Category Archives: Kebangsaan

Jangan Amnesia! Kita Punya Pancasila

Selamat hari lahir Pancasila! Pertama kali kenal Pancasila, ketika duduk di bangku SD. Tahu sila pertama sampai kelima karena diajarkan pada pelajaran PMP alias Pendidikan Moral Pancasila. Tiap hari Senin upacara bendera, dengan khusyuk pasti menyebutkan lima sila itu.

Memang seperti indoktrinasi sih, tapi mungkin kita memang perlu diingatkan berulang-ulang soal Pancasila sebagai dasar negara ini (dasar lho dasar….artinya apapun yang kita lakukan sebagai warga negara, mestinya didasari nilai-nilai luhur ini). Ini biar enggak pada amnesia bahwa kita punya Pancasila dan enggak coba-coba ganti dasar negara dengan falsafah yang lain.

Zaman saya SD, saya harus banget menghafalkan 36 butir P4. Sekarang di SD, kayaknya sih tidak sampai harus menghafalkan 36 butir P4, ya, tapi kalau saya lihat materi pelajaran anak saya, tetap kok diajarkan tentang Pancasila dan nilai-nilai pengamalannya.

Saya suka tanya pada mahasiswa-mahasiswa saya, setelah selesai baca karya sastra: paling suka bagian yang mana? Nahhh…kalau saya ditanya, sila Pancasila mana yang paling powerful untuk kamu?

Jawaban saya: sila ke-3, Persatuan Indonesia. Karena, kalau kita benar-benar menghayati sila ini, harusnya perpecahan bangsa itu enggal akan terjadi.

Saya mungkin sok idealis banget ya, tapi menurut saya, di zaman serba tidak pasti dan penuh kecurigaan sana sini dan goncang ganjing politik begini, saya merasa, yang paling kita butuhkan itu adalah harapan.

Harapan bahwa kita bisa menjadi lebih baik, maju, damai, lebih menghormati satu dengan yang lain. Kalau belum-belum sudah pesimistis, ya akhirnya, terjadilah sesuai dengan pikiran pesimistismu. Apapun itu, menyebarkan aura negatif yang bikin enggak damai itu sungguh meresahkan.

Mungkin ada yang berpikir, “ini wall gue, ini socmed gue, terserah gue mau nulis apa.” Menurut saya, tetap enggak bisa “terserah” sih, karena meskipun “wall gue, socmed gue,” yang baca kan bukan hanya yang menulis!

Dan socmed itu sudah merupakan sebuah masyarakat, di mana para penggunanya saling berinteraksi, jadi tetap kalau bicara atau mengeluarkan pendapat atau share sesuatu, harus pakai etika.

Kalau dibilang apa yang diposting di socmed itu enggak ada hubungan dengan kepribadian yang bikin postingan tersebut, menurut saya sih tidak demikian. Sedikit banyak, postingan seseorang, berbicara mengenai kepribadian, pola pikir, cara pandang orang tersebut, meski memang tidak sepenuhnya terlihat dalam setiap postingan tersebut.

Jadi, di hari peringatan lahirnya Pancasila ini, mari kita jaga esensi keberagaman bangsa tercinta ini, yang konon katanya “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita sudah diajarkan semboyan negeri ini kan, jadi untuk apa kita masih cari semboyan lain, atau masih mengaku berbhinneka tunggal ika dan cinta Pancasila, tapi kenyataannya malah membela sekelompok SARA tertentu dan tidak menghormati yang berbeda dengan diri kita sendiri, baik dalam hal kesukuan, agama, ras, dan golongan?

Selamat memaknai kebhinnekaan dalam hidup, keragaman dalam berbangsa, dan lima sila sebagai dasar bertutur dan bertindak! Mari jadikan apa yang orang-orang sebut sebagai utopia dan sekadar angan yang mustahil menjelma nyata, dan terus berproses semakin hari semakin mendekati kenyataan!

 

Rouli Esther Pasaribu

Penulis adalah pengajar paruh waktu di Program Pascasarja Kajian Wilayah Jepang UI.

Pancasila Dirongrong, Ini Sikap Pemuda Kristen

Di tengah upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, justru muncul berbagai tindakan yang inkonsisten terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini telah meresahkan banyak kalangan, termasuk pemuda Kristen dan mahasiswa Kristen.

Beberapa tindakan inkonsisten itu terdeteksi di sejumlah kalangan. Seperti dijabarkan dalam keterangan resmi Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) dan Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI), di Jakarta, Selasa (30/5/2017).

1. Inkonsistensi Lembaga Negara macam lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Lembaga Negara seharusnya mampu menegakkan Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, saat ini terdapat kebijakan dan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah yang bertentangan dengan Pancasila. Penegakan hukum tebang pilih dan diskriminatif. Lembaga negara tidak tegas menindak oknum maupun kelompok masyarakat yang melakukan ujaran kebencian, intimidasi, mengganggu kegiatan kelompok masyarakat tertentu, bahkan tindak kekerasan. Terdapat oknum-oknum penyelenggara negara yang mengeluarkan pernyataan yang diskriminatif dan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.

2. Partai politik dan kader partai politik

Partai politik adalah instrumen utama dalam memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun, saat ini sikap dan komitmen partai politik dalam menjunjung tinggi Pancasila sebagai jiwa dan raga bangsa masih dipertanyakan. Partai politik tidak menjalankan fungsinya dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila terhadap kader dan simpatisannya. Partai politik tidak melakukan kontrol terhadap kader-kadernya yang menjadi bagian dari penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah. Terdapat oknum-oknum kader partai yang membuat pernyataan dan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

3. Lembaga keagamaan

Lembaga keagamaan memiliki peran sentral sebagai benteng penjaga moral dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila. Akan tetapi, belakangan ini lembaga-lembaga keagamaan justru terjebak dalam eksklusifitas dan ego kepentingan agama dan kelompok masing-masing. Mimbar-mimbar lembaga keagamaan justru menjauhkan pembahasan Pancasila sebagai falsafah hidup umat beragama dan berbangsa, bahkan ada yang justru menyebarkan permusuhan terhadap kelompok yang berbeda.

4. Organisasi masyarakat

Organisasi Masyarakat (Ormas) seharusnya menjadi tempat pembinaan masyarakat dalam menghayati Pancasila sebagai falsafah hidup dan perekat keutuhan bangsa dan negara. Sayangnya, ada sebagian organisasi masyarakat yang justru mengeluarkan ujaran kebencian, intimidasi, mengganggu kegiatan kelompok masyarakat tertentu, bahkan melakukan tindakan-tindakan kekerasan karena alasan perbedaan dan mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat. Terdapat juga organisasi masyarakat yang asas dan prakteknya secara terang-terangan bertentangan bahkan menolak Pancasila.

5. Lembaga Pendidikan (Sekolah dan Perguruan Tinggi)

Lembaga pendidikan seharusnya mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila. Namun, belakangan ini lembaga pendidikan kurang mengajarkan Pancasila sebagai aliran darah dan detak jantung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terdapat oknum penyelenggara pendidikan yang justru mengajarkan kebencian dan permusuhan terhadap kelompok masyarakat tertentu. Di beberapa sekolah dan perguruan tinggi, paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila justru berkembang dalam aktivitas organisasi dan kehidupan sehari-hari pelajar dan mahasiswa.

6. Polri dan TNI

Polri dan TNI adalah alat negara dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa dan negara serta menegakkan hukum yang berdasarkan Pancasila dan NKRI. Apresiasi diberikan kepada Polri dan TNI yang senantiasa berjuang untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Akan tetapi Polri dan TNI harus lebih tegas dalam melakukan tindakan terhadap pelaku yang mengancam pertahanan, keamanan dan ketertiban. Masih maraknya kasus-kasusujaran kebencian, tindakan kekerasan, intimidasi, ancaman-ancaman, ataupun gangguan kegiatan yang dilakukan kelompok tertentu yang belum ditindak dengan tegas oleh aparat yang berwewenang. Tindakan pencegahan seharusnya dapat dilakukan sebagai upaya meminimalisir dampak yang lebih besar di tengah masyarakat.

Melihat inkonsistensi di banyak sisi itu,  Pengurus Pusat GMKI dan Dewan Pimpinan Pusat GAMKI menyatakan:

1. Menegaskan bahwa empat konsensus dasar bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) dan Sumpah Pemuda (Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa) adalah final dan tidak bisa diganggu-gugat.

2. Mendesak lembaga-lembaga negara, partai politik dan kader partai politik, lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, serta TNI dan Polri untuk konsisten dan berkomitmen menanamkan dan menegakkan Pancasila sebagai Ideologi Negara, Falsafah Hidup, dan Perekat Keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

3. Mendesak lembaga negara (Presiden dan DPR RI) menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan berikut sanksi administrasi dan pidana, termasuk di dalamnya melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

4. Mengecam manuver politik yang dilakukan oknum pejabat dan para elit politik yang menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat dan kami mendesak untuk segera menghentikannya. Dalam kaitan dengan itu, mahasiswa dan pemuda harus menjadi barisan terdepan dalam menjaga persatuan, perdamaian dan kerukunan masyarakat dan bangsa berdasarkan Pancasila.

5. Bila hal tersebut di atas tidak dilakukan segera, maka keruntuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila sudah di depan mata dan negara kebangsaan Indonesia sebagai hasil konsensus bersama para pendiri bangsa tinggal menjadi sejarah.

Pernyataan sikap ini ditandatangani Sahat M. P Sinurat selaku Ketua Umum PP GMKI dan Alan C. Singkali sebagai Sekretaris Umum. Juga ditandatangani Ketua Umum DPP GAMKI Michael Wattimena dan Sekretaris Umum DPP GMKI Putu B. Timothy.

Kisah Dihapusnya Piagam Jakarta dalam Konstitusi

Jakarta, 17 Agustus 1945. Di pagi hari, Teuku Tadjoeloedin bersama dr. Oscar Engelen mengayuh sepeda menuju Hotel Des Indes, (kini Duta Merlin Plaza).

Mereka ini baru saja mengedarkan pamflet-pamflet Proklamasi Kemerdekaan sesuai dengan cara mahasiswa Ika Daigaku (kedokteran), di Asrama Prapatan 10 dan tidak mengikuti upacara pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno-Hatta. Tujuan kedua mereka untuk menemui utusan Indonesia-Timur.

Di tengah jalan mereka singgah sebentar di gedung Departemen Keuangan di Lapangan Banteng. Tadjoeloedin perlu menemui Mr. Wilopo.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke hotel di arah Harmoni, tempat penginapan utusan-utusan PPKI daerah. Tujuan kedua mahasiswa ini untuk menanyakan mengenai masalah rencana Mukadimah yang dinilai sangat kontroversial.

Dalam Rencana Mukadimah sebagai kata Pembukaan rencana UUD 1945 yang disahkan oleh Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BUPPK) pada 22 Juni 1945 terdapat sebuah kalimat yang berbunyi: “Ketuhanan dan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Sejak saat itu di antara kalangan yang dapat mengikuti usaha BUPPK dari dekat seperti kalangan mahasiswa bertanya-tanya apa artinya kalimat itu yang termuat di dalam rencana Mukadimah. Timbul pula pertanyaan, bagaimana hal itu boleh terjadi?

Itulah tujuan Tadjoeloedin dan Engelen menemui para utusan Indonesia untuk dimintai tanggapan mereka. Selain itu akan mengundang para utusan Indonesia untuk menjadi tamu di Asrama Prapatan 10.

Setiba di depan kamar Dr. GSSJ Ratu Langie, mereka berpapasan dengan Mr Pudja dari Bali yang sedang menunggu Oom Sam Ratu Langie (sapaan akrab untuk Dr. GSSJ Ratu Langie di kalangan mahasiswa).

Ketiga mereka ini langsung terlibat dalam percakapan mengenai masalah mukadimah yang rencananya akan di undangkan dalam Konstitusi pada rapat PPKI esok hari (18 Agustus).

Mr Pudja memulai percakapan: “Saya dan utusan dari Indonesia Timur tidak setuju dengan beberapa bagian dari Konstitusi, khususnya Mukadimah. Kami tidak setuju dengan kalimat: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, juga mengenai Presiden yang harus seorang beragama Islam.”

Sedang ia berbicara, datanglah Andi Pangeran, utusan dari Sulawesi ikut bergabung dalam percakapan. Kemudian terdengar suara lantang dan nyaring dari Andi Pangeran mengatakan: “Ini tidak boleh jadi, pokoknya Konstitusi ini harus diubah.”

Suasana percakapan menjadi ramai ketika Mr. Tadjoedin Noor dari Kalimantan bergabung, dan yang terakhir inipun sepakat dengan Mr. Pudja dan Andi Pangeran. Teuku Tadjoeloedin menjelaskan: “Kami sejak semula tidak setuju dengan beberapa bagian dari isi Konstitusi, sama dengan pendapat bapak-bapak.”

Mungkin karena mendengar suara ramai diluar kamar dan mengikuti isi percakapan, Oom Sam Ratu Langie membuka pintu kamar dan langsung menimpali: “Kalau begitu kita semuanya sepaham, mari kita usahakan bersama untuk mengubah Konstitusi ini.”

Ratu Langie dan kawan-kawan pun mengatakan akan memenuhi undangan Asrama Prapatan 10 siang hari nanti. Sebelumnya di hari Minggu menjelang hari Proklamasi, para mahasiswa Ika Daigaku asal Indonesia Timur diundang makan malam dan beramah-tamah di kediaman Mr. Alex Maramis di Jalan Merdeka Timur.

Mr. Alex Maramis adalah Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pada tahun 1945. Adik kandung Maria Walanda Maramis ini menyelesaikan pendidikannya dalam bidang hukum pada tahun 1924 di Negeri Belanda.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para mahasiswa sebab so pasti akan makan enak. Terlihat di antaranya, Piet Mamahit, Oscar Engelen, Freddy Pattiasina, Yoel Therik, Wim Gerungan, Zus Ratu Langie, Stans Palilingan, Ester Wowor, Arie Supit, Hukom, Kaligis, Thiam, Djauhari M Noor, Baharoedin, Abdoerachman Noor, Ngurah Rai, Komang Makes.

Acara itu juga dihadiri kalangan pemuda seperti Willy Pesik, Frans Ompi, Bart Ratu Langie, dll dan juga kalangan orang-orang tua. Sehabis makan berlanjut dengan pertemuan.

Oscar Engelen angkat suara dan bertanya kepada Mr. Maramis: “Oom Alex, kenapa rencana Mukadimah jadi berbunyi begitu, dengan kalimat yang mewajibkan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan bagaimana sampai itu terjadi?”

Mendengar pertanyaan ini, “Oom Sam” Ratu Langie datang mendekat dan semua yang hadirpun mendekati Maramis untuk mendengar jawaban dari pertanyaan Oscar Engelen. Sambil berdiri di pintu Alex Maramis menceritakan: “Padahal sebelumnya, semua dalam rapat BUPPK agama Islam dimasukkan dalam Mukadimah sudah ditolak oleh hadirin.”

Tetapi dua minggu kemudian dalam pembukaan rapat Ketua Dr. Radjiman mengemukakan bahwa atas permintaan anggota, antara lain Abikusno dan K H Hadikoesoemo, soal agama supaya dimasukkan lagi dalam acara rapat untuk dibicarakan.

Mr. Soebardjo, Mr. Iwa Koesoema Soemantri dan Mr Alex Maramis menolak permintaan Ketua dengan alasan nanti rapat akan bertele-tele dan tugas BUPPK tak selesai pada waktunya. Tetapi Ketua meneruskan kehendaknya, hingga ketiga mereka ini yang menolak meninggalkan rapat dengan komentar bahwa Ketua tidak disiplin.

“Sewaktu ketiganya kembali ke ruang rapat, oleh Ketua diberitahukan bahwa rapat sudah setuju memasukkan dalam Mukadimah kalimat yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Maramis mengatakan “yah begitulah yang terjadi.” Mendengar penjelasan Maramis itu, Sam Ratu Langie dengan spontan bereaksi (dengan aksen bahasa logat Melayu-Manado): “Ah Alex, ini serius, ngana jangang kwa maraju. Nanti kita pi baku dapa en bicara tentang hal ini deng tamang-tamang dari Makassar” (Alex, ini serius, kamu tidak boleh acuh tak acuh. Nanti saya akan ceritera tentang hal ini kepada mereka dari Makassar.”

Djauhari Noor nyeletuk: “Wah Engelen, nanti semua orang Kristen diharuskan masuk gereja tiap hari minggu.” Yang lain pun mengomentari: “Itulah persoalannya, harus dipisahkan soal Negara dan Agama.”

Jakarta, 17 Agustus 1945. Pada siang hari sekitar jam 12.00 setelah usai upacara Proklamasi Kemerdekaan pada kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, beberapa anggota panitia luar Jawa, terutama dari Indonesia bagian timur, yakni DR GSSJ Ratu Langie, wakil dari Sulawesi; Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor dari Kalimantan; Mr J Latuharhary, wakil dari Maluku; Mr. I Ketut Pudja, wakil dari Bali dan Andi Pangeran dari Sulawesi.

Pembahasan berkisar mengenai rencana Undang-Undang Dasar yang akan ditetapkan sebagai konstitusi. Para mahasiswa berpendapat bahwa yang akan digunakan adalah konsep Piagam Jakarta dan rencana UUD yang telah disusun dengan mengadakan beberapa perubahan yang fundamental.

Para wakil daerah luar Jawa, terutama yang mewakili agama di luar agama Islam (Kristen, Hindu-Bali, Budha dll.) merasa keberatan apabila dalam preambule itu masih ada kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Karena hal ini bisa diartikan bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam. Mereka menghendaki agar kalimat diubah menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa saja.” Para utusan juga menghendaki agar beberapa pasal dalam rencana UUD, antara lain yang menyatakan bahwa Presiden harus seorang Islam, supaya juga diubah sehingga pasal 6 ayat 1 berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli.”

Menurut mereka, tujuan perubahan tersebut supaya bangsa ini tidak terpecah-belah dan untuk itu perlu dihilangkan kalimat-kalimat yang bisa mengganngu perasaan kaum Kristen atau juga agama-agama lainnya.

Usulan utusan Indonesia Timur in mendapat perhatian serius dari para mahasiswa, dan mereka segera memperoleh penyesuaian pendapat, dan masing-masing menyadari perlunya persatuan bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai kebinekaan.

Persoalan tersebut oleh para mahasiswa pada hari itu juga disampaikan kepada Bung Hatta melalui telepon. Bung Hatta setuju menemui delegasi mahasiswa untuk membicarakan hal itu pada sore hari.

Pada jam lima sore menerima delegasi mahasiswa dari Asrama Prapatan 10 di kediaman Bung Hatta di Jalan Diponegoro 57 untuk menyampaikan alasan perubahan yang di kemukakan oleh utusan Indonesia Timur di siang harinya. Delegasi itu terdiri dari 3 anggota mahasiswa, masing-masing Piet Mamahit, Moeljo dan Imam Slamet.

Masalah Piagam Jakarta yang dimasukkan ke dalam rencana Mukadimah sebelumnya pernah dipermasalahkan oleh Shegitada Nishijima, selaku penasehat Bukanfu (Perwakilan Panglima Angkatan Laut Jepang di Jakarta) kepada Bung Hatta. Karena menurut Nishijima (wawancara 1963 ketika berkunjung ke Jakarta) ketika dilakukan penyusunan piagam itu, tak ada orang Jepang yang hadir waktu itu.

Dari hasil pertemuan itu, Hatta memahami permasalahan utusan Indonesia Timur yang disampaikan kepada ketiga mahasiswa ini. Untuk itu, Hatta berjanji untuk meninjau kembali isi Mukadmimah itu yang akan disampaikan pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan besok, 18 April 1945.

Jakarta 18 Agustus 1945. Pagi itu di ruang rapat, sebelum rapat PPKI dimulai, terlihat Bung Hatta sedang berbicara khusus dengan utusan wakil Sumatra, Mr. Teuku Mohammad Hassan. Pada percakapan itu, Bung Hatta mendesak Teuku Hassan “mendekati” pendukung posisi Islam terkuat pada panitia itu, Ki Bagoes Hadikusumo pemimpin Muhammadiyah dari Yogyakarta.

Teuku Hassan adalah turunan uleebalang (bangsawan Aceh) dari Sigli, yang dikenal sebagai penganut Islam yang gigih, walau begitu Mr Teuku Hassan dikenal sangat intelektual dan luwes dalam pergaulan dengan siapapun dan fasih pula berbahasa Belanda. Pada pertemuan itu, Hassan pun menerima pandangan Hatta.

Dengan penampilannya yang berwibawa, Hassan mendekati kiyai Jawa ini dan berhasil membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk menerima penghapusan dari setiap penyebutan Islam dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Hassan menekankan pentingnya nilai-nilai persatuan bangsa. Untuk itu adalah sangat mutlak untuk tidak memaksa kaum minoritas Kristen (Minahasa, Batak, Ambon, Flores dan Timor) masuk dalam lingkungan Belanda yang sedang berusaha untuk datang kembali. Dengan mempertahankan ketentuan-ketentuan yang paling sedikit satu daripadanya akan menurunkan orang-orang Kristen kedalam posisi sebaga warga-negara kelas dua.

Dari hasil pertemuan itu, Teuku Hassan mengatakan: “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa.’”

Para peserta pada pertemuan itu menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkatan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Mohammad Hatta pada bukunya, Memoir, mengemukakan pandangannya:

“Dalam Negara Indonesia yang kemudian menggunakan semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariah Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia.

Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem Syariah Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Qur’an dan Hadith, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.

Orang tidak perlu mengambil saja dari Syariat Islam yang berlaku dahulu di negeri-negeri Arab dalam abad ke-8, ke-9 atau ke-10 yang di waktu itu sesuai pula dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang baru saja dengan keadaan masyarakat di situ.”

Lebih lanjut Hatta mengemukakan: “Perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam atau beragama Kristen akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga.

Dalam bidang hukum Perdata lainnya, hukum perniagaan dan hukum pidana tidak perlu ada perbedaan. Dalam bidang-bidang ini mesti ada persatuan hukum bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Mungkin disana sini ada pengaruh adat sedikit dalam melaksanakan hukum, tetapi tidak akan mempengaruhi pokoknya yang azasi.

Misalnya hukum yang menjadi dasar pembayaran dengan wesel atau cek sementara tidak di jalankan pada beberapa bagian di Indonesia. Tetapi itu tidak berarti, bahwa dasar perhubungan wesel dan cek tidak laku di situ.”

Usaha Teuku Hassan meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo berhasil dan setelah pandangan-pandangan ini dikemukakan antara kelima peserta itu. Sidang dibuka pada jam 09.30 untuk melakukan revisi, yakni penambahan dalam UUD 1945 dengan menghilangkan sebutan Islam pada Mukadimah, berarti menamatkan Piagam Jakarta pada Konstitusi.

 

Harry Kawilarang

Tulisan ini dimuat seizin penulis. Laman asli tulisan ini lihat di halaman Facebook dari Harry Kawilarang

Penulis adalah wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan | pemerhati sejarah Indonesia

Foto
Mr Alex Maramis (kiri) bersama Dr GSSJ Sam Ratu Langie

Omong Kosong soal Pribumi – Nonpribumi

Pribumi dan nonpribumi? Itu cuma konsep omong kosong. Bukan cuma saya yang bilang lho ya. Itu juga dibuktikan secara ilmiah. Mengapa saya berpendapat begitu? Coba baca sampai selesai ya.

Saya mulai dari cerita masa kecil saya dulu deh. Saya ini lahir dan besar di lingkungan yang majemuk. Waktu saya kecil sekali, keluarga kami menjadi satu dari dua keluarga Kristen yang tinggal di afdeling di salah satu sudut kawasan perkebunan sawit milik PTP Nusantara VII (Sekarang PTPN IV).

Tapi kami tetap saling menghormati. Teman-teman saya menghargai saya yang tak ikutan berpuasa dengan mereka saat ramadan. Saya pun menghargai mereka yang sedang menahan lapar dan haus. Ketika Idul Fitri tiba, kegembiraan mereka juga menular sampai ke rumah kami. (Tentang kisah ini, bisa baca tulisan saya: Pasir Mandoge dan Kisahku)

Kemudian saya bersekolah di SMP dan SMA Negeri dengan teman dari berbagai latar belakang agama yang berbeda.

Adik saya dan Om saya memilih ikut agama istri mereka masing-masing. Dan warna-warni di keluarga kami bukan cuma soal agama. Di darah anak-anak kami, mengalir darah Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Karo, Tionghoa, Minang, Jawa, dan China.

Orangtua kami adalah pasangan Batak Simalungun. Tentu ada resistensi ketika anak-anaknya membawa menantu dari berlainan suku dan agama. Tapi lambat laun kami baik-baik saja dengan semua itu. Perbedaan menjadi keniscayaan di keluarga kami. Ikatan kami adalah kekeluargaan kami. Sedang urusan agama, itu pribadi sifatnya.

Dalam perspektif yang kurang lebih sama, seharusnya kita orang Indonesia tetap bisa hidup aman damai dalam kebinekaan kita. Karena kita ini sesungguhnya satu keluarga berdasarkan genetika, bahkan dengan mereka yang kita anggap berbeda ras dengan kita.

Tak ada gen murni Indonesia. Kita ini semua adalah pendatang di bumi Nusantara. (Masih berpikir kamu orang pribumi?) Begitulah yang ditegaskan Prof. Dr. Herawati Supolo-Sudoyo M.S. Ph.D, ahli genetika dari Lembaga Eijkman, dalam suatu seminar yang saya hadiri, beberapa waktu lalu.

“Kita merupakan pencampuran genetika dan semua berasal dari Afrika,” kata Prof. Herawati. Dengan kata lain, omong kosonglah dengan istilah-istilah “pribumi” dan “nonpribumi” yang didengung-dengungkan sekelompok orang itu.

Herawati mengatakan meski merupakan pencampuran, presentasi genetika Austronesia lebih dominan di bagian barat Indonesia dan genetika Papua di kawasan timur. Tetapi ada gradasi pembauran genetik ditemukan pada populasi Indonesia di barat maupun di timur.

Dari mana kesimpulan ini? Herawati dan tim peneliti menganalisis 2.740 individu dari 12 pulau, 6 dari Indonesia barat dan enam dari Nusa Tenggara Timur (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor). Jadi bukan asumsi atau asal njeplak gaya kalangan rasis itu.

Saya sepakat dengan arkeolog senior Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak yang mengatakan, “Kebinekaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.”

Tak bisa lebih sepakat lagi dengan ucapan antropolog Dr. Kartini Sjahrir, yang menegaskan bahwa kemajemukan adalah satu paket dari pendiri negeri ini, yang dijadikan sebagai konstruksi sosial Indonesia.

“Yang mengatakan Cina-Cina, pribumi non pribumi, adalah sebuah kebodohan mendasar,” katanya. “Mereka lupa siapa dirinya, seperti Malin Kundang lupa pada ibunya.”

Kebangsaan Terancam, PGI Surati Presiden Jokowi

Untuk menyikapi kondisi kebangsaan yang terancam terkoyak perilaku intoleransi, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional lalu.

Surat bertajuk Keprihatinan atas Kondisi Kebangsaan Kita, itu ditandatangani oleh Ketua Umum PGI Pdt Henriette T. Hutabarat-Lebang dan dan Pdt Gomar Gultom, sebagai Sekretaris Umum PGl.

Berikut ini adalah poin-poin keprihatinan yang disampaikan PGI dalam surat tersebut, seperti dikutip dari website resmi PGI:

Pertama, salah satu keprihatinan yang paling mengemuka adalah kondisi kebangsaan kita yang dirasakan sedang berada di ujung tanduk. Di tengah upaya Presiden Jokowi mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila melalui Revolusi Mental, PGI melihat kecenderungan sekelompok masyarakat yang justru berniat meminggirkan Pancasila dari kehidupan kita berbangsa dan bermasyarakat, dan menggesernya dengan dasar agama.

“Pada hemat kami, pengedepanan agama secara formal sebagai dasar dalam kehidupan kita berbangsa hanya akan membawa persoalan baru yang menuju kepada perpecahan. Para pendiri bangsa kita telah sangat arif menempatkan Pancasila, dan bukan agama, sebagai dasar Negara kita. Tentu nilai-nilai agama tetap akan menjadi landasane tik, moral dan spiritual kita, yang diharapkan membangun semangat persaudaraan sebagai bangsa yang majemuk serta memberi kontribusi positif bagi kemaslahatan seluruh ciptaan Tuhan. Tentu saja nilai-nilai agama tersebut haruslah telah melalui proses objektifikasi, sehingga dapat diterima semua kalangan dan tidak mendiskriminasikan orang dari latarbelakang keyakinan dan kelompok mana pun,” demikian surat tersebut.

Kedua, PGI juga prihatin dengan makin maraknya aksi-aksi intoleran, kekerasan dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, yang dalam beberapa kasus terkesan dibiarkan oleh aparat negara. Hal ini makin memprihatinkan karena ternyata pendidikan di sekolah-sekolah turut mempersubur aksi-aksi ini, baik oleh guru-guru yang tidak memiliki komitmen kebangsaan maupun oleh buku-buku yang berisikan ajakan memerangi mereka yang berbeda keyakinan.

Ketiga, PGI prihatin dengan semakin maraknya berbagai aksi/deklarasi sektarian yang berkomitmen menerapkan ideologi di luar Pancasila. Provokasi semacam ini akan semakin melemahkan sendi-sendi kehidupan kita bersama sebagai bangsa yang majemuk. Apalagi ditengarai, aksi dan deklarasi semacam ini juga didukung oleh pernyataan-pernyataan para pejabat publik kita. PGI berpandangan, selama masih ada kelompok yang mengutak-atik dasar negara, dan dibiarkan oleh aparat negara, maka kita tidak akan pernah siap untuk membangun, bahkan sedang menuju kehancuran sebagai bangsa.

Keempat, PGI prihatin dengan kecenderungan sebagian masyarakat kita yang selalu memaksakan kehendak dan aspirasinya lewat pengerahan massa, ketimbang menempuh jalur hukum dan dialog yang lebih bermartabat. Kecenderungan semacam ini sangat potensial meruntuhkan sendi-sendi demokrasi yang kita perjuangkan selama ini dan menggantinya dengan mobokrasi.

PGI mengimbau Presiden Jokowi bersama dengan TNI dan Polri untuk mengambil tindakan tegas atas segala aksi dan kelompok yang berupaya merongrong Pancasila sebagai dasar dan ideologi kita berbangsa dan bermasyarakat. PGI juga menghimbau Pemerintah Pusat dan Daerah untuk lebih sungguh-sungguh menanamkan nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan, sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

PGI menegaskan dukungannya terhadap langkah-langkah Presiden Jokowi bersama seluruh elemen bangsa yang berkehendak baik untuk meneguhkan ulang komitmen kita terhadap dasar Negara Pancasila, mewujud-nyatakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, serta bersama-sama merawat warisan kemajemukan, yang adalah rahmat Tuhan yang luar biasa bagi bangsa Indonesia.

Memonopoli Peci

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, punya penampilan khas. Dia sering terlihat dalam berbagai kesempatan mengenakan peci.

Dalam buku otobiografi Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams, sang presiden mengatakan alasannya selalu mengenakan peci.

Bung Karno mengatakan dia bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan. Media menyebut, Soekarno termasuk yang mempopulerkan tutup kepala itu.

Bisa jadi begitu. Sebab begitu populernya, sampai-sampai di kampung orangtua saya di Hinalang, di pelosok Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, sana, peci adalah atribut penting para bapak dan kakek. (Tentang Hinalang, kalian bisa baca lebih jauh di tautan berikut: https://goo.gl/wNOqUI dan https://goo.gl/N1sq6d)

Malah ada tradisi dalam kebudayaan Batak Simalungun, di mana para anak memberikan peci, sarung, dan tongkat kepada orangtua sebagai perlambang. Bahwa sang bapak sudah layak dipanggil Ompung (kakek).

Dan sejak saat itu namanya tak lagi dipanggil dengan namanya sendiri, atau predikat bapaknya si A atau si B, tapi berganti predikat menjadi ompungnya si C atau si D.

Coba deh perhatikan di makam-makam orang Batak, kalian suka menemukan predikat di bawah nama almarhum, Ompu si A atau Ompu si B, dan sebagainya. Nah, di tradisi kami, semua bermula dari pemberian peci, sarung, dan tongkat.

Peci adalah atribut yang sudah sangat melekat dalam komunitas kami. Sejak kapan? Saya tak tahu. Mungkin saja sejak masa perjuangan merebut kemerdekaan itu. Kakek saya, contohnya, adalah salah satu veteran pejuang kemerdekaan. Ada fotonya memakai seragam tentara dan mengenakan tutup kepala seperti peci.

Peci juga melekat dalam berbagai aspek kehidupan komunitas kami. Dari sekadar bercakap-cakap di warung kopi, beribadah di gereja, berkunjung ke berbagai perhelatan, terlibat dalam berbagai upacara adat, peci takkan ketinggalan. Malah Gotong (tutup kepala) khas simalungun, menggunakan peci sebagai dasarnya.

Saya bukan bermaksud mempertentangkan hal ini dengan orang-orang yang sibuk sekali mengklaim sana mengklaim sini lalu mempertentangkan penggunaan peci, memonopoli penggunaan peci, dan menolak orang di luar mereka mengenakan peci.

Mari melihatnya dalam kerangka kebangsaan saja. Bahwa peci dan sarung sekarang adalah bagian dari kebudayaan Indonesia. Tak perlu meributkan bahwa peci itu ciri agama tertentu atau budaya tertentu. Apa kalian tidak capek?

Saya tak menafikan kabar bahwa konon katanya peci adalah rintisan dari Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengatakan, peci dibawa oleh Laksamana Cheng Ho, nahkoda muslim dari China.

Tak apa. Malahan saya bersyukur, karena peci bisa diterima secara universal oleh orang dari suku bangsa mana pun, dari agama apa pun. Keindonesiaan, menurut saya, seharusnya bisa mengeratkan kita dengan segala perbedaan kita.

Foto: commons.wikimedia.org/publicdomain