebutuhan pokok sudah mulai digerakkan. Daripada kita galau tiap kali membaca postingan berita di media sosial, lebih baik berfokus pada hal positif yang bisa kita lakukan.

Seperti tertulis di Galatia 6:2. Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *