Category Archives: Kebangsaan

Penutupan Alexis dan Komoditas Politik

Penutupan tempat hiburan dan hotel Alexis ditanggapi oleh Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Mereka mengapresiasi langkah pemerintah provinsi DKI Jakarta. “Namun kami tetap kritis melihat penutupan ini jangan hanya menjadi komoditi politik saja,” tutur Steffi Graf Gaby, Sekretaris Fungsi Penguatan Kapasitas Perempuan PP GMKI, dalam keterangannya, Rabu (8/11).

Seharusnya, Pemprov DKI tak boleh tebang pilih. Tempat hiburan lain yang diduga berisi praktik-praktik prostitusi juga tak diperpanjang izin ya. Pemprov DKI, kata Steffi, didesak untuk menindaklanjuti hal tersebut.

Menurut Steffi, prostitusi merupakan salah satu bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Eksploitasi terjadi karena laki-laki menganggap posisi perempuan tidak setaranya dan menjadikan perempuan sebagai objek pemuas libido. Prostitusi juga berdampak pada perempuan yakni mendapatkan penularan penyakit dari laki-laki.

“Sayangnya, mantan pekerja Alexis belum diberikan solusi pekerjaan yang baik dan tepat. Kami mendapat informasi ada yang tetap bekerja di tempat lain, bahkan pindah ke provinsi lainnya,” ungkap Steffi.

Steffi meminta pemerintah untuk memberi ruang kepada pekerja hiburan agar dapat meningkatkan kapasitas dirinya. Pemerintah harus mengurangi angka pengangguran dengan membuka lapangan pekerjaan. “Karena banyak faktor yang menyebabkan perempuan-perempuan ini menjual dirinya, salah satunya adalah faktor ekonomi,” ujar Steffi.

Steffi menambahkan, praktik prostitusi juga tetap terjadi di kos-kosan dan rumah sehingga sulit diidentifikasi, terkhusus dalam mencegah penularan penyakit seksual. Masalah itu juga harus dicari solusinya, bukan sekadar memenuhi janji politik dan desakan kelompok tertentu. Steffi mengingatkan bahwa para pekerja hiburan tidak boleh dihakimi dan dianggap sebagai pekerja rendahan. Sehingga mereka tetap punya kepercayaan diri untuk alih profesi di tempat pekerjaan lainnya.

Steffi mencontohkan dalam ajaran Kristen, hal demikian juga pernah dihadapi oleh Yesus. Yesus diperhadapkan kejadian ketika ada seorang perempuan yang akan dilempari batu oleh sekelompok orang karena ketahuan menjual diri. Namun Yesus mengatakan, “Barangsiapa yang merasa tidak berdosa sejak lahir, silakan melempari perempuan ini”. Dan ternyata tidak ada satupun orang yang kemudian melempari perempuan tersebut. Ini menunjukkan bahwa setiap orang punya dosa, tidak ada yang bersih dari kesalahan dan kekhilafan.

“Dalam mendukung perjuangan hak perempuan Indonesia, GMKI telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan yang bertugas melakukan advokasi dan penguatan kapasitas terhadap perempuan. Pokja ini tersebar ke seluruh cabang di Indonesia dan berupaya untuk mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan,” tutup Steffi.

Tokoh Tebuireng: Eggy Sudjana Tak Paham Sejarah

Perjalanan Parade Kebangsaan GMKI ke Jawa Timur akhirnya tiba di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, kamis (5/10) pekan lalu. Pada persinggahan kali ini, dibahas pula pernyataan kontroversial Eggy Sudjana dan berbagai topik kebangsaan lainnya.

Di sini rombongan GMKI disambut H. Lukman Hakim, Mudir bidang Pondok, Kepala Pondok Putra Ustadz Iskandar, Ustadz Ainur Rofiq, dan Ustadz Roziqi sebagai perwakilan dari Madrasah Aliyah Salafiyyah Syafi’iyyah Tebuireng.

Pada pertemuan tersebut, Alan Christian Singkali, Sekretaris Umum PP GMKI menanyakan tanggapan Pesantren Tebuireng tentang pernyataan kontroversial Eggy Sudjana yang mengatakan bahwa tidak ada ajaran selain Islam yang sesuai dengan sila pertama Pancasila.

Menanggapi pertanyaan mengenai komentar kontroversial Eggy Sudjana itu, Ustadz Ahmad Roziqi yang merupakan alumnus Universitas Al Azhar Mesir, menyampaikan bahwa orang yang mengatakan seperti itu tidak paham sejarah dan harus belajar kembali. “Bagi Pesantren Tebuireng dan NU, Indonesia dan Pancasila sudah final dan tidak bisa ditawar-tawar lagi,” ujarnya, tegas. Beliau menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sudah punya Pendidikan Kader Penggerak NU (PKPNU) dengan slogannya ‘NKRI harga mati! Pancasila jaya!’.

“Ketuhanan Yang Maha Esa berarti setiap agama memaknai Tuhan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Yang satu tidak bisa memaksakan ajarannya kepada yang lainnya. Sampai sekarang kita bisa hidup rukun bersama. Itu hanya pernyataan sempalan yang tidak paham sejarah,” jelas dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng itu.

Mendengar jawaban tersebut, Alan Singkali, juga mengatakan bahwa setiap agama maupun keyakinan di Indonesia mengandung nilai-nilai hidup bersama yang sudah diwarisi dari pengalaman berabad-abad. Nilai-nilai inilah yang terus menerus dihidupi oleh setiap pemeluknya dalam bergaul antar sesama anak bangsa. Sehingga seluruh tatanan nilai dalam setiap agama tertuang apik dalam satuan nafas pada setiap sila dari Pancasila itu sendiri.

Dalam perbincangan lain, Lukman Hakim mengatakan pemerintah dan masyarakat harus sadar bahwa kegaduhan negara akibat radikalisme dan isu SARA salah satunya disebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Ada kepentingan elit dan kelompok yang bermain di tengah kecemasan masyarakat yang berlebihan dan ketimpangan ekonomi.

“Tugas bersama baik pesantren maupun gerakan mahasiswa seperti GMKI untuk membangun ekonomi masyarakat kecil,” ujar H. Lukman Hakim. “Toko waralaba atau toko modern semakin menjamur hingga desa-desa kecil. Akibatnya warung dan pasar tradisional masyarakat sudah semakin sepi dan tergeser. Kami berharap pemerintah dapat mengontrol munculnya fenomena tersebut, jika tidak, konflik dan kesenjangan akan semakin tajam.”

Sahat Martin Philip Sinurat, Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI sepakat bahwa pemuda dan mahasiwa harus mengembangkan ekonomi kreatif sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat yang terpinggirkan. “Pemerintah juga harus membuat kebijakan yang dapat mendukung pengembangan ekonomi masyarakat ekonomi rendah. Pemerintah harus memikirkan bagaimana agar warung dan pasar tradisional dapat berkembang dan bersaing dengan toko modern, bukannya menyerahkannya pada mekanisme pasar,” ujarnya.

Diskusi ditutup dengan pemberian cinderamata dari GMKI kepada Pesantren Tebuireng. Perwakilan GMKI kemudian diajak berziarah ke makam keluarga besar Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, yakni KH. Hasyim Ashari, KH. Wahid Hasyim dan Gus Dur.

Dalam kunjungan ke Jombang, GMKI juga disambut oleh Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jombang. Rombongan menginap di Rumah Ijo peninggalan Alm. KH. Yusuf Hasyim, yang pernah menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng.

Kunjungan ke Pesantren Tebuireng menutup rangkaian Parade Kebangsaan GMKI ke beberapa Pesantren di Jawa Timur. Sebelumnya, GMKI bersilaturahmi ke Pondok Pesatren Ngalah Pasuruan, Pondok Pesantren Al Hikam Malang, dan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Parade Kebangsaan Mahasiswa Kristen di Jawa Timur

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) hari-hari ini sedang menggelar Parade Kebangsaan, yaitu kunjungan kasih dan silaturahmi ke beberapa pesantren, kampus, dan gereja di Jawa Timur. Selain itu, mereka juga melakukan studi wilayah tentang gerakan radikalisme.

Kunjungan pertama dilakukan di Pondok Pesantren Ngalah, Pasuruan, Jawa Timur, pada Senin, 2 Oktober 2017, GMKI diterima langsung oleh Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Ngalah, KH. M. Sholeh Bahruddin. Turut hadir Pengurus dari organisasi Kelompok Cipayung, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Pasuruan Komisariat Ngalah, dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

KH. M. Sholeh Bahruddin, salah satu tokoh penggerak perdamaian di Jawa Timur, menekankan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah jati diri dan harga diri bangsa Indonesia. Sehingga perjuangan untuk merawat dan menjunjung semboyan ini tidak akan mengenal kata henti.

“Relasi sesama manusia harus dialaskan pada ‘lemek’ cinta dan kasih sayang. Tidak ada gunanya hidup jikalau tidak mengabdi untuk perwujudan perdamaian,” kata ulama yang penuh dengan kesahajaan dan kesederhanaan ini.

Selain berdialog, para mahasiswa diajak berkeliling untuk mengamati kehidupan di dalam pondok pesantren yang mengangkat jargon pluralisme dan inklusivitas ini. Rombongan menikmati keramahan dalam interaksi yang ditunjukkan oleh seluruh warga pesantren.

Koordinator Wilayah Jawa Timur, Bali, dan NTB, GMKI, Arnold L. Panjaitan mengatakan Parade Kebangsaan adalah usaha untuk menerobos sekat di dalam keberagaman agama di Indonesia. Generasi muda saat ini harus selalu mengupayakan keterbukaan serta keharmonisan antar umat beragama. Ini akan mempermudah gerak langkah bersama dalam menghindari cengkraman radikalisme, fundamentalisme dan intoleransi.

“GMKI sangat terinspirasi dengan kehidupan Pesantren yang damai, egaliter dan harmonis. GMKI berterima kasih banyak kepada pihak Pesantren Ngalah, Pasuruan. Semoga semakin banyak santri-santri hebat yang siap untuk berkarya memajukan Indonesia lahir dari Pesantren ini,” ujarnya.

Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI, Sahat Martin Philip Sinurat menyampaikan belakangan ini ada indikasi meningkatnya fundamentalisme dan radikalisme di tengah pemuda Indonesia. Padahal generasi muda seharusnya menjadi pihak yang paling kritis dan tidak mudah terprovokasi dengan informasi hoaks ataupun isu SARA.

“Adanya keberagaman di antara masyarakat kita sebenarnya telah membentuk kita menjadi bangsa yang toleran, guyub, damai, dan saling membantu (gotong-royong). Melalui silaturahmi dan saling bertukar pikiran, kita berupaya merawat karakter khas bangsa Indonesia ini agar tidak terkikis oleh bahaya apatisme dan radikalisme,” ujar Sahat.

Kegiatan Parade Kebangsaan ini digelar sampai 6 Oktober mendatang.

Apakah Kita Tawanan Sejarah?

Masyarakat Indonesia mungkin akan terus menjadi tawanan sejarah yang kelam karena belum dicoba buka secara terang-benderang dengan memaparkan fakta dan pengakuan apa adanya, meskipun ada perbedaan pendapat yang tajam di antara pemenang dan yang kalah, antara yang mendukung dengan yang menentang.

Tetapi memang, menyampaikan kebenaran sejarah suatu negara-bangsa yang penuh potensi konflik, apalagi pada masyarakat yang majemuk, rentan menuai perselisihan karena masing-masing (akan) menyodor “kebenaran” yang bisa bergeser ke kemarahan.

Dalam kasus PKI yang dilikuidasi Rezim Orde Baru secara paksa pasca Gestok/G 30 S, 1965, warganegara dari kedua kubu (yang antipati dan korban; yang sesungguhnya kedua kubu pun bisa mengklaim “representasi” korban) menjadikan masyarakat lain ikut jadi tawanan. Orang-orang yang tidak memiliki tautan dan imbas akibat perseteruan politik masa silam. Perseteruan yang berdarah-darah yang mengubur ratusan ribu korban (ada yang menyebut angka tiga juta malah).

Kebenaran masing-masing memang muskil menemukan kesepakatan, dendam dan kepentingan pun akan tetap menjadi “warisan” yang memperpanjang masyarakat negeri yang heterogen dan sarat persoalan sebagai tawanan.

***

Tetapi, nampaknya, ada yang tidak diperhitungkan atau dijadikan pertimbangan (oleh) orang-orang yang getol menjadikan tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah Indonesia modern itu sebagai modal politik: keturunan maupun simpatisan parpol berlambang palu dan arit tersebut.

Sebelum dibangkrutkan dan dilarang, PKI disebut memiliki pendukung sekitar 30 juta orang. Asumsikan keturunan korban pembantaian dan penyintas maupun yang sekedar ikut-ikutan memberi suara atau dukungan pada PKI dulu, sekitar 40-50 juta orang, walau mereka tidak otomatis berideologikan Komunisme dan boleh jadi membenci.

Mereka yang kemudian (memilih) menjadi agamis atau seolah-olah, demi memutuskan “keterkaitan” dengan PKI, selain untuk menghapus cap yang mengerikan dan distempelkan penguasa negara pada diri mereka; cap yang tidak saja membuat ‘kematian perdata’ dengan pelarangan kerja atau berprofesi di beberapa bidang yang ditentukan pemerintah (yang tengah berkuasa), juga menanggung dampak stigma yang mengasingkan relasi sosial mereka selama 30 tahun lebih –bahkan sampai kini.

***

Estimasi jumlah tersebut malah lebih banyak menurut seorang pensiunan petinggi serdadu, taksirannya 60 juta (walau metode kalkulasi tidak dia sertakan dengan analisa yang meyakinkan).

Mari kita bayangkan power 60 juta warga, setidaknya kontribusi suara saat Pilpres. Ditambah suara puluhan juta masyarakat pemilih yang lebih mengedepankan akal sehat, orang-orang yang menghendaki kedamaian, warga muda atau generasi milenial yang sejak bangun hingga mau tidur mengakrabi gadgets dan mudah mengakses informasi; generasi yang lebih rasional, berdecak kagum dan mengikuti kemajuan sains-teknologi; orang-orang yang tak gampang lagi diindoktrinasi –apalagi dikibuli– karena daya kritis dan pola pikir, paradigma, serta orientasi yang lebih pragmatis, yang menghendaki sukses dengan ukuran pengumpulan materi agar bisa memenuhi keinginan menyenangkan diri –tak hanya shopping, hang out, party, traveling, juga memenuhi keinginan snobisme.

Plus, masyarakat yang apatis karena sudah muak dengan perilaku koruptif para pejabat dan politisi, tak percaya lagi janji-janji sebab hampir semua tak menepati; warga yang “hanya” mendambakan kepastian sumber nafkah, jaminan pengobatan bila sakit, keberlangsungan pendidikan dan ketersediaan lapangan kerja.. Orang-orang yang jumlahnya signifikan dan seperti ‘massa mengambang,’ cair, tak terikat secara ideologis dengan suatu parpol.

***

Andai para aktor politik dan yang masih berambisi tinggi menguasai singgasana kekuasaan berpikiran cerdas, pikiran dan imajinasi mereka akan mempertimbangkan yang disinggung di atas selain membaca realitas sosial-politik dan budaya masyarakat dengan pendekatan intelektual untuk dijadikan tambahan modal politik –lalu menyiapkan strategi politik yang trengginas.

Maka, saya masih ragu mereka akan mampu menggeser Jokowi dalam Pilpres 2019 karena nampaknya tetap mengandalkan pola, isu, dan cara-cara vulgar yang terkesan naif, sementara Jokowi tetap selow dan berupaya merangkul semua lapisan dan unsur masyarakat.

Lha, para fans berat Jeng Raisa saja sampai mengadukan “patah hati” mereka pada Jokowi karena perkawinan wanita pujaan cowok-cowok galau itu.
Hehehe…

***

Mahasiswa Kristen Siap Mengawal Janji KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjanji akan mengedepankan integritas dan profesionalitas dalam menjalankan sistem Pemilu. Hal ini disampaikan Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi dan Viryan saat menerima Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Rabu (23/8) kemarin.

“Kami bertujuh sudah berkomitmen, netralitas, profesionalisme dan integritas mutlak dipegang teguh,” ujar Pramono kepada PP GMKI di ruang sekretariat Komisi 2 DPR RI di Jakarta.

Bahkan Pramono juga mengatakan siap dikawal dan diawasi oleh mahasiswa. Menurut mereka peran GMKI dalam mengajak mahasiswa dan pemuda untuk memberi pencerdasan politik sangat dibutuhkan.

Pramono dan Viryan juga memastikan tidak akan ada belas kasihan jika ada pemangku jabatan di jajaran KPU hingga ke kabupaten/kota yang terindikasi melakukan manipulasi suara dalam proses pemilihan yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.

Menurut mereka citra demokrasi di Indonesia harus menjadi panutan dunia. Untuk mengupayakan penyelenggara pemilu yang bersih, komisioner menjamin proses seleksi KPU di daerah hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan dengan berintegritas.

Sementara itu Viryan menyampaikan bahwa pemilih pemula adalah pemuda usia 17-21 tahun. Dalam usia tersebut kebanyakan di antaranya adalah mahasiswa. “Sehingga peranan GMKI menjadi vital terutama di tengah kondisi kebebasan media sosial yang kebablasan,” katanya.

Ketua Umum PP GMKI, Sahat Sinurat menyampaikan apa yang menjadi niat dari komisioner KPU saat ini adalah langkah yang bagus dan harus diapresiasi. Iklim demokrasi yang baik harus didukung oleh penyelenggara pemilu yang bersih dan berintegritas serta masyarakat yang cerdas.

“Kami pun akan siap mengawal KPU seperti yang telah disampaikan tadi selama masa kerjanya. Serta berusaha juga untuk meningkatkan budaya demokrasi yang baik di Indonesia,” ungkap Sahat.

Pertemuan ini berlangsung cukup singkat, pada saat yang bersamaan Komisioner KPU RI sedang melakukan rapat dengan Komisi 2 DPR RI.

Ini Sikap Mahasiswa Kristen Soal Radikalisme

Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia memberikan dukungan terkait sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tegas dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat. Mereka juga mendukung upaya pemerintah menangkali radikalisme di perguruan tinggi.

“Kami memberikan apresiasi atas langkah dari Pak Presiden yang tegas dalam mengantisipasi gerakan radikalisme dengan membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan,” kata Ketua Umum Sahat MP Sinurat pada saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada hari Senin (31/7/2017).

Menurut Sahat, pemerintah harus mengambil langkah strategis dalam menangkal radikalisme di Perguruan Tinggi dengan memberikan nilai-nilai spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta keterampilan yang diperlukan mahasiswa dan masyarakat.

Organisasi kemahasiswaan dapat menjadi mitra pemerintah dan perguruan tinggi dalam menangkal radikalisme, sebagai contoh GMKI yang sejak awal berdirinya fokus membina mahasiswa untuk memahami nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan yang dimiliki Indonesia.

“Kita harus memberikan perhatian terhadap pendidikan di Indonesia karena sekolah dan kampus merupakan tempat pertarungan terbesar dalam hal menanamkan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” kata dia.

Saat ini, kelompok-kelompok radikal telah memasuki ruang-ruang strategis dalam pendidikan baik dalam pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Pola ini menjadi massif karena kelompok radikal mampu masuk melalui program studi keguruan di perguruan tinggi, sehingga menghasilkan pendidik yang menyelipkan paham-paham radikalisme bagi peserta didik.

“Untuk menyikapi hal tersebut, perguruan tinggi harus mulai membuka ruang bagi organisasi-organisasi yang selama ini konsisten Pancasila untuk mendapatkan ruang dalam menanamkan Pancasila, nasionalisme dan semangat berbangsa dan bernegara. Tidak hanya itu, mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi perlu mendapat perhatian dalam hal beasiswa untuk dapat meningkatkan pengetahuan berbasis keilmuan serta pengembangan ekonomi kreatif sehingga para mahasiswa ini memiliki daya saing yang unggul,” kata Sahat.

 

Belajar Bersyukur menjadi Indonesia

Bagaimana mengajarkan anak mengenai Indonesia dan kebinekaan serta keberagamannya? Bukan perkara mudah sebetulnya.

Apalagi kalau kita terbiasa menyekolahkan anak di sekolah berbasis Kristen atau Katolik sejak Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah.

Anak terbiasa bergaul dengan kelompok homogen sejak muda. Bagaimana saat mereka harus bergaul dengan sekeliling yang heterogen, kemudian dihina atau diejek oleh anak-anak muda lain karena keminoritasannya?

Apalagi situasi akhir-akhir ini, sejak masa pemilihan presiden 2014 dan kemudian makin mengental saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Isu SARA menjadi mainan politik. Akibatnya, kebinekaan Indonesia berada di ujung tanduk. Bibit-bibit intoleransi bahkan sudah tumbuh pada anak-anak, seperti video yang viral di media sosial.

Tapi sebagai orang Kristen, membalas sikap intoleransi dengan sikap intoleransi, jelas jauh dari ajaran Kristus mengenai kasih. (Baca: Omong Kosong Soal Pribumi – Non Pribumi)

Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian komunitas persekutuan alumni Kristen SMA Negeri 13 Jakarta dan mendasari diadakannya Bible Camp bertajuk “Bersyukur menjadi Indonesia”, yang diadakan di Tanakita, Sukabumi, 25-27 Juni 2017 kemarin.

Sekitar 30 anak, dari usia Taman Kanak-Kanak hingga SMA, disatukan di bumi perkemahan itu untuk dididik menjadi anak-anak yang cinta Tuhan Yesus, berdisiplin, sekaligus menghargai perbedaan dan mengerti bagaimana bertoleransi di tengah kebinekaan negeri ini.

Betapa kita tidak bersyukur
bertanah air kaya dan subur;
lautnya luas, gunungnya megah,
menghijau padang, bukit dan lembah.

Refrein:
Itu semua berkat karunia Allah
yang Agung, Mahakuasa;
itu semua berkat karunia Allah
yang Agung, Mahakuasa.

Lagu di atas adalah semacam lagu tema Bible Camp itu. Anak-anak diajak bersyukur pada indahnya Indonesia, dengan segala isinya. Tak hanya keindahan alam, tapi juga keindahan perbedaan agama, warna kulit, suku, di dalamnya.

Bagaimana caranya? Dengan mempraktekkan hukum kasih yang menjadi landasan ajaran Kekristenan. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap akal budimu. Kasihilah sesamamu sebagaimana engkau mengasihi dirimu sendiri.”

Bagaimana mengasihi orang lain yang berbeda dengan kita? Saya kira, implementasinya tepat seperti yang dikatakan Rasul Paulus kepada jemaat Korintus di 1 Korintus 13: 4-8:
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.

Sedang orangtua yang ikut juga dalam kegiatan itu, banyak berdiskusi dalam forum yang diadakan panitia setiap hari. Dimulai dari bahasan mengenai bagaimana mendidik anak dalam ajaran kasih dan bagaimana ajaran kasih itu bisa menjadi landasan anak dalam bertoleransi dengan orang lain yang berbeda dengannya.

Kemudian, berdiskusi melalui pengalaman masing-masing orangtua, tentang bagaimana menjadi orang Kristen yang bisa berdampak bagi sekelilingnya. Ada orangtua yang mengatakan, salah satu cara paling simpel adalah dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan rumahnya.

Orang Kristen jangan menjadi kaum pasif, atau malah cenderung menjauhkan diri dari pergaulan dengan tetangga, RT, atau lingkungan sekitarnya. Ketika orang Kristen terlibat di lingkungannya, ini bisa menjadi cara mengubah pandangan orang-orang terhadap Kekristenan. Jadikanlah hidup penuh kasih di tengah keluarga kemudian jadi kesaksian bagi orang lain. (Baca: Wonder Woman dan Pelajaran Cinta)

Pada bagian akhir, Pendeta Fidel Ramond, salah satu alumnus SMA 13, menyampaikan bahwa rahasia menjadi berkat bagi sekeliling adalah dengan hidup jadi orang Kristen yang sungguh-sungguh dengan menjadikan Yesus sebagai teladan.

“Tuhan Yesus tidak meminta kita jadi orang baik saja, karena ada banyak orang di luar sana yang jauh lebih baik sikapnya ketimbang orang Kristen,” katanya. “Tapi yang Tuhan mau adalah kita menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh.”

Memang untuk hidup sungguh-sungguh itu tak mudah. Pendeta Fidel mencontohkan hidup Rasul Paulus, yang hidup bersungguh-sungguh dengan Tuhan, meninggalkan zona nyamannya sebagai pemuka agama dan orang penting, hanya untuk kemudian menjadi pengikut Kristus yang hidupnya sengsara sampai mati sebagai martir.

Tapi percayalah, kata sang pendeta, batas antara hidup di dunia dan kekekalan itu hanya setipis tirai. Pada kekekalan, hanya ada dua pilihan abadi: surga atau neraka. Mana yang kita pilih? Pilihan ditentukan ketika kita masih hidup, bukan saat kita sudah mati.

Foto: Dok Pribadi

Mahasiswa Lintas Iman: Intoleran Berarti Tak Paham Pancasila

Sebuah diskusi publik digelar di Jakarta beberapa hari lalu. Diskusi ini mempertemukan kelompok mahasiswa lintas iman, yang dihelat oleh Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Diskusi bertema “Orang Muda Bicara Pancasila” itu menghadirkan sembilan pembicara yang merupakan pimpinan organisasi mahasiswa Kelompok Cipayung Plus lintas generasi.

Noer Fajriansyah, Ketum PB HMI 2010-2012 mengatakan, Pancasila itu sejalan dengan agama. Kalau masih ada orang yang mempersoalkan toleransi di Indonesia saat ini, berarti mereka belum memahami arti dari Pancasila. Perlu adanya evaluasi di bidang pendidikan terkait Pancasila sebagaimana dahulunya ada penataran P4.

Addin Jauharudin, Ketua Umum PB PMII 2011-2014 mengatakan, bangsa ini bisa berdiri sampai saat ini karena adanya pemahaman dan pengakuan terhadap Pancasila. Bahkan hal itu dilakukan oleh organisasi mahasiswa seperti dalam kelompok Cipayung. Seberapa kuat organisasi ini, maka bangsa ini juga akan kuat.

“Saya melihat, terdapat tiga poin yang bakalan menguat ke depan. Pertama, adanya kelompok yang memanfaatkan situasi saat ini dalam soal-soal intoleran untuk kepentingan politik. Kedua, ada kelompok yang tidak tahu soal ini, sehingga mereka hanya mengikuti apa kata pemimpin mereka dalam wadah apapun sebagai sebuah kebenaran. Ketiga, kelompok pelajar hari ini yang mudah goyah karena bisa berubah akibat sedang berada pada fase mencari identitas. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Kelompok Cipayung harus menjadi yang terdepan dalam memproduksi gagasan kebangsaan,” sambung Addin.

Jihadul Mubarok, Ketum DPP IMM 2012-2014 mengatakan, NKRI itu harga mati bagi Muhammadiyah. Perlu ditanamkan rasa optimis dalam bernegara. Hasil penelitian membuktikan bahwa kelompok yang ingin merdeka dalam negara ini populasinya kecil, sementara penelitian lain mengungkapkan bahwa 65% masyarakat Indonesia tidak mau mengubah Pancasila sebagai ideologi negara.

Tweedy Noviadi, Ketum PP GMNI 2011-2013, 2013-2015 mengatakan, Pancasila adalah wadah pemersatu dan Pancasila harus dioperasionalkan dan merupakan sumber semua aturan yang berlaku di Indonesia. Tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan Pancasila. Nilai – nilai Pancasila juga harus menjadi etos kerja pemerintah dan masyarakat.

I Made Bawa Yasa, Presidium Pusat KMHDI 2012-2014 mengatakan, Bhineka Tunggal Ika yang ada dalam cengkraman burung Garuda adalah sesuatu yang sudah final. Tetapi akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang berusaha menggoyahkannya. Ini konstruksi pikir yang sangat keliru.

“Pertemuan seperti ini penting dan harus kita galakkan dalam masyarakat sebagai sebuah pendidikan. Mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dalam memandang bangsa sebagai negara Pancasila,” ungkap Made.

Lidya Natalia Sartono, Ketum PP PMKRI 2013-2015 mengatakan, ideologi Pancasila harus kita tanamkan dalam masyarakat khususnya melalui ruang pendidikan. Tidak boleh menghilangkan mata pelajaran PMP, PPKN, PKN, Pendidikan Pancasila dan sebagainya.

“Dalam ruang pendidikan khususnya S1, banyak mahasiswa masih bingung tentang lahirnya Pancasila. Dari sini kita lihat perlu adanya tambahan konten dan pelajaran Pancasila dalam ruang-ruang sekolah dan kuliah,” tutur Lidya.

Suparjo, Ketum PP HIKMAHBUDHI 2014-2016 mengatakan,  menurut Russel, falsafah itu antara ideologi dan sains. Hal ini sangatlah cocok dengan Pancasila yang juga menjadi dasar hidup bersama dalam bangsa. Pancasila menjawab semua keinginan di negara ini dan tidak ada perbedaan. Tetap banyak oknum yang ingin mempermainkan Pancasila dan ingin merebut kekuasaan.

Ayub Pongrekun, Ketum PP GMKI 2014-2016 mengatakan, sangat menarik bila kita melihat proses dialetikal Soekarno sampai lahirnya Pancasila. Dari berbagai tempat di mana beliau berada seperti Bandung, Jakarta, Sumatera sampai Ende. Beragam pengalaman dan korespondensi ini memberi kontribusi berarti bagi gagasan Pancasila.

“Kekayaan kebudayaan dari dialetikal pengalaman dan korespondensi tadi memberi warna pada Pancasila sehingga Soekarno dengan lantang menolak sistem monarki, dan mengusulkan musyawarah yang tidak bertentangan dengan budaya. Pengambilan keputusan layaknya masyarakat Minangkabau, Bugis, Makassar dan atau pela gandong di Ambon dan lain-lain. Oleh karena itu harus dihayati bahwa Pancasila adalah jiwa raga Indonesia,” sambung Ayub .

Adriyana, Ketum PP KAMMI 2013-2015 mengatakan, Pancasila merupakan titik ekuilibrium dari perbedaan. Mengapa goncangan bisa terjadi saat ini atas Pancasila? Itu disebabkan karena krisis identitas. Bila kita tidak bisa bersatu dalam banyak hal karena perbedaan lahiria, maka kita tetap dapat bersatu dalam Indonesia. Perbedaan jangan kita jadikan untuk saling menjatuhkan karena kita semua bersaudara.

Sebagai penanggap, Ketua Umum PP GMKI Sahat Sinurat mengatakan, Pengurus Pusat GMKI mengadakan diskusi publik dengan tema orang muda bicara Pancasila untuk mengingatkan kita bahwa kaum muda memiliki tanggung jawab dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu para pemuda harus bersatu dan tidak boleh tersekat-sekat dengan tembok perbedaan.

“Pancasila tidak hanya menjadi jawaban atas persoalan intoleransi, namun juga berbagai persoalan lain yang masih terjadi di tengah bangsa kita seperti ketimpangan pembangunan, diskriminasi, korupsi, disintegrasi bangsa, dan lain sebagainya. Maka nilai-nilai Pancasila harus dapat diarustamakan dalam setiap sendi kehidupan bangsa,” sambung Sahat.

Penanggap selanjutnya, Taufan P Korompot, Ketua Umum DPP IMM 2016-2018 mengatakan, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI harus terinternalisasi dalam diri setiap warga Indonesia. Pancasila harus dijadikan sebagai landasan nilai dari semua aspek kehidupan.

Dalam Diskusi Publik ini, semua pembicara sepakat bahwa Kelompok Cipayung Plus tetap bersinergi dan berkomitmen terhadap Pancasila dan NKRI. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung Plus harus juga terlibat dalam penanaman ideologi Pancasila di tengah masyarakat, salah satunya di dalam Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang baru saja dibentuk pemerintah.

Pribumi dan Nonpribumi, Warisan Kolonial yang Masih Membelenggu

Beberapa waktu yang lalu, petraonline.net baru saja mempublikasikan sebuah artikel singkat yang memaparkan bahwa pembedaan pribumi dan nonpribumi sebenarnya hanyalah berdasar pada argumentasi omong kosong belaka.

Baca: Omong Kosong soa Pribumi – Nonpribumi

Betapa tidak? Sebagian besar antropolog sepakat bahwa asal-usul manusia modern dapat ditelusuri hingga benua Afrika, antara 80.000 hinga 100.000 yang lalu. Ini berarti bahwa seluruh penghuni Nusantara pada dasarnya adalah keturunan dari para imigran yang datang di kepulauan Asia Tenggara ini puluhan ribu tahun yang lalu.

Arus kedatangan rumpun Austronesia bahkan lebih lambat lagi. “Penduduk asli” pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Semenanjung Malaka itu meninggalkan ‘tanah leluhur mereka,’ yaitu pulau Taiwan sekitar 1.000 tahun atau lebih sebelum masehi.

Bila para penduduk asli itu sebenarnya adalah “pendatang”, mengapa saat ini kita mengenal pembedaan antara “pribumi” dan “nonpribumi”? Siapakah yang pribumi dan siapakah yang bukan?

Pembedaan antara “pribumi” dan “nonpribumi” sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang tergolong baru, bila dibandingkan dengan sejarah Nusantara yang telah mencapai ribuan tahun. Pembedaan ini baru mulai dikenal pada sekitar abad ke sembilan belas, seiring dengan stratifikasi masyarakat berdasarkan ras, yang menurut Professor Wertheim, sangat berbeda dari sistem lama di Indonesia, yang tidak mengenal pembedaan semacam itu.

Stratifikasi sosial baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial ini menempatkan orang-orang Belanda dan golongan Eropa lainnya pada lapisan teratas dari masyarakat pada saat itu. Orang-orang Eropa ini memiliki status hukum yang sangat berbeda dari golongan lain, yaitu mereka yang disebut sebagai bumiputera, yang justru menempati lapisan masyarakat terbawah.

Sementara itu, dalam wilayah koloni Belanda saat itu, terdapat pula orang-orang Asia yang berasal dari negara negara di luar Nusantara. Mereka adalah para pendatang (atau keturunan pendatang) dari Tiongkok, Jepang, Arab, India.

Sebagaimana dituliskan oleh Charles A. Coppel, orang-orang ini (dengan pengecualian pendatang dari Jepang yang pada akhir abad Sembilan belas disamakan dengan golongan Eropa) dikategorikan sebagai “mereka yang disamakan dengan pribumi”.

Namun meski disamakan secara status, mereka dibedakan sebagai golongan tersendiri, yaitu “Timur Asing”. Menurut Coppel, istilah “Timur Asing” ini seolah melanggengkan pandangan bahwa mereka pada hakikatnya adalah “orang orang asing”.

Meski penggolongan penduduk berdasakan ras di atas merupakan peninggalan kebijakan kolonial, keberadaannya tampaknya diterima oleh para aktivis pergerakan nasional pada awal abad ke-dua puluh. Sebagian besar dari organisasi yang memupuk kebangsaan Indonesia pada periode itu memandang bahwa hanya masyarakat pribumilah yang dapat disebut sebagai bangsa Indonesia.

Orang-orang Timur Asing tidak dapat dianggap sebagai bangsa Indonesia meski mereka telah hadir di wilayah jajahan Belanda itu selama beberapa generasi. Sebagaimana ditulis oleh Mobini-Kheseh, setidaknya selama beberapa waktu, orang-orang keturunan Arab tidak dapat menjadi anggota penuh dari Syarikat Islam (SI), sebuah organisasi yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu pemersatu.

Hanya beberapa dari para tokoh kebangsaan saat itu – teruatama para pendiri Indische Partij – yang berpandangan bahwa Indonesia (saat itu disebut sebagai Hindia) adalah tanah air dari mereka yang tinggal di Indonesia, tanpa memandang ras, etnisitas, ataupun agama.

Sayang, Indische Partij sendiri tak berumur panjang karena segera diberangus oleh pemerintah kolonial. Seiring pudarnya Indische Partij, ide pembangunan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada status kepribumian menjadi wacana yang paling dominan dalam pergerakan kebangsaan di waktu itu.

Lebih dari dua abad telah berlalu sejak penggolongan masyarakat berdasarkan ras diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial. Indonesia pun telah tujuh puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan. Namun istilah pribumi dan non-pribumi masih seringkali didengungkan, tanpa memahami konteks di mana istilah tersebut pertama kali dicipta.

Sebagai bangsa merdeka, bukankah seyogianya kita pun membebaskan diri dari belenggu mental yang pernah dikenakan kepada kita oleh pemerintahan kolonial di masa lalu?

Dalam hemat saya, salah satu dari belenggu tersebut adalah pembedaan terhadap saudara sebangsa berdasarkan penggolongan pribumi dan nonpribumi.

 

J Roestam

Penulis adalah antropolog

 

Foto: pixabay.com

#BERANIMIMPI untuk Bangun Sekolah di Papua

“Aku ingin menjadi suster ketika besar nanti,” ujar Siska, seorang gadis berusia 5 tahun dari Desa Sapalek, Distrik Napua, Wamena. Anak dari petani desa tersebut kini sudah ikut PAUD, dimana ia mulai belajar mengenai huruf dan bernyanyi serta menari.

Sayangnya, ia dan 180 temannya yang lain hanya bisa melaksanakan kegiatan belajar mengajar sekali dalam seminggu, setiap hari Jumat dan Sabtu. Pasalnya, PAUD tersebut belum memiliki bangunan, alih-alih menumpang di Kantor Kepala Desa.

Kegiatan belajar dua kali seminggu inipun seringkali tidak terlaksana lantaran jumlah guru yang terbatas. “Disini guru, hanya 2 orang. Kadang anak-anak sudah kami antar tapi kadang Ibu guru sakit dan urus keluarga dan anak juga tidak jadi belajar,” ujar Telnina, ibu dari Siska.

Padahal peran PAUD bagi anak-anak disana besar sekali. Menurut Ibu Guru Tolince, sebelum anak-anak belajar di PAUD, anak-anak di desa tersebut jarang mandi, banyak yang mengalami kaskado (kudisan) sehingga sakit gatal-gatal dan kelihatan tidak bersih.

Melalui PAUD, kami mengajarkan mereka mengenai gaya hidup bersih sehat juga. Anak-anak pun menjadi bisa mengenal angka dan huruf melalui PAUD.

Selain ketiadaan bangunan sekolah, pendidikan di Desa Sapalek juga mengalami kesulitan yang lain. Sebanyak 3 sekolah (dengan jumlah siswa sekitar 526) belum memiliki toilet. Karenanya, anak-anak masih mempraktekkan BABS (Buang Air Besar Sembarangan).

Wahana Visi Indonesia (WVI), sebuah yayasan kemanusiaan yang fokus pada anak, melalui kampanye digital tahunannya #BERANIMIMPI, mengajak seluruh masyarakat Indonesia berani bermimpi untuk membuat perubahan untuk anak-anak di Desa Sapalek, Papua.

Masyarakat dapat berpartisipasi langsung dalam sebuah kompetisi penggalangan dana, yang hasilnya akan digunakan untuk pembangunan honai belajar dan sarana sanitasi di tiga sekolah di sana.

Priscilla Christin, Direktur Komunikasi Wahana Visi Indonesia menjelaskan, “Kampanye #BERANIMIMPI merupakan sebuah kampanye sosial yang menggabungkan konsep crowdfunding dengan konsep voluntourism (kombinasi antara Volunteering dan Tourism).”

Konsep crowdfunding ini dilaksanakan melalui kompetisi galang dana online melalui portal beranimimpi.id, sedangkan konsep voluntourism ditawarkan sebagai hadiah bagi tiga pemenang kompetisi (yang berhasil menggalang dana terbanyak) agar mereka dapat menikmati keindahan alam Papua sekaligus merasakan indahnya berinteraksi dan berbagi cerita, pengalaman, ataupun keahlian dengan anak-anak disana bersama salah satu ambassador #BERANIMIMPI, yaitu penyanyi Eva Celia.

Perjalanan voluntourism ini akan dilaksanakan pada tanggal 14 hingga 18 Agustus 2017, sehingga seluruh pemenang dan Eva Celia akan memperingati Kemerdekaan Indonesia bersama adik-adik dari Papua.

“Kampanye ini terlaksana atas kerjasama Wahana Visi Indonesia dengan Campaign.com yang didukung oleh Kitabisa.com,” kata Priscilla.

Dalam portal daring beranimimpi.id ini partisipan yang tertarik dapat memilih untuk bergabung dalam kompetisi penggalangan dana (fundraising competition) atau melakukan donasi secara langsung melalui para fun-raiser di portal daring tersebut.

Mereka yang ingin menjadi fun-raiser dapat mendaftarkan ide kreatif mereka dan menggalang donasi dari seluruh masyarakat. Ide kreatif tersebut bisa dalam bentuk apa saja, misalnya lari mengelilingi monas setiap berhasil menggalang donasi Rp 1.000.000, atau jalan-jalan mengenakan konstum Pocahontas jika berhasil menggalang Rp 50.000.000, dan masih banyak lagi.

“Dampak besar dapat dimulai dari aksi-aksi kecil yang menyenangkan. Jadi, siapa saja bisa terlibat. Itulah prinsip #BERANIMIMPI,” ujar Priscilla.

Kompetisi akan berlangsung selama 1 bulan sejak 7 Juli hingga 7 Agustus 2017. Namun sejak saat ini, kontestan sudah diperbolehkan untuk mendaftarkan diri dan membuat laman kampanye masing-masing. Para kontenstan juga akan mendapatkan tautannya masing-masing, sehingga mereka dapat dengan mudah menyebarkan tautan tersebut ke jaringannya, untuk menggalang donasi.

Priscilla melanjutkan, “Tahun 2017 merupakan tahun kedua bagi #BERANIMIMPI. Tahun lalu melalui #BERANIMIMPI 2016, WVI bersama 104 fun-raiser dan 827 donatur telah berhasil mengumpulkan RP 547,553,775 untuk membangun sumur air bersih dan menguatkan posyandu di Sumba Barat Daya.”

“Selama hampir 20 tahun Wahana Visi Indonesia melayani berbagai wilayah di Indonesia dengan visi untuk mewujudkan hidup anak yang utuh sepenuhnya dan dengan doa bagi setiap hari tekad untuk mewujudkannya. Kami menyadari betul bahwa dalam menciptakan kehidupan anak yang sejahtera, kami tidak bisa bekerja seorang diri,” ujar Doseba Tua Sinay, Direktur Nasional WVI saat membuka peluncuran #BERANIMIMPI 2017.

“Untuk itu kami selalu bermitra dengan semua pihak, baik dengan Pemerintah, masyarakat, organisasi lain, media dan banyak lagi yang tidak dapat kami sebut satu per satu. Untuk itu melalui kampanye #BERANIMIMPI kami berharap makin banyak orang yang mau terlibat terutama mereka dari kalangan anak muda Indonesia, yang mungkin tidak percaya bahwa dirinya bisa melakukan perubahan untuk Indonesia,” katanya.

Melalui #BERANIMIMPI ini, WVI berusaha mengatakan bahwa semua orang bisa, dengan apapun yang kita miliki, kita semua bisa, asalkan kita #BERANIMIMPI dan mau bergerak untuk mimpi itu,” kata Doseba.

Lima duta #BERANIMIMPI 2017 turut hadir dalam peluncuran kampanye ini, yaitu penyanyi Eva Celia, aktris Chelsea Islan, penyanyi Monita Tahalea, model Firrina Sinatrya, dan travel blogger Febrian. Masing-masing membawa mimpi yang berbeda-beda untuk Papua.

Eva #BERANIMIMPI untuk “Anak-anak dan setiap orang yang berada di sana dapat memiliki akses yang setara untuk pendidikan dan kesehatan yang terbaik,” ujar Eva Celia.

Chelsea #BERANIMIMPI untuk “Anak Papua punya semangat yang terus menyala dan memiliki pendidikan yang lebih baik lagi.”

Monita #BERANIMIMPI untuk “Anak Papua punya kepercayaan diri.”

Firrina #BERANIMIMPI untuk “Anak Papua punya kesempatan yang sama dengan anak-anak di kota-kota lain.”

Febrian #BERANIMIMPI untuk “Anak Papua punya fasilitas pendidikan yang layak.”

Bagaimana dengan kamu?

 

Media Relations Wahana Visi Indonesia