Ketika Ponsel Ketinggalan di Rumah

Lampu lalu lintas di pertigaan Jalan Juanda-Margonda, Depok, baru saja berubah merah. Saya bergegas ingin mengambil ponsel di laci tas. Cari punya cari, ternyata saya ingat ponsel tertinggal di rumah. Aduh.

Perasaan galau pun langsung muncul. Tetapi untuk kembali ke rumah rasanya berat hati.

Maklum, itu sudah setengah perjalanan ke kantor. Rasanya buang-buang waktu dan bensin saja kalau harus memutar balik. Ya sudahlah ya, perjalanan pun dilanjutkan ke kantor. Tapi di hati muncul tanda tanya, “Bagaimana hidup seharian ini tanpa ponsel?”

Singkat cerita, ternyata baik-baik saja kok. Walau kadang-kadang, tak sadar tangan meraba saku celana atau kemeja. Mata sekali-kali refleks melirik ke sebelah laptop, tempat biasa meletakkan ponsel. Selebihnya, I’m just fine!

Malah, saya kira, ada kualitas hidup yang berubah jadi lebih baik kala kita tak tergantung pada ponsel. Misalnya, komunikasi ke rumah harus saya lakukan dengan telepon kantor. Mendengar suara istri dan anak lewat sambungan telepon, ternyata jauh lebih baik ketimbang bicara dengan mereka semata-mata melalui pesan instan.

Diskusi dengan tim kerja bisa dilakukan dengan langsung, tak melalui grup Whatsapp padahal duduk berdekatan. Hayo, seberapa kerap kalian bicara dengan kolega melalui pesan instan, padahal duduknya tak jauh dari meja? Lagi pula, banyak berjalan di kantor jadi lebih sehat bukan?

Bicara langsung kepada tim atau kepada orang lain, bukan semata-mata lewat pesan teks, juga meminimalisir salah pengertian. Saya kira, kita sudah terlalu banyak bergantung pada emoji untuk mewakili emosi. Padahal, barangkali kita lebih banyak menipu diri sendiri.

Sok tersenyum, padahal di hati sedang gundah. Sok tertawa, padahal di wajah sebaris senyum pun tak ada. Siapa yang bisa menerka apa yang sesungguhnya kita rasakan, dengan hanya melihat emoji yang kita kirimkan? Hanya kita dan Tuhan yang tahu kan?

***

Sebuah riset tahun 2014 mendapati bahwa orang Indonesia adalah pengguna ponsel pintar nomor satu di dunia dalam hal durasinya. Penelitian Milward-Brown itu mendapati orang Indonesia memakai ponsel pintar rata-rata 181 menit per hari.

Urutan kedua adalah orang Filipina dengan 174 menit per hari. Berikutnya berturut-turut Cina, Brasil, dan Vietnam.

Tak heran memang kalau ponsel itu menyita banyak waktu kita dalam kehidupan sehari-hari. Ketika berada di rumah, cobalah periksa seberapa sering Anda menghabiskan waktu dengan ponsel ketimbang bersenda gurau dengan suami/istri atau anak-anak.

Saat berkumpul dengan sahabat atau teman, coba cek seberapa banyak kalian melirik layar ponsel ketimbang berbagi cerita atau rasa kangen?

***

Saya masih ingat kok rasanya hidup tanpa ponsel, dulu sekali. Janjian dengan teman cukup dengan lisan, sampai pada hari H. Atau kalau punya telepon rumah, janji bisa diingatkan kembali. Selebihnya, ada rasa percaya bahwa orang yang kita ajak ketemuan pasti akan memenuhi janjinya.

Bicara dengan teman bisa sampai lupa waktu, lupa pulang, lupa makan. Tak ada intervensi perangkat teknologi bernama ponsel atau tablet.

Kita boleh menggunakan perangkat teknologi. Tapi jangan sampai perangkat itu hanya menghadirkan rasa percaya yang maya. Jangan sampai perangkat itu menciptakan relasi sebatas baris kata-kata di layar belaka. Jangan sampai perangkat itu menggantikan waktu-waktu yang intim dan berharga.

***

Apakah saya bisa menghapuskan kebutuhan pada ponsel? Ya tidak mungkin juga. Sebab ponsel adalah ‘senjata’ saya saat bekerja. Aplikasi-aplikasi semacam email, Internet, notes, kamera, video, sudah menjadi kebutuhan bagi profesi saya. Belum lagi ratusan kontak di dalamnya.

Tetapi ketinggalan ponsel kemarin itu mengajarkan saya, bahwa kebutuhan tak perlu berubah menjadi ketergantungan. Jadi tak perlu galau berlebihan kalau ponsel kamu ketinggalan.

DEDDY SINAGA

Foto: pixabay.com

2 thoughts on “Ketika Ponsel Ketinggalan di Rumah”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *