Kita Tak Butuh Pria Romantis

Mungkin, dibanding teman-teman wanita ‘seperjuangan’, saya mungkin sedikit beda.
Saya tidak suka pria romantis.
Kalau maksudnya romantis di sini adalah pria yang suka memberi bunga, memberi kejutan datang ke kantor membuat surprise party, memberi coklat bergambar hati, membuatkan puisi, memberikan hadiah-hadiah kecil, maka saya anggap itu biasa saja.

Suami saya sama sekali tidak romantis, jika memakai defenisi di atas. Sekian tahun pacaran dan menikah, hanya sekali dia memberikan bunga, yaitu bunga pernikahan, yang dibawa pengantin pria ke rumah pengantin wanita di pagi hari sebelum berangkat ke gereja untuk pemberkatan nikah (namanya acara sibuha-buhai).

Saya juga tak pernah meminta. Saya suka bunga, tapi tidak terlalu mengidam diberi bunga.

Tapi, saya memang suka coklat. Pernah sekali waktu pas hamil, saya mengidam sebuah coklat merk tertentu, dan meminta suami membeli. Yang terjadi, suami saya pas datang menjemput ke kantor, tidak membawa coklat, tapi mengajak saya ke mini market di gedung kantor saya dan menyuruh saya memilih coklat yang saya mau, lalu dia membayar ke kasir. Hahaha… apa romantisnya itu.

Romantis… oh romantis. Apa sih defenisi romantis?

Sekali waktu, pas jam istirahat di kantor, saya sedang membaca ulang sebuah buku lama, Purpose Driven Life, karya Rick Warren. Konon di halaman depan di dalam buku itu ada kolom yang berisikan nama pemberi dan nama penerima (partner). Dan di kolom itu tertulis nama suami saya sebagai pemberi dan di kolom nama penerima buku (partner), ya nama saya, ditulis oleh suami saya tentunya.

Lalu, seorang teman kantor melihat, lalu membolak-balik, dan langsung seolah terpesona, berkata: “Suaminya Mbak, romantis juga ya…!”
What? saya bilang. Romantis apanya?
“Itu sungguh romantis!” kata dia.
Bagi dia, seorang suami memberikan buku kepada istri dan menulis nama mereka berdua di buku, itu hal yang ruuoomantissszzzzz sekaleeee!!!

Saya hanya mengernyit. Baru kali ini ada yang bilang suami saya romantis. Hanya karena sebuah buku!

“Ya ampun, memangnya kamu nggak pernah dikasih buku ya sama suamimu?” kutanya.
Dia bilang enggak pernah. Padahal dia suka buku.
“Tapi suami pernah kasih bunga, kan?” saya bilang.
“Pernah,” kata dia.
“Nah. Suami saya seumur-umur nggak pernah kasih bunga, kecuali bunga pengantin!” saya bilang.
“Ya ampun, Mbak, suami Mbak kasih buku dan ada nama Mbak ditulis, itu juga romantis! Bukan cuma bunga yang romantis!” kata dia lagi.

Jadi rupanya hal seperti itu juga masuk dalam standar romantis buat dia. Kalau begitu, untuk standar dia, suami saya itu adalah cowok paling romantis sedunia. Sebab sejak kenal, bahkan belum jadi pacar, dia sudah banyak sekali memberikan saya buku-buku! Kebetulan saya suka membaca. Dia juga suka membaca.

“Ngasih buku pakai ada tulisan pesan-pesan dia dan ada nama dia dan nama Mbak kan, mbak?” kata teman saya itu lagi. “Ya itu romantis namanya!”
Dan saya pun tertawa-tawa.

Saya jadi ingat dulu ada teman kampus yang dengan ironik bilang: Kalau suami kasih banyak buku, bahkan sejak sebelum pacaran, itu adalah cara dia investasi, karena akhirnya dia menikah juga dengan saya dan buku itu jadi milik bersama, hahaha…

Saya masih tersenyum-senyum sendiri. Romantis?
Dulu masa remaja sampe kuliah, pernah juga kepingin punya cowok romantis, dalam arti, mengajak candle light dinner, mengirim coklat dan bunga pas valentin, bikin puisi dan kejutan kecil yang memanjakan.

Tapi setelah ketemu suami ini, semua itu terasa tak penting lagi. Mungkin benar juga, kalau soal memberikan buku itu romantis. Sebab, saya suka buku, dan dia memberikan sesuatu yang saya sukai dan butuhkan, juga bagus buat saya. Jadi, bagi saya inilah defenisi romantis itu! Mungkin karena standar romantisme bagi saya sudah berubah atau berbeda. Seorang teman malah menyebut saya pragmatis. Lebih melihat kepada manfaat secara praktis.

Sebab bagi saya, lebih penting dia mengerti dan tanpa cemburu/curiga membolehkan saya sesekali jalan dengan teman-teman daripada dia memberikan saya bunga, lebih penting dia naik genteng membenarkan yang bocor daripada sok mesra hujan-hujanan sepayung berdua, lebih penting dia pulang malam cepat dan makan masakan saya yang kurang lezat daripada candle light dinner berdua, lebih penting dia selalu ada jika saya butuh pendapat, pengertian dan perlindungan jika dalam masalah daripada sebaris puisi atau sekotak coklat valentin, lebih penting selalu ada waktu khusus bersama walau cuma menonton TV di rumah, bersama anak-anak, daripada dia sibuk terus di luar sana berjuang keras untuk bisa membelikan berlian.

Tak terlalu perlu dinner, bunga, coklat dan puisi (eh berlian sih bolehlah, hahaha…). Bagi saya itulah defenisi romantis yang sesungguhnya. Bagaimana dengan anda?

(Jadi ingat ada teman yang katanya punya suami romantis sekali, suka membelikan dia bunga, coklat, dll, dan dinner di tempat elit, tapi ujung-ujungnya minta istrinya yang bayarin, hahaha. Kita tak butuh romantis seperti itu, hahaha.).

Happy Valentine, selamat hari kasih sayang. Mari kita rayakan setiap hari.

-*-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *