Never Be Enough

Mungkin banyak di antara kita yang tahu lagu Never Enough yang dibawakan oleh Loren Allred, lagu yang sempat menduduki tangga teratas kancah permusikan dunia. Lagu yang menjadi soundtrack dari film The Greatest Showman ini berhasil bertahan berminggu-minggu mengungguli lagu-lagu saingannya.

Lagu ini mengingatkan saya akan perjumpaan dengan seorang kawan lama di gereja. Dia yang saya kenal adalah masih hidup melajang dengan karir yang cukup baik. Setahun lalu dia pernah menceritakan bagaimana nikmatnya dia menggeluti pekerjaannya dengan posisi yang lumayan ditambah fasilitas-fasilitas yang disediakan perusahaannya.

Semua atribut yang dikenakan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki tidak ada yang tidak bermerk. Kami pun melepas rindu dengan membagikan pengalaman-pengalaman hidup kami selama setahun tidak bersua.

Ketika tiba gilirannya menceritakan perjalanan hidupnya, saya cukup terkejut. Beliau memutuskan berhenti bekerja dan menggeluti pekerjaan barunya sebagai pekerja tidak tetap. Dengan gaya bicara yang ringan dia mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa dia meninggalkan pekerjaannya tersebut. Antara lain memberi waktu untuk ibunya yang saat ini sendiri dan sakit-sakitan, memberi waktu untuk dirinya sendiri, mengingat selama ini dia memang sangat sibuk dengan jadual-jadual perusahaan yang sangat padat.

Namun penjelasan beliau sulit untuk saya terima mengingat gaji yang diperolehnya cukuplah besar buat dia yang masih melajang dan apakah dengan menjadi pekerja tidak tetap akan cukup untuk mencukupi kebutuhan orangtuanya dimana setiap bulan harus ada yang disisakan untuk biaya pengobatan orangtuanya dan itu tidaklah sedikit. Lalu bagaimana dengan kesenangannya terhadap barang-barang bermerk itu?

Sejuta pertanyaan menghujani pikiran saya. Saya coba bertanya baik-baik kepadanya. Namun apa jawabnya? Dengan santai ia menjawab: ”Cukup. Nggak ada masalah!”

Tentu saya tidak puas mendengar jawabannya. Saya kembali menanyakan apakah selalu ada proyek yang didapatkan demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari? Sambil membereskan tas dan Alkitabnya, dia tetap dengan santai menjawab: Cukup.

Saya masih belum puas dengan jawabannya dan kembali bertanya, “Bagaimana dengan biaya pengobatan ibu setiap bulan dan kebiasaanmu mengoleksi barang-barang bermerk?”

Dia hanya tersenyum sambil bersiap-siap meninggalkan saya sambil mencubit dagu saya yang tebal dia mengatakan: “Harus cukup dan mulai belajar merasa cukup di hadapan Tuhan.”

Dia pun pergi meninggalkan saya yang masih tidak percaya akan penjelasannya. Saya seperti tertampar mendengar kata ‘cukup’ yang dikatakannya.

Pelan-pelan saya mulai membereskan tas saya bersiap-siap ingin pulang. Dan tiba -tiba pipi ini terasa kembali memanas dan terbakar ketika dari ujung tempat parkir mobil sayup-sayup terdengar.

All the shine of a thousand spotlights, All the stars we steal from the night sky. Will never be enough, never be enough…

Saya ingat nats di Alkitab yang saya pegang:

Amsal 30:15 Si lintah mempunyai dua anak perempuan: “Untukku!” dan “Untukku!” Ada tiga hal yang tak akan kenyang, ada empat hal yang tak pernah berkata: “Cukup!”

-*-

Tio Sinaga, Alumni Sarjana Psikologi, Pengajar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *