Film “Thor: Ragnarok”, Hidup adalah tentang Perubahan

Akhir pekan kemarin, saya dan anak-anak menonton film Thor: Ragnarok. Sudah lama kami menunggu film ini diputar.

Sebelum menonton, saya agak heran begitu melihat mengapa di posternya, rambut Thor jadi pendek. Setelah menonton, barulah ketahuan alasannya. Ketika rambutnya akan dipotong selama film itu, saya sempat kuatir kekuatannya akan berkurang seperti Samson. Ternyata tidak.

Tapi ketika Thor bertarung dengan Hela, sang dewi kematian, dan Hela menghancurkan palu Thor, saya pun tercengang. Apakah kekuatan Thor akan hilang bersama kehancuran palu itu?

Ketika Thor kehilangan palunya, dia mungkin juga merasa kehilangan kekuatannya. Padahal, bukan di situ letak kekuatannya yang sebenarnya. Itu hanya senjata. Hanya alat. Sarana.

Tanpa palu Mjolnir itu, Thor pada dasarnya sangat kuat dan cepat. Thor adalah salah satu Asgardian terkuat dalam hal potensi kekuatan (raw power). Dengan palu itu, kekuatan dan kelincahan alami Thor ditingkatkan sampai batas tertentu, tapi pada dasarnya Thor sangat kuat (extremely durable).

Saya pikir, Thor yang terkenal dengan senjata palunya, mungkin saja sempat merasa lemah atau ‘telanjang’ tanpa palu itu. Ibarat orang jika tak mengenakan jam tangan, atau tidak memegang ponsel satu hari saja, rasanya ada yang kurang.

Kita juga mungkin pernah merasa bahwa kekuatan kita ada pada material, barang-barang atau harta kita, tapi sesungguhnya bukan. Itu hanya sarana. Kekuatan itu ada pada diri kita. Kepribadian kita. Apapun bentuknya.

Film ini memang film laga, tapi sangat saya suka, sebab banyak dialog atau adegan yang kocak yang dari awal sudah membuat saya terpingkal-pingkal.

Selain joke-joke dan keseruan pertarungan dan jalan cerita yang tak terduga, juga akting bagus dari tokoh-tokohnya, banyak hikmah yang bisa dipetik dari film ini.

Contohnya…

Ada orang seperti Valkyrie, yang mencoba melarikan diri dari masa lalu dengan hidup bermabuk-mabukan, tak berani menghadapi kenyataan, walaupun pada akhirnya dia berani menghadapi mimpi buruknya.

Kalaupun kita punya kekuatan, jangan main pukul sembarangan seperti Hulk yang mencoba menghajar Surtur, monster api, yang bisa menghanguskannya dalam sekejap. Pikir dulu sebelum bertindak. Ukur dulu kemampuan kita.

Lalu Thor, yang menemukan dirinya, bahwa kekuatannya ada pada dirinya, bukan pada palunya. Dan bahwa sebuah negeri itu bukanlah tempatnya, tapi manusianya.

Lalu, yang paling saya sukai adalah, seperti ucapan Thor kepada adiknya, Loki: “

Hidup ini adalah tentang pertumbuhan dan perubahan

, tapi kenapa kau tetap sama saja?”

Ada orang yang seperti Loki, tak mau berubah, tetap pengkhianat, egois dan tricky, hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Sesaat kita merasa bisa memercayainya tapi rupanya dia tetap mengkhianati kita.

Saya setuju bahwa,

memang seharusnya dalam hidup ini kita harus mengalami perubahan positif, bertransformasi terus-menerus menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa, lebih matang, lebih berguna, makin positif, dan semakin menyerupai imej Pencipta kita.

Kesimpulannya, kami sangat puas menonton film ini, tak percuma penantian ‘panjang’ kami. Tak sabar menunggu film berikutnya.

-*-

Jangan Menghakimi

Di rumah, anak-anak saya pernah mengetawai saya karena tidak berani naik motor atau naik ojek. Kalau tidak sangat terpaksa, saya memang tak mau naik ojek. Saya memilih naik mobil karena lebih aman dan nyaman (versi saya lho…).

Tapi beberapa kondisi memang memaksa saya naik kenderaan roda dua itu. Awalnya terasa menakutkan, tapi makin lama makin terbiasa. Walau tetap memilih tak sering-sering.

Minggu lalu saya naik ojek pesanan online, kebetulan dapat driver yang rupawan dan baik hati. Besoknya juga driver yang sopan dan rapih. Dan kemarin, saya dapat driver tipe yang versi sebaliknya. Agak semaunya, sok tahu, dan bau badan. Saya tidak tahan karena dia tidak membawa kenderaan dengan baik, tidak mengikuti arah jalan yang saya beritahu, dan baunya sangat mengganggu. Dia tidak punya kreatifitas mencari jalan yang lowong. Kami nyaris selalu berada di antara himpitan mobil, tidak bergerak. Saya selalu kuatir akan terjepit kenderaan lain. Sekali waktu saya malah tersenggol. Saya ketakutan, kesal, dan gregetan.

Padahal motornya bagus dan terlihat baru. “Apakah dia baru bisa membawa motor? Apakah dia baru jadi driver ojek online?” Saya hanya bisa mengira-ngira dalam hati.

Sepanjang jalan saya menyesal naik ojek itu. Bahkan sempat terpikir untuk turun di tengah jalan saja. Tapi mengingat akan sangat sulit naik angkutan lain, saya menahan diri.

Lalu di lampu merah Fatmawati yang macet semrawut ada sedan yang menghalangi jalan. Motor di depan kami menyenggol, dan kabur ketika gadis si pemilik sedan membuka kaca. Dia memaki kami, yang persis di belakang si motor penyenggol tadi. Si driver ojek saya masih sempat-sempatnya membalas makian si pengemudi mobil: “Bukan saya, Mbak! Itu tadi motor di depan…”

Saya segera menepuk pundak si driver dan menyuruh segera berlalu. Jangan cari masalah lagi. Saya paling tak suka lelaki yang suka berdebat, apalagi bertengkar dengan perempuan!

Lalu akhirnya ‘pergumulan’ saya pun berakhir setelah tiba di tujuan. Saya sempat berpikir akan memberi rate bintang yang sedikit dan tanpa tips, tapi hati nurani saya menolak. Saya tetap memberi lima bintang dan sedikit tips.

Ada pikiran yang melintas. Mungkin dia punya pergumulan hidup yang saya tak tahu, dan saya tak mau makin menyulitkannya dengan memberi rating bintang yang sedikit, yang akan mengurangi prestasi pada mata pencariannya.

Dan hal itu seperti terjawab di besok harinya, ketika saya naik mobil online ke kantor.

Bapak supir mobil online ini sudah agak berumur. Ketika dia tanya tujuan saya, beliau langsung bilang itu gedung kantor anaknya juga! Beliau menyebutkan nama perusahaannya. Saya tahu perusahaan itu dan saya bilang itu perusahaan yang bagus. Konon anaknya dan satu divisi katanya sedang jalan-jalan ke luar negeri dibiayai oleh kantor.

Lalu entah bagaimana mulanya, sepanjang jalan bapak sang supir ini bercerita tentang anaknya dan keluarganya. Istrinya meninggal empat tahun lalu karena kanker payudara. Anaknya yang satu gedung dengan saya adalah bungsu yang sempat terguncang karena ibunya meninggal sebelum dia wisuda. Anaknya itu pun pernah ditawari pekerjaan yang bagus di luar kota tapi ditolak karena tidak tega meninggalkan ayahnya sendirian di Jakarta. Padahal ayahnya rela saja, demi kesuksesan masa depan anaknya itu. Tapi anaknya memilih merawat ayahnya ini.

Ketika beliau sangat detil menceritakan penderitaan istrinya ketika terserang kanker ganas (dan mereka sekeluarga sepakat tidak memberitahukan kepada ibunya) dan kala mereka kesulitan mencari uang untuk pengobatan ibunya hingga nyaris menjual rumah, saya merasa sangat kagum dan terharu dalam hati. Mereka adalah keluarga yang tangguh, pejuang yang tak kenal menyerah, dan saling berkorban demi kasih dalam keluarga.

Saat-saat terakhir sebelum istrinya meninggal, tiba-tiba katanya istrinya menelepon meminta Bapak ini untuk menemani di rumah sakit, karena istrinya kangen bercanda-canda dengan suaminya. Dan saat itu istrinya katanya bercanda terus. Begitu bapak itu datang, langsung ditanya oleh istrinya sambil tertawa: Bapak pulang bawa amplop nggak? Banyak nggak isinya? Dan seterusnya. Mereka tertawa-tawa. Tak dinyana, itu adalah hari terakhir mereka bertemu dan berbicara.

Kisah si Bapak pas berakhir sebelum kami masuk lobi gedung kantor. Dia berterima kasih atas ‘telinga’ saya yang rela mendengarkannya. Saya melihat gelagat si Bapak merasa lega, karena mungkin ini pertama kalinya dia bercerita tentang hal sepribadi itu pada orang lain, pada orang yang tak dia kenal pula!

Lalu saya teringat pada driver ojek yang kemarinnya. Mungkin dia juga punya kisah yang saya tidak tahu. Mungkin lebih tragis. Mungkin lebih kompleks. Mungkin lebih menyedihkan. Saya tak tahu. Saya hanya tahu saya perlu menerima kekurangannya, tanpa perlu tahu alasan di balik sikapnya.

Sebab kita semua punya kisah kita sendiri yang jadi alasan sikap kita saat ini, yang hanya kita dan Tuhan yang tahu.

Sebab itu, seperti kata orang bijak, hendaklah kita jangan saling menghakimi.
Before you judge a man, walk a mile in his shoes.

-*-

Kebanggaan yang Diporakporandakan

Lima belas tahun saya memiliki Asisten Rumah Tangga (ART) yang setia. Nyaman. Aman. Itulah yang saya rasakan.

Mulai dari bangun pagi hingga pagi berikutnya menjelang, dia selalu melayani kami sekeluarga dengan begitu baik. Makanan kami selalu enak dan bergizi. Rumah selalu bersih dan tertata rapi. Persediaan air mineral, Sembilan bahan pokok dan bahan makanan juga selalu ada.

Segala masalah bisa diselesaikannya. Mulai dari rok sekolah anak saya yang sobek, bisa dijahitnya, sampai urusan yang lebih berat, bisa tertangani dengan baik.

Saya pun diperlakukannya bagaikan putri. Sepulang kantor, jus buah segar selalu tersedia di atas meja. Karena sudah belasan tahun dia meladeni kami sedemikian rupa, kami menjadi biasa.

Sering lupa berterima kasih. Sering tidak peka terhadap kebutuhannya. Semua menjadi take it for granted. Memang seperti itulah, dia seharusnya, begitu kata kami.

Saya dan suami bekerja dari pagi hingga terkadang malam hari. Anak satu-satunya bersekolah dan mengikuti beberapa les dari pagi hingga terkadang sore hari. Si asisten yang lebih sering di rumah, bertemu dengan tukang pos, tukang listrik, tukang sayur dan bahkan beberapa orang yang mencoba menipu hanya untuk bisa masuk ke rumah.

Dia menjaga rumah kami bagaikan malaikat Tuhan. Saya tidak pernah mengunci kamar. Lima belas tahun terbukti, dia sangat jujur.

Saya, suami dan anak saya sangat sayang padanya. Tentu dengan cara kami masing-masing.

Tapi sekali lagi, karena sudah belasan tahun dia melakukan seperti ini kepada kami, kami jadi sering lupa berterimakasih, sering tidak peka terhadap kebutuhannya.

Hingga suatu ketika, kenyamanan kami terusik. ART yang baik hati dan sangat rajin ini pulang kampung karena ayahnya meninggal.

Atas usulan keluarganya, dia diminta tidak kembali lagi kepada saya. Sudah terlalu lama.

Dia meminta maaf. Dia ingin mencoba hal baru, demikian kata keluarganya.

Saya meradang. Menangis berhari-hari. Saya tidak menyiapkan rencana cadangan.

Sudah terlalu percaya diri, bahkan terkesan bangga memiliki ART yang setia. Ketika musim Lebaran tiba, saya selalu pamerkan ART saya yang tidak pulang kampung. Ketika ART teman-teman saya banyak yang gonta-ganti, saya selalu katakan bahwa hal itu tidak pernah terjadi pada saya. Saya terlalu bangga.

Akhirnya kami mendapatkan seorang ART baru sebagai penggantinya. Semua dimulai lagi dari awal. Pelan-pelan dan berproses.

Secara karakter dan kualitas pekerjaan, ART baru jauh berbeda dari ART lama. ART yang baru ini padahal usianya jauh lebih tua dari ART lama.

Hati saya menjadi semakin tak karuan. Kalau mengikuti ego dan kata hati, rasanya ingin mengambil ART lama kembali ke rumah saya.

Segala kebaikan ART lama selalu terbayang di pelupuk mata, sambil air mata saya mengalir. Saya menyesal kenapa saya tidak memikirkan masa depannya waktu itu. Seharusnya dia saya sekolahkan berbagai hal sebagai persiapan masa depannya.

Sampai hari ini, rasa sesak di dada saya tidak kunjung hilang karena penyesalan saya. Kebanggaan saya diporak-porandakan. Kebanggaan yang sudah menjadi berhala. Kebanggaan yang tidak lagi mengandalkan Tuhan.

Semoga ART saya yang lama sukses meraih masa depannya. Dengan tulus, saya mendoakannya. Maafkan kami yang tidak peka dengan kebutuhanmu.

 

Luciana Siahaan

Penulis adalah Ketua Dewan Teruna Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

Foto: Pixabay.com

Yang Lebih Penting daripada isu Pribumi dan Non-pribumi

Dua pekan lalu, saya diminta sekelompok ‘ibu-ibu muda’ penghuni BSD dan sekitar bicara hukum yang relevan diketahui. Mereka para ibu yang biasa antar-jemput anak di sekolah Penabur dan satu keponakan perempuan ikut penggagas; perkumpulan sosial dengan kegiatan rohani dengan berbagai agenda rutin, melakukan aksi sosial ke masyarakat yang membutuhkan tanpa memandang agama dan etnisitas, tak membedakan orang pribumi atau golongan Timur asing macam aturan pemerintah kolonial. Pokoknya wujud kepedulian, menyumbang tanpa motif lain, berupa sembako, pengobatan, dan lain-lain.

Ternyata, tak hanya topik hukum yang jadi bahan omongan, melebar ke persoalan-persoalan masyarakat perkotaan di zaman sekarang, mulai dari “budaya” gadgets, kecenderungan digitalisasi, perilaku dan minat anak dan orang dewasa yang semua akhirnya harus mengakui: terjadi perobahan yang begitu cepat, nyata, dan tak terbendung. Mindset, behavior, orientasi dan minat orang-orang (terutama anak), seperti kian tegas jarak atau gap dengan orang tua.

Saya pun menambahkan pandangan dan pengetahuan atau informasi yang saya tahu, termasuk yang terjadi di berbagai negara. Trend globalisasi dan dunia yang semakin datar atau flat (bukan bumi datar maksudnya) akibat kemajuan teknologi dan sains, perekonomian dunia yang semakin terbuka namun sebenarnya kian kompetitif dan mengukuhkan hegemoni negara-negara berekonomi kuat karena unggul industri dan teknologi yang berdampak pada penerimaan negara dari hasil ekspor (perdagangan luar negeri), akan semakin nyata menimbulkan disparitas atau kesenjangan sosial-ekonomi pada masyarakat di negara-negara yang kalah bersaing.

Kesempatan kerja bagi generasi penerus (murid SD-SMP sekarang) akan semakin berat dan hanya yang benar-benar unggul yang berjaya; teknologi digital dan berbasis online, perlahan atau cepat, akan menggusur SDM.

Para ibu-ibu yang lebih banyak dari etnis Tionghoa itu seperti telah paham dan karenanya memprioritaskan pendidikan anak, menyiapkan yang dibutuhkan anak (antara lain belajar beberapa bahasa asing).

Sepanjang perjalanan menuju rumah dan jarak cukup jauh dari kawasan Serpong, saya bayangkan situasi negara ini, sekarang dan nanti. Lalu, teringat ketiga anak saya yang ketiganya menuju tahap dewasa secara usia dan menurut aturan hukum perdata. Mereka akan menghadapi kompetisi yang lebih keras itu, anak mereka (bila mereka memilih menikah dan punya anak karena saya tengah berupaya menjadi ayah yang moderat, tak mau memaksa anak married meskipun saya inginkan) bukan lagi generasi milenial dan entah seperti apa dampak kemajuan teknologi-sains dan cyber yang mempengaruhi berbagai hal.

Saya sedikit nervous manakala bayangan tersebut muncul, khawatir ketiga putra-putri dan anak mereka tak mampu berebut kesempatan kerja atau menyiapkan sumber penghasilan yang menjamin kebutuhan mereka di masa depan–dan suatu sikap yang bodoh bila saya hanya mengandalkan “melihat nanti saja” atau “Tuhan akan membantu mereka.” Otak saya harus digunakan memikirkan dan membagikan pada mereka (mumpung masih bisa bicara dan berbuat), terutama mengantisipasi yang akan datang, terlepas dari mereka concern atau cuek bebek (kuharap betul tak begitu).

Namun, jujur dan legawa saya akui, di antara beberapa keunggulan orang Tionghoa atau China (terutama diaspora), memang mereka lebih siap menghadapi situasi seperti apapun. Suka atau tidak, semangat, etos, elan, dan kegigihan mereka belajar dan “making money” serta melakukan saving maupun investasi, memang lebih baik sejak dulu.
Dan, itulah salah satu penyebab munculnya kecemburuan –dan bahkan antipati– bagi orang-orang yang tak bisa mengakui keunggulan orang (etnis) lain seraya bangkit karena mau menyadari kelemahan sendiri.

Para

ibu-ibu muda yang mengundang saya itu begitu antusias bertanya: apa lagi yang seharusnya mereka lakukan untuk melindungi anak dari persoalan hukum, dan meminta advis saya untuk menambah kesiapan putra-putri mereka berkompetisi di level internasional, kelak. Mereka begitu peduli dan mencatat saran-saran yang saya sampaikan walau yang saya katakan bukan ujaran seorang pakar, cuma berdasarkan info dan bacaan dan sebagian hasil pengamatan di beberapa perusahaan yang melakukan likuidasi dan rasionalisasi pekerja akibat situasi perekonomian nasional dan global.

Terus terang, kesadaran seperti itu sangat saya inginkan sebenarnya dimiliki orang tua atau masyarakat berusia dewasa di negara ini. Tak lagi tertarik menyoal atau mengusung isu: pribumi-non pri, agama itu-agama anu.

Tetapi, kayak orang Medan, “Apalah yang mau awak bilang. Patron dan tokoh-tokoh yang didukung orang-orang dan bahkan kalangan pendidik pun masih banyak mengandalkan isu-isu murahan macam itu.”

Kecemburuan pada satu etnis itu pun tak menjadi tantangan yang menciptakan perubahan demi perbaikan. Sementara, keterbelengguan tersebut amat penting dan masih tetap menarik bagi para pemburu kekuasaan yang mengatasnamakan “suara rakyat banyak” untuk dieksploitasi.

-*-

Kenangan di Kampus; Spirit Kenusantaraan yang Menghormati Plurarisme dan Multikulturalisme

Setelah gagal kuliah di Fakultas Filsafat UGM, di luar kemauan saya, abang saya mendaftarkan saya di satu kampus swasta, fakultas hukum, Universitas Kristen Indonesia kampus Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Saya pun akhirnya masuk ke lingkungan kampus yang saat itu dikuasai Menwa (mahasiswa semi serdadu), dua gang yang amat kuat di Jakarta (Siliwangi dengan bos Yapto S, gang Berland; dua gang ini diisi para anak kolong atawa turunan tentara), selain gang Ambon dengan bos Jongki Piters.

Angkatan saya ada 300 lebih sekian jumlah mahasiswa, hampir semua suku yang ada di Indonesia “terwakili.” Agama kepercayaan pun begitu. Walau berlabel kampus Kristen (Protestan), mata kuliah agama yang diajarkan dosen, sama sekali bukan berisi teologia Kristen, melainkan agama sebagai suatu “disiplin ilmu” atau epistemologi atau sejarah dan filsafat agama. Pokoknya, asal-usul dan makna agama (tak spesifik agama tertentu).

Uniknya, justru mata kuliah Hukum Islam yang wajib dan empat semester (dua tahun), tak hanya menyangkut hukum-hukum Syariah dan Fiqh, terutama mengenai hukum keluarga-perkawinan-perwalian-pewarisan, pun sejarah dan mazhab-mazhab dalam agama Islam. Kuliah tersebut wajib karena bagaimana pun, aplikasi atau praksis hukum pasti akan bersentuhan dengan masyarakat yang –sebagaimana diketahui– mayoritas Muslim. Hukum Islam (masa itu) termasuk mata kuliah yang angker bagi umumnya mahasiswa hukum di Jakarta (terutama FH UI, FH UKI, FH Universitas Pancasila karena dosen-dosen pengajar yang sama).

Susah betul lulus…
Mahasiswa bisa jadi abadi di kampus gara-gara mata kuliah yang satu ini. (Saya mau membanggakan diri tanpa malu-malu: Hukum Islam termasuk kuliah favorit dan saya sering di-booked hingga kewalahan memberikan tentier/tutorial pada mahasiswa-mahasiswa seangkatan, junior, bahkan pada senior yang tak lulus meski telah belasan kali ujian! Honor? Cukup “ucapan terima kasih,” walau selalu disuguhi kopi plus kudapan dan rokok oleh pengundang. 🙂

Di antara yang susah lulus itu (tak usah kaget) justru lebih banyak mahasiswa Muslim (dan jumlah mereka banyak memang di kampus), dan itu tak berkorelasi dengan aqidah, tentunya. Materi Hukum Islam memang padat dan rumit terutama mengenai sistem dan aturan waris, terlebih karena metode atau aturan yang berbeda pada masing-masing mazhab. Butuh kecerdasan ekstra selain minat agar bisa lulus, formulanya “pakai matematika” pula. Jauh lebih mudah menghitung pembagian waris menurut hukum Barat (KUH Perdata).

Tentir yang saya berikan selalu menyertakan mahasiswa multi etnis dan agama, lintas angkatan dan tak perlu lagi gengsi karena kadang saya gabung dengan junior–ketimbang tak lulus? Tetapi sayang, pengetahuan Hukum Islam yang dulu lumayan kuat saya kuasai perlahan tergerus; terakhir saya bawakan di acara hukum untuk wanita karir yang digagas Radio Cosmopolitan Jakarta, 2005-2006. Sejak itu, kian menguap karena tak ada lagi yang meminta (klien atau publik).

*-*

Di antara kenangan dan pengalaman yang paling mengesankan selama saya di FH UKI yang lekat dengan label “kampus keras” dan banyak diisi para jawara ibukota itu, relasi dan pergaulan dengan ratusan mahasiswa lintas angkatan, beragam suku dan keyakinan, dengan semangat atau ikatan: pertemanan yang intens, hangat, egaliter, tak bersekat-sekat. Rasanya hanya ke kalangan Menwa saya kurang akrab karena tak nyaman dengan seragam serta tampilan mereka yang umumnya militeristik; namun ada beberapa jadi teman akrab (junior).

