Category Archives: Renungan

RAHASIA PANJANG UMUR

Bulan lalu, November, kebetulan ada hari guru nasional (PGRI).

Menurut Wikipedia, Guru, (dalam bahasa Sanskerta, arti secara harfiahnya adalah “berat”) adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia.

Menurut saya, kita semua adalah guru, dan murid sekaligus. Yang di sekolah adalah guru profesional. Kita adalah guru fungsional.

Guru, pada hakekatnya adalah pemberi contoh, untuk ditiru. Pemberi teladan. Pemberi kesaksian, pemberi inspirasi. Kita semua bisa menjadi guru bagi sekitar. Sebab sadar tak sadar, di sekeliling kita ada yang melihat kita, lalu meniru kita, ada yang mengikuti kita, dan juga ada yang tidak. Tergantung apa yang kita lakukan, ucapkan atau contohkan.

Jika diteliti, sebenarnya kita semua adalah guru. Di kantor kita adalah guru untuk anak buah atau rekan kerja lainnya. Di rumah, kita adalah guru untuk anak-anak dan asisten rumah tangga. Di tempat umum juga kita bisa menjadi guru dengan menjadi teladan memberikan contoh dalam menaati peraturan, seperti buang sampah, antri, parkir sesuai aturan, dan menjaga ketertiban.

Contohnya. Seorang rekan kerja saya yang lebih junior, saya anggap adalah guru saya dalam hal mode dan kecantikan, karena dialah yang mengajari saya tentang make up dan fesyen yang kebetulan bidang yang dikuasainya. Dari dialah saya tahu bagaimana menggunakan pemulas mata dengan benar (hahaha).

Saya ingat, ketika anak saya masih TK, tiba-tiba dia rajin membaca dan sering membeli buku. Ketika saya bercerita pada neneknya, neneknya berkata: Ya kalian berdua orangtuanyalah yang ditiru. Kalian berdua kan suka membaca. Nah itu beberapa tahun lalu. Sekarang anak saya itu sering bermain HP. Tak perlu heran. Saya tahu, kami berdualah yang dilihatnya juga, hahaha…

Hal umum, yang paling saya ingat dari ajaran ayah saya waktu kecil adalah, jangan lupa mematikan lampu dan air jika sudah tidak digunakan. Sampai sekarang saya masih melakukannya, bahkan kadang saya spontan berhenti dulu untuk mematikan air keran di tempat umum (contoh, toilet kantor atau toilet mal) jika ada yang lupa dan membiarkannya begitu saja.

Itu mungkin adalah contoh bahwa saya mengingat betul ajaran ayah saya (yang itu) dan terus melakukannya. Dan sekarang, saya masih dalam tahap sedang menanamkannya pada anak-anak saya.

Bicara tentang murid, dulu waktu mahasiswa, aktif dalam organisasi kampus, saya ingat sekali ada frase yang sangat berkesan bagi saya: Berikanlah saya hati seorang murid.
Apa artinya itu hati seorang murid? Begitu dulu saya pikir. Artinya adalah, hati yang selalu ingin belajar, selalu mendapat ajaran dari guru. Selalu mau diberi pengetahuan baru.

Hal ini membuat saya teringat guru favorit saya waktu SMP. Saya selalu ingin hari yang ada jadwal beliau cepat-cepat datang dan merasa terlalu cepat jika waktu belajar dengan beliau sudah berakhir. Saya suka belajar dengan beliau. Mengapa? Sebab saya suka yang diajarkan, dan saya suka cara beliau mengajarkannya. Dan saya juga suka mengerjakan PR dari beliau, walau mungkin itu jadi beban bagi murid lain.

Dan bisa dibilang, hingga kini ilmu yang diajarkan oleh guru favorit saya itu sungguh berguna dan masih relevan dengan pekerjaan profesional saya.

Minggu lalu saya berulang-tahun dan kado paling spesial adalah ucapan yang paling menyentuh hati saya, dari nats Amsal 3.
“Apa rahasia panjang umur?”

Jawabannya: dalam nats Amsal 3.
Amsal 3:1

Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku.

Ajaran orangtua tidak boleh dilupakan, kita harus mengingatnya, dan berarti juga menaati. Ketaatan berarti, ajaran itu tertanam di hatinya, dan menjadil inti kepribadiannya.

Amsal 3:1Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku,
3:2 karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu.
3:3 Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu,
3:4 maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.
Saya jadi ingat film Kungfu jaman kecil dulu, di mana murid/anak didiknya sungguh hormat dengan gurunya. Mereka akan melakukan apa saja yang diajarkan sang guru, mengikut gurunya tanpa pamrih, penuh totalitas dan kesetiaan tanpa batas.

Saya pikir, orangtua kita, lebih dari sekedar guru kungfu, yang harus lebih kita hormati. Mengapa?

Sebab mereka tidak hanya guru, melainkan perwakilan Tuhan di dunia ini, di mana mereka adalah imej Allah dalam bentuk manusia.

Jika kembali pada pertanyaan tadi, apa rahasia panjang umur?
jawabannya:
Menjadi anak (‘murid’) yang melakukan ajaran orangtua.

Seperti dalam versi bahasa Inggris, New International Version (NIV):

My son, do not forget my teaching, but keep my commands in your heart,
for they will prolong your life many years and bring you peace and prosperity.’

Tidak hanya panjang umur, juga lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepada kita.

-*-

Keadilan yang Tidak Adil?

Keadilan itu Imparsial dan Impersonal.

Rektor UGM ramai dikecam karena sikapnya yang dianggap lunak atas kasus perkosaan mahasiwi oleh mahasiswa di lingkungan kampusnya.

Ternyata memang, sederet gelar akademis yang dimiliki seseorang, tidak berbanding lurus dengan pembentukan sikap intelektual yang seharusnya tegas dan pro keadilan tanpa melihat siapa pelaku dan siapa korban; yang menempatkan persoalan hukum dan moral secara imparsial; tak berpihak karena alasan apapun selain demi keadilan dan kemanusiaan.
Juga di lingkungan lembaga-lembaga agama syarat tersebut seharusnya berlaku.

Agamawan/rohaniawan cabul, tak layak dilindungi karena alasan “bisa membuat malu institusi agama” hingga ditutup-tutupi dan malah menjadikan korban pelecehan seksual korban dua kali! Pelaku tak dihukum, dituduh pula korban “mencemarkan nama baik” pelaku.

Saya tak perlu ungkap di lembaga-lembaga agama apa saja itu terjadi. Pembaca tentulah pernah atau kerap mendengar.
Demi “menjaga nama baik” seringkali kasus perundungan dan kejahatan syahwat lelaki ditutupi, malah korban yang disudutkan. Sangat tak adil. Bayangkan itu terjadi pada dirimu, diriku, pada putra putri atau sanak saudara sendiri. Sangat menyakitkan, bukan?

Jadi, karena tak bisa menerima diperlakukan tak adil, bersikaplah tegas mengenai keadilan dan ketidakadilan. Bila anda ikut mendiamkan kasus-kasus pelecehan seksual pada perempuan, atas nama apapun atau karena dalih apapun, jangan pernah menuntut keadilan dalam pelbagai hal.

Sikap adil itu harus dibangun sejak dini di benak dan jiwa tiap insan, agar patut disebut waras. Ya, manusia waras. Hanya yang tidak waras pikiran dan kejiwaan yang bisa menganggap soal biasa persoalan kekejaman maupun kejahatan.

Jangan pernah toleran atau kompromistis atas kasus keatidakadilan atau kejahatan yang menimpa orang lain karena alasan melindungi/membela korps, sejawat, agama, suku, gender, orientasi seksual, status sosial, atau karena pelaku kerabat atau kawan.

Bersikaplah fair, just, adil, impersonal dan imparsial bila menyangkut keadilan-ketidakadilan.

Mari renungkan: seperti apakah sikap kita menyangkut kasus yang terjadi di UGM dan di berbagai institusi atau lokasi bila terjadi atau menimpa diri atau keluarga sendiri. Sangat pedih dan menyakitkan bila ketidakadilan yang kau alami atau yang kualami disepelekan orang-orang karena pelbagai alasan atau dalih!

Mari Belajar Moderat

Di beberapa WA Grup yang menyertakan saya, cukup ramai dibicarakan soal rencana acara “spiritual” ini, yaitu ratusan paranormal akan berkumpul di Danau Toba. Hal ini dan ditanggapi pro kontra, lebih banyak yang keberatan dan alasan umumnya mereka: bertentangan dengan ajaran agama.

Saya sendiri tidak tertarik ritual semacam namun tak ikut menolak. Saya lebih suka dan telah mencoba melakukan bersama kawan-kawan gerakan kultural atau kesadaran menyayangi Danau Toba dan hutan yang mengitari. Lebih rasional dan tidak mengundang penilaian sinis atau dianggap seperti orang “tak bertuhan.”

Lelah menanggapi tuduhan-tuduhan semacam itu; apalagi masyarakat Batak pun banyak juga yang agamis (tak berarti relijius karena itu beda; relijiusitas seseorang itu lebih terlihat dari perilaku, dan tentulah lebih menyukai kedalaman menjalin hubungan yang agung dengan Tuhan yang dipercaya, bukan dilihat dari keaktifan beribadah atau beragama belaka).

Tetapi, bila pun ritual “membujuk penghuni danau” ini jadi dilaksanakan dan penggagasnya (maaf) bukan seseorang yang kupercaya integritasnya, menurutku biarlah dilakukan.

Argumen saya begini:

– Siapapun tidak berwenang mengintervensi keyakinan orang lain dan bila melsayakan, sama dengan mengatur dan menjajah kepercayaan orang lain; itu bentuk kesombongan dan fasisme kecil-kecilan.

– Siapapun tidak berotoritas memaksa orang lain harus serupa dengan yang diyakininya meski ada ayat-ayat suci dari agama yang menjustifikasi. Belajarlah menghormati kepercayaan orang lain sepanjang tidak mengusik ketenangan orang lain dan tidak merugikan pihak manapun.

– Bila ada yang merasa karena iman atau ajaran agamanya perlu menentang acara sejenis, cukup di lingkungan sendiri (keluarga, anak) dan jangan seperti “polisi agama” merecoki yang diyakini orang lain.

– Bila anda merasa terancam dan tidak suka ulah pihak-pihak yang intoleran dengan mengganggu kebebasan anda atau orang lain beragama atau menganut suatu keyakinan, jangan pula mengikuti mereka karena bertentangan dengan keyakinan yang anda anut atau percayai.

– Belajarlah bersikap moderat dan saling menghormati orang yang tak sama kepercayaan dengan anda karena anda pun akan marah bila diganggu atau dicibir orang yang tak sama kepercayaan dengan anda.

Untuk menunjukkan keimanan atau sikap agamis anda tidak pantas dan melanggar HAM bila melarang orang lain melakukan yang mereka percayai.

– Khotbahilah diri sendiri dan tak ada yang meminta anda mengkhotbahi orang lain; bila kelak anda ikut penghuni sorga dan yang lain tidak, syukurilah dengan rendah hati.

Sekali lagi, saya tidak cocok dengan penggagas atau bentuk acara sejenis ini, namun sebagai orang berpendidikan dan berupaya moderat, mendukung multikulturalisme dan menghormati pluralisme, saya tidak layak mengecam apalagi ikut melarang atas nama iman atau agama yang kuanut.

Bagi saya, marilah lebih menyayangi alam dengan tulus sebagai tanda terimakasih. Horas.

Yang Palsu Takkan Bertahan Lama

Saya sering naik kenderaan berbasis online ke kantor. Terkadang ada tipikal pengemudi yang membuat perjalanan terasa lebih menyenangkan. Kadang sebaliknya.

Hari ini saya dapat yang tipe yang pertama. Kebetulan pengemudinya seorang bapak pensiunan yang tetap mencari rejeki karena tidak mau merepotkan anak-anaknya, dan terlihat sangat menikmati pekerjaannya saat ini, karena menurut beliau itu membuat beliau banyak mendapat kenalan baru, teman berbincang dari segala kalangan dan membuat beliau tetap enerjik, sehat dan kreatif.

Dengan usianya sekarang, beliau bersyukur memorinya tetap terjaga dan malah makin terlatih, karena misalnya, beliau harus kreatif menghadapi jam macet, mencari jalan tikus, mencari strategi lain untuk mendapat penumpang, dan semua itu untuk satu tujuan, agar penumpang puas dengan pelayanan beliau.

Ternyata, kebetulan anaknya beliau bekerja di gedung kantor yang sama dengan saya, walau beda perusahaan. Kata si Bapak pengemudi, anaknya itu berniat bekerja setahun lagi untuk mengumpulkan uang ingin melanjutkan kuliah S2 ke Inggris, dan mengincar lowongan kerja di sebuah perusahaan berlabel internasional. Saya agak kaget dan kagum mendengar bahwa anaknya itu sudah punya visi dan target sejelas itu. Anaknya itu lulusan salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di negeri ini.

(Nantinya, setelah saya berbincang agak lama dengan bapak ini, dalam hati saya baru mengerti mengapa anaknya bisa secerdas dan sejelas itu visi dan target hidupnya. Dugaan saya, tentu hal itu menurun dari bapaknya ini.)

Lalu bapak itu bercerita bahwa selama beberapa tahun menjadi pengemudi kenderaan berbasis online, dari percakapan dengan penumpang, banyak kisah hidup orang yang membuatnya sedih sekaligus sadar bahwa kita harus banyak bersyukur pada Tuhan. Sering, katanya beliau, terutama di pagi hari, membawa penumpang pasien ke RS Fatmawati. Kebetulan rumah bapak itu di daerah Tangerang. Dan banyak di antara mereka yang sakitnya sudah parah.

Pagi ini beliau membawa pasien yang sudah pernah dioperasi kista di RS lain tapi gagal dan akhirnya dibawa lagi ke RS Fatmawati. Konon suami si penumpang itu tinggal kos karena bekerja di Tangerang, yang tadinya mereka tinggal di Bogor, dengan penghasilan pas-pasan. Karena kasihan dengan penumpang ini, bapak pengemudi yang berniat menolong (tapi tak berdaya banyak) hanya bisa memberikan diskon ongkos. Dari Tangerang ke Fatmawati, beserta tol, jumlahnya memang lumayan.

Bahkan bapak ini rela sekalipun tak dibayar.

Sungguh ketulusan yang mungkin sudah jarang ada di jaman sekarang.

Beberapa bulan lalu Bapak ini pernah membawa penumpang pasutri ke RS Fatmawati. Sang suami, pasien yang sudah agak parah penyakitnya, rutin kontrol ke sana. Lalu minggu lalu, beliau mendapat order dari orang yang sama, tapi kali ini hanya ada si ibu sebagai penumpang, karena rupanya bapak yang sudah sakit itu, sudah berpulang. Sedih mendengarnya.
Minggu lalu Bapak ini mendapat penumpang seorang pemuda yang juga akan berobat ke RS, dan sudah diberi selang dari tenggorokannya karena pola hidup yang kurang sehat, padahal masih bujangan dan usianya masih relatif muda. Pemuda ini suka mengonsumsi minuman instant tertentu.

Betapa mahalnya kesehatan.

Kami masih membahas segala macam. Tentang perusahaan tempat anaknya bekerja dan lowongan kerja saat ini, tentang kecelakaan pesawat dan para komentator negatif yang menjadikannya propaganda politik, tentang berbagai isu sosial, bahkan termasuk proyek Meikarta.

Yang paling saya suka adalah ketulusan dan semangat hidup bapak tua itu, juga rasa empatinya pada manusia di sekitarnya. Dia memang tak memiliki banyak uang tapi dia sungguh tinggi jiwa sosial dan kepedulian kepada sesama. Mungkin karena dia sudah mengerti bagaimana rasanya hidup berkekurangan, jadi dia lebih prihatin pada kondisi orang lain? Entahlah. Dia hanya sangat tulus. Tulus.

Kepekaan untuk membantu orang lain dengan tanpa pamrih, patut diacungi jempol, bukan seperti orang lain yang mungkin motivasinya supaya terkenal, mendapat sorotan atau dukungan publik, atau agenda tersembunyi lainnya. Mungkin seperti seseorang yang kita kenal, figur yang tak pernah hidup susah, tapi hanya demi pencitraan, sampai turun ke pasar dan berpura-pura mengerti hidup rakyat kecil, padahal ada agenda tersembunyi, untuk mendapat simpati masyarakat dalam kepentingan politik, demi meraih kekuasaan. Kontras sekali dengan bapak pengemudi tadi. Alih-alih tulus, hidupnya sungguh palsu.

Ketulusan, mungkin sudah jarang ada di jaman sekarang. Yang banyak terlihat adalah kepalsuan. Pertolongan yang palsu, dengan motivasi palsu.

Palsu.
Tapi, sudahlah.

Yang pasti, yang palsu takkan pernah bertahan lama.

Kita tunggu saja.

Apakah Korban Kecelakaan atau Bencana Alam Karena Tidak Disayang Tuhan?

Bila tiap bencana atau musibah lantas membawa-bawa Tuhan, baik karena kehendak atau amarah dan azabnya, penganut paham atheisme akan kembali tertawa dan menyebut betapa tolol orang beragama. Tuhan (yang dikonstruksikan dan dipersepsikan sesuai kepercayaan dan iman tiap orang) pun kembali digugat, dianggap tak adil, pula dimarahi orang-orang yang tertimpa musibah atau yang merasakan kemalangan.

Tetapi dukacita merupakan bagian dari kefanaan, tak kenal usia, agama, gender, kasta, status sosial. Bahkan seorang Vichai yang disebut salah satu orang terkaya Thailand dan pemilik klub sepakbola Leicester City, Sabtu kemarin tewas bersama crew dan penumpang lain helikopter pribadinya akibat jatuh di halaman stadion King Power seusai menyaksikan pertandingan Liga Primer Inggris antara Leicester vs West Ham United.

Helikopter pribadinya itu tentu berharga mahal dan dirawat telaten, dikemudikan pilot pilihan yang dibayar mahal. Vichai bisa mengeluarkan uangnya yang amat banyak itu untuk memproteksi dirinya, tetapi ternyata ada yang disebut ajal; sesuatu yang tak terpahami dan masih dikurung misteri.

Human error, ketidaktelitian, kesalahan teknologi, pelanggaran SOP, cuaca buruk, dan lain-lain, bisa menyebabkan kecelakaan. Bencana akibat fenomena atau peristiwa alam macam gempa dan tsunami atau serangan topan, bisa dijelaskan sains dan ilmu pengetahuan yang kian maju, namun bagaimana menghentikan belum bisa diupayakan manusia–kecuali memberi peringatan dini dan menyiapkan upaya penyelamatan.

Musibah dan bencana yang menghasilkan dukacita dan derita, seperti membayangi tiap insan di belahan mana pun di dunia ini. Tak memilih hanya di negara atau masyarakat yang bertuhan atau pada yang mengandalkan akal; tak memilah di negara agamis atau condong atheis. Tak memilih di negara kaya raya atau di wilayah miskin seperti Banglades.

Penemu sains-teknologi dan ilmuan terus berupaya menemukan teknologi terbaik dan memutakhirkan upaya penyelamatan. Pemerintah-pemerintah dan pihak yang berotoritas (terutama di negara maju) pun terus memperbarui standar keselamatan di berbagai bidang untuk menghindari celaka dan bencana. Nyatanya selalu terjadi dan dari kejadian atau peristiwalah dipikirkan perbaikan, begitu seterusnya.

Lalu, apakah setiap korban kecelakaan atau bencana alam karena tidak disayang Tuhan (seperti apapun Tuhan dikonstruksikan atau dipersepsikan tiap yang percaya) dan sebaliknya yang selamat karena Tuhan (masih) sayang?

Bagi yang membuka pikiran selebarnya, hal-hal di atas menjadi bagian dari eksplorasi atau pergumulan pikiran–yang tak berkesudahan. Namun, bagi yang mengurung pikiran dengan ayat-ayat suci maupun ujaran agamawan, jawaban hanya berakhir di frasa “Tuhan masih sayang” atau sebaliknya, “Tuhan telah memanggil”, atau “Tuhan murka.”

Galibnya, lantas terjadi atau muncullah aneka gugatan pada Tuhan, terutama karena dianggap tak adil, atau kejam. Gugatan-gugatan yang menambah tawa para penganut atheisme atau yang mengutamakan akal pikiran.

Sebagai insan berjiwa dan berpikir, saya mengajari diri memiliki empati saja. Mau merasakan sebagaimana yang dirasakan orang-orang yang dihajar bencana alam atau yang ikut dalam suatu peristiwa celaka. Mau memindahkan perasaan sebagaimana yang dirasakan atau dialami atau diderita orang-orang yang amat tersiksa akibat suatu penyakit.

Bila ingin mendoakan, cukup kulafalkan dari mulut–walau seperti bisik. Bukan melalui jari-jari atau ajakan namun tak melafalkan karena itu seperti pemanis saja. Sementara dukacita dan derita tak memerlukan kata-kata pemanis, bahkan lebih melegakan melalui raung tangis.

“Molo dung tingkina, dang tarambatan,” kata orang tua-orang tua dulu di kampung saya. Artinya: Bila saatnya tiba, tak ada yang bisa menghambat.

Terus terang, tak mudah dan masih kesulitan saya menerima. Bisa jadi karena kadar iman saya masih rendah, atau semata karena sulitnya memahami pergumulan manusia.

Apakah Anda adalah Pasangan yang Dewasa?

Biasanya pada jam makan siang di kantor, kami akan membahas segala macam, kami menyebutnya topik yang tak jelas. Kadang kami membahas politik, film, gosip artis, tentang shopping dan sale, lalu kisah tentang rumah tangga masing-masing. Jam ini adalah saat yang paling menyenangkan karena kami pasti akan membahasnya dengan konyol lalu tertawa-tawa bersama.

Kali ini topik bahasan kami adalah soal kedewasaan pasangan. Kedewasaan karakter, bukan sekedar usia.
Di kantor, kebetulan ada rekan X yang sedang bertunangan dan akan segera menikah.

Rekan saya, si A, mengatakan, dia merasa rekan bernama si X belum cukup dewasa untuk menikah.
Rekan B menyahut, tidak apa-apa, umurnya sudah cukup, nanti juga akan dewasa kalau sudah menikah.
Rekan C menimpali, pernikahan tidak akan membuat laki-laki jadi dewasa, tapi perempuanlah yang menjadi dewasa.
Rekan D berkata, betul, setelah menikah yang berubah itu adalah wanita, pria takkan pernah berubah.

Bisa ditebak jika rekan A sampai D ini semua adalah wanita. Lalu rekan E yang adalah pria muncul, dan memberi komentar: Jangan curhat dong, C dan D. Itu mungkin kisah hidupmu saja.

Dan kami mulai tertawa. Pembahasan mulai memanas tapi makin kocak, sebab kita selain serius memberi pendapat juga diselipkan bercandaan.

Seperti ketika rekan C berkata: Suami saya, dari menikah sampai sekarang, baju kotornya selalu ditaruh di balik pintu kamar, tak pernah berubah biarpun sampai berbusa mulut saya setiap hari mengingatkan dia.

Rekan E menyahut: Istri saya sejak menikah sampai sekarang tidak bisa memasak, saya tidak masalah. Saya tak ingin dia harus berubah.

Lalu rekan C berkata lagi: Salah mungkin kalau kita berharap pasangan berubah. Jadi nyesal dulu saya putusin mantan saya, Tom Cruise. Hahaha…

Tentu saja C bercanda. Dan ada banyak celutukan lainnya yang mengeluhkan sifat pasangan masing-masing.
Tapi pembicaraan kami ini, mengingatkan saya akan kotbah pendeta kami minggu lalu. Jika bapak Pendeta pas ada juga di meja makan kami siang itu, mungkin beliau akan menimpali demikian:

Syarat untuk sebuah pernikahan adalah calon pasangan yang dewasa karakter

. Salah satu lambang kedewasaan adalah kemandirian. Itulah mengapa di kitab suci disebutkan, seorang pria akan meninggalkan orang tua dan bersatu dengan istrinya. Hanya pria yang sudah dewasa yang meninggalkan rumah. Pria dewasa yang siap mandiri, baru boleh menikah.

Hal ini mengingatkan saya pada kebudayaan Jepang. Pada umur 20 tahun pemuda-pemudi di Jepang akan mengikuti upacara Seijin Shiki, semacam perayaan kedewasaan. Dengan demikian, secara resmi mereka menjadi orang dewasa dalam tatanan masyarakat Jepang, memiliki tanggung jawab serta kebebasan, dan tidak lagi tinggal dengan orangtua.

Pendeta juga berkata, bahwa,

syarat pernikahan adalah kedewasaan. Bukan pernikahan yang membuat dewasa

. Dewasa dulu baru menikah. Kalau masih anak-anak tidak boleh menikah. Mengapa?

Apa yang membedakan ciri-ciri sifat anak-anak dengan orang dewasa? Ada beberapa contohnya. Kita beri nomor agar mudah mengingatnya.

1. Orang dewasa, sadar tugasnya mengurus. Anak-anak, perlu diurus dan minta diurus.
2. Orang dewasa, melayani, sedangkan anak-anak minta dilayani.
3.

Orang dewasa bisa hidup rukun, anak-anak cenderung bertengkar melulu.

4. Orang dewasa itu sabar. Anak-anak itu, tidak sabaran.
5. Orang dewasa bisa mengerti orang lain, sedangkan anak-anak minta dimengerti.
6. Orang dewasa bisa menahan keinginan, anak-anak maunya keinginannya dituruti terus.
7. Orang dewasa bisa mengendalikan diri, anak-anak itu kurang terkendali dan ingin mengendalikan orang lain.

Kata Pendeta, pernikahan berisikan dua orang dewasa, akan terasalah bahwa pernikahan itu indah bagai sorga. Tapi ketika pasangan ‘anak-anak’ yang menikah, pernikahan akan menjadi neraka. Neraka itu adalah tempat di mana konflik selalu terjadi, hilanglah kedamaian dan sukacita. Jika dua orang ‘anak-anak’ yang menikah, maka bisa dipastikan akan segera berakhir dengan buruk.

Pendeta juga mengatakan, bahwa dewasa itu adalah proses. Yang belum dewasa, setelah menikah juga masih bisa belajar menjadi dewasa asal mau berubah. Itulah yang disebut dengan proses pertumbuhan.

Kalau teman-teman saya mendengar paparan Pendeta tersebut di atas, saya yakin mereka akan jadi terdiam trenyuh, seperti saya. Mungkin ada yang akan merenung dan jadi merefleksikan pada dirinya: Wah, berarti saya masih anak-anak dong, sebab saya sering bertengkar dengan suami.
Mungkin si D akan berpikir ulang, bahwa dia belum dewasa sebab dia mengharapkan suaminya berubah tapi dia sendiri tak mau mengerti.
Mungkin si C akan merasa tidak dewasa sebab dia sering tidak sabar dan ingin dimengerti. Dan seterusnya.

Sesungguhnya, setelah melihat dan merefleksikan ketujuh ciri orang dewasa di atas, inti dari topik pembahasan makan siang kami, kembali ke sebuah pertanyaan: Sebenarnya, apakah kita semua sudah dewasa?

Jadi, jika kita maunya selalu minta diurusin, ingin dilayani, suka bertengkar, tidak sabaran, tidak mau mengerti, maunya dituruti terus, maunya mengendalikan pasangan, apakah kita adalah pasangan yang dewasa?
Atau masih anak-anak?

Mental Apa yang Kita Miliki?

Mungkin sering kita mendengar orang nyinyir dengan istilah Revolusi Mental yang digaungkan oleh bapak Presiden Joko Widodo. Konon, gagasan revolusi mental ini pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno belasan tahun setelah Indonesia merdeka. Revolusi itu adalah upaya membangun jiwa yang merdeka, mengubah pola pikir dan perilaku ke arah yang positif untuk mencapai kemajuan.

Saat ini pemerintah sedang sibuk membangun infrastruktur, dan bersamaan dengan itu juga sungguh tak kalah penting membangun mental bangsa, yang adalah modal utama dalam membangun jiwa bangsa, dengan tujuan akhir agar Indonesia menjadi bangsa yang mampu berkompetisi di kancah internasional.

Tapi rasanya, itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Boro-boro revolusi mental, menerima saran saja kita sulit. Seperti pengalaman saya hampir tiap hari.

Karena kondisi yang menuntut, akhir-akhir ini saya ‘terpaksa’ menggunakan jasa kendaraan bermotor online. Banyak kisahnya rupanya. Setiap hari selalu berbeda.

Di suatu kali, saya dapat pengendara yang pintar, menemukan jalan pintas yang membuat waktu tempuh menjadi lebih cepat. Saya sangat bersyukur mendapat pengemudi yang kelihatannya sudah berpengalaman itu.

Di kali lainnya, saya mendapat pengemudi yang tidak becus. Lamban, tidak tahu kapan harus menyalip, kapan harus minggir, dan melulu mengambil jalan sekenanya tanpa strategi, asal bergerak, dan kami terus stuck dengan kenderaan di depan kami, hingga kami terus terjebak di tengah dalam himpitan mobil-mobil. Padahal kan harusnya motor bisa lebih cepat dari mobil karena itulah bedanya yang membuat orang memilih naik motor.

Kesempatan lainnya, saya mendapat pengemudi yang ‘grasa-grusu’. Setiap di depan kami ada space sedikit saja, langsung menyeruduk, hingga saya hampir menjerit-jerit takut terjepit motor dan mobil di kiri dan kanan kami. Dia sepertinya bermasalah dengan cara mengemudi, suka mendadak mengerem, dan pernah membuat saya hampir terlonjak ke belakang.

Itu belum seberapa. Sering, saya dapat pengemudi yang keras kepala. Saya sudah setiap hari melintas rute perjalanan kami sehingga saya sudah tahu baiknya lewat jalur mana supaya cepat, tapi mereka ini sungguh tidak mau mendengarkan saran saya. Mereka merasa jalur yang mereka tahu itu lebih baik. Misalnya jalur di lampu merah Fatmawati, itu baiknya kita susuri lewat kiri terus dan membelok ke kanan setelah dekat lampu merah, tapi mereka mengotot terus memotong lewat tengah di antara mobil-mobil yang tidak mau memberi space. Jadilah kami stuck dan itu memperlambat waktu tempuh. Saya dirugikan dalam hal waktu. Padahal tujuan saya naik ojek adalah untuk menghemat waktu.

Saya heran. Mengapa mereka ini susah sekali mendengar saran. Saya sudah bilang, “Lewat kiri saja terus Pak, nanti di depan baru ke kanan,”, tapi mereka tetap saja mencoba masuk ke jalur tengah. Bahkan pernah, pengemudinya membantah: “Saya tahu kok jalan ini, Bu.”
Saking saya kesal, saya ingin bilang: “Tiap hari saya lewat sini lho, Pak, jadi saya tahu. Benar kan, lebih cepat jalur yang saya bilang, kan?!”

Tapi kan tidak sehat jika tiap pagi harus marah-marah ke pengemudi. Para pengemudi yang mau belajar, yang mengikuti saran dari saya, mereka malah senang dan mengucapkan terima kasih karena menemukan jalur baru, wawasan baru, pengalaman baru. Mereka bisa menerapkannya ke penumpang lainnya. Penumpang lain pun akan senang. Begitu seterusnya.

Yang saya tak habis pikir adalah, alasan pengemudi-pengemudi yang seenak hati dan tidak mau mendengarkan saran itu. Mengapa? Saya kan penumpang, saya nasabah. Nasabah kan, adalah raja. Dalam hati saya pernah geli membayangkan, jika pengemudi keras kepala tersebut misalnya adalah karyawan di kantor kami, dan bos saya menyuruhnya sesuatu dan dia melawan, maka sekejap saja dia pasti akan dipecat!

Pernah juga ada pengemudi yang licik. Saya pesan ojek dan ada yang menerima orderan saya. Di peta saya lihat posisinya ada di depan gedung kantor saya. Tapi dia mengirim pesan dan mengatakan dia ada di gedung seberang kantor saya dan minta di-cancell saja sebab akan memutar jauh dan menghabiskan waktu. Saya curiga, sebab saya lihat di depan gedung kantor saya banyak ojek dengan label yang sama, tapi mengapa saya diberikan driver yang berada di seberang jalan.

Saya cancell dan memesan lagi. Di depan gedung ketika menunggu ojek datang, saya mendengar beberapa pengemudi sedang mengobrol.
Seorang pengemudi agak keras berkata: “Kalau nggak mau ambil, ngaku-ngaku aja posisi kita ada di seberang biar di-cancell. Kalau saya mah nggak mau ambil orderan ke daerah itu, kan itu daerah macet, ntar susah lagi baliknya.”

Pas saya menoleh, saya curiga dia adalah driver yang tadi minta cancell ke saya, sebab dia menyebut daerah tujuan saya, dan kalau tidak salah, plat kenderaannya sama, dan wajahnya mirip di foto aplikasi.
Saya sempat merasa kesal tapi lalu saya abaikan. Saya pikir, itu rejeki anda yang tolak, anda yang rugi. Dia tidak tahu di daerah tujuan saya itu jalannya sudah bagus karena tol sudah jadi, jalanan pun sangat lancar dan mulus. Itu adalah salah satu bukti kemajuan pembangunan infrastruktur yang sedang giat dilakukan oleh pemerintah.

Orang dengan kesoktahuan yang tak berdasar ditambah kebodohan alias kurang wawasan, dan potensi licik tukang tipu, malas dan tak mau repot, takkan membuat seseorang mendapat banyak rejeki, pikir saya.

Saya jadi ingat hasil riset teman saya yang ekspatriat, bahwa orang Indonesia cenderung bermental instan, berpikir pendek, kurang daya juang, suka mengutang dan tukang kredit.

Saya selalu tak suka mendengarkan hal itu, tapi kini setelah makin banyak mengalami interaksi dengan orang lain, saya dengan sedih menyadari bahwa mungkin itu ada benarnya. Riset itu memang tidak mengatakan semua orang Indonesia begitu, tapi kemudian saya jadi bercermin diri saya sendiri. Mental saya mental apa?

Saya mungkin juga malas melakukan perubahan, jika bukan karena terpaksa. Contohnya adalah naik kenderaan ojek online ini. Saya dulu tidak mau naik ojek, karena takut panas, bau asap, takut kesenggol, tidak nyaman alias pegal apalagi kalau pakai rok, sehingga saya memilih resiko menghabiskan waktu dan uang lebih banyak dengan naik kenderaan roda empat.

Hingga pada akhirnya saya terpaksa, mau tidak mau, harus naik ojek. Keadaan yang memaksa saya meninggalkan zona nyaman saya. Dan awalnya itu terasa sangat menyiksa. Sampai sekarang pun walau sudah mulai terbiasa, tetap saja masih kurang nyaman. Tapi saya memaksa diri untuk beradaptasi dengan perubahan itu. Sebab tak bisa disangkal, hal itu membuat hidup saya lebih berkembang karena lebih mendukung pekerjaan dan kehidupan pribadi saya.

Hal itu yang kemudian membuat saya refleksi dengan diri saya sendiri. Mungkin dalam hidup saya juga pernah atau sering seperti para pengemudi tadi.

Karena kemalasan atau kebodohan atau ego, kita tidak mau berubah, tidak mau menerima saran, tidak mau belajar, lebih nyaman dengan cara lama dan kondisi saat ini. Kita tak mau repot-repot berubah, tak sudi diusik dengan revolusi mental.

Tapi jika tanpa keinginan untuk berubah, maju, berkembang, berkreasi, apa yang bisa kita harapkan dalam hidup ini? Bisakah mental instan dan hidup konstan tanpa perubahan membuat kita lebih baik? Lebih maju? Lebih sejahtera? Lebih makmur? Lebih bahagia? Bisa bersaing di dunia internasional?

Jika kita tak ada perubahan cara, pola pikir, strategi dan kemauan meninggalkan zona nyaman dan kemalasan serta kepicikan, apa bisa kita mengalami kemajuan serta meraih impian dan masa depan yang lebih baik?

Mengapa Anda Harus Bahagia?

Dalam sebuah seri dalam film Little House on the Prairie, ada sebuah dialog, percakapan kecil yang menarik buat saya.

Little House on the Prairie adalah sebuah tayangan serial drama televisi Amerika, tentang keluarga Ingalls yang tinggal di sebuah pertanian di Minnesota, pada tahun 1870an.

Salah satu pemeran dalam film itu, Tuan Oleson, adalah orang terpandang secara sosial di daerah itu. mereka memiliki toko serba ada. Anaknya ada dua orang, Nellie dan Willie. Istri Tuan Oleson adalah seorang yang cerewet dan pelit. Dia sering tidak sependapat dengan suaminya.

Suatu kali, pasangan itu bertengkar. Kala itu mereka sedang melayani pelanggan, Nyonya Ingalls, ibunya Laura. Pertengkaran yang sudah berakar lama, terpicu kembali karena hal kecil.

Pertengkaran itu ternyata berkepanjangan, hingga semua orang tahu. Sebab itu hanya kota kecil. Ibarat hoax jaman sekarang, gossip pun cepat menyebar.

Ibu Laura, Caroline Ingalls, yang bijaksana, memiliki ide untuk menolong mereka, dan menyampaikannya pada suaminya. ‘Bagaimana jika Nellie dan Willie sementara tinggal di rumah mereka, supaya Tuan dan Nyonya Oleson memiliki waktu berdua untuk berbaikan.’

Ayah Laura, Charles Ingalls, setuju. Tapi rupanya Tuan dan Nyonya Oleson terlalu gengsi, tidak mau menerima saran itu.

Keadaan orangtua yang bermasalah ternyata juga berpengaruh pada anak-anak. Anak-anak Oleson, Nellie dan Willie, ikut menjadi pribadi yang kurang menyenangkan dalam pergaulan.

Seperti keluhan Laura suatu kali, pada kakaknya, Mary Ingalls, tentang sikap Willie, yang satu sekolah dengannya.

Keluhan Laura dijawab oleh Mary demikian, “Kita harus baik pada mereka, karena keluarga mereka sedang ada masalah.”

