Di masa kanak-kanak
ia berkhayal jadi guru
seperti gurunya
yang selalu tersenyum
dan tak lelah mengajarinya menebar senyum
Di masa remaja
ia mulai mengenal cinta
jatuh hati pada gurunya yang tampan
meskipun ia tahu itu tak layak
Tadi pagi…
ia berdiri di depan kelas
dengan bangga menganggukkan kepala setiap kali mendengar ucapan
“Selamat pagi guru…!”
Tapi saat ini…
ia berdiri di depan cermin
tak berani mengangkat kepala…
karena ia tahu…
sosok di depannya belumlah layak untuk digugu dan ditiru
wajahnya jarang menebar senyum
tangannya terlalu sibuk menyusun administrasi
waktunya habis mengumpulkan poin demi tunjangan sertifikasi dan inpasing
belum lagi urusan politik dan setumpuk bisnis sampingan berdalih demi sesuap nasi
Tangannya terlanjur lunglai
tak sempat lagi menepuk pundak anak-anak didiknya untuk menghalau beban yang semakin menumpu di sana
bahkan…
guratan di wajahnya
adalah lukisan seribu warna
keinginan mencipta tertutup warna amarah
kerinduan meneduhkan terhalang dengki dan akar pahit
luka
dendam
kecewa….
Setengah berbisik
ia menutur
“Untuk guruku yang dulu pernah mengasihiku dengan tulus…
untuk guruku yang jejaknya kuingin turut…
maafkan anakmu…
aku
tak layak disebut guru seperti dirimu.
Selamat Ulang Tahun…
Semoga engkau masih berkenan memberiku senyum…”
-*-
Suryani Waruwu
Penulis adalah alumnus FIB UI, berprofesi sebagai seorang Pendidik
Foto: Pixabay