Biarkanlah Kami

Saya teringat ketika saya beraktivitas bersama teman-teman yang mendampingi komunitas anak jalanan di Jombor. Perempatan Jombor selalu ramai di sore hari, dengan para pengendara yang tidak sabar lagi ingin cepat pulang ke rumah.Sejak kami memulai program kami di sana, perempatan itu menjadi makin ramai lagi dengan anak-anak dan beberapa relawan bertampang mahasiswa yang beraktifitas dengan penuh semangat. Sebenarnya saya tidak terlibat langsung dalam program-program yang langsung turun ke jalan, tapi karena ada seorang Bapak yang mengajukan permintaan kepada kami untuk berkenan mengasuh dan menyekolahkan anaknya lewat program Pengasuhan kami, saya merasa sebaiknya saya yang bertemu langsung dengannya.Ketika kemudian saya melihat mereka bersemangat mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan LSM kami di sana, saya jadi bersemangat lagi untuk lebih sering mendatangi mereka.

Kegiatan yang kami lakukan sendiri sebenarnya tidak terlalu ‘menghebohkan’. Kami cuma mengadakan les calistung (baca tulis hitung) untuk beberapa anak, yang kami antar jemput dari perempatan Jombor untuk belajar di kantor kami, 5 hari dalam seminggu. Lalu kami juga mengajak mereka berkreasi lewat kegiatan menggambar/melukis bersama, seminggu sekali. Ada juga yang membawa kotak berisi buku-buku bacaan, yang kami namai Ko-PER (Kotak Perpustakaan). Dan yang terakhir, yang mungkin sedikit unik adalah kami meminjamkan beberapa kamera analog kepada anak-anak jalanan, untuk mereka pakai mengabadikan aktifitas mereka sehari-hari. Film untuk kamera-kamera itu kami sediakan, dan kami juga akan memproses foto-foto hasil jepretan mereka.

Sore itu saya kembali ke perempatan ramai itu. Betapa senangnya melihat wajah anak-anak yang penuh senyum dan kegembiraan walau dalam segala keterbatasan. Sewaktu saya sedang berbicara dengan Bagas dan Eno, dua bocah berusia 6 tahun yang sangat lucu, tanpa sengaja mata saya tertuju kepada para pengendara yang sedang berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Ada seorang Bapak yang memandang dengan tajam ke arah kami. Dari pakaiannya saya menduga dia mungkin seorang pegawai pemerintah, entah dari instansi mana. Sedikit ge-er karena ada yang memandangi, saya mencoba tersenyum. Akan tetapi Bapak itu malah semakin melotot. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya. Dia memandangi saya tanpa berkedip sedikit pun, sampai rambut halus di tengkuk saya pun berdiri karenanya. Tetapi Bapak itu tidak memalingkan wajahnya sama sekali, matanya melotot dan penuh selidik. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Untungnya lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, dan si Bapak pun meneruskan perjalanannya, dengan, sekali lagi, entah apa yang ada di dalam pikirannya.

Ah, saya jadi teringat adegan beberapa tahun yang lalu sewaktu kami diadili warga sebuah kelurahan yang menolak di lingkungannya ada rumah yang menampung anak-anak yang “belum jadi manusia seutuhnya”. Apakah saya masih trauma oleh peristiwa itu, sehingga menghadapi pelototan seorang Bapak di perempatan saja, saya sudah bergidik? Mudah-mudahan ini hanya masalah saya sendiri, karena bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang yang peduli kepada sesamanya. Bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang yang peduli bukan hanya dengan retorika kata-kata atau tindakan-tindakan seremonial. Teman-teman kami di jalanan butuh kesempatan, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk sekedar bermain dan tertawa. Biarkanlah kami memberikan itu kepada mereka, Bapak.

You don’t know what it’s like to love somebody, the way I love you…

Sammy Ladh

Photo: courtesy of LSM Rumah Impian (thedreamhouse.org)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *