Kisah Sepatu Kebanggaan untuk Merayakan Natal

Ini sekeping kisah ketika aku mulai memasuki remaja, kelas 1 SMA, sebelum merantau. Saat mulai bercelana panjang bila ada acara “resmi,” di luar seragam sekolah.

Saat itu, bisa memiliki celana panjang dan sepatu kulit dengan hak tebal/tinggi, merupakan suatu kebanggaan. Itu barang memang termasuk sulit dimiliki masa itu karena keadaan ekonomi umumnya masyarakat di kampungku.

Akupun telah lama membujuk inong (emak) agar dibeli (kami beli di Siantar), semacam hadiah Natal–apalagi aku akan segera berurbanisasi ke Jakarta–dan juga celana panjang bermodel cutbray yang lagi trend (yang ini dijahit Amco Taylor yang saat itu paling top), macam pemain band; model yang diilhami para musikus rock Barat yang kemudian ditiru para pe-band di berbagai negara, termasuk Indonesia. Gambar atau poster pemusik (band) hampir semua bermodel cutbray dengan sepatu berhak tinggi. Saat itu sungguh keren, namun kini…amit-amit deh 😀

Malam sekitar pkl 8, aku berniat melihat acara perayaan Natal praremaja (SMP) di HKBP Pangururan (gareja bolon). Jaraknya sekitar 2 km dari rumah. Dengan mantap aku berjalan, mengenakan kemeja ketat, celana cutbray, dan sepatu macam milik pemain band itu. Ditopang tubuhku yang slim dan rada atletis :-p , rasanya mirip dengan satu pemain band Freedom, band dari kota Malang (bila tak salah), yang pernah kulihat di majalah Aktuil.

Karena sepatu berhak tinggi dan belum biasa, aku harus melangkah dengan pelan sambil menjaga keseimbangan tubuh, supaya stabil dan tak oleng macam truk kelebihan muatan 😀   Berat juga, dan tak nyaman sebenarnya. Namun, demi penampilan atau gaya, aku paksakan. Gereja masih jauh, malam lumayan terang dengan taburan gemintang di langit, udara dingin ditiupkan angin dari pegunungan dan danau.

Saat di depan rumah Farel Naibaho (ibunya kupanggil inanguda) dekat simpang empat, tiba-tiba sekawanan anjing menggonggong dan siap menerkam. Sontak aku panik dan takut. Kawanan anjing itu makin kompak dan hendak mengejar. Puk***lah!

Seketika aku balik badan dan berlari, namun karena sepatuku berhak tinggi jadi membuatku oleng dan akhirnya jatuh ke aspal jalan raya. Segera aku bangkit dng meninggalkan sebelah sepatu, lari sekencangnya ke arah rumah (Tajur). Eh, anjing-anjing lain milik orang Tangsi, ikutan pula menyalak dan mau mengejar. Aku makin kalap dan sambil berlari seperti pelari Olimpiade memegangi sebelah sepatu.

Tiba di depan rumah dengan nafas ngos-ngosan, selanjutnya terduduk di teras sambil melap keringat yang deras mengucur.

Hah-huh-hah!

Aku geram betul pada kawanan anjing sialan itu, terutama karena memikirkan nasib sebelah sepatu kebanggaan itu. Tak berani kembali ke lokasi utk mengambil karena takut diserbu lagi.

Esoknya, pagi sekali, aku ke sana mencari sebelah sepatu yg kubanggakan itu, namun tak ada. Kayaknya sudah dijadikan mainan oleh kawanan anjing-anjing kampret itu, digigit-gigit, diperebutkan, sampai acak-acakan karena bentuknya yg mungkin unik dan aneh bagi mereka: dikira kali baby-nya ikan paus. :-p

Sampai sekarang, kalo kuingat itu, dendam dan amarahku kembali membara pada anjing-anjing sialan itu. Gagal tampil modis macam pemain band, yang mestinya bisa menarik perhatian teman-teman remaja wanita dan pria, kehilangan pasangan sepatu kebanggaan pula. Sial kali kurasa. Mau nangis rasanya bila teringat. 🙁

Hahahahaha

2 thoughts on “Kisah Sepatu Kebanggaan untuk Merayakan Natal”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *