All posts by Mino Situmorang

Aku, Kau, dan Batu

Selama masa lock down pandemi ini, batu menjadi sesuatu yang menarik perhatian saya, mungkin karena punya waktu untuk mengamati taman-taman bunga dengan batu hias yang menarik di kompleks tempat tinggal saya.

Kisah tentang batu, rupanya sudah menjadi ilham dari banyak kisah menarik bagi saya pribadi sejak kecil.

Yang teranyar adalah kisah tentang batu infiniti di dalam kisah fiksi film Avenger, End Game. Di mana jika kelima batu infiniti itu terkumpul, akan menjadi kekuatan tanpa batas dan kemudian dimanfaatkan oleh Thanos untuk menghancurkan setengah penduduk dunia.

Kisah batu lainnya yang berkesan sejak masa kecil, adalah cerita di masa Sekolah Minggu, tentang batu ketapel yang dipakai oleh Daud untuk membidik jidat raksasa pendekar tentara Filistin, panglima perang Mesir. Batu kecil yang bisa membuat raksasa rubuh dan mati seketika.

Di dalam injil Markus, disebutkan bahwa jika ada seorang yang menyesatkan iman seorang anak kecil, maka penyesat itu harus dihukum dengan batu kilangan yang diikatkan ke lehernya lalu dibuang ke laut.

Lalu legenda tentang Malin Kundang, anak durhaka yang malu mengakui ibu kandungnya. Dia dikutuk menjadi batu, di mana tubuhnya berubah menjadi batu dalam kondisi tengah bersujud meminta ampun pada ibunya.

Kemudian, sebuah legenda tentang Batu Gantung di tepi Danau Toba, yang dianggap perwujudan seorang gadis yang patah hati karena dijodohkan dengan pria yang tidak dicintainya. Gadis itu terperosok dalam lubang batu dan meminta batu menelan dirinya yang tak lagi ingin hidup. Batu itu pun menggantung dengan bentuk mirip tubuh gadis itu.

Yang paling menohok adalah tentang batu yang dijadikan perumpamaan oleh Yesus dalam kisah perempuan yang berzina. Ketika sang perempuan yang berzina diarak massa dan akan dihukum rajam atau dilempari dengan batu, maka Yesus berkata kepada massa: Siapa yang tidak berdosa, silakan melempar batu pada wanita itu. Namun rupanya pada akhirnya tak seorangpun yang melemparinya batu.

Batu adalah benda kecil, yang banyak gunanya. Bukan hanya untuk bangunan, batu juga bisa untuk hiasan atau perhiasan.
Saya ingat beberapa tahun lalu ketika keluarga besar kami menjahitkan kebaya seragam untuk acara pernikahan saudara, yang membedakan seragam kami adalah hiasan pada kebaya itu. Salah satu hiasan terindah pada kebaya itu adalah batu manik-manik hias yang berkilau.

Manfaat batu bermacam-macam. Batu bisa mempercantik taman, bisa dipakai untuk melukai orang, untuk memperkokoh bangunan, mengusir binatang, menjadi hiasan, bahkan ada yang percaya mitos, batu dipercaya jika diikat dalam baju, bisa menahan mual perjalanan, atau menolak bala.

Sejatinya, batu adalah barang yang fungsional, meski sering dipakai dalam makna konotasi. Kepala batu, artinya manusia keras kepala. Berhati batu, artinya keras hati. Makna positif contohnya dalam kata Batu Karang, yang artinya kuat dan teguh dalam guncangan problema, atau Gunung Batu, artinya tempat pertahanan dan perlindungan.

Dari semua kisah dan fungsi batu di atas, yang paling bikin saya bergidik adalah batu rajam. Di jaman Yunani Kuno, Rajam adalah hukum mati dengan melempari orang dengan batu sampai mati. Hukuman rajam ini terdengar sebagai cara yang keji untuk mati, mengerikan dan seolah tak beradab, serta tak berperikemanusiaan.

Saya teringat suatu kali pernah berhasil menangkap tikus dengan jerat lem tikus di rumah. Karena takut tikus terlepas lagi, buru-buru saya minta tukang sampah membuangnya, namun rupanya kepala si tikus dipukul dulu dengan batu hingga berdarah. Melihat itu seketika saya merasa mual ingin muntah. Saya membayangkan betapa mengerikan hukum rajam, melempari orang hingga mati, pasti seluruh kepala/badannya luka-luka berdarah.

Barangkali memang, seperti kata seorang bijak, kita semua memiliki ‘batu’ dalam diri kita. Batu itu bisa kita keluarkan dalam wujud bahasa atau tindakan. ‘Batu’ kita bisa menjadi benteng buat diri kita. ‘Batu’ kita juga bisa menjadi kerikil bagi orang lain. Kita bisa melempari ‘batu’ pada orang lain dengan bahasa yang kasar atau tindakan yang jahat. Sebaliknya, orang lain juga bisa melakukannya pada kita. Sadar tak sadar, kita bisa perang ‘batu’ dengan saling menghakimi, walau akhirnya kita semua yang terluka.

Namun, sesungguhnya siapakah kita hingga berhak melempar ‘batu’ pada orang yang kita anggap berdosa. Padahal kita juga sama, sesama pendosa. Hanya saja, mungkin dosa kita tidak terekspos.

Alangkah indah dan lebih baik jika kita bisa ‘mengolah batu’ kita untuk manfaat positif. Untuk memperindah, membuat lebih baik, dan membangun. Bukan untuk menjadi senjata untuk melukai sesama kita.

Bukan Tanpa Akhir

Ada sebuah restoran favorit keluarga kami, yang minimal sekali dalam sebulan kami kunjungi. Salah satu menu favorit saya adalah mie lamian khas yang mereka buat secara langsung. Biasanya sambil menunggu pesanan dimasak, saya memerhatikan proses pembuatan mie lamian itu. Tepung yang diadon, diremas, diputar, ditekan, diulen, dibanting, diregang, dibanting, ditarik lagi, berulang-ulang, sampai berkali-kali, hingga bisa dibentuk menjadi mie.

Bagi saya mie lamian itu enak. Beda dengan mie lainnya. Mungkinkah karena proses pembuatannya lebih ‘keras’ dan lama? Mungkin kalau hanya diulen sekali lalu dipotong-potong, bisa saja bentuk atau rasanya berbeda, bukan? Seperti kata orang, proses tidak mengkhianati hasil.

Lalu saya terpikir, apakah hidup kita memang kadang seperti itu. Ketika ada pergumulan, kita merasa menderita seolah hati kita diremas, ditarik, diputar, dibanting-banting, dipukul, disayat-sayat, berulang-ulang, seolah tak ada akhirnya.

Pada akhirnya semuanya ternyata berakhir juga. Dan tanpa sadar, kita sudah setingkat lebih kuat, lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih tahan banting. Naik kelas.

Kalau dianalogikan dengan mie lamian tadi, kita sudah sampai pada fase proses akhir, terbentuk menjadi mie, siap dihidangkan, dan menjadi hidangan nikmat, membawa kesenangan bagi yang menikmati.

Saya jadi ingat, minggu lalu setelah ulang tahunnya yang keenam belas, suatu pagi anak saya ke dapur dan bertanya: Mam, susu sarapanku mana?
Saya menjawab: Mama nggak bikin.
Dia bertanya: Mengapa. Tapi minuman adek Mama bikin.
Saya jawab: Kamu bisa bikin sendiri, kan?
Dia sahuti: Kan biasanya Mama yang bikin.
Jawab saya: Kamu lupa ya, umurmu sudah berapa. Saatnya kamu sudah harus belajar bisa mandiri.
Dia manyun sebentar. Lalu saya mengambil gelas dan memberikan padanya. Dia mengambil susu dan air panas dan menyeduhnya sendiri.

Saya ingat setelah pesta ulang tahun saya ke-17, saya pernah mengeluh, bahwa menjadi dewasa itu tidak enak. Tidak bisa bermanja-manja lagi, semua harus saya kerjakan sendiri. Apalagi kedua orangtua saya bekerja. Kami tidak ada pembantu, saya harus membersihkan rumah sendiri ditambah harus les tiap hari untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi.

Proses pendewasaan itu memang tidak enak, tapi kita harus melaluinya, kata orangtua. Salah satu contoh proses yang ‘menyebalkan’ itu adalah perubahan. Saat itu saya harus bisa mengadaptasi perubahan dari bangun menjadi lebih pagi dan tidur lebih malam, pekerjaan rumah dan pelajaran yang lebih banyak.

Orang yang paling kuat adalah orang bisa beradaptasi dengan perubahan. Begitu kata bapak saya.

Kalau saya ingat hal itu sekarang, terutama dalam kondisi pandemi saat ini, kata-kata itu menjadi motivasi bagi saya untuk saya teruskan pada anak-anak.

Virus Covid-19 entah kapan berakhir, kita harus siap berubah dan menghadapi kondisi ‘new normal’. Semua takkan sama lagi. Kita harus siap menghadapi perubahan, dan terus beradaptasi.

Mungkin saat ini kita sedang dalam fase diregang-regang dan dibanting-banting seperti adonan tepung mie lamian. Mari, bersabarlah, dan tetap bertahan, nanti akan indah pada waktunya.

Lupakan Kesedihan. ‘Move on’!

It was a perfect dining.
Minggu malam kami makan bersama di sebuah restoran. Anak-anak senang karena selesai berbelanja keperluan natal. Mertua saya habis periksa dari dokter dan ternyata penyakitnya bukan seperti yang dikuatirkan. Restoran yang biasanya antri, kali ini beruntung kami dapat duduk di posisi yang nyaman. Anak-anak makan dengan lahap seperti kelaparan. Makanannya enak. Musiknya enak. Suasana gembira.

Lalu muncullah seorang ibu dan putrinya, menuju ke meja sebelah kami. Dia berhenti sejenak karena kursi suami saya agak menghalangi jalannya. Ketika suami saya menoleh, dia menatap suami dan adik ipar saya.

“Kamu anaknya ibu xxx, kan? Yang gereja di yyy?” ujar Ibu itu.
Kami menatap dengan agak bingung. Suami saya pun membenarkan.
“Ini Bapak ya?” tanya Ibu itu sambil menunjuk mertua saya.
Adik ipar saya mengiyakan.
Lalu Ibu itu bercerita kalau dulu beliau teman ibu mertua saya di pelayanan PGI.
Mereka pun duduk. Kami melanjutkan makan.

Tiba-tiba beliau bertanya, “Mama mana?”
Kami terperangah.
“Sudah pergi, kan, Mama sudah nggak ada,” jawab adikku.
“Haa? Masa!? Kapan?” tanya si Ibu dengan nada terperanjat.
“Tahun lalu…” jawab adik saya, mulai dengan nada sedih.
“Haah? Kok nggak ada yang mgasih tahu saya sih… Aduh saya jadi sedih banget nih…” kata Ibu itu dengan suara parau menahan tangis dan mata Ibu itu langsung berkaca-kaca.

Sekejap kami semua langsung tertular rasa sedih. Suasana langsung berubah canggung. Saya juga ikut berkaca-kaca. Kami jadi terdiam bagai mengheningkan cipta. Suasana jadi senyap dan sendu. Kami semua masih sangat kehilangan ibu mertua saya. Setiap kali ada yang membicarakan beliau, masih dengan mudah bisa membuat kami semua merasa sedih.

Mungkin begitulah…, dalam hidup ini akan selalu ada kenangan yang membuat sedih. Mungkin akan selalu ada yang mencolek kegembiraan kita dengan kesedihan. Itu tak terhindarkan. Tapi tugas kita adalah untuk menghadapinya dengan kuat, dan terus fokus pada hal-hal yang indah dan terus bergerak maju, move on.

Mungkin itu ibarat rasa pahit yang membuat kita lebih menghargai rasa manis.

Suasana kembali ceria lagi ketika putra bungsu saya iseng mencolek kakaknya yang sedang main ponsel, dan ketika dia dipelototi kakaknya, dia langsung menunjuk pada adik ipar saya, tantenya, yang duduk di seberang meja.
“Bukan aku! Tante tuh!” dalihnya usil.
Kami mulai senyum-senyum melihat tingkah anak kecil itu.
Si Tante menyahut membalas keusilan ponakannya: “Memangnya tanganku bisa panjang kayak Reed Mr. Fantastic yang di film Fantastic Four itu?!”

-*-

Foto: Pixabay

Pelita dalam Gulita

Guru. Entah mengapa, ada nada sendu di hati saya jika menyebut kata ini. Guru.

Apa yang paling berkesan bagi anda tentang guru?

Kalau saya, yang pertama kali teringat di benak saya adalah bapak guru bahasa Inggris waktu SMP. Saya kira beliaulah yang membuat saya menyukai pelajaran itu. Dia begitu bersemangat mengajar, tak pernah mengeluh, walau jauh dari keluarganya yang hanya bisa dia temui tiap akhir pekan di daerah lain. Dia menularkan semangat itu pada muridnya.

Yang kedua teringat adalah ibu guru bahasa Indonesia saya waktu SMA. Beliau saya suka karena cerdas, tegas dan kreatif, juga sederhana. Tak bisa saya lupa ekspresinya ketika beliau tahu cerpen pertama saya dimuat di surat kabar lokal. Waktu itu saya masih kelas dua SMA. Kau membuat mimpiku jadi kenyataan, kata beliau. Saya sangat tersentuh. Rupanya diam-diam beliau sangat ingin menjadi seorang penulis. Dia menitipkan mimpi itu pada siswanya.

Yang ketiga (lho?) adalah ibu saya. Bukan ibu saya saja sih tepatnya. Kebetulan ibu saya guru matematika saya waktu kelas 3 SD. Waktu itu ada teman sekelas yang pintar matematika, dan ibu saya sengaja membuat saya semeja dengan anak itu. Mungkin karena teman ini jugalah saya makin menyukai pelajaran matematika. Saya berutang budi pada teman itu. Dia adalah guru matematika kedua saya.

Jika diingat, guru saya ada bermacam-macam tipenya. Ada guru geografi saya SMP, yang mungkin saking jeniusnya, sampai botak karena stress, karena murid-muridnya tak bisa mengerti apa yang beliau terangkan. Demikian juga guru elektronika, selalu stress karena muridnya tak bisa mengikuti yang beliau ajarkan (hahaha).

Ibu saya pernah bercerita, bahwa dulu gaji guru sangat kecil. Syukur atas kebijakan pemerintah saat ini yang telah menaikkan taraf hidup mereka. Dulu, kadang kasihan melihat para guru. Bahkan sampai-sampai ada guru SMA saya yang menjual copyan contoh soal-soal ulangan untuk menambah modal pernikahan. Sungguh memprihatinkan.

Bagi seorang teman saya bernama Sabam, guru yang paling berjasa baginya adalah Bu Sahara, yang sungguh sabar mengajarinya dari nol, hingga bisa membaca dan menulis, tak pernah marah, dan intonasi cadelnya terdengar sangat enak di telinga. Tapi yang paling tak terlupa baginya adalah ibu guru yang cantik, yang sering pakai baju pink dan rok merah, berambut panjang, lembut dan ramah, sampai tangan dan kaki beliau yang berbulu pun masih diingat sampai sekarang, hahaha

Lain lagi teman saya bernama Dedi, yang paling tak terlupakan baginya adalah kepala sekolah SMP, yang suka memukul pakai lidi. Jaman itu, masih ‘lazim’ dengan kekerasan seperti itu. Kebalikannya, jaman sekarang sudah berbeda, malah ada berita tentang kekerasan dari murid pada guru.

Pada acara perpisahan sekolah SD anak saya, (bukan karena anak saya yang dipilih untuk menyanyikan lagu ini), tapi saya ikut terharu dan susah payah menahan untuk tidak menitikkan airmata mendengar liriknya:

Terima Kasihku Kuucapkan
Pada Guruku Yang Tulus
Ilmu Yang Berguna Slalu Di Limpahkan
Untuk Bekalku Nanti

Setiap Hariku Dibimbingnya
Agar Tumbuhlah Bakatku
Kan Ku Ingat Slalu Nasihat Guruku
Trima Kasihku Guruku

Selain guru yang berkesan baik, pernah juga ada guru yang berkesan buruk. Tapi guru hanyalah manusia, sama seperti kita, para murid yang juga beranekaragam permasalahannya. Saya percaya mereka tak bermaksud buruk atau kejam. Bagaimanapun mereka sudah bersusah-payah mencerdaskan bangsa. Para guru hanya berusaha yang terbaik untuk mengabdi pada negara dan memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya. Kita bisa pintar karena dididik para guru. Apa jadinya kita tanpa para pendidik itu.

Maka benarlah kata lagu:
Guru bag pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara.

-*-

Foto: Pixabay

Mental Oleh-oleh Sama dengan Mental Koruptor?

Suka minta-minta oleh-oleh itu sebenarnya baik nggak, sih?

Ada seorang teman, sering sekali dapat oleh-oleh. Dari Amerika, dari Jepang, Eropa, bahkan cuma dari luar kota. Terkadang oleh-olehnya barang-barang bermerk dari luar negeri. Bagus-bagus, unik, lucu dan keren. Kadang iri juga melihatnya. Senangnya bisa seperti dia.

Selidik punya selidik, dia memang punya banyak teman. Temannya yang banyak itu ada di mana-mana dan sering ke mana-mana. Tapi bukan karena banyak teman itu dia sering dapat oleh-oleh. Melainkan karena dia juga suka memberi oleh-oleh.

Rupanya teman ini punya prinsip. Saya suka prinsipnya: Saya tak mau minta oleh-oleh jika saya nggak mau balas memberi oleh-oleh.

Memang, teman ini rajin sekali membawa oleh-oleh dari manapun dia pergi. Dan seringnya membawa makanan. Bahkan hanya pergi ke Bandung pun, selalu banyak cemilan yang akan dia bawa. Dia suka memberi oleh-oleh, tapi iklas memberi oleh-oleh pada mereka yang meminta walau nggak pernah balas bawain oleh-oleh.

Sementara itu, saya juga punya kenalan (bukan teman dekat), yang sangat rajin menodong oleh-oleh. Sendirinya, kalau pergi-pergi, tak pernah bawa apapun. Selalu ngeles kalau ditagih.

Dari yang dua itu, tipe seperti yang manakah kita?

Oleh-oleh itu apa sih sebenarnya? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oleh-oleh adalah sesuatu yang dibawa dari bepergian, bertujuan untuk dikenang. Jadi pada dasarnya, oleh-oleh itu lebih bersifat psikologis daripada konsumeristik.

Dalam bahasa Jepang, oleh-oleh disebut omiyage. Budaya di Jepang, membawa omiyage dari perjalanan untuk kolega dan keluarga adalah kewajiban moral, yang bermakna sebagai ungkapan maaf untuk ketidakhadiran selama pergi melancong. Tak main-main, omiyage menjadi sebuah bisnis besar di Jepang. Jadi bagi orang Jepang, oleh-oleh itu wajib. Tak perlu ditagih, pasti diberikan. Jadi, wisatawan membeli souvenir sebagai hadiah bagi mereka yang tidak melakukan perjalanan. Ini adalah inisiatif pribadi. Bukan tekanan dari luar. Lebih ke prakarsa dari diri sendiri. Sehingga, akan malu jika pihak lain yang memintanya.

Terdengar remeh, tapi mencari oleh-oleh itu kadang merepotkan, seperti mencari kado. Misalnya, mau beli kerupuk udang, eh dia alergi nggak ya? Beli gelang, eh dia nggak suka pakai gelang kali ya? Beli baju, ukurannya apa ya, suka warnanya atau modelnya nggak, ya? Banyak pertimbangan yang bisa jadi bikin pusing. Belum lagi harganya, terus ukuran dan beratnya, lalu ribet bawa bagasi, belum kalau nanti tidak bisa lewat imigrasi.

Seorang sahabat pernah mengeluh. Tidak bisakah orang meminta oleh-oleh cerita atau kisah serunya saja, untuk menambah wawasan dan pengalaman, melihat foto dan mengenal budaya baru? Mengapa harus meminta oleh-oleh barang yang merepotkan orang lain? Kecuali jika menitip oleh-oleh yang memang urgen dan hanya ada di sana dan tak lupa menitipkan uang untuk membelikan, itu masih bisa diterima. Jangan sampai oleh-oleh membuat kita jadi tak bisa menikmati perjalanan kita.

Seorang rekan kerja pernah berkata: Mental orang yang suka meminta oleh-oleh sama dengan mental gratisan, dan sama dengan mental koruptor. Agak tajam memang bahasa kalimat ini. Tapi mungkin saja itu benar.

Oleh-oleh itu kan, nggak ada yang gratis. Meminta oleh-oleh sama saja kita meminta orang lain mengeluarkan biaya untuk kita tanpa alasan khusus. Itu sama saja memeras orang lain. Setuju, nggak?

Mungkin lain kali, sebelum kita menodong orang dengan meminta oleh-oleh, baiknya kita berpikir, seperti prinsip teman saya tadi: Apakah saya juga mau membawa oleh-oleh untuk orang lain? 🙂

Rambut pun tak sama hitam!

Akhir-akhir ini hampir tiap pagi saya melewati sekolah Perancis yang di Jakarta Selatan. Saya suka melewati sekolah itu sekalipun pas lewat sana pasti macet karena bentrok dengan jam masuk sekolah. Kenapa? Seolah sedang melewati kota Paris, hehehe

Saya suka melihat anak-anak sekolah itu. Ada yang berambut merah, berkulit mengilap, bermata biru, bahkan berambut gimbal. Mereka lucu-lucu dan unik-unik. Model pakaian mereka juga bermacam-macam. Ada yang hanya pakai sepatu kets dan T-Shirt. Ada yang kasual dengan kaos dan celana pendek. Ada yang rapi memakai rok dan kemeja. Ada juga penampilan punk atau rocker seperti Avril Lavigne dengan rambut berwarna-warni.

Dan para ibu yang mengantar juga berpenampilan berbeda. Ada yang hanya memakai dress pendek, ada yang mengenakan tank top dan celana pendek, ada juga berkemeja belel yang berkerah rendah. Yang terlihat lebih formil hanya para ayah yang mungkin setelah mengantar anak langsung pergi ke kantor. Mereka sudah rapi berkemeja dan dasi, bahkan mengenakan setelan jas. Kadang ada yang terlihat berpenampilan seperti pemain film Man in Black.

Apa yang saya pikir menarik dari hal ini? Busana anak-anak sekolah itu. Mereka berbusana bebas. Bukan seragam seperti di sekolah anak saya.

Anak saya pernah bertanya. Mengapa harus memakai seragam sekolah? Yang saya ingat, salah satu alasan pemberlakuan seragam adalah untuk menyamakan siswa, dengan kata lain supaya tidak terlihat perbedaan antara siswa yang mampu dan kurang mampu, melalui penampilannya.

Sebaliknya, jika dilihat dari sejarah, pemakaian seragam sekolah ini dimulai pada abad ke-16, diberlakukan untuk sekolah rakyat kalangan bawah di Inggris, dengan tujuan membedakan murid sekolah gratis dengan sekolah kalangan atas yang berbayar.

Pertanyaan ini menggelitik saya. Seperti halnya alasan seragam sekolah ini, mungkinkah sejak awal bersekolah, kita secara tidak sadar telah diajarkan untuk selalu sama dengan orang lain? Untuk terpaksa seragam, diharuskan sama dengan orang lain? Seragam? Sama?

Mengapa kita bukannya diajarkan menerima perbedaan sejak awal? Bahwa penampilan itu tak harus sama, status sosial tak harus ditutupi, bahwa memang hidup itu adalah perbedaan dan keanekaragaman, dan itulah yang harus bisa kita terima dan hadapi. Mungkinkah hal ini ada hubungannya dengan kondisi yang marak akhir-akhir ini, seperti sikap rasisme yang memaksakan persamaan, dan menimbulkan rasa permusuhan pada pihak yang dianggap berbeda?

Anak saya yang bersekolah di sekolah swasta, pernah bercerita tentang temannya yang harta orangtuanya berlimpah-limpah. Dia sempat membandingkan dirinya dengan temannya itu. Jawaban saya simpel saja: Kamu anak Mama, bukan anak Mama temanmu. Terimalah kenyataan perbedaan itu (Sejak itu anak saya tidak lagi membanding-bandingkan diri dengan orang lain).

Pertanyaan saya berikutnya adalah, kenapa kita lebih fokus mengurusi penampilan luar? Mengapa kita tidak lebih fokus pada mental daripada lahiriah. Di sebuah sekolah bergengsi di Jawa, muridnya bebas bergaya apa saja, tapi mereka adalah murid-murid unggulan dan berprestasi, juga berdisiplin tinggi.

Bukankah pendidikan moral lebih penting dari sekedar harus mengenakan sepatu warna hitam seragam? Rambut awut-awutan tapi disiplin dan berprestasi lebih baik daripada kelimis, tukang bully dan tidak bisa bertoleransi?

Menurut saya, takkan terhindarkan, sekalipun diberi seragam tetap saja seseorang bisa menonjolkan kelas ekonominya, misal dengan mobil jemputan mewah, tas, aksesori, dan lainnya. Jadi seragam semata tak selalu bisa mencegah kecemburuan sosial, bukan?

Ini hanya pikiran saya. Intinya bukan soal seragam. Bukankah lebih baik sejak dini ditanamkan bahwa perbedaan (kelas sosial, ras, agama, budaya, dll) itu memang ada dan kita harus bisa menerimanya? Kita harus bisa toleransi dan tenggang rasa dalam segala perbedaan itu. Alih-alih mencoba memaksa menyamakan atau menyeragamkan hanya dengan melalui pakaian, bukankah lebih baik berfokus pada moralnya, menerima bahwa kita semua memang berbeda, rambut di kepala boleh sama tapi warna rambut pun ada yang berbeda, kan?

Marilah terima kenyataan, bahwa kita memang berbeda. Warna rambut pun tak selalu sama!

Seperti pelangi, perbedaan itu indah. Kita tak harus selalu sama. Yang paling indah adalah ketika kita bisa hidup berdampingan dengan damai dalam segala perbedaan kita.

-*-

Foto: Pixabay

Bersikap Sesuai Umur

Kisah ini sebenarnya tidak lucu. Tapi saya memilih menganggapnya lucu saja. Kenapa?

Kemarin malam, sepulang kantor saya harus mencuci baju anak saya, karena kalau dimasukkan ke laundry langganan, akan butuh beberapa hari, kuatir tidak sempat diambil untuk dipakai.

Ruang cuci kami ada di samping dengan pintu tersendiri menuju jemuran. Ketika hendak menjemur, saya tidak menemukan gantungan baju di sana sehingga saya mau masuk lagi, dari pintu ruang utama supaya lebih dekat mengambil hanger ke ruang atas.

Tapi pintunya terkunci. Saya ketuk dan minta tolong anak saya membukanya. Tak saya duga anak saya yang kelas dua SD itu menjawab begini: “Siapa suruh Mama keluar.”
Bukannya membuka pintu, dia malah menyalahkan saya.

Ya sudah, saya pikir. Akhirnya saya balik lagi berjalan memutar dari ruang samping untuk masuk ke rumah. Rupanya anak saya sedang bad mood, berbaring-baring karena sakit kepala.

Kalau dipikir-pikir lucu juga jawaban anak saya itu. Siapa suruh saya keluar. Betul juga sih. Harusnya saya tadi masuk dari samping saja atau tadi siapkan hanger sebelum menjemur pakaiannya. Tapi apa susahnya coba, dia membuka saja pintunya. Lebih cepat beres.

Yang lucu adalah, jika saya mau berdebat, saya akan jawab: “Kan Mama keluar karena mau jemur bajumu.”
Kan saya keluar karena mencuci bajunya. Saya keluar untuk kepentingannya. Tapi dia malah menyalahkan saya, bukan menolong saya. Bukan mempermudah keadaan, dia malah menyalahkan dan mempersulit saya.

Saya benar-benar tertawa. Karena saya teringat seseorang dengan pola yang sama, kemarin lusa.

Jadi dalam sebuah komunitas kami, seseorang bernama Z ditunjuk menjadi ketua panitia sebuah acara. Ada orang lain ditunjuk untuk membantu tapi tak mau. Lalu saya ditunjuk dan juga si Y. Saya sadar kapasitas karena akhir tahun sangat sibuk di kantor, ketika ditunjuk jadi panitia saya langsung menolak. Tapi penolakan itu tak digubris. Keputusan tak bisa diganggu-gugat.

Sekian lama tak ada pergerakan kami, tiga orang panitia ini. Saya dan Y karena sibuk, berpikir lebih baik menunggu komando si Z. Kami mengingatkan, tapi tiap kali disinggung dia selalu bilang merasa bukan panitia dan tak mau mengerjakan.

Lalu akhirnya kepala komunitas menanyakan perkembangan tugas kami. Saya dan Y pun mulai melakukan tugas walau si Z tak peduli. Padahal kami sama-sama sedang sangat sibuk di kantor. Kami berpikir si Z ditunjuk jadi ketua karena kapasitasnya lebih fleksibel dalam waktu karena Z memang tidak bekerja di kantor. Tapi tiap kali ditanya, dia tetap tak mau mengerjakan.

Akhirnya saya koordinasi dengan Y dan berusaha mengerjakan semampu kami, dan kami sempat bingung karena kalau tidak dikerjakan kan dianggap tidak bertanggung-jawab, tapi jika dikerjakan pun rasanya nggak enak, karena bisa saja dianggap melangkahi ketua. Seseorang menyarankan kami tetap mengerjakan dan kami putuskan tetap menginformasikan hal itu pada si Z.

Akhirnya kami bertiga bertemu. Saya menunjukkan rencana kegiatan tersebut pada si Z. Sungguh tak disangka, responnya demikian;
Ini kan nggak enak!
Kok di sini sih!
Kok tanggal segini sih!
Kok nggak tahun depan aja sih…?!
Siapa suruh ini…?!
Bla bla bla…

Segala macam komentar keluar tanpa ada ucapan apresiasi sedikitpun. Semua ucapannya hanya kritik
tapi dari dia sendiri pun tak ada ide atau tindakan, perencanaan apapun atau keputusan. Bukannya mempermudah, dia malah mencari perdebatan, dan mempersulit komunikasi.

Kalau dipikir-pikir, lucu juga, sebab saya kan telah mengerjakan bagian/tugas saya, plus juga membantu tugasnya sebagai ketua, di antara segala kesibukan kantor mpot-mpotan mengambil alih tugas yang diabaikannya. Tapi begitulah responnya.

Si Y menghibur dan menenangkan saya, dan merasa tidak enak sebab dia tahu saya sudah repot sekali mengerjakan perencanaan itu. Saya tidak marah. Saya malah tertawa-tawa. Saya tidak berhenti, tetap melaporkan tugas itu pada kepala komunitas.

Hal ini mengingatkan saya pada respon anak saya yang kelas dua SD tadi.

Dan saya tertawa dalam hati. Terkadang memang kita bisa bercermin pada anak-anak. Kita mungkin bisa menilai sikap kita dengan memerhatikan sikap anak. Mungkin kelakuan kita tak jauh berbeda dengan mereka.

Beda umur, kelakuan sama. Si Z berumur 48 tahun, anak saya berumur 8 tahun. Tapi, responnya sama. Sikapnya sama. Apa yang terjadi selama 40 tahun itu?

Kadang, ketika kita membantu orang lain, bukan respon yang baik yang kita terima.

Saya ambil sisi positifnya saja. Mungkin kita juga pernah seperti itu. Mungkin saya juga pernah begitu.
Mungkin, seperti anak saya, si Z itu hanya sedang bad mood saja.

Semoga itu bukan karakter kanak yang belum terkikis seiring bertambahnya umur. Semoga.

Apakah Anda berarti?

Hari ini saya merasa gentar menulis untuk Petra Online. Sudah ada beberapa draft yang saya siapkan, tapi karena masih merasa berduka oleh kisah kepergian Intan (korban bom Samarinda), saya merasa kurang pas untuk mem-publish salah satu dari artikel-artikel itu.

Tapi bacaan saat teduh hari ini, menguatkan saya. Judulnya: Apakah Saya Berarti?, oleh Philip Yancey.

Isinya saya kutip sepenuhnya, seperti di bawah ini.

“Saya sedang mengantre di kasir sebuah toko swalayan dekat rumah sembari memperhatikan sekeliling saya. Saya melihat sekelompok remaja dengan kepala plontos dan cincin tersemat di hidung sedang melihat-lihat kudapan; seorang karyawan muda yang membeli sepotong daging bistik, asparagus, dan ubi manis; seorang wanita tua yang sedang memilih-milih buah persik dan stroberi. Apakah Allah mengenal setiap dari mereka? tanya saya dalam hati. Apakah mereka berarti bagi-Nya?

Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, adalah Pencipta semua umat manusia, dan setiap dari kita dipandang-Nya layak untuk mendapatkan perhatian dan kasih-Nya secara khusus. Allah membuktikan kasih tersebut secara langsung di bukit Golgota yang mencekam dan terutama di atas kayu salib.

Ketika kami merasa sangat kesepian dan menderita, kami hanya dapat berpaling kepada-Mu.

Ketika Yesus datang ke dunia dalam rupa seorang hamba, Dia membuktikan bahwa tangan Allah tidaklah terlalu besar untuk merangkul insan yang terkecil di dunia ini. Di tangan-Nya terukir nama kita masing-masing dan juga bekas-bekas luka penyaliban-Nya, bukti harga yang harus dibayar Allah karena kasih-Nya yang besar kepada kita.

Sekarang, manakala saya ingin mengasihani diri sendiri dan merasa begitu tersiksa oleh kesepian, seperti yang tergambar jelas dalam kitab-kitab seperti Ayub dan Pengkhotbah, saya akan berpaling pada kisah-kisah Injil tentang Tuhan Yesus dan segala perbuatan-Nya. Apabila saya menyimpulkan bahwa keberadaan saya “di bawah matahari” (Pkh. 1:3) tidaklah berarti bagi Allah, itu artinya saya menyangkal salah satu tujuan utama Allah datang ke dunia. Jika Anda bertanya, Apakah saya berarti?, Yesuslah jawabannya.”

Terima kasih untuk penulis saaat teduh ini. Saya paling tersentuh dengan kalimat; tangan Allah tidaklah terlalu besar untuk merangkul insan yang terkecil di dunia ini.

Besar kecil, putih hitam, kita semua berarti di mata Tuhan.

-*-

Foto: Pixabay

Sumber: http://santapanrohani.org/2016/11/15/apakah-saya-berarti/

https://odb.org/2016/11/15/do-i-matter/

Seberapa Cepat Anda Pulih dari Luka?

Dulu waktu bekerja di bagian rekrutmen, selain melakukan tes IQ, kami melakukan semacam tes kepribadian untuk kandidat, yang kemudian semakin mendekati konsep tes kecerdasan emosional (EQ). Konon, memang terbukti bahwa karyawan yang juga cerdas emosional jauh lebih baik daripada sekedar cerdas intelegensi (IQ).

Salah satu ciri orang yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi adalah kemampuan beradaptasi dengan cepat. Mereka mudah menyesuaikan diri dengan perubahan, tanpa menganggap dirinya secara berlebihan jadi objek negatif atau korban dari pihak lain. Ketika mereka terjatuh atau tersandung, dengan positif mereka akan tetap melanjutkan diri untuk melangkah, alih-alih meratapi dan menyalahkan batu yang menjadi sandungannya.

Orang seperti ini tidak mau berlama-lama tinggal dalam masa lalu, dalam kemarahan, luka atau dendam, atau perasaan negatif lainnya. Mereka bukannya tidak merasa sakit hati atau sedih ataupun kecewa. Tapi mereka mampu mengolah perasaan itu, mampu mengendalikannya. Mereka marah tapi mereka mau memaafkan. Mereka memang terluka perasaannya, tapi mereka memilih untuk bisa segera sembuh. Tidak berlama-lama dalam kesuraman atau kepahitan. Cepat pulih.

Cepat pulih.

Saya suka dengan kedua kata ini. Cepat. Pulih.

Hal ini mengingatkan saya pada tokoh Logan alias Wolverine di film X-Men.

Logan adalah karakter komik fiksi X-Men asal Amerika. Wolverine adalah sebutan untuk Logan, sang mutan yang tajam indra hewannya, dan memiliki kemampuan regeneratif atau penyembuhan diri yang luar biasa.

Contohnya, Logan dapat segera pulih dari luka tembak dalam beberapa menit. Dia juga memiliki kekebalan virtual atas racun dan sebagian besar obat, serta resistensi atas penyakit. Dia bugar, sehat, kuat, panjang umur dan awet muda. Wolverine juga memiliki indra superhuman, yaitu kemampuan melihat hal-hal pada jarak yang jauh lebih besar dari manusia normal. Walaupun begitu, Logan bukanlah makhluk yang bisa hidup selamanya. Dia tetap bisa mati, oleh api atau asam.

Saya jadi cenderung membuat analogi sendiri, menganggap orang yang memiliki EQ tinggi, seperti Wolverine ini. Mereka cepat pulih dari luka, sehat dan bugar serta awet muda karena berjiwa positif, dan memiliki kemampuan melihat dengan cara pandang berbeda yang lebih luas dibanding orang kebanyakan.

Sering saya menemukan orang yang betah berlama-lama dalam kemarahan dan dendam serta menyalahkan orang lain atas masalah yang dimilikinya. Mungkin saya juga pernah seperti itu. Tanpa kita sadari, kondisi seperti itu tak baik bagi kesehatan kita, baik secara mental atau fisik. Dengan memaafkan orang lain, kita juga bisa melegakan diri kita sendiri, dan menciptakan kedamaian hati. Hidup dalam amarah atau dendam membuat kita hidup gusar dan tidak bahagia.

Seorang teman lama saya, yang baru bertemu lagi akhir-akhir ini, rupanya masih seperti itu. Dia masih menyimpan dendam pada seseorang yang menyakiti hatinya belasan tahun lalu. Ketika saya tanya mengapa, dia bilang tak bisa melupakan. Saya tanya lagi apa gunanya menyimpan dendam itu, apakah itu membuatnya lebih baik, dia tak bisa menjawab.

Saya tak mau menghakiminya. Apapun keputusannya, itu urusan dia pribadi. Tapi jika saya jadi dia, saya akan memilih untuk pulih dari rasa sakit, secepat saya bisa, dan maju terus, memikirkan hal-hal yang lebih berarti.

Bagaimana dengan anda?

*-*

Foto: Pixabay

 

 

Ketika Ada Konflik, Kau Ada di Mana?

Tadi pagi, karena suami berangkat kerja duluan, saya naik angkot. Supirnya masih muda, mungkin usia awal 20 tahunan. Di tengah jalan dekat perempatan lampu merah fatmawati, si angkot menyenggol sebuah mobil dan merusak kaca spion mobil itu. Di dalam mobil itu ada dua orang, seorang bapak berumur 60-an yang menyetir, dan (anaknya?) laki-laki, mungkin berumur 28 -30an. Sebut saja si Pemuda.

Begitu bunyi senggolan spion itu terdengar, si Pemuda yang duduk di sebelah si pengemudi langsung teriak menyumpah dengan segala bahasa kebun binatang. Karena macet, dengan segera dia bisa menyusul memepet angkot, dan memaki-maki si supir angkot. Di dalam angkot hanya ada empat orang penumpang. Seorang laki-laki muda di sebelah supir, seorang anak gadis yang sepertinya mahasiswa, seorang bapak tua kurus dan mungil yang terkantuk-kantuk, dan saya.

Karena si sopir angkot hanya minta maaf, Pemuda itu tidak sabar menuntut bayaran pengganti spion. Si sopir angkot mengaku tak sengaja dan tak punya uang. Tapi si Pemuda dengan sangat tidak sabar pun akhirnya sampai mencekik leher si supir angkot. Bapak tua kurus yang tadi terkantuk-kantuk tiba-tiba berteriak dengan suara menggelegar. “AWAS YA! JANGAN MAIN TANGAN KAMU!”

Suara itu begitu kuat hingga saya kaget dan tak menyangka bisa keluar suara sebegitu menakutkan dari bapak tua ringkih itu. segera si Pemuda itu melepaskan cekikannya. Lalu ayahnya yang menyetir menyuruhnya merampas kunci dan meraup semua uang di atas dasbor angkot. Saya kira jumlahnya ada sekitar seratus ribuan. Kuncinya akhirnya dikembalikan karena angkot tidak bisa berjalan dan akan mengganggu lalu-lintas.

“Jangan diambil semua, Om,” kata si supir angkot memelas.

Tapi Pemuda itu tak peduli. Sinar matanya beringas dan menakutkan. Bahkan setelah lepas lewat lampu merah, di jalan raya yang ramai, masih sempat ayahnya memfoto si sopir angkot dengan ponsel, dan si Pemuda berteriak, “Awas ya, akan gue cari lo!”

Si supir angkot malah tersenyum manis ketika difoto.

Penumpang yang duduk di sebelah supir angkot berkata, “Untuk apa lagi dia nyari kamu, kan dia udah ambil uangnya? Kejar aja, pepet mobilnya…”

“Biarin aja… Aduh, itu semua uang modal saya, udah susah-susah nyarinya malah diambil semua,” keluh supir angkot.

Ada beberapa hal yang saya perhatikan. Si supir angkot memang salah dan tidak hati-hati. Tapi si Pemuda pengendara mobil tersenggol spion pun terlalu berlebihan sampai mencekik dan merampas kunci angkot segala, pula bahasa makiannya sungguh tidak berpendidikan.

Selama kejadian konflik di mana si Pemuda yang punya mobil memperlakukan si supir angkot dengan buruk, saya memikirkan akan melakukan beberapa hal dalam keadaan emergensi. Pertama, akan memfoto nomor kenderaan si mobil dan kedua pengendaranya, seandainya si supir angkot dianiaya. Kedua, akan mencari pertolongan dari pihak lain. Ketiga, jika sampai harus rugi, asal supir itu tidak dianiaya, saya akan membantu memberikan uang secukupnya untuk pengganti spion itu. Untungnya penganiayan itu tidak terjadi.

Kami juga pernah mengalami hal yang sama. Sebuah mobil mewah yang harganya hampir tiga kali lipat harga mobil kami menyenggol mobil kami dan kabur begitu saja, untung masih terkejar. Lalu ketahuanlah sopirnya masih ABG kelas tiga SMP. Saya dan suami hanya menasihati anak itu. Orangtua mana yang memberikan anak yang belum cukup umur untuk mengendarai mobil semewah itu?

Yang saya pelajari dari kejadian pagi itu adalah hal ini.

Kita berada di posisi mana ketika konflik datang. Apakah kita seperti si Pemuda, penganiaya yang merasa berhak menghukum semau kita orang yang merugikan kita? Apakah seperti si bapak kurus yang bersuara lantang membela yang teraniaya (walau memang pihak yang salah), atau diam saja menyelamatkan diri seperti si mahasiswi karena mungkin merasa lemah, atau malah mengompori dan menambah masalah seperti lelaki di sebelah supir angkot, atau, mencoba turut ambil bagian mencari jalan keluar agar tercapai perdamaian, sekalipun kita jadi ikut dirugikan?

Kalimat berikut ini mungkin terdengar klise, terlalu ideal, atau muluk-muluk, tapi sesungguhnya itulah yang benar. Mudah dikatakan, sulit pada pelaksanaannya.

Jadilah pembawa damai.

Sekalipun kita dirugikan. Seperti tertulis di kitab suci; Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!

Jakarta, 11Nov’16

-*-

Foto: Pixabay