Ditambah pengalaman bersekolah di SMA (14 Jakarta), spirit kenusantaraan yang menghormati plurarisme dan multikulturalisme, kian terbangun selama kuliah. Kawan-kawan saya yang lintas angkatan itu (pada yang junior malah lebih akrab karena urusan tentir-menentir), telah berperan mengeratkan tali-temali keindonesiaan yang harus jujur kukatakan: amat indah. Rumah atau kos-kosan mereka banyak sekali yang pernah kujambangi, kuinapi, makan enak atau mendengar musik sambil ngobrol apa saja yang asyik diomongkan. Rumah (kakak-kakak) dan kos-an saya pun begitu…

Seorang di antara kawan masa lampau yang sempat akrab dengan saya (sebelum dia keluar di tahun keempat kuliah karena memilih berbisnis), lelaki keturunan Arab bernama Ali. Dia anak orang kaya, berumah di Menteng, orangtuanya (eks) pemilik Hotel Sabang. Entah berapa kali saya nginap di rumahnya yang mengundang decak saking luas dan mewah, di wilayah Menteng. Ia kawan yang sungguh baik, makanan dan minuman yang melimpah di rumahnya tak bosan dia sodorkan pada siapa saja kawan yang mampir atau menginap (dengan embel-embel “belajar bersama”) di rumahnya. Orangtua dan sanak saudaranya begitu pula halnya.

Tak sebersit pun rasanya kami (di FH UKI) menyinggung keyakinan dan isu kepribumian-ketidakpribumian. Organisasi mahasiswa dari luar tak berhasil menerobos ke dalam maka tak kentara siapa anggota GMKI, HMI, PMKRI, dan yang lain. Itu kampus berlabel agama yang hampir sempurna menganut sekularisme. Kampus yang dikenal keras karena hegemoni resimen mahasiswa dan gang-gang anak muda Jakarta namun terjauh dari aliran sektarianisme maupun sukuisme.

Tiba-tiba tadi teringat mereka semua, dan Ali salah satu –yang entah di mana dia kini. Semoga dia tetap seperti Ali yang kukenal, lelaki berdarah Arab yang menyenangkan, tak menghendaki polarisasi manusia berdasarkan suku bangsa atau agama. Bahkan bila pun tak sama kewarganegaraan.

*-*

Pribumi dan Non Pribumi, Warisan Kolonial Yang Masih Membelenggu

Pada pidato perdana setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Dr. Anies Baswedan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang dalam pandangan penulis patut untuk dicermati.

Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media, dalam pernyataan-pernyataan tersebut Pak Gubernur menggunakan istilah “pribumi” untuk merujuk pada komponen bangsa yang dalam pandangan beliau pernah ditindas dan dikalahkan pada masa lalu. Oleh karena itu, setelah merdeka, kini saatnya komponen bangsa tersebut menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Pernyataan Dr. Baswedan di atas berpotensi memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Siapakah yang beliau maksud sebagai “pribumi” itu? Bagaimana hubungan komponen bangsa yang disebut “pribumi” tersebut dengan komponen lain yang dapat menjadi pembanding, yaitu “non-pribumi”?

Sejak kapan kategorisasi pribumi dan non-pribumi digunakan dalam masyarakat Indonesia? Apakah penggunaan istilah tersebut masih relevan di era reformasi ini? Tulisan singkat ini mencoba mendiskusikan pertanyaan petanyaan di atas.

Bila pendefinisian seeorang atau sekelompok orang sebagai “pribumi” atau “non-pribumi” didasarkan pada asal usul nenek moyang dari orang atau kelompok tersebut, maka sebagian besar – bila bukan seluruh – bangsa Indonesia tak dapat dikategorikan sebagai pribumi.

Betapa tidak? Sebagian besar antropolog sepakat bahwa asal usul manusia modern dapat ditelusuri hingga benua Afrika, antara 80 ribu hinga 100 ribu yang lalu. Ini berarti bahwa seluruh penghuni nusantara pada dasarnya adalah keturunan dari para imigran yang datang di kepulauan Asia Tenggara ini puluhan ribu tahun yang lalu.

Arus kedatangan rumpun Austronesia bahkan lebih lambat lagi. “Penduduk asli” pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaka itu meninggalkan “tanah leluhur mereka”, yaitu pulau Taiwan sekitar 1000 tahun atau lebih sebelum masehi.

Bila para penduduk asli itu sebenarnya adalah “pendatang”, mengapa saat ini kita mengenal pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi”? Siapakah yang pribumi dan siapakah yang bukan?

Pembedaan antara “pribumi” dan “non pribumi” sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang tergolong baru, bila dibandingkan dengan sejarah nusantara yang telah mencapai ribuan tahun. Pembedaan ini baru mulai dikenal pada sekitar abad ke sembilan belas, seiring dengan stratifikasi masyarakat berdasarkan ras, yang menurut Professor Wertheim, sangat berbeda dari sistem lama di Indonesia, yang tidak mengenal pembedaan semacam itu.

Stratifikasi sosial baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial ini menempatkan orang orang Belanda dan golongan Eropa lainnya pada lapisan teratas dari masyarakat pada saat itu.

Orang orang Eropa ini memiliki status hukum yang sangat berbeda dari golongan lain, yaitu mereka yang disebut sebagai bumiputera, yang justru menempati lapisan masyarakat terbawah. Sementara itu, dalam wilayah koloni Belanda saat itu, terdapat pula orang-orang Asia yang berasal dari negara negara di luar nusantara.

Mereka adalah para pendatang (atau keturunan pendatang) dari Tiongkok, Jepang, Arab, India.  Sebagaimana dituliskan oleh Charles A. Coppel, orang-orang ini (dengan pengecualian pendatang dari Jepang yang pada akhir abad Sembilan belas disamakan dengan golongan Eropa) dikategorikan sebagai “mereka yang disamakan dengan pribumi”.

Namun meski disamakan secara status, mereka dibedakan sebagai golongan tersendiri, yaitu “Timur Asing”.  Menurut Coppel, istilah “Timur Asing” ini seolah melanggengkan pandangan bahwa mereka pada hakikatnya adalah ‘orang orang asing.

Meski penggolongan penduduk berdasakan ras di atas merupakan peninggalan kebijakan kolonial, keberadaannya nampaknya diterima oleh para aktivis pergerakan nasional pada awal abad ke-dua puluh. Sebagian besar dari organisasi yang memupuk kebangsaan Indonesia pada periode itu memandang bahwa hanya masyarakat pribumi lah yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia.

Orang-orang Timur Asing tidak dapat dianggap sebagai bangsa Indonesia meski mereka telah hadir di wilayah jajahan Belanda itu selama beberapa generasi. Sebagaimana ditulis oleh Mobini-Kheseh, setidaknya selama beberapa waktu, orang-orang keturunan Arab tidak dapat menjadi anggota penuh dari Syarikat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu pemersatu.

Hanya beberapa dari para tokoh kebangsaan saat itu – teruatama para pendiri Indische Partij – yang berpandangan bahwa Indonesia (saat itu disebut sebagai Hindia) adalah tanah air dari mereka yang tinggal di Indonesia, tanpa memandang ras, etnisitas, ataupun agama.

Sayang, Indische Partij sendiri tak berumur panjang karena segera diberangus oleh pemerintah kolonial. Seiring pudarnya Indische Partij, ide pembangunan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada status kepribumian menjadi wacana yang paling dominan dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu.

Lebih dari dua abad telah berlalu sejak penggolongan masyarakat berdasarkan ras diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial. Indonesia pun telah lebih dari tujuh puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan. Namun istilah pribumi dan non-pribumi masih seringkali didengungkan, tanpa memberi klarifikasi mengenai konteks di mana istilah tersebut pertama kali dicipta.

Sebagai bangsa merdeka, bukankah seyogyanya kita pun membebaskan diri dari belenggu mental yang pernah dikenakan kepada kita oleh pemerintahan kolonial di masa lalu?

Dalam hemat penulis, salah satu dari belenggu tersebut adalah pembedaan terhadap saudara sebangsa berdasarkan penggolongan pribumi dan non pribumi. Hancurnya belenggu tersebut akan membawa kita kembali kepada cita-cita lama yang selalu mulia, yaitu membangun bangsa Indonesia yang mencakup seluruh anak negeri, termasuk mereka yang pada masa kolonial dikategorikan sebagai “pribumi” dan “non pribumi.”

 

Johanes Herlijanto

Penulis adalah antropolog dan dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPH, Karawaci.

Tulisan pernah muncul di Petraonline.net 5 Juni 2017, namun telah diedit sesuai konteks saat ini.

 

Foto Pixabay

Hidup Bersama, Perlu Pengorbanan

“Hidup bersama, perlu pengorbanan.”

Saya lupa mendengar atau membaca tulisan itu di mana. Tapi saya menyetujuinya.

Dalam sebuah perjalanan wisata ke luar negeri, seorang teman saya yang sering tur backpack bercerita. Dalam setiap rombongan, pasti ada saja anggota yang merepotkan. Anggota yang rese, trouble maker atau biang keladi masalah. Dan biasanya orang itu adalah tipe orang yang egois. Tak bisa berbagi.

Perjalanan terakhir mereka, dipelopori oleh seseorang yang sama sekali belum pernah ke luar negeri. Sebutlah namanya si Siti. Karena kebetulan dia tidak bekerja seperti yang lain, yang lain dengan senang hati membiarkan si Siti ini membuat rencana jadwal perjalanan. Tapi, sejak awal orang ini malah sudah merepotkan. Minta dibookingkan reservasi, minta dibayari dulu, bayarnya juga belum lunas sampai tiba di luar negeri, lalu dia tak membuat jadwal tur perjalanan ternyata, dan pada akhirnya hanya mau ke pergi ke tujuan wisata yang dia mau saja, padahal yang lain ingin juga tur ke tempat lainnya.

Sudah bisa diduga akhir perjalanan itu meninggalkan konflik. Tentu saja yang lain merasa kapok tak mau lagi pergi dengan Siti si egois tadi.

Yang paling membuat teman saya kesal adalah, setelah lewat beberapa hari, si Siti ini masih menagih uang lagi, dengan kata-kata kasar, mengatakan bahwa harusnya dia tidak membayar sebanyak itu, padahal waktu sebelum pulang sudah diadakan hitung-hitungan dan sudah selesai dengan damai. Jumlah yang dia tagih itu pun tak seberapa, dan setelah dicek ternyata uang itu malah tak dia keluarkan. Sepertinya dia memang bermasalah dengan keuangan.

Tapi, teman saya itu dengan rela membayar jumlah itu, demi menjaga hubungan. Dirugikan uang tak seberapa, katanya, tak masalah, asal hubungan tetap baik. Dewasa sekali sikap itu.

Teman saya itu mengatakan, dia mengambil hikmah dari hubungan pertemanan itu. Dia bilang; Wah jangankan pernikahan, pertemanan pun perlu pengorbanan ya!

Betul. Hubungan bertetangga pun, hubungan rekanan pekerjaan pun perlu pengorbanan. Dan teman saya yang lain dengan berkelakar menambahkan; Hubungan majikan dengan pembantu rumah tangga pun perlu pengorbanan majikan, yang mengurut dada mengorbankan perasaan melihat ulah PRT yang kerjanya tak becus dan hobi main ponsel terus.

Seorang teman yang ahli dalam bidang psikologi pernah mengatakan bahwa salah satu bukti kematangan pribadi seseorang atau disebut kedewasaan, adalah kemampuan berbagi dengan orang lain. Berbagi adalah salah satu bentuk dari ‘berkorban’. Kita memberi dari kepentingan diri kita demi kepentingan orang lain juga.

Untuk setiap hubungan, kita perlu siap dengan resiko dirugikan, dimanfaatkan atau disakiti. Itulah mengapa perlu kasih. Kasihlah yang membuat kita rela dengan pengorbanan itu, secara sadar mau menerima sikap yang sebenarnya tak layak kita terima. Itu menunjukkan kekuatan dan kebesaran jiwa kita.

Hidup memang penuh dengan bermacam hubungan. Tapi memang, demi kelancaran hubungan itu, setiap orang harus siap ‘mengorbankan’ sesuatu, dalam berbagai bentuk. Waktu, materi, atau perasaaan.

Jika tak siap berkorban, mungkin seperti kodok, lebih baik tinggal di bawah tempurung saja?

-*-

Mampu Bertahan dalam Masa Sulit?

Kemarin, sepulang kantor saya menjemput anak dari tempat les bimbel ke tempat les musik. Biasanya jarak tempuh paling lama 30 menit. Tapi kemarin, saking macetnya, nyaris dua jam. Dalam lima meter saja, mobil kami nyaris 30 menit tak bergerak.

Untunglah guru les musiknya ternyata berhalangan, jadi kami tak perlu kuatir terlambat. Kami jadi bisa langsung pulang atau pergi lagi ke acara kebaktian malam di gereja.

Selama dalam kemacetan itu, mungkin karena kebosanan, anak saya yang berumur 9 tahun itu mengeluh terus.
Aku lapar, Ma. Aku haus, Ma. Aku pegal, Ma.

Saya kebetulan hanya membawa roti dan dia segera memakannya. Tapi saya lupa membawa minuman karena biasanya dia membawa sendiri dari rumah. Lalu anak saya pun cegukan. Dia marah. Lalu dia mengeluh lagi. Dia terus-terusan menyalahkan saya. Ini gara-gara Mama. Kenapa kita lewat jalan ini. Kenapa kita tidak belok kiri saja tadi. Kenapa kita tidak ke mal saja tadi makan dulu. Semua gara-gara Mama.

Saya yang sudah letih dan pegal juga, nyaris ikut kehilangan kesabaran. Dengan berusaha bercanda, saya sahuti: Memang, semua salah Mama. Ya sudahlah, mau diapakan lagi. Terimalah kenyataan.

Sebab kami tak bisa lagi putar balik. Jangankan putar balik, bergerak saja sudah mepet dengan motor-motor yang nyaris menyerempet, dan jalannya kecil. Luar biasa macetnya sore kemarin itu.

Tapi anak saya tidak bisa diam. Seperti cacing kepanasan di dalam mobil. Dia menginjak ranselnya. Dia berdiri. Dia duduk menghadap ke belakang. Dia menyender di pintu mobil. Dan beberapa kali dengan gemas memukul lengan saya.

Dalam keadaan stuck dua jam itu, ketika kita tak bisa berbuat apa-apa, segalanya terasa sangat membosankan dan menyebalkan, dan potensial membuat kita emosi.

Saya jadi sempat merenung.

Dengan melihat sikap anak saya, saya melihat refleksi. Mungkin dalam hidup kita yang kadang menyebalkan ini, kadang kita bersikap seperti anak kecil. Ketika kita dalam masalah yang tak bisa kita atasi, kita tak bisa menahan diri, tak bisa sabar, tak bisa tenang, tak bisa ambil jalan keluar dan hanya bisa menyalahkan orang lain.

Mungkin, saya pikir, seperti gurauan saya, sesekali dalam hidup ini, ketika keadaan di luar kendali kita, mungkin tak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali diam dan menerima keadaan, dan berkata: Ya sudahlah, mau diapakan lagi. Terimalah kenyataan.

Inilah salah satu faktor yang membedakan anak kecil dan orang dewasa. Kemampuan mengatasi keadaan dengan tenang, bisa beradaptasi dengan keadaan, mampu bertahan dalam masa sulit, adalah bukti kedewasaan.

Jika kita masih sering mengeluh dan menyalahkan orang lain atas keadaan yang terjadi, mungkin kita perlu mengingat lagi, berapa sih sebenarnya usia kita? 9 tahun atau 45 tahun? 🙂

-*-

Tokoh Tebuireng: Eggy Sudjana Tak Paham Sejarah

Perjalanan Parade Kebangsaan GMKI ke Jawa Timur akhirnya tiba di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, kamis (5/10) pekan lalu. Pada persinggahan kali ini, dibahas pula pernyataan kontroversial Eggy Sudjana dan berbagai topik kebangsaan lainnya.

Di sini rombongan GMKI disambut H. Lukman Hakim, Mudir bidang Pondok, Kepala Pondok Putra Ustadz Iskandar, Ustadz Ainur Rofiq, dan Ustadz Roziqi sebagai perwakilan dari Madrasah Aliyah Salafiyyah Syafi’iyyah Tebuireng.

Pada pertemuan tersebut, Alan Christian Singkali, Sekretaris Umum PP GMKI menanyakan tanggapan Pesantren Tebuireng tentang pernyataan kontroversial Eggy Sudjana yang mengatakan bahwa tidak ada ajaran selain Islam yang sesuai dengan sila pertama Pancasila.

Menanggapi pertanyaan mengenai komentar kontroversial Eggy Sudjana itu, Ustadz Ahmad Roziqi yang merupakan alumnus Universitas Al Azhar Mesir, menyampaikan bahwa orang yang mengatakan seperti itu tidak paham sejarah dan harus belajar kembali. “Bagi Pesantren Tebuireng dan NU, Indonesia dan Pancasila sudah final dan tidak bisa ditawar-tawar lagi,” ujarnya, tegas. Beliau menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sudah punya Pendidikan Kader Penggerak NU (PKPNU) dengan slogannya ‘NKRI harga mati! Pancasila jaya!’.

“Ketuhanan Yang Maha Esa berarti setiap agama memaknai Tuhan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Yang satu tidak bisa memaksakan ajarannya kepada yang lainnya. Sampai sekarang kita bisa hidup rukun bersama. Itu hanya pernyataan sempalan yang tidak paham sejarah,” jelas dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng itu.

Mendengar jawaban tersebut, Alan Singkali, juga mengatakan bahwa setiap agama maupun keyakinan di Indonesia mengandung nilai-nilai hidup bersama yang sudah diwarisi dari pengalaman berabad-abad. Nilai-nilai inilah yang terus menerus dihidupi oleh setiap pemeluknya dalam bergaul antar sesama anak bangsa. Sehingga seluruh tatanan nilai dalam setiap agama tertuang apik dalam satuan nafas pada setiap sila dari Pancasila itu sendiri.

Dalam perbincangan lain, Lukman Hakim mengatakan pemerintah dan masyarakat harus sadar bahwa kegaduhan negara akibat radikalisme dan isu SARA salah satunya disebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Ada kepentingan elit dan kelompok yang bermain di tengah kecemasan masyarakat yang berlebihan dan ketimpangan ekonomi.

“Tugas bersama baik pesantren maupun gerakan mahasiswa seperti GMKI untuk membangun ekonomi masyarakat kecil,” ujar H. Lukman Hakim. “Toko waralaba atau toko modern semakin menjamur hingga desa-desa kecil. Akibatnya warung dan pasar tradisional masyarakat sudah semakin sepi dan tergeser. Kami berharap pemerintah dapat mengontrol munculnya fenomena tersebut, jika tidak, konflik dan kesenjangan akan semakin tajam.”

Sahat Martin Philip Sinurat, Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI sepakat bahwa pemuda dan mahasiwa harus mengembangkan ekonomi kreatif sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat yang terpinggirkan. “Pemerintah juga harus membuat kebijakan yang dapat mendukung pengembangan ekonomi masyarakat ekonomi rendah. Pemerintah harus memikirkan bagaimana agar warung dan pasar tradisional dapat berkembang dan bersaing dengan toko modern, bukannya menyerahkannya pada mekanisme pasar,” ujarnya.

Diskusi ditutup dengan pemberian cinderamata dari GMKI kepada Pesantren Tebuireng. Perwakilan GMKI kemudian diajak berziarah ke makam keluarga besar Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, yakni KH. Hasyim Ashari, KH. Wahid Hasyim dan Gus Dur.

Dalam kunjungan ke Jombang, GMKI juga disambut oleh Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jombang. Rombongan menginap di Rumah Ijo peninggalan Alm. KH. Yusuf Hasyim, yang pernah menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng.

Kunjungan ke Pesantren Tebuireng menutup rangkaian Parade Kebangsaan GMKI ke beberapa Pesantren di Jawa Timur. Sebelumnya, GMKI bersilaturahmi ke Pondok Pesatren Ngalah Pasuruan, Pondok Pesantren Al Hikam Malang, dan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Tentang Masa Depan Kita

Ketimbang membahas isu-isu usang yang muncul periodik atau musiman dan tak menghasilkan perbaikan, saya lebih tertarik sebenarnya membicarakan masa depan yg akan banyak menimbulkan masalah bagi generasi selanjutnya sebagai dampak kemajuan teknologi-sains, terutama mengenai pekerjaan atau sumber nafkah.

Saya pikir, itu jauh lebih penting karena dari berbagai sumber semakin banyak dapat info dan fakta, beberapa sektor usaha telah melakukan pengurangan tenaga kerja demi efisiensi dan tuntutan zaman.

Era digital, kemajuan teknologi optik, penggunaan robot, perlahan namun pasti menyingkirkan tenaga manusia. Bahkan mobil tanpa pengemudi mulai dikenal di Amerika.

Apakah pekerjaan atau bisnis orang-orang 10-20 tahun mendatang? Apakah cukup berkata, “melihat nanti saja” tanpa upaya yang bertujuan mengantisipasi keadaan? Apakah akan membiarkan berlakunya ‘ketentuan’: only the strong will survive tanpa menyiapkan semua elemen masyarakat dng kesempatan yang sama melakukan hingga bisa berkompetisi secara fair?

Mengapa orang-orang seakan tak begitu peduli atau kurang concern membayangkan the future, seolah bukan persoalan besar?

Sebagaimana diketahui, kebutuhan pokok manusia atau masyarakat, yg terutama ialah memenuhi kebutuhan primer. Terpenuhi dulu yang primer maka dilanjutkan pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier. Itu bukan pendapat atau kesimpulan baru, sudah kuno malah, walau tak terbantah.

Stabilitas suatu negara pun amat tergantung dari stabilitas ekonomi warganya. Semakin kuat fondasi perekonomian masyarakat, semakin berkurang pula keresahan dan kriminalitas. Itu “teori” usang yang nampaknya tetap berlaku. Terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder, tersier, bahkan disebut membuat suatu masyarakat tidak lagi tertarik kebutuhan lain seperti agama.

Minat masyarakat di berbagai negara pada politik dan mau berpartisipasi saat pemilu pun sebetulnya “hanya” untuk menjamin yang telah mereka temukan atau dapatkan bisa dipertahankan atau ditingkatkan; atau sebaliknya untuk memilih pemimpin yang mau mewujudkan apa yang mereka inginkan, yakni kemapanan atau stabilitas ekonomi-sosial.

Karena itulah tuntutan umumnya masyarakat Amerika atau negara-negara Eropa Barat pada pemimpin atau kandidat, tak jauh dari isu-isu perekonomian, jaminan sosial, perumahan, menyusul yang lain. Artinya, bila masyarakat suatu negara merasa aman dan terjamin dari aspek finansial-penghasilan, stabilitas negara tak rentan digoyah.

Itu masih diyakini banyak pakar ekonomi dan kriminologi. Masyarakat tak mudah digoyang, dihasut, diprovokasi, bila mapan atau terjamin penghasilan dan jaminan-jaminan sosial.

Sudahlah Pak Jokowi… Mumpung masih memimpin negara berpenduduk 260 jutaan yang amat banyak itu, ingatkan dan paculah terus menteri-menteri di kabinetmu memikirkan dan menyiapkan the future. Evaluasilah sering kemampuan dan kinerja mereka yg masih kurang. Bila kemampuan mereka ala kadar dan sebenarnya belum layak, tukar saja dengan person yg kapabel.

Sudah selesai kan, nonton film G30S PKI bareng elit negara yang sebenarnya tak substansial maknanya –selain PR politis– bagi negara dan masyarakat, segeralah kumpulkan menteri-menteri agar lebih serius kerja dan menyiapkan langkah antisipasi, termasuk dampak perobahan-perobahan global yg berimplikasi pada negara dan masyarakat RI, dan itu riil.

Tapi, kok jadi saya sih yang gelisah?
Harusnya cukup saya katakan, “Egepe,” dan menikmati akhir pekan dengan melakukan yang saya sukai.

***