Jawab Laura, “Saya sudah mencoba bersikap baik, tapi Willie selalu jahat pada saya.”

Mary pun berkata pada Laura:

“Jika orang bersikap buruk pada orang lain, itu karena dia tidak bahagia.”

Saya agak tertegun dengan kata-kata Mary itu. Sikap buruk itu, rupanya dilandasi oleh ketidakbahagiaan.

Hal ini mengingatkan saya, dalam sebuah kotbah, pendeta kami pernah berkata, bahwa

salah satu penyebab ketidakbahagiaan adalah hubungan yang tidak beres

. Hubungan yang tidak beres bisa menjadi konflik. Ketika hubungan tidak beres, hilanglah sukacita. Hubungan yang tak harmonis membuat tidak bahagia. Konflik adalah pembunuh sukacita. Ibarat lampu yang korslet, bisa menyebabkan kebakaran atau padam, demikianlah hubungan dengan konflik bisa membuat suasana tidak nyaman atau berakibat fatal.

Orang yang suka menciptakan konflik, mencari keributan, menyebar kebencian, mungkin adalah orang yang paling tidak bahagia di dunia ini.

Dia ingin ketidakbahagiaannya menyebar, supaya kepahitan yang dia rasakan juga dirasakan orang lain, sebab dia tak ingin tidak bahagia sendirian. Ibarat virus, dia ingin semua tertular virus jahat yang dia idap.

Saya pun berpikir. Adakah kita pernah menjadi Willie kecil itu dalam hidup keseharian kita? Kita bersikap buruk pada orang lain karena kita sedang ada masalah pribadi. Ketika kita tidak bahagia, sedang ada masalah, kita jadi jutek, jahat, ketus atau bahkan melampiaskan kemarahan pada orang lain?

Adakah anda pernah bersikap buruk pada orang lain, ketika suasana hati anda sedang buruk? Jika pernah, mungkin ini bisa menjadi bahan refleksi, bisa saja orang lain pun sedang mengalami hal buruk sehingga tidak bisa memperlakukan kita dengan baik, bukan?

Apakah kita sedang mengalami hari yang buruk?
Jika demikian, ada baiknya segera tenangkan diri, supaya orang lain tidak menjadi korban, dan sikap kita tak menjadi bumerang untuk diri sendiri.

Dan hikmah sekaligus sentilan dari film ini, bagi saya, sebagai orangtua adalah, apakah saya sudah memberi teladan yang baik, demi menjaga pertumbuhan kepribadian anak-anak, dengan cara menjaga hubungan harmonis dengan pasangan atau dengan orang lain? Sebab jika orangtua harmonis/bahagia, semoga anak pun tertular bahagia (sebab terkadang, dengan orangtua yang harmonis pun, belum tentu anaknya bahagia, bukan?).

Akan tetapi, jika kita orangtua saja tidak bisa harmonis, bagaimana mungkin kita bisa membentuk anak-anak yang bahagia, dan berharap anak-anak kita akan menjadi anak-anak yang penuh sukacita dan pembawa damai bagi dunia yang penuh dengan berita hoax, penyebar ketakutan, isu perpecahan dan kebencian ini?

-*-

Ratna Sarumpaet, Hoax, dan Duri Dalam Daging

Apa yang terjadi dengan Ratna Sarumpaet hanyalah puncak gunung es dari perilaku warga dunia maya di Indonesia. Kebetulan dia seorang aktivis yang dekat dengan seorang tokoh nasional. Kebetulan dia seorang seniman. Tapi apa yang dilakukannya, terlepas dari motifnya sendiri, bisa dilakukan oleh siapa saja.

Peredaran hoax masih merajalela di ranah maya kita. Payung hukum untuk memberantas tindakan kejahatan berupa pembuatan dan penyebaran hoax sebenarnya sudah ada. Tapi penegakannya yang masih tanda tanya. Bahkan terkesan tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Coba kita lihat kasus Ratna Sarumpaet ini. Saya cenderung agak pesimistis bahwa kasus ini akan menjerat lebih banyak tokoh yang diduga ikut menyebarkan hoax tersebut. Dan kalau hal seperti ini terus terjadi, maka sampai kapanpun kasus macam ini akan terus terjadi bahkan bisa jadi makin menjadi.

Penegakan hukum tanpa pandang bulu adalah kuntji. Kalau tidak, kita akan terus merasakan kegelisahan. Seperti duri dalam daging. Seperti duri yang nyangkut di tenggorokan kita. Sangat tak nyaman dan terus menerus mengganggu.

Saya jadi ingat dengan Kitab Hakim-Hakim di Perjanjian Lama. Kalau mau diringkas, kitab ini sebetulnya mengisahkan pergumulan umat Israel di Kanaan yang terus menerus diganggu oleh orang-orang di sekitarnya, tetangganya.

Apa pasalnya? Sebetulnya sederhana, menurut saya. Sebab sejak semula umat Israel tidak patuh pada perintah Allah setelah mereka mendapat tanah pusaka menurut suku mereka masing-masing. Alih-alih menghalau dan membersihkan musuh dari tanah pusaka mereka, sebagian besar suku Israel memilih berdiam bersama mereka.

Kelak, para tetangganya inilah yang menjadi duri dalam daging mereka. Peperangan demi peperangan harus mereka hadapi dengan berkorban harta benda dan nyawa. Bahkan, mereka harus berperang dengan sesamanya. Coba kalau dari semula mereka patuh sebagaimana suku Yehuda dan Simeon, mungkin ceritanya berbeda.

Kembali ke masalah hoax dan penegakan hukum. Saya kira, segalanya sudah jelas. Payung hukum ada. Penegak hukumnya ada. Pelanggar hukumnya juga banyak. Tapi penegakan hukum tanpa pandang bulunya yang kurang. Sehingga, sebagaimana tetangga orang Israel, ada duri dalam daging kita.

Pada hemat saya, siapapun dia, latar belakang politiknya, bahkan jabatannya, tak boleh lepas dari keadilan hukum. Kepolisian dan penegak hukum yang lain harus berani bertindak.

Bukan Lidah Aruna

Bicara tentang kuliner, memang tak ada habisnya. Sekarang trend-nya bukan hanya menyantap kuliner, tapi juga memamerkannya di media sosial. Piknik dan wisata kuliner seolah jadi lifestyle orang akhir-akhir ini, baik muda maupun tua.

Bulan lalu, kami sekeluarga menikmati wisata kuliner ke pinggir luar kota Jakarta. Entah makanan mana yang menyebabkan hingga saya diare, dan makin memburuk hingga ambruk esok harinya, sampai harus masuk UGD dan diopname di rumah sakit. Saya tidak menyalahkan kuliner di tempat tersebut. Bisa saja memang kondisi saya yang kurang fit atau tidak cocok dengan jenis makanan yang saya santap di sana. Mungkin bumbunya yang terlalu banyak atau perut dan lidah saya yang tidak tahan.

Berkaitan tentang kuliner, teman saya, WS, baru saja menonton film “ARUNA DAN LIDAHNYA”. Aruna diperankan oleh Dian Sastro, idolanya. Film ini berkisah tentang Aruna, ahli wabah, wanita lajang berumur pertengahan 30 tahun, pecinta kuliner, dari kecil hobi makan, tapi sedang kebingungan karena sekarang dia sulit menikmati makanan.

Ketika saya tanya bagaimana filmnya, dia merespon dengan sangat berenergi. Dia terlihat sangat bersemangat berkata, film itu sama sekali tidak menggurui, tapi membuat kita merenungkan banyak hal. Buat dia pribadi, bukan karena dia masih jomblo (alasannya) film itu sangat menyenangkan ditonton sendirian (dan saya sengaja menggoda dia dengan mengatakan bahwa saya yakin dia suka film itu karena film itu bagai refleksi kehidupan pergaulan jomblo yang seru, seperti dirinya sendiri, hahaha…). Dia tertawa dan tak menampik. Kami sudah akrab hingga biasa saling mencela.

Katanya, sepanjang film, dia tersenyum-senyum sendiri menyaksikan adegan-adegan dalam film, yang menyadarkannya bahwa begitu banyak hal-hal sederhana dalam hidup ini yang justru sebenarnya sungguh indah tapi sering kita abaikan.

Film itu membuatnya menyadari bahwa hidup ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan menyimpan rasa benci atau menghabiskan waktu dengan orang-orang yang tidak kita sukai

(Saya sela lagi dia: “Tuh kan, alasan jomblo lagi kan,” goda saya.). WS bercerita lagi dan saya setuju dengan pesan moral film itu.

Tapi, kata WS, yang paling menarik dari film itu ternyata bukan soal makanan atau hubungan asmara para pelakonnya. Dia malah membahas hal lain yang masih dalam koridor filmnya, yaitu tentang flu burung.

Ketika Aruna berbicara perihal kasus drama flu burung yang dibuat demi mengucurkan dana project Alkes yang memang begitu besar dananya pada saat itu, teman saya si WS jadi teringat, pernah terjadi juga persis pada negara kita pada satu kondisi dimana salah satu menteri kesehatan dulu juga kena kasus yang sama. Kasus drama flu burung ini menyentak si WS pada satu hal, apa yang terjadi dengan project HAM, LSM dan kegiatan yang berkedok sosial lainnya di negera kita? Dia bertanya. Apakah ada dana yang sedang mereka kejar? Atau ada projek yang mereka kerjakan dengan bermain disekitar drama pelanggaran HAM dan sebagainya? Teman saya si jomblo WS ini, sungguh berapi-api, hingga saya tidak berani merespon. Saya kuatir itu bukan koridor saya.

Lalu dia menyambung ke isu sosial yang sedang hangat baru-baru ini, tentang sesosok figur yang dulu begitu vokal sebagai aktifis pelanggaran HAM, tiba-tiba bermutasi menjadi pembuat drama hoax dan menciptakan kegaduhan yang begitu besar, sampai-sampai melibatkan orang-orang besar dan hal ini menjadi senjata empuk bagi pihak-pihak yang bertujuan memperburuk citra pemerintah. Dengan mudahnya orang itu menciptakan kisah penganiayaan dirinya, yang setelah diusut rupanya hanya kebohongan. Mudah sekali menciptakan kebohongan, semudah dia berkata maaf. Lucu sekali.

Teman saya WS dengan gaya lucu berkata:
“Hati saya jadi bertanya-tanya, ‘ADA APAAA YAH SEBENARNYA??’” (Dia mencoba menirukan Aruna, walau dia sadar, pasti tidak seimut Aruna jika dia yang ngomong).

Lanjutnya: “Ada apa dengan lidahnya? Apakah dulu vokal karena mengejar budget untuk project LSM? Apakah sekarang budget untuk LSM sudah begitu mengering sehingga dibutuhkan sebuah drama besar untuk mengembalikan dana itu kembali mengucur? Yang pasti, dalam film, ketika proses investigasi Aruna berhasil memasukkan Priya kedalam sel, saya berharap, di dunia nyata, Nenek pembuat drama yang ini juga bisa merasakan buah drama yang dia ciptakan sendiri!”

Sekali lagi saya tidak berani berkomentar. Saya merasa lidah saya tidak ingin menciptakan kata-kata. Mungkin karena saya sedang lapar dan sudah mulai berhati-hati memilih konsumsi makanan, karena takut diare lagi.

Walaupun saya tidak berkomentar, tapi saya merasa agak setuju dengan teman saya yang kocak, si WS itu.

Saya berpikir, mungkinkah dalam hidup kita pernah mengalami, sedikit seperti Aruna. Walau hidup Aruna meriah dan penuh rasa, tapi masih saja dia merasa hambar. Dia tak bisa menikmati rasa yang dia inginkan. Kita pernah merasa hambar dan mencari sesuatu untuk mengobatinya.

Terkait dengan tokoh yang membuat kabar kebohongan kemarin, mungkinkah dia juga pernah merasa lebih parah daripada Aruna, hidupnya mungkin sangat kurang rasa, hingga dia berusaha mencari sensasi, yang justru berlebihan hingga menjadi bumerang buat dirinya sendiri? Mungkinkah dia mencari sensasi rasa dengan konsumsi yang terlalu banyak bumbu, hingga jadi overdosis? Sebab bukankah makanan terlalu berbumbu bisa membuat muak, mual, sakit bahkan kemungkinan terburuk lainnya?

Apapun itu, kita memang benar-benar harus bisa menjaga lidah kita sendiri. Seperti tertulis di wikipedia, lidah adalah kumpulan otot rangka yang dapat membantu pencernaan makanan dan sebagai indra pengecap. Lidah juga turut membantu dalam tindakan bicara. Ini adalah dua hal penting dari fungsi lidah yang sungguh vital dalam hidup kita.

Sebab seperti tertulis dalam kitab suci, ‘

Orang jahat terjerat oleh pelanggaran bibirnya, tetapi orang benar dapat keluar dari kesukaran

(Amsal 12:13), dan:

“Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu”

(1 Petrus 3:10).