Category Archives: Destinasi

Menyusuri Jejak – jejak Kerajaan Gowa

Gigitan terakhir deppa kakau a.k.a sawalla (= kue gemblong, bhs Jawa) meluncur ke kerongkongan tepat saat langkah menggapai gerbang kecil di samping Masjid Al-Hilal. Akhirnya kembali ke sini setelah 6 (enam) tahun berlalu dari langkah pertama dijejakkan di parkiran masjid ini.

Waktu itu, bang Aras, kawan yang menemani berjalan, meminta ijin untuk sholat Jumat sebentar di masjid terdekat yang kami lalui selama berkeliling di Gowa dan Al-Hilal-lah yang kami tuju saat panggilan sholat menggema.

Masjid Al-Hilal, Katangka

Saya mampir ke Masjid Al-Hilal selepas iseng bermain ke tempat peristirahatan Sultan Hasanuddin. Dari belakang masjid, tempat peristirahatan itu terlihat di ketinggian Bukit Tamalate. Ada gerbang di belakang peristirahatan, tapi menurut Mustaqim, abang yang berjaga di tempat itu, gerbangnya dikunci.

Jadilah saya jalan – jalan petang menyurusi jalan raya untuk turun ke masjid – yang lagi – lagi kata Mustaqim lumayan jauh – dan setiap melewati pagar rumah penduduk atau berpapasan dengan mereka yang melaju dengan kendaraan bermotor; dilihatin dengan pandangan penuh tanya. Jaraknya nggak jauh koq. Keenakan duduk manis di atas kendaraanlah membuat orang malas untuk mengayun langkah.

Bangunan berbentuk limas di belakang Masjid Katangka

O,ya, alasan lain yang membuat orang enggan berjalan kaki, ternyata, jalanan yang ramai kendaraan itu; rawan copet. Upzzz. Saya baru tahu saat pulang ke Antang diantar sama mas – mas Grabcar. Dirinya berbagi cerita, “mbaaaak, tadi lewatin patung massa – awal mendengarnya saya pikir si mas mau bercerita tentang patung jaman atau berat hihi – kan?, itu simbol mbak, sepanjang tempat itu rawan kejahatan.”

Ouuwww yaaaa? Alhamdulillah, terpujilah TUHAN, dilindungi dan diberkatilah selalu para pejalan yang berjalan dengan hati yang bersih; semua aman sentosa.

Masjid Al-Hilal dibangun pada 1603 M di dalam komplek Istana Tamalate semasa pemerintahan I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna, Raja Gowa ke-16. Jika di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai Masjid Katangka, itu karena tempatnya berdiri sekarang berada di kampung Katangka.


Makam kuno di pekarangan Masjid Katangka

Ah ya, sebenarnya, siang itu saya berencana bermain berlama – lama di Museum Balla Lompoa yang berdiri gagah di tengah kota Sungguminasa, Gowa. Ada sesuatu yang ingin saya cari di sana. Nah, mumpung selama di Makassar tinggalnya hanya 30 menit dari Gowa, pergilah saya ke museum yang ternyata pintunya lebih sering tertutup rapat daripada dibuka itu. Yasudah, terlanjur di Gowa, saya beranjak ke Bukit Tamalate.

Museum Balla Lompoa ini adalah bekas istana Kerajaan Gowa

Lega melihat tempat peristirahatan Sultan Hasanuddin dan raja – raja Gowa di puncak Tamalate kini lebih terbuka. Pagar beton yang dulu membentengi tempat peristirahatan rapat – rapat sudah berganti dengan pagar besi.

Di belakang peristirahatan ada taman berumput yang teduh, dan pengunjung pun bisa menikmati pemandangan yang ada di kaki bukit dengan leluasa. Saya teringat duluuu, mesti mencari pijakan yang agak tinggi bahkan diam – diam memanjat pagar untuk memuaskan rasa penasaran pada penampakan yang ada di baliknya.

Kamu tahu ada apa di balik pagar itu? Ada bangunan – bangunan besar berbentuk limas yang menyembul dari kaki bukit. Tempat yang akhirnya saya datangi saat melangkah ke pekarangan belakang Masjid Katangka setelah tertunda selama enam tahun!

Duluu, sewaktu menunggu bang Aras Jumat’an; saya hanya berdiam di dalam mobil karena di luar hujan deras. Sekarang, saya bisa melihat dan menyentuhnya dari dekat.

Lalu, apa isi bangunan besar itu? Tak ada informasi yang bisa didapatkan di sana. Tak ada pula yang bisa diajak berbincang selain dua anak kecil yang asik bermain dengan ikan – ikan kecil di genangan air di tanah berlumpur di antara makam.


Bagus ya .. ada 5 or 6 makam di dalam bangunan besar – besar di belakang Masjid Katangka

“Masuk mi saja bu, tidak dikunci ji pintunya. Ada kuburang di dalam,” berulang mereka mengompori tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari ikan – ikannya.

Penasaran, saya pun melangkah dengan bersijingkat, serta sesekali melompat menghindari genangan dan tanah becek, mendekati salah satu bangunan limas yang pintunya terbuka lebar – lebar. Dari balik pintunya saya melongok pelan – pelan ke dalam ruang yang gelap.

Onde mandeeee, dua anak kecil itu tak bohong. Makamnya cantik – cantik! pada bagian kepala, kaki dan sekelilingnya diukir serta dicat merah, hitam dan kuning keemasan. Ini bukan makam kebanyakan. Sayang banget, makam – makam itu tak dilengkapi informasi penting untuk pengunjung yang penasaran seperti saya.

Lalu, siapa saja mereka? sesuai informasi pada papan yang bertengger di pagar di samping gerbang masjid; Makam Keluarga Keturunan Raja Gowa.


Coba baca baik – baik tulisan pada pintu makam ini

Di kunjungan kedua ini saya tak mengulas Sultan Hasanuddin. Tentu, kamu sudah tahu kan siapa si empunya nama itu? Saya lebih fokus pada Sultan Abdul Djalil meski energi besar yang mengikuti langkah selama di bukit hingga turun dari Tamalate terbawa dari pintu peristirahatan kedua Sultan Gowa ini.

Saya mengerti, mereka, orang – orang besar pada masanya. Yang saya tak tahu, belum sempat mencari tahu, dan entah saya juga tak tahu apakah nanti akan mencari tahu; adakah yang belum diselesaikan sebelum beranjak ke alam sana?

Karenanya, sebelum beranjak dari bukit, saya mohon kepada beliau berdua, “Karaeng, jangan miki ikut na. Berani ka datang sendiri, berani ja pulang sendiri juga.” Eeeh, nggak tahunya dikawal turun dari bukit hingga ke peristirahatan Syekh Yusuf ?

Di seberang Masjid Katangka, mata saya silau dengan sebuah penanda usang yang berdiri di pinggir jalan. Penanda yang tak tampak bila tak awas … 200M Makam Syekh Yusuf. Kamu tahu kan, mata saya hijau bukan saat melihat uang tapi melihat kuburan! Baru kali ini saya merasakan melangkah menuju titik 200 meter itu, jauuuh ya.

Untuk memastikan tak terlalu jauh melangkah dan tak melewati tujuan, saya pun mampir bertanya pada ibu penjaga warung di tepi jalan yang jaraknya hanya dua rumah dari tempat yang dituju hahaha.


Makam Syekh Yusuf

Langkah saya disambut oleh seorang kakek yang menyodorkan bungkusan berwarna putih di depan gerbang Makam Syekh Yusuf. Tak ada tanya yang sulit untuk dijawab sebelum melangkah ke dalam pelataran makam. Saya hanya merasa dipalak!

+ Sepatunya simpan mi sini biar aman. Saya pun melepas sepatu di dekat pintu.
– Terima kasih, permisi pak.
+ Lima ribu, ongkos titip sepatu dan tiket masuk. Baiklah, saya pun merogoh uang lima ribu perak dari kantong celana dan menyorongkan ke si bapak.
– Semuanya dua puluh ribu, bunganya belum dibayar

Njirrrr!! #TukangKuburan dipalak di kuburan!! kenapa nggak ada pengumuman ongkos berkunjung atau tulisan, bayar dengan iklas? Saya minta kembali uang lima ribu yang sudah disodorkan dan menyerahkan uang dua puluh ribu agar nggak dipotong lagi ongkos lain – lain (jika ada) dan minta bukti pembayaran HTM yang disobek dari sisa tumpukan karcis yang sudah lusuh.

Anggap saja beramal, saya melangkah dengan membuang segala pikiran tak baik yang berusaha menggoda dan menenangkan hati mendekati pintu makam.

+ Duduk dulu bu, di dalam masih ada orang. Silakan pakai kerudungnya.

Mas – mas yang berjaga di depan pintu masuk kubur menghentikan langkah saya dan menunjuk bangku untuk menunggu serta keranjang berisi tumpukan kerudung. Ok deh, ternyata ada dua lapis pintu di sini. Saya jadi ingat sewaktu memanjat menara Masjid Agung di Banten Lama.

Ada 3 tempat kotak sumbangan yang disodorkan dari pintu, di dalam menara yang sesak hingga puncak, dan saya memilih hanya mengeluarkan uang setelah turun di pintu masuk. Ingat, hidup itu pilihan!

– Oh gitu, eh .. saya ada koq. Gak pa-pa kan pakai punya sendiri? Nah, ini perlu dipastikan jangan sampai ada lagi tambahan ongkos tak terduga.


Pak Mudjibu, kuat duduk berjam – jam, dari pagi hingga pagi di makam Syekh Yusuf, Tuanta Salamaka ri Gowa

Saat itu yang duduk – duduk menunggu jadwal berkunjung ada seorang ibu dengan dua anaknya, seorang kakek, dan dua lelaki muda. Ketika waktunya tiba, si mas penjaga pintu berteriak dan mempersilakan kami masuk. Kloter kami ketambahan seorang perempuan muda dan seorang lelaki yang menggandeng puterinya.

Pintu dibuka. Orang – orang yang tadi menunggu dengan sabar itu berlomba menggapai pintu. Saya pelan – pelan undur, memilih berjalan paling belakang. Kreek. Pintu ditutup dari depan, dada mendadak sesak, susah bernapas. Hati kecil saya bertanya, “kamu ngapain masuk sini, Lip?”

Belum juga dijawab, kaki masih terpaku di balik pintu memerhatikan pengunjung lain yang bergegas ke tujuannya masing – masing ketika sebuah towelan mendarat di punggung. Ternyata, mas – mas penjaga pintu.

Ia menunjuk – nunjuk makam Syekh Yusuf, mengarahkan saya – yang mungkin dilihatnya bingung – untuk mendekati makam itu. Ketika saya melontarkan tanya, dia menolak menjawab pertanyaan saya dengan menunjuk Mudjibu; lelaki yang duduk di antara Syekh Yusuf dan istrinya sebagai tempat untuk bertanya.

Syekh Yusuf Al-Makassary, ulama besar dari Gowa adalah keponakan Sultan Alauddin, Sultan Gowa ke-14, Sultan Gowa pertama yang memeluk agama Islam. Syekh Yusuf meninggal di tempat pengasingannya di Cape Town, Afrika Selatan pada 1699.

Jasadnya dibawa kembali ke tanah air atas permintaan Sultan Abdul Djalil, Sultan Gowa ke-19 dan dimakamkan di tempat peristirahatannya sekarang pada 1705. Kisah lengkapnya? Coba cek toko sebelah eeh .. kakek Gugel.


Coba di-zoom dan baca tulisan di makam itu

Tak leluasa bergerak dan masih menunggu antrian, saya jadi berkesempatan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang. Selain Syekh Yusuf dan istrinya; bila tak salah mengingat, di ruang yang pengab itu ada 9 (sembilan) makam lain. Dari kesemuanya itu, tulisan pada makam di samping kanan Syekh Yusuf membuat mata jleeeb.

Mappadulung Daeng Mattimung Kareang Sanabone Sultan Abd Djalil, Raja Gowa ke-19, Tumenanga Ri Lakiung.

Jadiii, yang tadi di Bukit Tamalate siapaaaaa? Tergesa, saya pamit pada bapak Mudjibu, mencari udara segar di luar, saleum

 

Tulisan ini juga dimuat di: https://obendon.com/2017/02/22/menyusuri-jejak-jejak-kerajaan-gowa/

 

Foto: Dok Pribadi

Yogyakarta, dari Kedai Kopi di Tengah Sawah

Pulang ke kotamu
Ada setangkup hari dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Terhanyut akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja

Petikan lagu lawas dari Kla Project, tetapi selalu relevan untuk membicarakan kota Yogyakarta.

Ini kota yang sering menjadi tujuan atau destinasi wisata saya dan keluarga saban akhir tahun. Maklum, sebagai wartawan dan beragama Kristen, saya sering mengambil cuti agak panjang pada Natal sampai Tahun Baru, sebab pada saat lebaran biasanya saya kerja.

Yogyakarta kenapa menarik? Sulit bagi saya mendeskripsikan ketertarikan saya pada kota ini dengan kalimat pendek dan lugas. Tapi kalau mau disingkat, ya Yogyakarta memang menarik.

Meski keadaannya sudah tak terlalu sama dengan keadaannya pertama kali saya menyambangi kota ini dua dekade lebih yang lalu.

Kota Yogyakarta tak lagi santai seperti dulu. Lalu lintasnya macet dan orang di jalanan perkotaan terasa terburu-buru. Entah apa yang mereka kejar di kota yang tak terlalu luas ini.

Pada saat liburan akhir Desember 2016 lalu, itu terasa sekali. Keluar dari guest house di daerah Condongcatur ke Ring Road Utara, yang jauhnya hanya sekitar 500 meteran, kami butuh sampai 30 menit lebih.

Atau tengoklah Jalan Malioboro yang menjadi jantung kota budaya ini. Padat sekali, dengan manusia dan kendaraan bermotor. Memang, sekarang jauh lebih terlihat rapih dibandingkan beberapa tahun lalu. Sejak jalur pedestrian diperluas dan parkir motor dipindahkan.

Tapi tetap saja muacet bukan main. “Pada tahun baru, orang Jogja malah cenderung menghindari Malioboro,” kata teman saya, yang sudah puluhan tahun menetap di sini.

Pada banyak sisi sudah semakin komersial. Harga-harga makanannya tak ada bedanya dengan Jakarta. Apalagi akomodasinya. Mungkin saja karena keberadaan pendatang yang memadati kota ini saban musim liburan tiba.

Tapi kota mana yang tak butuh kehadiran pendatang dan turis seperti saya ini? Bukankah itu menggerakkan perekonomian?

Hanya.. ya sudah bedalah. Lantas, mengapa saya masih datang dan datang lagi ke kota ini?

Mungkin karena kota ini punya ‘lumbung raksasa’ untuk mengawetkan sejarah. Dan saya punya tabungan sejarah yang besar di sini.

Trotoarnya menyimpan cerita saya dan istri memadu kasih dulu saat masih pacaran. Yogyakarta adalah tempat wakuncar saya (eh masih ada yang tahu istilah wakuncar nda sih? Singkatan dari “waktu kunjung pacar”), yang harus saya sambangi dengan perjalanan belasan jam dari Jakarta menumpang bis atau kereta api ekonomi.

Sejarah saya menikmati akomodasi murah luar biasa. Makanan enak dan murah luar biasa. Keramahan publik yang luar biasa.  Masih adakah itu semua?

Tentu saja masih. Orang-orangnya saya kira masih sama. Sedang keramahan kota ini pada isi dompet saya, masih bisa saya temukan di tempat-tempat yang tak biasa.

Setelah saya menjelajahi lagi sudut-sudut kota, mencari tempat saya bisa menyepi dari keriuhan pusat kota yang komersial dan mahal. Di sini kemudian saya tiba.

Pada suatu siang, akhir pekan 18 Februari 2017. Saya menemukan tempat untuk menggali kedamaian Yogyakarta, Kopi Gandroeng namanya di timur laut kota, tak jauh dari kawasan Ring Road. Ditemani hujan dan bau rumpun padi. Plus secangkir kopi tanggung susu (kotangsu) yang nikmat luar biasa.

Tempat yang dipenuhi anak-anak muda ramah. Harga makanan yang murah. Suasana yang tak bikin resah.

Ini Yogyakarta yang kusuka. Mungkin ada banyak lagi tempat seperti ini di Yogyakarta. Saya hanya tinggal mencari dan mencari..

Jogja 18 Februari 2017
Di sebuah kedai kopi di tengah sawah

Foto dijepret oleh Job Palar.

Artikel ini dikutip dari blog pribadi: http://bangdeds.com/2017/02/18/pulang-ke-yogyakarta/

Corat-Coret Orang Indonesia di Situs Bersejarah

Rasanya belum puas kalau belum melakukan corat-coret, ketika mengunjungi sebuah tempat yang baru. Apalagi kalau kesempatan untuk datang ke tempat itu mungkin tidak akan kembali lagi. Begitukah?

Ketika mengunjungi Seoul Namsan Tower, sebuah tempat wisata populer di utara kota Seoul saya menemukan banyak coretan di pagar kayu yang ada di sana. Yang menarik adalah bahwa ada tulisan yang diduga dibuat oleh orang Indonesia.

Coretan di Namsan Tower mungkin wajar, karena saya menemukan banyak coretan lain dalam bahasa Korea. Akan tetapi, saya teringat beberapa waktu yang lalu ketika mengunjungi kota Kana di Galilea.

Di situs mujizat pertama yang dilakukan Yesus, saya juga menemukan coretan khas orang Indonesia. Padahal di sana sudah jelas tertulis larangan untuk tidak mencorat-coret. Apalagi itu adalah situs religi berusia ribuan tahun yang didatangi umat dari seluruh dunia untuk beribadah dan berdoa.

Bukan sekali dua kali ini kasus corat-coret ala orang Indonesia terjadi. Sebelumnya, pernah ramai kasus coretan “Cla-X Indonesia” yang diduga dibuat orang Indonesia di bebatuan di jalur pendakian Gunung Fuji, Jepang.

Di Tembok China, juga ada coretan yang diduga dibuat orang Indonesia. Tulisannya “2010-09-05” dan di bawahnya ada tulisan Indonesia dan Samarinda.

Kebiasaan mencorat-coret ini kelihatannya mungkin sepele. Namun jika itu dilakukan di negeri orang, apalagi di tempat yang jelas dilarang untuk itu, tidakkah itu justru akan membuat malu bangsa?

Ah sudahlah. Saya tidak ingin menggurui siapa-siapa, hanya setidaknya kutipan ini penting untuk diingat jika kita mengunjungi sebuah tempat yang baru: “Take nothing but pictures. Leave nothing but footprints. Kill nothing but time.”

 

Foto-foto: Koleksi pribadi

Museum Kata Andrea Hirata, Miniatur Kehidupan Pencipta “Laskar Pelangi”

Siapa yang tidak kenal Andrea Hirata? Penulis novel Laskar Pelangi yang sudah mendunia dan mendapat banyak penghargaan baik nasional maupun internasional.

 

Namanya bahkan diabadikan menjadi sebuah museum sastra pertama yang dikelola secara semi-privat, yaitu Museum Kata Andrea Hirata. Dengan biaya Rp 50.000, Anda akan mendapat buku saku berjudul “Ikal dan Lintang”, serta kesempatan “terbang” dalam alam pikiran Andrea Hirata.

 

Berlokasi di Kecamatan Gantung, Kota Manggar, Kabupaten Belitung Timur, museum tersebut memang merupakan rumah Andrea Hirata semasa kecil. Rumah tersebut kemudian disulap dengan berbagai warna, tulisan, foto, serta tak ketinggalan pernak-pernik kehidupan masyarakat Belitung masa lalu.

Bukan hanya tulisan yang dikutip dari seri novel Laskar Pelangi, tetapi juga berbagai kalimat dari buku-buku yang sangat menginspirasi, seperti The Adventure of Huckleberry Finn karya Mark Twain, Tuesday with Morrie karya Mitch Albom, dan sebagainya.

Maka tidak mengherankan saat membaca kata-kata tersebut kita seakan “bermain di atas awan” alam khayal Andrea Hirata. Bukan mustahil pula jika kata-kata tersebut mampu memberi inspirasi bagi kita yang menikmatinya.

Selain kata-kata, tentunya ditampilkan pula berbagai sampul buku Laskar Pelangi dalam berbagai terbitan luar negeri, baik Amerika Serikat, Kanada, Spanyol, hingga India (dalam Bahasa Inggris). Sampul buku lain karya Andrea Hirata juga ditampilkan menambah khazanah pengetahuan bagi yang belum mengenal jauh sang penulis.

Foto-foto yang terambil dari film Laskar Pelangi juga memberi penekanan tersendiri terhadap nuansa museum seakan memberi jati diri bagi keberadaan sang maestro. Demikian pula dengan pernak-pernik masa lalu seperti sepeda onthel dan radio 2 band di ruang tengah, serta mesin jahit manual hingga telepon umum koin dan kartu di bagian belakang rumah.

Di lokasi museum juga terdapat dapur yang disulap menjadi warung kopi kecil bernama “Kupi Kuli”, artinya kopi yang sering diminum para buruh pada masa lalu. Meskipun berbeda dengan rasa kopi di warung sekitar yang memang dijuluki Kota 1001 Warung Kopi.

Paling tidak rasa khas kopi ini memberi pemahaman kepada kita tentang kehidupan buruh Timah di Belitung pada masa yang lalu. Segelas kopi hitam dapat dibeli dengan harga Rp 6.000. Tak ketinggalan jajanan pasar yang dapat dinikmati bersama kopi.

Selain tempat penjualan suvenir, di bagian belakang museum juga terdapat tempat yang menarik. Andrea Hirata membangun replika kecil sekolahnya dulu yang ia gunakan juga untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu. Berdasarkan informasi dari keluarga yang mengelola museum, Andrea sesekali datang untuk mengajar di sekolah yang hanya terdiri dari dua kelas tersebut.

Siapa pun yang pernah berkunjung ke museum ini mungkin memiliki kesan yang sama. Tempat ini adalah miniatur kehidupan sang penulis Andrea Hirata.

Ia tidak hanya berbagi khayalan melalui berbagai kata, namun juga kenangan indah dalam bentuk memorabilia bernilai sejarah pribadi, serta obsesinya bagi sesama yang membutuhkan. Anda tertarik menikmatinya juga?

 

Foto: koleksi pribadi

Kesenyapan Indah Bernama Pulau Putri

Kapal cepat ini melaju memecah ombak. Duduk di dek atas ternyata harus dibayar dengan rela terkena tempiasan air laut dan terbakar sinar matahari yang menyengat.

Itu pengalaman saat pulang dari Pulau Putri, minggu (30/10) kemarin. Kenapa tak bercerita pengalaman saat datang, sehari sebelumnya? Itu karena saya duduk di dek bawah, di ruangan berpengejuk udara dan saya tertidur sepanjang waktu, satu jam 30 menit dari Pelabuhan Marina Dermaga 9.

Pulau Putri adalah satu dari sekian banyak pulau yang bertebaran di Teluk Jakarta. Pulau seluas sekitar 6,5 hektare ini adalah sebuah resor wisata yang bisa dinikmati selama yang kamu mau. Syaratnya: siapkan duit yang cukup.

Sebagai imbal balik, fasilitas akomodasi berupa cottage dengan twin bed yang cukup nyaman tersedia buat kamu. Paket ini termasuk berbagai aktivitas, seperti: snorkeling di dekat dermaga, berkeliling dengan glass bottom boat, melihat sunset, berenang di laut yang tenang dan jernih atau di kolam renang, pemandangan akuarium bak seaworld mini, atau sekadar duduk santai di pantai.

Pencari ketenangan memang cocok datang ke pulau ini. Sesekali kamu akan mendengar perahu nelayan bermesin tempel dengan suaranya yang khas. Lautnya pun tenang. Ombak laut Teluk Jakarta sudah dipecah tak jauh dari bibir pantai.

Suara burung-burung liar di pepohonan menghadirkan nuansa alam liar yang mengesankan. Kadang-kadang kamu bisa melihat tupai, atau, seperti yang saya alami, melihat biawak berkeliaran.

Tentu saja, namanya laut, ada banyak ikan yang bisa kamu lihat di perairannya. Pengelola resor juga memelihara ikan bandeng di beberapa kolam. Ada juga kolam berisi belut laut dan bulu babi.

Saat berkeliling dengan glass bottom boat, kita bisa melihat lebih banyak dan lebih beraneka ragam ikan lagi. Begitu pun terumbu karangnya.

Sayangnya, kamu akan menemukan sampah-sampah di dekat dermaga. Sungguh mengurangi keindahan pemandangan pulau ini.

Selebihnya, kamu bisa terinspirasi oleh banyak hal di sini. Apakah oleh penghuni alam liar yang cantik, apakah oleh laut yang biru cantik, oleh matahari senja, atau kesenyapan malamnya.

Untuk menikmati pulau ini, kamu harus menyediakan Rp1,8 juta untuk weekend dan Rp1,6 juta pada saat weekday. Untuk anak-anak sampai usia 10 tahun, biayanya lebih rendah sedikit. Itu sudah termasuk makan 4 kali dan ongkos naik kapal cepat pulang pergi.

Sayang saya harus segera mengakhiri tulisan ini. Saya kuatir cipratan air laut akan mengenai ponsel yang saya pakai menulis. Sedang matahari dengan senang hati mencoba membuat kulit saya menghitam. Saya harus ‘bersembunyi’ di balik jaket.


 

Ketelanjangan, Onsen, dan Turisme

Beberapa waktu yang lalu seorang teman menulis kegiatannya di Jepang. Salah satunya waktu dia mandi di onsen (sumber air panas) yang ada di Taman Nasional Daisetsuzan, Hokkaido. (Baca ceritanya di sini).

Salah satu topik yang dibahas di perjalanan si kawan itu adalah soal mandi bugil bersama di sana.

Wow. Pornokah? Tidak!

Saya juga pernah mengalami sensasi berendam di Onsen di Kota Oita di Pulau Kyushu. Kota ini menarik. Di salah satu hotelnya, tamu harus memakai yukata saat wara-wiri di hotel itu. Kami juga ke habitat monyet liar di Gunung Takasaki.

Nah, Oita itu sangat terkenal dengan onsen-nya. Di salah satu onsen di sana, kami serombongan wartawan dari ASEAN, diajak menikmati sensasi pemandian air panas ala Jepang.

Diawali dengan mandi pasir panas. Dengan mengenakan pakaian khusus, para tamu bisa berbaring-baring atau membaluri tubuh dengan pasir yang panas itu. Cewek boleh berada di area cowok. Tapi cowok sangat terlarang masuk ke area cewek.

Kegiatan ini sangat menyegarkan fisik setelah perjalanan panjang dari Tokyo.

Kemudian dilanjutkan dengan membersihkan tubuh di kamar mandi. Lalu tamu diarahkan ke tempat pemandian air panas bersama, yang menjadi inti kegiatan di onsen.

Nah, sebelum memasuki kolam pemandian air panas, dilarang membawa penutup tubuh kecuali handuk kecil yang sudah disediakan. Kecuali saya, wartawan dari Indonesia enggan masuk ke sini. Mereka memilih bebersih lalu kembali ke bus.

Malu, kata mereka. Saya nyengir saja. Hehehe

Di kolam pemandian sedalam sekitar 1 meteran itu, para lelaki berendam bersama. Semua telanjang. Tak ada yang malu, tak ada yang risih. Saya juga. Jelas dong. Kenapa? Baca dong lebih lanjut biar kalian tahu alasannya.

Selesai acara itu, di bus para wartawan ramai membicarakan soal acara mandi bugil bareng itu. Riuh sekali.

***

Onsen dan mandi bugil, itu juga biasa di Indonesia. Di Sumatera Utara, ada yang namanya okup. Tapi saya belum pernah merasakan seperti apa suasana di dalam okup.

Yang pernah saya alami adalah mandi di pemandian air panas umum yang ada di Lau Debuk-Debuk di Kabupaten Karo, ketika saya kecil. Bentuknya seperti kolam renang dengan air panas yang keruh keputihan plus bau belerang yang menyengat.

Apakah okup yang banyak kalian temukan di sepanjang jalan Jamin Ginting, dari Medan menuju Brastagi, sama seperti Lau Debuk-Debuk? Entahlah.

Lalu di Kuningan, Jawa Barat, juga banyak pemandian air panas, bukan? Mulai dari yang pribadi sampai berupa kolam renang yang besar. Di Ciseeng, Depok, juga ada.

Lalu, soal mandi bugil. Itu juga biasa di Indonesia, setidaknya di tempat saya besar, di salah satu sudut Kota Pematang Siantar, SUMUT.

Saya ini besar di Siantar dan rumah tempat saya tinggal dulu tak ada kamar mandi. Kami semua mandi di pemandian umum di mata air. Yes! Mata air. Jadi, tak jauh dari rumah, tepatnya di tepi sungai Bah Bolon, ada beberapa titik mata air yang jernih dan segar.

Pemandian alami ini terbuka. Ada yang khusus untuk lelaki, lalu sekitar beberapa ratus meter jauhnya ke arah hilir ada pemandian khusus untuk perempuan. Tak ada tutup, semua terbuka begitu saja. Kegiatan Mandi Cuci Kakus (MCK) pun dilakukan di sana.

Kalau di pemandian perempuan semua ala kampung dengan mengenakan sarung atau handuk, di tempat lelaki bebas terbuka alias bugil!

Tapi rasanya biasa saja. Tak ada yang merasa malu. Kalaupun ada, ya tinggal pakai penutup. Sesederhana itu. Selama 12 tahun saya melakukan itu. Makanya, di Jepang saya tak malu. Hehe.

Saya percaya, kebiasaan dan tempat-tempat pemandian umum macam ini ada juga di tempat-tempat lain di nusantara ini.

Nah, setelah bercerita begitu jauh, ada sebuah pertanyaan penting yang dulu, sewaktu di Jepang, juga sempat timbul dalam hati saya.

Apakah okup atau kebiasaan mandi bersama di permandian umum itu juga bisa menjadi daya tarik wisata yang mendunia, seperti halnya yang ada di Hokkaido dan Oita?

Sumberdaya alamnya kita punya. Kebiasaannya juga ada. Tapi gaungnya lokal-lokal saja. Pernahkah ada kesadaran di hati kita untuk membuatnya mendunia?

Sebetulnya ini bisa berlaku pada semua macam bentuk wisata dan destinasinya di Indonesia. Kesadaran untuk membuat semua destinasi wisata kita mendunia, supaya orang di luar sana tak hanya mengenal Bali semata.

Kesadaran yang harus diikuti dengan upaya nyata, oleh semua stakeholder pariwisata di negeri ini. Upaya untuk memperbaiki segala sarana dan prasarana. Serta upaya untuk memperbaiki mentalitas dari seluruh masyarakat supaya memandang turis sebagai tamu, bukan sumur duit yang harus dikuras habis-habisan.

Apa pendapat kalian?

Foto: abdulmominyottabd/Pixabay

 

Danau Weekuri, Misteri dalam Sunyi

Sebuah danau dengan air yang asin, permukaannya biru kehijauan, dan bening tiada tara hingga kita bisa melihat ke dasarnya, itulah keunikan Danau Weekuri. Danau ini terletak sekitar 60 km dari ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya, Tambolaka.

Tidak seperti danau-danau lainnya, air di Danau Weekuri terasa asin karena memang datang langsung dari air laut yang masuk ke sela-sela gugus karang yang membentengi danau sehingga membentuk lingkaran besar menyerupai kolam raksasa dan ditumbuhi berbagai jenis tanaman tepi pantai.

Dari bibir goa yang terletak di sisi Danau Weekuri, kita bisa melihat kejernihan air danau.
Dari bibir goa yang terletak di sisi Danau Weekuri, kita bisa melihat kejernihan air danau.

Saat saya mengunjungi danau ini, terasa betul kesunyian yang seringkali justru menjadi suasana yang sering dicari-cari oleh para pelancong. Ke lokasi danau, seperti menembus ke sebuah tempat yang penuh misteri.

Di sini, tidak ada warung untuk makan, tidak ada rumah penduduk yang terlihat sepanjang perjalanan setelah lepas dari jalan utama. Salah satu keuntungan keadaan seperti ini, pengunjung tidak akan menemukan sampah plastik atau sampah sisa makanan di sekitar danau. Suasana sangat terasa asri dengan kesejukan alami, padahal di Sumba, matahari terasa sangat dekat dengan ubun-ubun kepala.

Jalan raya yang tersedia ke arah Danau Weekuri, sebagian telah beraspal, namun sebagian besar masih berupa pengerasan tanah dan di kiri-kanannya semak belukar yang bisa membuat bodi mobil pengunjung akan tergores-gores.

Keadaan jalan menuju danau masih banyak semak belukar dan jalannya pun hanya berupa pengerasan tanah saja.
Keadaan jalan menuju danau masih banyak semak belukar dan jalannya pun hanya berupa pengerasan tanah saja.

Waktu yang tepat untuk datang ke sini adalah sore hari, sekitar pukul 4 sore. Namun jangan harap kita bisa melihat matahari tenggelam di sini, pemilihan waktu sekitar pukul 4 sore ini adalah karena matahari sudah mulai condong ke arah barat dan langit menjadi lebih biru. Langit biru yang dipadukan dengan kejernihan danau, inilah waktu yang tepat untuk dinikmati.

Nama “Weekuri” berasal dari bahasa Sumba, paduan dari kata “wee” yang artinya artinya air dan “kuri” yang berarti parutan atau percikan. Begitulah, Weekuri dihasilkan dari percikan air laut yang menerobos karang, kemudian membentuk lingkaran danau.

Air laut masuk dari sela-sela gugus karang. Inilah yang membuat Danau Weekuri memiliki air yang asin.
Air laut masuk dari sela-sela gugus karang. Inilah yang membuat Danau Weekuri memiliki air yang asin.

Diameter lingkaran, agak lonjong tepatnya, sekitar 150 meter ke daratan, serta kedalaman sekitar 3 meter, namun bisa jadi 5 meter saat laut pasang. Saat air laut surut, beberapa bagian danau permukaannya bisa hanya setinggi 30 cm dan tampak pasir putih berkilau.

Di tebing-tebing karang di tepi danau, pengunjung juga bisa menemukan semacam goa untuk berteduh. Saya menemukan sisa-sisa api unggun yang dinyalakan oleh pengunjung sebelumnya.

Penduduk setempat duduk di tepi tebing tinggi untuk memancing ikan.
Penduduk setempat duduk di tepi tebing tinggi untuk memancing ikan.

Setelah itu, pelancong bisa menikmati keindahan tebing-tebing karang di wilayah Weekuri ini. Kita hanya berjalan kaki beberapa ratus meter ke arah barat dengan mengikuti arah bunyi debur ombak.

Tebing karang yang curam danmenjorok ke laut lepas terlihat indah.
Tebing karang yang curam dan menjorok ke laut lepas terlihat indah.

Dinding karang yang menjorok ke lautan lepas tak bertepi dan debur ombak di bawahnya akan membuat kita merasa sedang berdiri di tepi batas Bumi.

Pulau Tunda Punya Cerita

Ini adalah cara menikmati travelling dengan cara backpacking yang berkesan dan menyisakan pengalaman yang tak terlupakan. Jadi, pada 9-10 Juli 2016 lalu, saya berkesempatan melakukan wisata bahari ke Pulau Tunda, Serang, Banten.

Awalnya lumayan berpikir keras mencari tempat liburan mengingat itu bertepatan dengan liburan hari raya Idul Fitri dan libur anak sekolah. Terbayang kan kalau mau liburan ke pantai, pasti penuh sesak dan enggak bisa menikmati keindahan semesta (lebay…).

Eh ternyata salah satu TL-ku (tour leader) menyarankan ke Pulau Tunda. ”Sepi Kak,” katanya. “Bisa snorkeling sampai bosan,” tambahnya.

OK berangkat!!

Sebenarnya apa sih keistimewaan Pulau Tunda? Ternyata Pulau Tunda itu punya cerita,…

Awal mula nama pulau itu adalah ketika rombongan Sultan Hasanuddin dan ayahnya Syarif Hidayatullah tengah dalam perjalanan laut dari Banten menuju Cirebon.

Tiba-tiba datang badai dan angin kencang. Ombak menggulung-gulung sedemikian besarnya, sehingga Syarif Hidayatullah dan Sultan Hasanuddin memerintahkan awak kapal untuk singgah dulu di pulau terdekat.

Sultan Hasanuddin dan ayahnya serta rombongan kemudian singgah di sebuah pulau sambil menunggu cuaca membaik. Mereka terpaksa menunda perjalanan karena khawatir dengan cuaca yang memburuk itu.

Tahukan Anda, pulau yang dijadikan tempat singgah Sultan Hasanudin dan rombongan itu adalah Pulau Tunda, yang namanya diambil dari kisah perjalanan Sultan Hasanuddin ke Cirebon, yang terpaksa harus ditunda karena cuaca buruk.

Nah, menunda perjalanan ke Cirebon itu akhirnya diabadikan menjadi nama Pulau Tunda yang kita kenal selama ini.

Meski demikian, cerita ini tentu perlu dikaji lebih jauh. Apakah benar nama itu memang berasal dari perjalanan yang tertunda, atau hanya cerita semata.

Cerita itu sempat saya tanyakan pada Alay Sudirman, pemuda yang menjadi TL kami di Pulau Tunda, dan dia membenarkannya.

Alay juga bercerita bagaimana dia begitu berusaha supaya Pulau Tunda menjadi tempat wisata bahari yang mampu bersaing dengan pulau-pulau lainnya. Dia ingin sekali Pulau Tunda bisa seperti  wisata bahari Kepulauan Seribu, yang  tiap pulaunya punya cerita.

Mulai dari mengikuti kursus diving, snorkeling, sampai merenovasi rumahnya menjadi sebuah homestay (yang kami tempati kemarin).  Ah andaikata pemerintah kita melihat kegigihannya, pasti akan jauh lebih baik.

Nah penasaran kan dengan Pulau Tunda ?

Pulau Tunda  hanya berpenduduk sekitar 3.000 orang. Sudah ada fasilitas sekolah sampai tingkat SMP di sana. Listrik juga menyala, khususnya di puskesmas dan masjid, walaupun dibantu dengan genset.

Perjalanan ke Pulau Tunda

Perjalanan ke sana dimulai dari Slipi ke arah terminal Pakupatan, Serang. Kemudian kira-kira butuh satu jam menuju dermaga Karangantu. Sangat disayangkan kondisi jalan yang sedang diperbaiki, sehingga kami agak lama sampai di dermaga Karangantu.

Dari dermaga Karangantu kami menuju ke Pulau Tunda dengan menumpang perahu sederhana, bukan speedboat seperti yang biasa terlihat di Marina Ancol. Namanya juga  ala backpacker. Butuh waktu 2 jam perjalanan ke pulau itu.

Sesampainya di homestay, kami disambut dengan makan siang yang menggugah selera. Menunya sayur asem, sambal, ikan asin, tempe tahu, dan ikan goreng. Homestay kami tidak jauh dari dermaga Pulau Tunda. So sehabis makan siang, setelah istirahat sebentar, tak sabar kami melanjutkan wisata bahari alias snorkeling sekaligus foto-foto buat narsis.

Ada 5 spot yang kami akan kunjungi dalam 2 hari, yaitu:

  1. Spot 1 Villa barat
  2. Spot 2   Dermaga Barat/mercusuar
  3. Spot 3   Karang Donat/utara
  4. Spot 4  Tanjung Baja
  5. Spot  5 Tanjung Boong

 

Apa saja di Spot-Spot Itu 

Beberapa spot memiliki keindahan batu karang dan ikan yang luar biasa. Bisa  dibayangkan ketika kita berada di laut  lepas dan bisa melihat batu karang, yang seperti diatur tata letaknya. Begitu indah. Dan aneka ikan warni-warni, yang jarang kita temukan sehari hari (How Great Thou Art…)

Bagi pemula seperti saya, takjub saya dibuatnya! Sama seperti ketika melihat keindahan laut di Belitung, saya diingatkan kembali betapa Tuhan itu dalam menciptakan semua mahlukNya tidak dengan sembarangan. Dia menjadikan kita istimewa dan unik di mataNya. Semakin bersyukur dan bersyukur bisa menikmati keindahan alam buatanNya.

Karena di beberapa spot ada kumpulan karang yang lumayan banyak, diharapkan memakai alat snorkeling yang lengkap ya,  seperti memakai spin/kaki katak. Ini supaya kalian tidak terkena karang yang tajam.

Diharapkan pula untuk tidak menginjak karang, karena kita dapat merusaknya.

Jenis bintang lautnya juga berbeda dari perairan di Belitung. Warnanya biru tua, sedangkan di Belitung berwarna oranye. Tapi ingat ya sehabis berfoto foto dengan bintang laut, jangan dibawa pulang, harus dikembalikan ke laut lagi.

Di sela-sela waktu snorkeling di 5 spot, kami juga berkesempatan mengunjungi sebuah jembatan bernama Jembatan di Dermaga Galau. Lucu ya namanya. Cocok buat kamu yang sedang galau. Sebab di sini pemandangannya sangat bagus untuk foto-foto dan menikmati sunset atau sunrise. Atau untuk sekadar melamun. Hehehe.

Hanya satu yang tidak saya dapati, yaitu melihat kemunculan lumba-lumba. Padahal ini adalah salah satu daya tarik Pulau Tunda.

Demikianlah cerita perjalanan ala backpacker ke Pulau Tunda. Sangat menyenangkan dan kayaknya enggak bikin bosan. Suatu hari nanti saya harus kembali lagi ke sana, karena mungkin ada hatiku yang ‘tertunda’ di sana hahahahha.

Bagi teman-teman penggemar backpacking, selalu ingat ya. Jangan buang sampah sembarangan ke laut dan usahakan membawa plastik untuk menampung sampah-sampah kita di perjalanan. Jangan sekali-kali sampah dibuang ke laut.

Lets Go Tunda Island

Helvy Nainggolan

Foto-foto: dok.pribadi